Oleh: Utami Panca Dewi
Payung-payung
lusuh itu baru dua yang laku. Pengunjung
Grojogan Sewu tampaknya merasa nyaman-nyaman saja berjalan di bawah rinai hujan
yang hanya serupa garis arsir miring. Payung-payung itu memang tak cukup pantas
untuk dikatakan ”layak pakai”. Apalagi untuk pengunjung tempat wisata yang
rata-rata berpenampilan trendy.
”Sewa
payungnya Bu! Murah kok, Cuma lima ribu,” lirih suara Bu Surti sembari
mendekati dua orang ibu yang mulai menaiki tangga di kawasan wisata itu.
”Mahal
amat? Tidak bisa kurang ya?”
”Maaf
Bu, terkadang payung saya ada yang tidak kembali.”
”Tiga
ribu, ya.”
”
Ya sudahlah Bu, monggo.” Diangsurkannya
salah satu payungnya.
Hari ini baru tiga payung yang
berpindah tangan. Berarti baru tiga belas ribu rupiah yang ada dalam gengaman.
Hari cepat beranjak menjadi sore. Mata Bu Surti menerawang. Terbayang suaminya
yang tergolek sakit, uang sekolah ketiga anaknya yang belum terbayar, dan beras
yang belum terbeli. Kerut di dahinya bertambah dalam, ketika ia harus menerima
kenyataan. Besok pagi harus menanak nasi aking lagi.
@@
Malam yang indah dan teduh.
Purnama nampak bertahta di langit, dikawal oleh berjuta bintang. Di pondok
kecil berdinding anyaman bambu di dekat tempat pembuangan sampah, nampak lampu
masih menyala. Bukan bohlam listrik, hanya lampu teplok yang memberikan cahaya terang temaram.
”Bu’e, Eno tadi di sekolah
ditegur sama Bu Guru,” ujar gadis kecil berkepang satu.
”Kenapa lagi No?”
”Belum membayar LKS.”
“Memangnya kurang berapa yang belum
lunas?”
”Memangnya Bu’e sudah punya
uang?”
”Wong ditanya kok balik nanya? Ya belum, No.”
Suasana hening sejenak. Di
dalam kamar terdengar suara batuk-batuk. Pak Jupri tergolek lemah di atas kasur
usang. Dua tahun ini penyakit stroke
telah menggerogoti raganya. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain berbaring.
Keretak-keretek suara ranjang besi terdengar saat ia mencoba bangkit.
”Ada apa Pak’e?” Retno masuk
kamar ingin membantu bapaknya. Dipijitnya kaki laki-laki renta itu perlahan.
”Mbakmu sudah pulang, No?”
”Mbak Pur ke mana to Pak’e?”
“Tadi pamit sebentar mau
mengerjakan tugas sekolah di rumah
temannya.”
”Kok Mbak Pur tiap malam
mengerjakan tugas to Pak’e?”
”Mbakmu kan sudah kelas 1 SMK, ya wajar kalau sudah banyak tugas.”
”Aku nanti nggak mau sekolah di SMK kok Pak’e.”
”Lah kenapa No?”
”Mau ngelanjutin ke SMA saja,
terus kuliah kayak Mbak Zulfa, guru ngajiku di TPQ.” Mata gadis kecil 9 tahun itu bersinar-sinar. Pandangannya
menerawang jauh.
”Biayanya darimana to Nduk?
Bapakmu sakit-sakitan gini, sementara ibumu hanya penjaja payung sewaan” sahut
Pak Jupri.
”Kata Mbak Zulfa, aku harus menggantungkan
cita-cita setinggi bintang di langit?’
”Langitmu rendah, Nduk.”
”Langitnya Gusti Allah sama untuk semua orang to
Pak’e?”
”Tapi bintang itu hanya untuk orang-orang berduit.”
”Nggak mudeng aku Pak’e. Kalau
nggak boleh setinggi bintang, ya aku akan menjadi bintang itu sendiri.”
”Eno...” suara Bu Surti menghentikan
pembicaraan Retno dengan bapaknya.
”Ya, Bu’e.”
”Tolong jaga Pungkas sebentar,
Bu’e belum selesai ngelem bungkus kwacinya,”
Pungkas rupanya terbangun.
Bocah 5 tahun itu harus ditepuk-tepuk pinggulnya supaya tertidur lagi.
”Kalau sudah nanti ke depan ya
No, bantu Bu’e ngelem. Upahnya
bisa untuk mengangsur LKS-mu.”
Rupanya kalau malam Bu Surti
tidak mau duduk berpangku tangan. Diterimanya order mengelem bungkus kwaci
dengan upah lima puluh rupiah tiap 10 bungkus. Untuk 1000 bungkus saja ia baru mendapatkan upah
lima ribu rupiah. Separuh dari harga LKS anaknya.
@@
Hari ini Bu Surti tidak
berangkat menjajakan payung sewaan seperti biasanya. Hatinya galau sungguh.
Tadi malam Purwani, anak gadisnya tidak pulang ke rumah. Ia baru saja mendapatkan
kabar dari tetangganya, kalau Si Pur - demikian orang kampung memanggilnya –
ditahan di kantor Satpol PP di kota.
”Ada apa lagi to Puur...Pur,”
gumam Bu Surti.
Dipercepatnya langkahnya
setelah turun dari angkot. Berjuta tanya menggelayuti benaknya.
”Ya Allah, Puuur...apa yang
kau lakukan Naaak?” tanya Bu Surti sembari mengguncang-guncang tubuh gadis enam
belas tahun itu. Mendung nampak menggelayuti wajah keriputnya. Dan sepertinya sebentar
lagi mendung itu akan menderas menjadi hujan.
”Pur khilaf Bu’e, Pur hanya
diajak Maminya Venti,” jawab Purwani terisak. Dua bulir bening menuruni pipi
mulusnya.
”Sejak kapan....sejak kapan
kau jual harga dirimu?”
”Maafkan Pur, Bu’e.”
”Tatap mata Bu’e, dan jawab!”
”Bu’e ingat, waktu aku kelas 3
SMP, Bu’e tidak punya uang tujuh ratus lima puluh ribu untuk biaya study tour ke Jakarta?”
”Kau dibantu teman-teman
sekelasmu, katamu waktu itu?”
”Aku dibantu Venti, dengan
satu syarat.”
”Ya Allah Gusti, paringono pangapunten. Istighfar Puuur...Bu’e
tidak pernah ngajari hal jelek. Lalu di mana bekasnya kamu ngaji di TPQ sampai
katam?” tanya Bu Surti dengan suara serak setengah parau.
Purwani tergugu. Isaknya tenggelam dalam suara tangis
ibunya yang menyayat. Keperawanannya dijualnya kepada lelaki hidung belang
seharga satu juta rupiah setahun lalu. Sampai sekarang ia menjadi anak buahnya
Mami Susi, ibu dari temannya yang bernama Venti. Bu Surti menerima kenyataan
pahit. Anak gadis yang diidam-idamkan menjadi tonggak keluarga setelah ia renta
nanti, telah kehilangan kehormatannya di usia yang baru menginjak angka lima
belas. Harta tiada, sang kepala keluarga tak berdaya, dan sekarang kehormatan pun
tak punya. Lalu apalagi kini
yang tersisa?
@@
Pemakaman di sudut kampung itu
telah sepi. Hanya beberapa burung gereja tampak beterbangan di atas pohon
kamboja, hinggap di dahan yang satu dan sekejap kemudian berpindah ke dahan yang lain. Tanah makam itu
masih memerah, semerah mata dua orang perempuan beda generasi yang tengah
bersimpuh di tepinya. Sekuntum bunga kamboja putih jatuh melayang, menimpa
sebuah payung hitam yang menutupi ujung makam, untuk kemudian luruh ke bumi.
”Kasihan Bapakmu Pur, dipundhut sowan dalam keadaan seperti ini.”
”Pur yang salah, Bu’e.”
”Bu’e yang salah Nduk, telah gagal mendidik kamu.”
”Hukumlah Pur Bu’e. Pur yang
menyebabkan Pak’e meninggal,” isak Purwani pilu.
”Hanya Tuhan yang berhak
menghukum. Kau menyesal
menjadi anake wong kere Nduk ?”
”Nggak Bu’e, orang dilahirkan
nggak bisa memilih”
”Payung-payung itu…”
”Kenapa Bu’e?”
“Nggak cukup berharga untuk menjaga kehormatan anak
perawan Bu’e.”
“Pur mau bertobat Bu’e, tapi kenapa Bu’e menyalahkan
payung-payung itu?”
“Aah…seandainya Bu’e punya pekerjaan yang lebih
menghasilkan”
“Seandainya Bapak tidak sakit.”
“Kita hentikan saja berandai-andainya Pur, nanti kita jadi
tidak bersyukur lagi kepada Gusti
Allah Nduk. Kufur nikmat, itu
yang paling berbahaya.”
Kedua anak beranak itu
bergandengan meninggalkan makam. Sengaja ditinggalkannya salah satu payung
usang berwarna hitam. Gagang payung itu menancap kokoh di gundukan tanah
makam. Seakan menjadi pengganti dirinya untuk menemani raga suaminya yang
terbaring di bawahnya.
@@
”Payuuung.....Payung. Sewa
payungnya Bu,” Bu Surti berteriak di antara hujan yang mulai menderas. Di bulan
Mei, rupanya masih juga turun hujan sederas ini. Udan salah mongso, kata
orang Jawa. Cuaca yang tidak menentu, yang kata para pakar ekologi, terjadi karena kondisi alam
yang mulai terpengaruh oleh pemanasan global.
Namun pikiran Bu Surti yang
sederhana tidak sampai sejauh itu. Ia hanya merasa bahwa Tuhan mengasihinya
lewat hujan. Karena pintu-pintu rejeki seakan dibukakan seluas-luasnya oleh
Tuhan, bersama turunnya hujan. Hujan yang terkadang bagi sebagian orang
disambut dengan umpatan, justru disambut dengan ucapan penuh kesyukuran oleh
wanita paruh baya itu.
Dan kini Bu Surti boleh
tersenyum lega, karena ada yang mengentaskan Purwani dari jurang kenistaan. Bu
Widodo, tetangganya yang memiliki usaha warnet dan penjualan pulsa, menyuruh
Purwani untuk bekerja paruh waktu sepulang sekolah.
Ada juga yang berubah pada payung-payungnya. Separuh dari payung-payung hitam lusuh itu
kini telah berganti menjadi payung-payung penuh warna. Karena Bu Widodo juga
menyumbangkan beberapa payung dari sponsor produk pulsa gesek.
@TAMAT@
Catatan:
1) Monggo: silakan
2) Teplok: pelita atau lampu dari minyak
tanah
3) Wong: orang
4) Mudeng: paham
5) Paringono pangapunten: berikan ampunan
6) Dipundhut sowan: dipanggil Tuhan/meninggal
dunia
7) Nduk: nak
8) Anake wong kere: anaknya orang miskin
9) Gagang: pegangan
10) Udan salah mongso: hujan yang turun tidak
pada musimnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar