Daftar Blog Saya

Senin, 17 April 2017

PAYUNG-PAYUNG BU SURTI ( cepren majalah Ummi )

Oleh: Utami Panca Dewi

            Payung-payung lusuh itu baru dua  yang laku. Pengunjung Grojogan Sewu tampaknya merasa nyaman-nyaman saja berjalan di bawah rinai hujan yang hanya serupa garis arsir miring. Payung-payung itu memang tak cukup pantas untuk dikatakan ”layak pakai”. Apalagi untuk pengunjung tempat wisata yang rata-rata berpenampilan trendy.
            ”Sewa payungnya Bu! Murah kok, Cuma lima ribu,” lirih suara Bu Surti sembari mendekati dua orang ibu yang mulai menaiki tangga di kawasan wisata itu.
            ”Mahal amat? Tidak bisa kurang ya?”
            ”Maaf Bu, terkadang payung saya ada yang tidak kembali.”
            ”Tiga ribu, ya.”
            ” Ya sudahlah Bu, monggo.” Diangsurkannya salah satu payungnya.
Hari ini baru tiga payung yang berpindah tangan. Berarti baru tiga belas ribu rupiah yang ada dalam gengaman. Hari cepat beranjak menjadi sore. Mata Bu Surti menerawang. Terbayang suaminya yang tergolek sakit, uang sekolah ketiga anaknya yang belum terbayar, dan beras yang belum terbeli. Kerut di dahinya bertambah dalam, ketika ia harus menerima kenyataan. Besok pagi harus menanak nasi aking lagi.
                                                @@
Malam yang indah dan teduh. Purnama nampak bertahta di langit, dikawal oleh berjuta bintang. Di pondok kecil berdinding anyaman bambu di dekat tempat pembuangan sampah, nampak lampu masih menyala. Bukan bohlam listrik, hanya lampu  teplok  yang memberikan cahaya terang temaram.
”Bu’e, Eno tadi di sekolah ditegur sama Bu Guru,” ujar gadis kecil berkepang satu.
”Kenapa lagi No?”
”Belum membayar LKS.”
“Memangnya kurang berapa yang belum lunas?”
”Memangnya Bu’e sudah punya uang?”
Wong ditanya kok balik nanya? Ya belum, No.”
Suasana hening sejenak. Di dalam kamar terdengar suara batuk-batuk. Pak Jupri tergolek lemah di atas kasur usang.  Dua tahun ini penyakit stroke telah menggerogoti raganya. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain berbaring. Keretak-keretek suara ranjang besi terdengar saat ia mencoba bangkit.
”Ada apa Pak’e?” Retno masuk kamar ingin membantu bapaknya. Dipijitnya kaki laki-laki renta itu perlahan.
”Mbakmu sudah pulang, No?”
”Mbak Pur ke mana to Pak’e?”
“Tadi pamit sebentar mau mengerjakan  tugas sekolah di rumah temannya.”
”Kok Mbak Pur tiap malam mengerjakan tugas to Pak’e?”
”Mbakmu kan sudah kelas 1  SMK, ya wajar kalau sudah banyak tugas.”
”Aku nanti nggak mau sekolah di SMK kok Pak’e.”
”Lah kenapa No?”
”Mau ngelanjutin ke SMA saja, terus kuliah kayak Mbak Zulfa, guru ngajiku di TPQ.” Mata gadis kecil  9 tahun itu bersinar-sinar. Pandangannya menerawang jauh.
”Biayanya darimana to Nduk? Bapakmu sakit-sakitan gini, sementara ibumu hanya penjaja payung sewaan” sahut Pak Jupri.
”Kata Mbak Zulfa, aku harus menggantungkan cita-cita setinggi bintang di langit?’
”Langitmu rendah, Nduk.”
”Langitnya Gusti Allah sama untuk semua orang to Pak’e?”
”Tapi bintang  itu hanya untuk orang-orang berduit.”
”Nggak mudeng  aku Pak’e. Kalau nggak boleh setinggi bintang, ya aku akan menjadi bintang itu sendiri.”
”Eno...” suara Bu Surti menghentikan pembicaraan Retno dengan bapaknya.
”Ya, Bu’e.”
”Tolong jaga Pungkas sebentar, Bu’e belum selesai ngelem bungkus kwacinya,”
Pungkas rupanya terbangun. Bocah 5 tahun itu harus ditepuk-tepuk pinggulnya supaya tertidur lagi.
”Kalau sudah nanti ke depan ya No, bantu Bu’e ngelem. Upahnya bisa untuk mengangsur LKS-mu.”
Rupanya kalau malam Bu Surti tidak mau duduk berpangku tangan. Diterimanya order mengelem bungkus kwaci dengan upah lima puluh rupiah tiap 10 bungkus. Untuk 1000 bungkus saja ia baru mendapatkan upah lima ribu rupiah. Separuh dari harga LKS anaknya.
                                                @@
Hari ini Bu Surti tidak berangkat menjajakan payung sewaan seperti biasanya. Hatinya galau sungguh. Tadi malam Purwani, anak gadisnya tidak pulang ke rumah. Ia baru saja mendapatkan kabar dari tetangganya, kalau Si Pur - demikian orang kampung memanggilnya – ditahan di kantor Satpol PP di kota.
”Ada apa lagi to Puur...Pur,” gumam Bu Surti.
Dipercepatnya langkahnya setelah turun dari angkot. Berjuta tanya menggelayuti benaknya.
”Ya Allah, Puuur...apa yang kau lakukan Naaak?” tanya Bu Surti sembari mengguncang-guncang tubuh gadis enam belas tahun itu. Mendung nampak menggelayuti wajah keriputnya. Dan sepertinya sebentar lagi mendung itu akan menderas menjadi hujan.
”Pur khilaf Bu’e, Pur hanya diajak Maminya Venti,” jawab Purwani terisak. Dua bulir bening menuruni pipi mulusnya.
”Sejak kapan....sejak kapan kau jual harga dirimu?”
”Maafkan Pur, Bu’e.”
”Tatap mata Bu’e, dan jawab!”
”Bu’e ingat, waktu aku kelas 3 SMP, Bu’e tidak punya uang tujuh ratus lima puluh ribu untuk biaya study tour ke Jakarta?”
”Kau dibantu teman-teman sekelasmu, katamu waktu itu?”
”Aku dibantu Venti, dengan satu syarat.”
”Ya Allah Gusti, paringono pangapunten. Istighfar Puuur...Bu’e tidak pernah ngajari hal jelek. Lalu di mana bekasnya kamu ngaji di TPQ sampai katam?” tanya Bu Surti dengan suara serak setengah parau.
Purwani tergugu. Isaknya tenggelam dalam suara tangis ibunya yang menyayat. Keperawanannya dijualnya kepada lelaki hidung belang seharga satu juta rupiah setahun lalu. Sampai sekarang ia menjadi anak buahnya Mami Susi, ibu dari temannya yang bernama Venti. Bu Surti menerima kenyataan pahit. Anak gadis yang diidam-idamkan menjadi tonggak keluarga setelah ia renta nanti, telah kehilangan kehormatannya di usia yang baru menginjak angka lima belas. Harta tiada, sang kepala keluarga tak berdaya, dan sekarang kehormatan pun tak punya. Lalu apalagi kini yang tersisa?
                                                @@
Pemakaman di sudut kampung itu telah sepi. Hanya beberapa burung gereja tampak beterbangan di atas pohon kamboja, hinggap di dahan yang satu dan sekejap kemudian  berpindah ke dahan yang lain. Tanah makam itu masih memerah, semerah mata dua orang perempuan beda generasi yang tengah bersimpuh di tepinya. Sekuntum bunga kamboja putih jatuh melayang, menimpa sebuah payung hitam yang menutupi ujung makam, untuk kemudian luruh ke bumi.
”Kasihan Bapakmu Pur, dipundhut sowan  dalam keadaan seperti ini.”
”Pur yang salah, Bu’e.”
”Bu’e yang salah Nduk, telah gagal mendidik kamu.”
”Hukumlah Pur Bu’e. Pur yang menyebabkan Pak’e meninggal,” isak Purwani pilu.
”Hanya Tuhan yang berhak menghukum. Kau menyesal menjadi anake wong kere Nduk ?”
”Nggak Bu’e, orang dilahirkan nggak bisa memilih”
”Payung-payung itu…”
”Kenapa Bu’e?”
“Nggak cukup berharga untuk menjaga kehormatan anak perawan Bu’e.”
“Pur mau bertobat Bu’e, tapi kenapa Bu’e menyalahkan payung-payung itu?”
“Aah…seandainya Bu’e punya pekerjaan yang lebih menghasilkan”
“Seandainya Bapak tidak sakit.”
“Kita hentikan saja berandai-andainya Pur, nanti kita jadi tidak bersyukur lagi kepada Gusti Allah Nduk. Kufur nikmat, itu yang paling berbahaya.”
Kedua anak beranak itu bergandengan meninggalkan makam. Sengaja ditinggalkannya salah satu payung usang berwarna hitam. Gagang  payung itu menancap kokoh di gundukan tanah makam. Seakan menjadi pengganti dirinya untuk menemani raga suaminya yang terbaring di bawahnya.
                                                            @@
”Payuuung.....Payung. Sewa payungnya Bu,” Bu Surti berteriak di antara hujan yang mulai menderas. Di bulan Mei, rupanya masih juga turun hujan sederas ini. Udan salah mongso, kata orang Jawa. Cuaca yang tidak menentu, yang kata para pakar ekologi, terjadi karena kondisi alam yang mulai terpengaruh oleh pemanasan global.
Namun pikiran Bu Surti yang sederhana tidak sampai sejauh itu. Ia hanya merasa bahwa Tuhan mengasihinya lewat hujan. Karena pintu-pintu rejeki seakan dibukakan seluas-luasnya oleh Tuhan, bersama turunnya hujan. Hujan yang terkadang bagi sebagian orang disambut dengan umpatan, justru disambut dengan ucapan penuh kesyukuran oleh wanita paruh baya itu.
Dan kini Bu Surti boleh tersenyum lega, karena ada yang mengentaskan Purwani dari jurang kenistaan. Bu Widodo, tetangganya yang memiliki usaha warnet dan penjualan pulsa, menyuruh Purwani untuk bekerja paruh waktu sepulang sekolah.
 Ada juga yang berubah pada payung-payungnya. Separuh dari payung-payung hitam lusuh itu kini telah berganti menjadi payung-payung penuh warna. Karena Bu Widodo juga menyumbangkan beberapa payung dari sponsor produk pulsa gesek.
@TAMAT@
Catatan:
1)      Monggo: silakan
2)      Teplok: pelita atau lampu dari minyak tanah
3)      Wong: orang
4)      Mudeng: paham
5)      Paringono pangapunten: berikan ampunan
6)      Dipundhut sowan: dipanggil Tuhan/meninggal dunia
7)      Nduk: nak
8)       Anake wong kere: anaknya orang miskin
9)      Gagang: pegangan
10)  Udan salah mongso: hujan yang turun tidak pada musimnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar