Daftar Blog Saya

Kamis, 27 April 2017

Semua Saling Membutuhkan


Semua Saling Membutuhkan ilustrasi Suara Merdeka
Semua Saling Membutuhkan ilustrasi Suara Merdeka
Raja Bimasakti mengumpulkan penghuni galaksi di Kerajaan Alam Semesta. Dari Matahari, Bumi, Bulan serta Planet, Hujan, dan Awan, semua diundang untuk membahas kekacauan ekosistem. Selama bertahun-tahun tidak turun hujan yang menyebabkan musim kemarau panjang. Sungai-sungai kering, sumur-sumur menyisakan sedikit air. Tumbuhan banyak yang mati. Akibatnya terjadi kelaparan dan kematian mahluk hidup di darat dan laut. Lebih parahnya lagi Bulan juga sudah tidak mau bercahaya, sehingga menggelapkan Bumi saat malam hari.
Sebelum terjadi kekacauan dan kehancuran alam semesta, Raja Bimasakti mencoba mendamaikan perseteruan antara Matahari dengan Hujan, Awan, dan Bulan serta Bumi. Setelah semua hadir, Raja Bimasakti memulai menginterogasi.
“Wahai Hujan, kenapa kamu tidak mau turun lagi ke Bumi?” tanya Raja Bimasakti.
“Maafkan saya yang mulia. Ini semua karena hasutan Matahari kepada manusia. Dia mengatakan tanpa cahaya dari dirinya maka tidak akan ada Hujan, sehingga manusia mengumpat saat sering turun Hujan. Tidak ada lagi ucapan syukur. Sejak saat itu, saya sakit hati dan tidak mau lagi turun ke Bumi. Saya tetap tinggal di awan,” ucap kesal Hujan.
“Betul itu yang mulia,” imbuh Awan membela Hujan.
“Wahai Matahari, apakah betul yang dikatakan Hujan?” tanya Raja Bimasakti.
“Iya Raja, saya memang pernah mengatakan itu. Bukankah itu kenyataan? Terjadinya Hujan diawali oleh panas dariku, membuat air yang ada di permukaan Bumi menguap. Terbentuklah Awan dari uap-uap tersebut. Angin membuat Awan kecil berkumpul menjadi besar. Karena kandungan air di Awan yang sudah besar dan tidak bisa ditampung lagi maka turunlah Hujan. Tanpa panas dariku tidak akan ada kamu, Hujan!” kata Matahari angkuh.
Penjelasan dari Matahari bukan menyelesaikan masalah, melainkan justru membuat makin keruh keadaan. Semua yang hadir bertambah kesal karena kesombongan Matahari.
“Berikutnya giliranmu Bulan. Kenapa kamu tidak lagi memancarkan cahaya?” tanya Raja Bimasakti.
Dengan agak terbata-bata dan bercerita putus-putus, Bulan menjelaskan peristiwa yang terjadi pada dirinya.
“Maafkan saya yang mulia. Dia juga menghasut manusia supaya tidak lagi memuji keindahan cahayaku. Saya dianggap telah mencuri cahaya dari Matahari. Hasutan itu membuat manusia enggan menuliskan keindahan cahayaku di dalam puisinya. Saya malu dan sakit hati. Sejak itu saya tidak mau lagi menerima pantulan cahaya darinya,” kata Bulan sambil sesenggukan.
“Betul cerita Bulan wahai Raja,” sambung Bumi yang semakin geram melihat tingkah Matahari yang menjengkelkan.
“Begini aku jelaskan dulu saudara-saudaraku. Kalau Bulan tidak bercahaya itu betul bukan fitnah. Bulan memang tidak bercahaya, namun memantulkan cahaya dariku. Hal ini bisa terjadi karena ada kalanya ketika orbit dari Bulan, Bumi, dan Matahari sesuai, maka cahaya dariku bisa menerpa sebagian permukaan Bulan. Permukaan Bulan yang terkena cahaya dariku itulah yang menyebabkan Bulan terlihat seolah-olah mengeluarkan cahaya. Lalu, salah saya di mana?” bentak Matahari kepada Bulan.
Sejenak semua diam, tegang, dan kaku. Tidak ada sepatah kata pun keluar. Semua memasang raut wajah sangat serius. Raja Bimasakti mencoba menengahi mereka dan mencairkan suasana.
”Apa yang kamu katakan itu benar Matahari. Cahayamu memang bermanfaat bagi alam semesta. Seperti proses fotosintesa tumbuhan, menguapkan air sebelum terjadinya Hujan, dan cahayamu yang membuat seolah-olah Bulan bercahaya. Tapi, tidak seharusnya kamu bersikap sombong dan angkuh, karena semua mempunyai manfaat sesuai dengan fungsinya. Seperti temanmu Hujan yang berguna untuk air minum manusia, hewan, dan menyuburkan tanaman. Awan berguna untuk menampung uap air sebelum terjadinya Hujan. Bumi berguna untuk tempat kehidupan. Sementara Bulan sebagai pelindung Bumi dari hantaman komet dan memberi penerangan saat malam hari. Kalau saja ada satu penghuni galaksi yang tidak sejalan, hancurlah alam semesta ini dan kamu pun ikut hancur Matahari,” kata Raja Galaksi tegas.
“Kau tidak adil wahai Raja! Membela yang lain dan hanya menyalahkanku,” jawab Matahari ketus, sesaat sebelum pergi meninggalkan perkumpulan dan tanpa pamit.
***
Bertahun-tahun dilanda kekeringan dan tidak ada Hujan membuat manusia menderita. Mereka mulai menyadari telah dihasut Matahari agar membenci Hujan, Awan, dan Bumi serta Bulan. Sebagai bentuk kemarahan, manusia menjauhi cahaya Matahari. Mereka memilih tinggal di gua yang gelap. Setelah semua manusia pergi menjauhi Matahari dan tidak mau memujinya lagi, Matahari tinggal sendiri dan hanya berteman sepi. Matahari mulai merasakan hidup sendirian itu hampa. Ia pun sadar dan menyesali akan kesalahannya. Sebelum kehancuran melanda, Matahari segera menghadap Raja Bimasakti dan menemui saudara-saudaranya.
“Maafkan saya yang mulia dan saudara-saudaraku. Saya telah menghasut manusia untuk membenci saudaraku semua. Saya berjanji tidak akan berbuat seperti itu lagi,” ucap penyesalan Matahari.
“Matahari, semoga kamu bisa mengambil hikmah dari kejadian ini. Jangan karena keegoisan dan kesombonganmu, mengakibatkan bencana pada alam semesta ini.” jawab Raja yang diiyakan oleh saudara-saudaranya dengan penuh keikhlasan.
Akhirnya, mereka kembali menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya masing-masing. Tidak ada lagi yang merasa paling bermanfaat. Mereka sadar satu sama lain saling membutuhkan demi berlangsungnya Kerajaan Alam Semesta. (58)

Pertemuan Taman Lumpini


Pertemuan Taman Lumpini ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Pertemuan Taman Lumpini ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
BETAPA teduh bayangan pohon jatuh di permukaan danau. Dewi Laksmi, gadis penari ternama dari Jawa, memenuhi ajakan Samad, manajer hotel megah di Bangkok, tempatnya menginap, untuk mengunjungi Taman Lumpini. Mereka duduk santai menikmati keteduhan pepohonan, yang sebagiannya dibawa dari Jawa atas permintaan Raja Rama V. Tiga kali Dewi Laksmi diundang menari di Kedutaan Besar Indonesia. Tetapi baru kali ini seorang manajer hotel keturunan Jawa mengajaknya ke Taman Lumpini. Dari taman inilah masa lalu kehidupan Samad dimulai seabad silam.
“Leluhurku membangun taman ini,” kata Samad, serius. “Mereka didatangkan dari Tanah Jawa, dan kakek buyutku dari Kota Kendal. Ketika taman ini selesai, mereka tak kembali ke Tanah Air. Mereka tinggal di Sathorn, dan beranak-pinak. Aku generasi keempat.”
“Kau merindukan tanah leluhurmu?”
“Tentu. Nonton tarianmu semalam di kedutaan, aku merasa berada di bumi kelahiran leluhur kami,” kata Samad, lelaki tiga puluh tahun yang masih bujangan itu. Ia tinggal di Kampung Jawa, di antara orang-orang yang selalu merindukan bumi asal leluhur mereka. “Apa nama tarianmu?”
“Bedhaya Ketawang. Tari yang menceritakan pertemuan Panembahan Senopati dengan Ratu Pantai Selatan.”
“Mengapa gerakan tari, gamelan iringannya sangat lembut dan lamban?”
“Memang tarian ini mengutamakan kehalusan budi untuk menggambarkan perasaan luhur, menahan hawa nafsu. Tarian ini menggambarkan tokoh yang teguh hati, jujur dan berkharisma.”
Apa semua perempuan di tanah leluhurku memiliki daya pikat kehalusan budi serupa para penari bedhaya? Di Taman Lumpini, Samad seringkali menyendiri. Ia memerlukan keheningan bila waktu luang, merenung seorang diri setelah ditanya orangtua: kapan nikah? Ia ingin menikah dengan seorang perempuan yang berasal dari tanah leluhurnya, yang menuntaskan rasa rindu pada kehidupan kakek buyutnya. Ketika ia mendengar kabar di Kedutaan Besar Indonesia akan dipergelarkan tari klasik dari Jawa, ia mengajukan permohonan agar tari itu dipergelarkan juga di ruang pertunjukan hotel tempatnya bekerja. Tiket habis dipesan seminggu sebelum Dewi Laksmi dan delapan penari bedhaya lainnya mendarat di bandara Suvarnabhumi. Samad menjemput para penari ke bandara, mengatur kamar hotel, dan mengantar ke Kedutaan Besar Indonesia. Dari beberapa kali pertemuan inilah ia mengenal akrab Dewi Laksmi.
Samad terpikat oleh keramahan Dewi Laksmi, seorang di antara sembilan penari bedhaya yang tampil di Kedutaan Besar Indonesia. Keesokan hari setelah pementasan, Samad mengajak Dewi Laksmi ke Taman Lumpini. Ia berharap, gadis penari itu akan mengisi rongga kosong dirinya. Tarian yang dipentaskan Dewi Laksmi seperti menghadirkan kepingan jiwa Samad yang tak lengkap. Dewi Laksmi seperti menjawab teka-tekinya sebagai lelaki berumur 30-an, manajer hotel, untuk menyempurnakan hidup berumah tangga. Ia masih sangat merindukan bisa menikahi gadis yang berasal dari bumi kakek buyutnya.
***
Tak banyak waktu Samad untuk bersama Dewi Laksmi di Taman Lumpini. Sebelum matahari terbenam, Dewi Laksmi mesti kembali ke hotel untuk berdandan, dan pentas di ruang pertunjukan. Samad mesti mencari-cari kesempatan untuk mencuri perhatian Dewi Laksmi. Besok pagi Dewi Laksmi dan delapan penari bedhaya lainnya akan pulang ke tanah air mereka.
Bayang-bayang pepohonan di Taman Lumpini mengabur di permukaan danau. Sesekali seekor biawak muncul dari permukaan danau, melata di rerumputan, dan mencebur lagi ke dalam air. Tak menampakkan diri lagi. Apakah aku akan berperilaku serupa biawak itu, muncul ke hadapan Dewi Laksmi, dan setelah itu menceburkan diri dalam kehidupanku sebagaimana sediakala?
“Bila aku berkunjung ke kota Kendal, tanah leluhurku, apa kau mau mengantarku?” tanya Samad penuh harap. “Aku ingin merasakan sayur asam dan oseng-oseng kacang panjang yang biasa dimasak ibuku di sini.”
“Kalau aku punya waktu, tentu akan saya antar kau ke kota asal leluhurmu. Kau bisa menikmati sayur asam dan oseng-oseng kacang panjang itu di warung-warung makan. Kalau kau mendarat di bandara kotaku, satu jam perjalanan dengan taksi akan sampai ke kota Kendal.”
“Apa aku bisa nonton tari bedhaya di kota leluhurku?”
Dewi Laksmi menggeleng. Memandangi Samad dengan perasaan tulus, agak iba, “Kau hanya bisa nonton tari Bedhaya Ketawang di keraton Solo dan Yogya.”
“Tari yang kau pentaskan nanti malam juga berasal dari keraton?”
“Ya. Bedhaya Harjuna Wijaya berasal dari keraton Yogya. Lebih memikat. Ada adegan pertempuran dengan saling hunus keris, simbol pergolakan batin manusia dalam menentukan kebaikan dan keburukan. Tari ini mencitrakan Harjuna sebagai tokoh yang sempurna.”
Sebelum meninggalkan Taman Lumpini, mereka melintasi burung-burung di hamparan rerumputan, yang sebagian terbang berkitar-kitar di atas danau. Samad merasa perlu bicara dengan Dewi Laksmi, “Aku minta pendapatmu, bagaimana kalau aku nikah dengan gadis yang berasal dari tanah leluhur kakek buyutku?”
“Kalau memang itu jodoh, mengapa tak kau lakukan?”
Samad teringat akan permintaan ibunya, untuk segera menikah dengan sesama keturunan Jawa di kampung sendiri, yang sudah sangat mereka kenal dalam pergaulan sehari-hari. Tidak mencari-cari jauh dari Sathorn. Tetapi permintaan ibu ini tak membahagiakan batin Samad. Ia merasa akan menemukan jodohnya seorang gadis yang membawanya pada tanah kelahiran kakek buyutnya dulu.
“Bagaimana jika yang ingin kunikahi itu seorang penari?” Samad menggoda perasaan Dewi Laksmi.
Melangkah pelan meninggalkan Taman Lumpini, Dewi Laksmi serius memandangi Samad, bujangan yang terguncang jati dirinya, dan merasa asing dengan bumi tempat kelahirannya. “Kalau kau menikahi seorang penari, harus memberi kesempatan pada istrimu, untuk pentas ke mana pun.”
Senyum Dewi Laksmi tak dapat ditafsir Samad. Lelaki itu cemas, dan merasakan keindahan senyum gadis penari itu yang bisa saja bermakna penolakan. Atau, bahkan, senyum itu merupakan jawaban yang tertunda?
***
Gemerlap lampu di Taman Lumpini, larut malam, seorang diri duduk di bangku, Samad mengenang kembali kehadiran Dewi Laksmi. Duduk di bawah bayang pohon, lelaki itu berpikir: Dewi Laksmi telah mengisi kekeroposan jiwanya. Pergelaran tari Bedhaya Harjuna Wijaya di ruang pertunjukan hotel telah menyempurnakan jati dirinya. Ia terhanyut kelembutan tari dan tergoda untuk mengunjungi tanah leluhurnya.
“Kau mesti ke keraton Yogya untuk bisa nonton pergelaran tari Bedhaya Harjuna Wijaya, atau ke keraton Solo untuk menikmati tari Bedhaya Ketawang. Para penari keraton mementaskan bedhaya di hadapan raja, sakral, dan agung.”
“Aku sungguh beruntung bisa menyaksikannya di sini,” balas Samad. Lagi-lagi ia ingin menggoda Dewi Laksmi, yang baru saja selesai menari. Tercium harum tubuhnya. “Tapi kalau aku berkesempatan melamarmu, tentu akan kesampaian nonton tari bedhaya di kedua kraton itu.”
Dewi Laksmi tersenyum. Tak mudah untuk memaknai senyum tipis itu: peluang atau penampikan? Gadis itu tak lagi mengenakan pakaian tari. Ia kembali pada penampilan kesehariannya. Lagi-lagi Samad tersadar, kesempatannya mendekat gadis penari itu sangat terbatas. Esok pagi ia dan delapan teman penari bedhaya kembali ke tanah air mereka.
Samad berkesempatan mengantar Dewi Laksmi ke bandara Suvarnabhumi. Dewi Laksmi mengisahkan perilaku Somchai, penari Khon, yang pernah merayunya di Kuil Wat Pho pada kunjungannya yang kedua ke Bangkok.
“Rayuan Somchai hanyalah sebuah permainan. Terhadap penari lain, Oka Swasti, Somchai melakukan rayuan yang sama,” kata Dewi Laksmi. “Kau tak bisa dibandingkan dengan Somchai. Kau laki-laki yang tulus, Somchai lelaki culas. Karena itu, aku mesti berterus terang padamu. Aku sudah dilamar. Tak lama lagi kami nikah.”
Di bandara Suvarnabhumi Samad mencoba untuk tabah. Tersenyum ramah pada rombongan tari Dewi Laksmi ketika melepas mereka pulang ke tanah air. Ia tegakkan punggung dan luruskan pandangan. Seorang manajer hotel besar di Bangkok, pantang menampakkan kekeroposan jiwanya. Ia tak memadamkan harapan untuk menemui Dewi Laksmi. Apakah aku akan diterimanya bila berkunjung ke tanah leluhurku, singgah ke rumah Dewi Laksmi?
Kini, duduk seorang diri di Taman Lumpini, Samad kembali menimbang-nimbang, akan mengikuti kehendak kedua orangtuanya, menikahi gadis dari Kampung Jawa, atau memburu gadis penari itu untuk menyempurnakan jati dirinya? Tetapi ia tak dapat memungkiri kata hatinya, untuk memburu Dewi Laksmi, gadis penari itu, sampai ke tanah leluhurnya. Keinginan ini tak dapat dihentikannya lagi. Ia merasa menemukan kesempurnaan jiwa pada tarian dan pribadi Dewi Laksmi. Gadis penari itu membukakan diri serupa alur sungai bagi mata air yang memancar dari kedalaman jiwa Samad. ***

2017
S Prasetyo Utomo ialah sastrawan kelahiran 1961. Pada 2007, ia menerima Anugerah Kebudayaan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen Cermin Jiwa. Buku fi ksinya ialah Bidadari Meniti Pelangi (2005).

Uban di Kepala Ibu

Uban di Kepala Ibu ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat
Uban di Kepala Ibu ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
 SORE itu saya menyisir rambut ibu, yang selama ini begitu saya kagumi karena tak pernah sekali pun berubah menjadi uban. Berbeda dengan rambut di kepala saya, yang meski baru sepertiga dari usia ibu sudah mulai ditumbuhi rona putih di helaian dalam rambut.
“Ibu, rambut ibu benar-benar kuat,” kata saya.
“Rambut itu simbol kekuatan perempuan. Ibu juga tak pernah sekali pun mengumbah rambut dengan shampo-shampo sepertimu,” jawab ibu.
“Tapi rambut ibu begitu bersih,” saya kembali memberondong.
Ibu saya terkekeh. Kemudian meraih sisir yang saya pergunakan untuk meluruskan rambut ibu, dia menggelung rambut. Kemudian berbalik menatap wajah saya.
“Yang namanya barang-barang pabrikan itu selalu berefek buruk,” setelah menggelung ibu beranjak dari bangku. Semburat senja membuat rambut ibu berkilau.
Saya akui ibu adalah perempuan kolot yang menolak segala macam kemajuan, kecuali listrik dan televisi yang menayangkan gambar bersuara. Itu pun karena radio sudah tak memberi slot sandiwara. Ibu sejak dahulu hanya membasuh rambutnya dengan tumbukan lidah buaya dan sekam arang. Ibu tak suka segala jenis shampo.
Terbukti benar, bahwa sampai sekarang rambut ibu kuat tak rontok. Hitam tak beruban. Dan legam sempurna. Saya iri kepada ibu. Tapi untuk memulai laku semacam ibu sudah barang tentu terlambat.
“Bawa ini,” ibu menyodorkan dua papah lidah buaya. “Rambutmu sudah kering. Butuh nutrisi dari ini.”
Dari kunjungan sore itu ke rumah ibu, saya beroleh nutrisi alami yang sekiranya mengembalikan keparipurnaan rambut saya.
***
Waktu bergulir dan berganti. Yang tidak berubah adalah kebiasaan saya mencuci rambut dengan produk kimiawi. Lidah buaya dari ibu teronggok di pojokan troli kulkas bersama aneka sayuran. Saya sudah tidak punya waktu seperti ibu, yang meremukkan sendiri lidah buaya untuk rambutnya sendiri. Manusia seperti saya mungkin ditakdirkan untuk takluk pada kepraktisan.
Saya hampir terlupa akan lidah buaya dari ibu, hingga telepon dari ayah yang menjadi pengingat. Ibu sakit.
Saya gegas ke rumah sakit. Dan di sana saya saksikan ibu terbaring lemah di atas dipan yang serba putih. Kepala ibu dibungkus perban. Ada benjolan besar dalam tengkorak kepala ibu. Mau tidak mau, rambut yang paling dikagumi ibu, terpaksa harus dicukur sebagian. Belum lagi pengaruh obat dosis keras yang juga merontokkan keperkasaan akar rambut ibu.
“Rambutmu sekarang yang lebih bagus” kata ibu. “Obat benar-benar merusak rambut ibu. Ibu jadi tak berdaya.”
Ibu berusaha menawarkan kelakar. Kalimat ibu terdengar seperti sebentuk sayatan yang menggerus hati. Saya tersenyum. Namun air mata tak bisa saya hentikan meluruh di pipi. Ada pilu yang pijarnya melebihi kelam rambut ibu.
Sebulan penuh ibu terbaring di dipan. Rambutnya tak sekali pun ditampilkan. Saya tak tahu apakah rambut ibu kembali segar seperti semula atau tumbuh uban. Setelah ibu sembuh, semuanya akan terbuka. Setelah perban lepas.
***
“Rambut ibu sekarang buruk,” ibu berkaca dan menyaksikan rambutnya kini pendek, kusam, dan mulai memutih.
“Tidak apa-apa, ibu. Yang penting ibu kembali sehat,” jawab saya.
Ibu berdeham pelan. Tampak betul kekecewaan di wajah ibu. Meskipun sudah berkali-kali saya ingatkan dan dijawab oleh ibu dengan iya, tapi tak juga kembali semangat ibu yang dahulu. Perkara rambut bagi ibu ternyata lebih penting dari sakit. Sudah saya usulkan untuk menutupi dengan kain agar tak malu, tapi ibu tetap tak mau.
Ibu tak juga membalik. Tubuhnya tak lagi segesit dahulu. Apa-apa harus dibantu oleh ayah. Entah karena penyakit di kepala ibu yang belum tuntas diangkat atau justru karena pikiran ibu perihal rambutnya yang memperparah.
Sering kali saya saksikan ibu duduk di tubir ranjang menghadap jendela kamar. Dia memegang sisir dan selingkar cermin rias. Dia melakukan gerakan menyisir-nyisir. Seolah rambutnya yang panjang masih bersarang di kepalanya. Dua-tiga gerakan menyisir, kemudian ibu tersadar. Rambutnya kini pendek. Dia membanting sisir dan cermin. Kemudian tergugu oleh kesedihan yang menyusup.
Puncaknya, ibu kembali dilarikan ke rumah sakit untuk kedua kali. Tubuh ibu kejang-kejang dan panas tinggi. Mukanya pucat dan memuntahkan kembali apa-apa yang saya suapkan ke dalam tubuh ibu.
“Ibu yang kuat ya,” saya membisikkan kalimat di telinga ibu.
Ibu mengangguk sangat lemas. “Kamu lihat sendiri bukan. Rambut adalah sumber kekuatan perempuan. Simbol perlawanan. Setelah dia rontok, tubuh ibu pun rontok satu demi satu.”
Saya menangis sambil memeluk ibu. Beberapa helai rambut ibu yang pendek dan memutih rontok dan jatuh di paha saya. – g

*) Teguh Affandi, lahir di Blora 26 Juli 1990. Menulis cerpen, esai,dan ulasan buku di berbagai media massa. Memperoleh Green Pen Award Perhutani. Peraih Pena Emas dari PPSDMS Nurul Fikri. Sekarang berdomisili di Jakarta.

Rabu, 26 April 2017

Islamic Quotes Beginning with Letter A

  • “A bad attitude spoils a good deed just as vinegar spoils honey”
    “Muhammad (salAllahu alayhi wasalam)”
  • “A friend cannot be considered a friend until he is tested in three occasions: in time of need, behind your back, and after your death.”
    “Ali ibn abi Talib”
  • “A great many people proceed towards evils on account of receipt of blessings, many people are ruined by praise, and many a man is deceived by Allah’s protection (in concealing vices).”
    “Ibn Mas’ud”
  • “A person has done enough wrong in his life if he simply repeats everything he hears.”
    “Muslim”
  • “A person’s spiritual practice is only as good as that of his close friends; so consider well whom you befriend.”
    “Tirmidhi”
  • “Abandon desire for this world, and God will love you. Abandon desire for others’ goods, and people will love you.”
    “Ibn Majah”
  • “Absorption in worldly affairs breeds darkness in the heart, and absorption in the affairs of the next world enkindles light in the heart”
    “Uthman ibn Affan”
  • “After obligatory rites, the action most beloved to God is delighting other Muslims.”
    “Tabarani”
  • “All women are pearls of great value, but some of us have been deceived into doubting the value of our purity. Pearls are priceless and should be protected and guarded from unworthy eyes.”
    “”
  • “Allaah (Alone) is Sufficient for us, and He is the Best Disposer of Affairs (for us).”
    “The Quran Aal ‘Imraan 3:171″
  • “Allah likes the deeds best which a worshiper can carry out constantly.”
    “Riyad-Salihin”
  • “Allah the Exalted loves him who forgoes worldly life, the Angels love him who rejects the vices, and the Muslims love him who gives up greediness in respect of the Muslims.”
    “Uthman ibn Affan”
  • “Allah’s Generosity is connected to gratitude, and gratitude is linked to increase in His generosity. The generosity of Allah will not stop increasing unless the gratitude of the servant ceases”
    “Ali ibn Abu Talib”
  • “Amongst the signs of success at the end is the turning to God at the beginning.”
    “”
  • “Anas said: The Prophet (salAllahu alayhi wasalam) said: ‘None of you Truly believes until I am more beloved to him than his father, his child and all the people.’ Some other reports add: ‘his life, his wealth and his family.’”
    “Al-Bukhari and Muslim”
  • “And be moderate (or show no arrogance) in your walking, and lower your voice.”
    “The Quran Luqmaan 31:19″
  • “And do good to your parents. If either of them or both of them reach old age with thee, say not to them, fie: nor chide them: and speak to them a generous word. And make thyself submissively gentle to them with compassion, and say, My Lord! Have mercy on them as they brought me up when I was little”
    “Al Qur’an – 17:23, 24″
  • “And fulfil promise, for the promise shall be questioned about”
    “Al Qur’an – 17: 34″

Kutipan Membunuh Cupid

Sesungguhnya yang salah bukan cinta, tapi bagaimana cara seseorang itu memperlakukan cinta. (hlm. 63)
“Ya. Aku lebih memilih menjadi single flower. Menjadi bunga yang mekar sendiri itu jauh lebih cantik ketimbang menjadi bunga bergerombol. Single flower punya kesan mahal dan elegan ketimbang saat digabung dengan bunga lain dalam rangkaian bouquet.” (hlm. 54)
Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Ketekunan itu tidak sia-sia. (hlm. 26)
  2. Perempuan sesungguhnya bisa sepenuhnya mandiri. Tidak harus melulu bergantung pada orang lain. (hlm. 52)
  3. Berprasangka itu yang baik. Ngomong juga tentang hal yang baik-baik saja. (hlm. 59)
  4. Cinta tumbuh karena alasan rasional. Kesepakatan dan komitmen. Bila ke depannya masalah, yang tidak beres adalah manusianya. (hlm. 86)
  5. Keberhasilan atau kesulitan dalam kehidupan adalah hasil dari segala upaya yang kita lakukan sendiri. (hlm. 104)
  6. Kedewasaan kadang diukur dari kemapuan menahan diri untuk tidak mengeluarkan kalimat-kalimat berpotensi menyakiti orang lain. (hlm. 110)
  7. Setiap manusia, punya jatah untuk melakukan banyak-banyak salah sewaktu masih muda, mengambil banyak-banyak keputusan keliru, dan banyak hal buruk lainnya. (hlm. 169)
  8. Pertama-tama, yang harus kamu lakuin adalah membuka diri. (hlm. 182)

Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Cinta hanyalah ilusi. Dan pesta pernikahan adalah tindakan sia-sia, mengambur-hamburkan uang belaka. (hlm. 2)
  2. Pada sebuah hal yang tak kamu sukai, tetap bersikaplah biasa. Tak hanya senyum yang kamu sunggingkan di bibir, tapi hatimu pun harus turut kamu paksa tersenyum. (hlm. 5)
  3. Hidup kadang butuh hal-hal ringan dan bahkan remeh-temeh seperti halnya kopi instan. (hlm. 7)
  4. Kehidupan manusia itu ya begitu; ada saat-saat bahagia, ada masa-masa pahit. Dalam pernikahan, fase pahit bila dihadapi dan dijalani berdua sih nggak apa-apa, tapi kenyataannya kan nggak. (hlm. 9)
  5. Barangkali wanita memang diciptaan dengan blue-print pola pikir sulit dimengerti, suka memaksakan kehendak, dan ujung-ujungnya selalu merasa paling benar. Bila tidak dituruti keinginannya, dia akan merajuk, la ngamuk dan ujung-ujungnya menangis. (hlm. 21)
  6. Kenapa perempuan senang sekali main kode-kodean? (hlm. 23)
  7. Jangan terlalu banyak pertanyaan. Laki-laki itu tak perlu banyak cakap – yang terpenting adalah tindakan. (hlm. 26)
  8. Laki-laki itu manusia yang sulit dipercaya. Seluruh perkataannya, kalau bukan gombal, ya omong kosong belaka. Perhatiin, berapa banyak perempuan digantung, dipacarin lama tapi nggak segera dilamar dan dinikahi? (hlm. 40)
  9. Cinta itu nggak melulu tentang laki-laki dan perempuan. (hlm. 40)
  10. Jangan banyak membuang waktu. (hlm. 70)
  11. Hidup memang tak pernah lepas dari masalah. (hlm. 77)
  12. Semua kisah cinta dengan jurang pembatas yang tajam menuai banyak masalah. (hlm. 77)
  13. Cinta itu menyatukan; tak memandang strata, tak memandang tingkat akademik, tak memandang status social. (hlm. 77)
  14. Sesungguhnya kebahagiaan itu tak abadi. Di balik gelak tawa, tak terhitung berapa kali pertengkaran dijalani, rasa cemburu yang membakar, posesif begitu meningkat, kecurigaan menjadikan hari-hari seperti penuh kerikil tajam untuk dilewati dan sebagainya. (hlm. 99)
  15. Apalah arti doa bila kamu tak melakukan apa-apa? (hlm. 105)
  16. Tindakan orang yang sedang jatuh cinta kadang tidak masuk akal, karena cinta sendiri adalah perihal di luar nalar. (hlm. 180)
  17. Cinta memang rumit. Bila sudah kadung datang, nggak bisa dihindari. Padahal waktunya kurang tepat, orangnya juga sangat salah. (hlm. 186)
  18. Diabaikan oleh orang yang disukai itu berat rasanya. (hlm. 227)
  19. Betapa mencintai seseorang bisa sedemikian menyakitkan. (hl. 231)
 

Kata-kata mutiara islam

  • Ada dua perkara yang jika Anda Amalkan, Anda akan mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat: Menerima sesuatu yang tidak Anda sukai, jika sesuatu itu disukai Allah. Dan membenci sesuatu yang Anda sukai, jika sesuatu itu dibenci oleh Allah.”
    (Abu Hazim)
  • Ada enam perkara, apabila dimiliki oleh seseorang maka telah sempurnalah keimanannya : (1) memerangi musuh Allah dengan pedang, (2) tetap menyempurnakan puasa walaupun di musim panas, (3) tetap menyempurnakan wudhu walaupun di musim dingin, (4) tetap bergegas menuju mesjid (untuk melaksanakan shalat berjama’ah) walaupun di saat mendung, (5) meninggalkan perdebatan dan berbantah-bantahan walaupun ia tahu bahwa ia berada di pihak yang benar dan (6) bersabar saat ditimpa musibah.”
    (Yahya bin Muadz)
  • Ada tiga golongan orang yang paling menyesal pada hari kiamat : (1) orang yang memiliki budak ketika di dunia, ternyata pada hari kiamat budak tersebut memiliki prestasi amal yang lebih baik darinya, (2) orang yang mempunyai harta tetapi tidak mau bersedekah dengannya sampai ia meninggal dunia, kemudian harta tersebut diwarisi oleh orang yang memanfaatkan harta tersebut untuk bersedekah di jalan Allah, dan (3) orang yang mempunyai ilmu tetapi ia tidak mau mengambil manfaat dari ilmunya, lalu ilmu tersebut diketahui oleh orang lain yang mampu mengambil manfaat darinya.”
    (Sufyan bin ‘Uyainah)
  • Akhlak yang paling mulia adalah menyapa mereka yang memutus silaturahim, memberi kepada yang kikir terhadapmu, dan memaafkan mereka yang menyalahimu.”
    (HR Ibnu Majah)
  • Aku belum pernah melihat orang yang paling lama bersedih daripada al-Hasan. Ia berkata, kita tertawa, sementara bisa jadi Allah yang telah melihat amal-amal yang telah kita perbuat berfirman, ‘Aku tidak mau menerima amal-amal kalian sedikitpun.’”
    (Yunus bin ‘Ubaid)
  • Aku jamin rumah di dasar surga bagi yang menghindari berdebat sekalipun ia benar, dan aku jamin rumah di tengah surga bagi yang menghindari dusta walaupun dalam bercanda, dan aku jamin rumah di puncak surga bagi yang baik akhlaqnya.”
    (HR Abu Daud)
  • Aku menangis bukan karena takut mati atau karena kecintaanku kepada dunia. Akan tetapi, yang membuatku menangis adalah kesedihanku karena aku tidak bisa lagi berpuasa dan shalat malam.”
    (‘Amir bin ‘Abdi Qais)
  • Aku tidak suka menjadi seorang pedagang budak. Akan tetapi, menjadi pedagang budak lebih aku sukai daripada aku menimbun bahan makanan sambil menunggu naiknya harga yang memberatkan sesama muslim.”
    (Yazid bin Maisaroh)
  • Amal yang paling baik adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Jika amal itu ikhlas tapi tidak benar, maka tidaklah diterima. Jika amal itu benar tapi tidak ikhlas, juga tidak akan diterima kecuali jika dilakukan secara ikhlas. Ikhlas artinya dilakukan hanya karena Allah. Adapun benar artinya adalah sesuai dengan sunnah (tuntunan dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).”
    (Fudhail bin ‘Iyadh)
  • Apa pendapat Anda bila ada seseorang yang pakaiannya terkena air kencing, lalu ia hendak mensucikannya dengan air kencing pula? Mungkinkah air kencing itu dapat mensucikannya? Tentu saja tidak! Kotoran tidak dapat disucikan kecuali dengan sesuatu yang suci. Begitu pula halnya keburukan yang pernah kita lakukan, tidak akan dapat terhapus kecuali dengan memperbanyak melakukan kebaikan.”
    (Sufyan ats-Tsauri)
  • Apabila akhirat ada dalam hati, maka akan datanglah dunia menemaninya. Tapi apabila dunia ada di hati maka akhirat tidaklah akan menemaninya. Itu karena akhirat mulia dan dermawan, sedangkan dunia adalah hina”
    (Abu Sulaiman Ad Daroni)
  • Apabila Anda berharap agar Allah senantiasa menganugerahkan kepada Anda apa-apa yang Anda cintai dan sukai maka hendaklah Anda senantiasa menjaga dan melaksanakan apa-apa yang dicintai dan disukai oleh Allah.”
    (Salah seorang ahli hikmah)
  • Apabila kalian senang Allah ta’ala dan Rasul-Nya mencintai kalian, maka tunaikanlah amanah kalian, dan benarlah jika berbicara, dan bertetanggalah dengan baik kepada tetangga kalian.”
    (HR Imam Suyuthi)
  • Ayahku pernah mengatakan bahwa apabila ‘Ali bin al-Husain selesai berwudhu dan telah bersiap untuk shalat, tubuhnya akan gemetar dan menggigil. Pernah ada seorang lelaki yang bertanya kepadanya tentang hal itu, maka ‘Ali bin al-Husain menjawab, ‘Celakalah Engkau! Tidakkah kau tahu, kepada siapa aku akan menghadap? Dan kepada siapa aku akan bermunajat?’”
    (al-’Utaibi)
  • Saat engkau melakukan kesalahan, itulah tandanya engkau belajar
  • Deburan ombak yang tiada henti menjadi tanda zikirnya pada sang         Pencipta.Bagaimana dengan kita ?
  • Ilmu yang diamalkan merupakan tanda ilmu tersebut bermanfaat bagi  yang memilikinya. Sudahkah ilmu kita bermanfaat ?

Kutipan Teman Tapi Menikah

“Tembaklah wanita yang tepat di waktu yang tepat. Jangan hanya untuk dijadikan pacar. Jadikan dia teman hidupmu sampai maut memisahkan.” (hlm. 96)

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Akhirnya tahu kenapa wanita diciptakan. (hlm. 45)
  2. Senang bisa berbagi banyak hal dengan lo. (hlm. 50)
  3. Kerja dari sesuatu yang emang bener-bener lo suka. (hlm. 68)
  4. Jodoh itu nggak susah nyarinya. Lihat di sekeliling lo, siapa tahu salah satunya jadi jodoh lo. (hlm. 77)
  5. Waktu berjalan dengan cepat bagi siapa pun yang menikmatinya. (hlm. 105)
  6. Bosan itu pasti, tapi kita jangan pernah saling pergi. Selalu sayang, ya. (hlm. 205)
Banyak selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Lagian anak mana, sih, yang memberikan hamster kepada pacarnya? (hlm. 15)
  2. Pacaran kan gitu-gitu aja. Lama-lama ya bosenlah. (hlm. 28)
  3. Kalo lo emang deket, udahlah jadiin aja. (hlm. 36)
  4. Kalo lo pepet terus anaknya, gimana anaknya nggak ngarep jadian sama lo? (hlm. 36)
  5. Pacar mana yang cuek dengan pasangannya sendiri? (hlm. 45)
  6. Lo nyari pacar apa kabel telepon sih? (hlm. 60)
  7. Ngapain juga kalo udah nggak nyambung malah dilama-lamain? (hlm. 60)
  8. Emang gue emaknya, ngasih restu segala? (hlm. 63)
  9. Kalo emang nggak bahagia, ngapain dipertahanin lagi lama-lama. (hlm. 65)
  10. Ngapain sih pacaran? Mendingan langsung nikah aja nanti. (hlm. 66)
  11. Hati-hati lo, cowok kalo dari awal baik banget bisa jadi jahat banget ke belakangnya. (hlm. 66)
  12. Mana ada cewek yang antar-jemput cowok? (hlm. 68)
  13. Makanya cari pacar. Biar nggak sirik lagi kalo temennya disamperin pacar. (hlm. 71)
  14. Lo ngapain deh pindah jurusan? (hlm. 93)
  15. Ngapain lo jadi cengeng karena cowok kayak dia doang? (hlm. 101)
  16. Jadian atau TTM-an nih? (hlm. 108)
  17. Cowok nggak beda jauh dengan cewek ternyata. Hanya mungkin tak terlihat saja kebiasaan menggosip dan curhat mereka. (hlm. 108)
  18. Belum jadian kali. Kelamaan PDKT lo. (hlm. 119)
  19. Namanya juga cewek, suka ngomong seenaknya. (hlm. 133)
  20. Namanya juga cewek, selalu jadi alasan untuk para cewek di dunia ini memberatkan cowok dengan hal-hal sepele. (hlm. 135)
  21. Mana ada dua orang cewek dan cowok bisa bersahabat tanpa salah satu dari mereka punya perasaan lebih? Rasanya mustahil. (hlm. 140)
  22. Pasangan ideal itu bukan yang nge-chat seharian penuh tapi cuma sekedar nanya ‘lagi apa’, ‘udah makan belum’, dan sebagainya. Emangnya yang kayak gitu nggak basi. (hlm. 205)

Kutipan Semua Ikan Di Langit

Orang zaman sekarang. Kalau tidak percaya pada hal yang sama dengan mereka, kau setan. Tidak boleh berpikir sama sekali, sepertinya. Padahal kan kita disuruh sering-sering berpikir, benar tidak? (hlm. 119)

“Kecoa memiliki hati yang hangat, selalu bahagia dan bebas, dan senang menghibur. Karenanya, kecoa menjadi mahluk baik yang selalu menghampiri orang-orang kesepian, berniat menghibur, meski kadang kebaikan hatinya ditanggapi dengan tidak ramah.” (hlm. 24)

“Tapi menurut saya, kalau Tuhan mau membuat sesuatu dengan tidak sempurna, Dia bisa saja. Dia kan bisa melakukan segala hal; mungkin saja membuat sesuatu dengan begitu sempurna, mungkin sajamembuat sesuatu dengan begitu sempurna. Masalahnya kan manusia saja yang melihatnya dengan cara yang berbeda, membangun opini mereka sendiri tentang apa yang sempurna dan tidak sempurna. Mereka anggap sesuatu ini, anggap sesuatu itu; padahal sebenarnya penilaian mereka itu tidak ada artinya. Sempurna itu hanya konsep buatan, diciptakan karena mereka –kita- suka menilai dan menghakimi satu sama lain. Yah, begitulah manusia!” (hlm. 121)

Kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Tidak semua hal yang kita harapkan bisa didapatkan; itu kata banyak orang yang mencoba menghibur dirinya sendiri. (hlm. 23)
  2. Orang-orang yang percaya bahwa ia bisa menemukan penjelasan di balik keajaiban mungkin tidak percaya ‘keajaiban’ itu ada sama sekali. (hlm. 162)
  3. Ketika kita menyukai sesuatu, tentunya kita ingin hal-hal lain yang kita sukai juga menyukai sesuatu itu, supaya semua hal yang kita sukai bisa selalu bersama-sama tanpa rasa keberatan. (hlm. 193)
Banyak selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Manusia memang kebanyakan kaget. Itu karena mereka punya terlalu banyak perkiraan. Jadi, kalau perkiraannya salah, kagetlah mereka. (hlm. 35)
  2. Orang kurang ajar tidak tahu sopan santun itu selalu bisa bikin orang lain marah. (hlm. 57)
  3. Orang jahat yang tidak menghormati orangtua adalah hal yang sangat dibenci. (hlm. 62)
  4. Menyayangi adalah kegiatan yang menakutkan. (hlm. 64)
  5. Mungkin wanita memang punya lebih banyak kebutuhan untuk dikelilingin teman bicara. (hlm. 84)
  6. Orang aneh sering mendapat julukan dan label; orang yang sangat hebat sering menerima gelar. (hlm. 88)
  7. Masalah manusia banyak amat. Tetangganya banyak oceh, yang diocehi terlalu banyak memikirkan ocehan orang. (hlm. 143)
  8. Orang-orang bilang, tidak ada rasa takut dalam cinta sejati. (hlm. 174)
  9. Kadang-kadang justru mahluk yang tidak hidup memiliki kemampuan lebih baik untuk mencintai. (hlm. 185)
  10. Mahluk tidak hidup, meskipun tidak hidup, punya kehidupan. (hlm. 185)
  11. Manusialah yang membuat setan bertengkar dengan Tuhan. Manusia yang membuat binatang mati, tumbuhan mati, manusia lain mati. (hlm. 207)
  12. Kehilangan seseorang yang kita cintai menimbulkan rasa sakit yang serupa dengan ditusuk seribu jarum di bola mata. (hlm. 241)
  

Kue untuk Paman Lucio


Kue untuk Paman Lucio ilustrasi Farid S Madjid - Suara Merdeka
Kue untuk Paman Lucio ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
Paman Lucio bekerja di Istana. Ia sudah lama bekerja di sana. Raja Rocco sangat percaya padanya. Pekerjaannya menjalankan semua perintah Raja Rocco. Meski begitu, Paman Lucio tetap rendah hati dan tidak sombong.
Setiap hari Paman Lucio sangat sibuk. Pagi hari ia sudah harus di dapur, membantu koki istana memasak menu sarapan untuk Raja. Menjelang siang, Paman Lucio harus mengantar Annie dan Vega, puteri kembar Raja Rocco ke sekolah. Setelah itu, Paman Lucio menemani Raja berkunjung ke desa-desa.
Saat berada di dapur Istana, Paman Lucio sangat senang bisa membantu koki istana memasak. Ia jadi tahu resep masakan istana yang lezat. Mengamati dan mencicipi aneka bumbu dapur. Dan tentu saja menyiapkan makanan yang sempurna untuk Raja.
Paman Lucio selalu ceria saat mengantar Annie dan Vega ke sekolah. Meski terkadang Paman Lucio terkena lemparan bantal saat membangunkan dua puteri cantik itu. Namun, Paman Lucio tetap tersenyum sambil terus membujuk Annie dan Vega agar mau ke sekolah.
Paman Lucio bahagia saat Raja mengajaknya keliling desa. Duduk di atas kereta kuda sambil melihat hamparan sawah yang luas. Melihat orang sibuk berlalu lalang sambil membawa hasil panen. Di sisi kiri dan kanan jalan, Paman Lucio melihat hewan ternak yang dijaga sang penggembala.
Paman Lucio bahagia menjadi bagian keluarga Raja Rocco.
***
Besok, Paman Lucio berulang tahun. Ia ingin merayakannya di kampung. Sudah lama ia tidak pulang ke kampung halamannya.
Pagi ini, Paman Lucio berniat mengajukan cuti pada Raja Rocco. Akan tetapi…
“Paman Lucio, bisakah kau membantuku membuat kue besok pagi? Raja menyuruhku membikin 10 kue untuk pesta. Tetapi koki Sary sedang sakit,” pinta koki Milly.
Paman Lucio berpikir sebentar. Ah, aku kan bisa pulang ke rumah siang harinya, batin Paman Lucio.
“Baiklah, koki Milly. Tetapi aku hanya bisa membantumu sebentar. Mungkin hanya dua jam.”
“Baiklah,” koki Milly terlihat kecewa.
Beberapa menit kemudian, Puteri Annie dan Puteri Vega lari tergopoh-gopoh menemui Paman Lucio di kamarnya.
“Paman Lucio, aku butuh bantuanmu. Guru di sekolahku menyuruhku mencari bunga anggrek berwarna ungu di hutan. Bisakah Paman menolongku?” pinta Puteri Annie.
“Kami bisa kena hukuman kalau bunga anggrek itu tidak terkumpul,” kata Puteri Vega.
“Tetapi, Tuan Puteri…,” Paman Lucio ingin mengatakan sesuatu.
“Besok siang Paman Lucio menemaniku mencari bunga anggrek, ya. Aku mohon, Paman. Paman Lucio tidak ingin aku dihukum, kan?” potong Puteri Annie.
“Baiklah Tuan Puteri,” ucap Paman Lucio sambil tersenyum.
“Terima kasih Paman Lucio,” Puteri Annie dan Puteri Vega menahan tawa sambil berlari meninggalkan Paman Lucio.
***
Esoknya, Paman Lucio sudah berada di dapur saat matahari belum muncul. Paman Lucio memisahkan kuning telur dari putihnya. Menimbang tepung, mencairkan mentega, cokelat, dan mencampurnya dengan gula hingga menjadi adonan kue. Keringat Paman Lucio bercucuran.
Ketika Koki Milly datang, ia terkejut melihat adonan kue telah siap.
“Terima kasih, Paman Lucio. Aku tidak menyangka kau akan menyelesaikan adonan kue sebelum aku datang.”
“Kau hanya perlu memanggangnya dan menghiasnya. Aku pergi dulu Koki Milly,” Paman Lucio melambaikan tangan pada Koki Milly.
Paman Lucio bergegas menuju halaman istana. Di sana, Puteri Annie dan Puteri Vega sudah menunggunya. Sayangnya, kereta istana sedang diperbaiki. Jadi, mereka harus ke hutan dengan berjalan kaki. Padahal Paman Lucio sangat capai. Tetapi demi Tuan Puteri, Paman Lucio tetap bersemangat sambil tersenyum. Mereka berjalan kaki menuju hutan. Baru berjalan beberapa meter, Puteri Annie sudah mengeluh. “Paman Lucio, aku lapar.”
Paman Lucio menghentikan langkahnya. Kemudian membuka tas ransel berisi makanan. “Makan dulu, Tuan Puteri.”
Mereka berhenti di bawah pohon. Paman Lucio menghela napas panjang. Ia khawatir tidak bisa pulang kampung hari ini. Pasti keluarga di kampung sudah menungguku, batin Paman Lucio.
Mereka melanjutkan perjalanan. Baru berjalan beberapa langkah, giliran Puteri Vega yang mengeluh. “Aku capai, Paman Lucio. Kita istirahat dulu.”
Puteri Vega duduk di pinggir sungai. Disusul Puteri Annie dan Paman Lucio.
Matahari semakin tinggi. Paman Lucio mengusap keringat di wajahnya. Mereka melanjutkan perjalanan. Sesekali Paman Lucio menggendong puteri kembar itu bergantian.
“Di mana letak bunga anggrek itu, Tuan Puteri?” tanya Paman Lucio.
“Maafkan kami Paman Lucio. Kami lupa. Ternyata bunga anggrek itu ada di Kampung Emilia,” jawab Puteri Annie.
“Oh, tidak masalah Tuan Puteri. Akan kuantar ke sana.”
Tiba-tiba Paman Lucio tertawa. “Kampung Emilia? Itu kampungku, Tuan Puteri.”
Tak lama kemudian, Paman Lucio bersama Puteri Annie dan Puteri Vega tiba di Kampung Emilia. Ketika tiba di halaman rumahnya, Paman Lucio kecewa karena di rumahnya tidak diadakan pesta seperti yang ia duga. Mungkin mereka lupa hari ulang tahunku, batin Paman Lucio sedih.
Paman Lucio mengetuk pintu rumahnya. Tetapi tidak ada jawaban. Perlahan-lahan Paman Lucio membuka pintu. Tiba-tiba…
“Selamat Ulang tahun, Paman Lucio,” teriak seluruh penghuni rumah. Paman Lucio terkejut. Ia semakin terharu karena Raja Rocco juga datang memberikan kejutan. Ternyata 10 kue yang ia bikin pagi tadi bersama koki Milly untuk merayakan ulang tahunnya.
Mata Paman Lucio berkaca-kaca. Ia tidak menyangka jika Puteri Annie dan Puteri Vega telah menyiapkan kejutan manis untuknya. (58)

Anne Ahira Newsletter

Think & Succeed!
----------------------------------

"Salah satu alasan begitu sedikit
orang yang meraih apa yang
diinginkannya adalah karena kita
tidak pernah fokus; kita tidak pernah
konsentrasi pada kekuatan kita.
Kebanyakan orang hanya mencoba-coba
berbagai macam jalan dalam hidup
mereka. Mereka tidak pernah
memutuskan untuk menguasai suatu
bidang khusus" -  Tony Robbins
Dear Hanihyung,
Masih ingatkah Anda percobaan
membakar sebuah kertas dengan kaca
pembesar ketika masih sekolah dulu?
Kertas itu terbakar setelah kaca
pembesar berhasil memfokuskan sinar
matahari pada satu titik.
Kita pun demikian!
Manusia sebenarnya diciptakan Tuhan
dengan potensi yang tidak terbatas.
Tapi kenyataannya, sedikit saja orang
yang berusaha mencapainya. Kita
memang dapat melakukan apa saja,
tetapi kita tidak selalu dapat
mengerjakan semua.
Membiarkan orang lain memutuskan
agenda Hanihyung dalam hidup ini, membuat
Hanihyung tidak  fokus pada tujuan hidup.
Hanihyung mungkin bisa menjadi orang yang
mengerjakan banyak hal, tetapi tidak
dapat menguasai sepenuhnya.
Sebaiknya hindari menjadi orang yang
mampu mengerjakan beberapa pekerjaan,
tetapi fokuslah pada satu keahlian.
Hanihyung, bertumbuhlah untuk mencapai
potensi maksimal dengan cara:
Fokus pada satu sasaran utama
Fokus pada peningkatan yang
berkesinambungan

Fokus pada masa depan, bukan
masa lalu Fokus pada kekuatanmu dan kembangkan
kekuatan itu. Di sanalah Anda harus
mencurahkan waktu, energi dan sumber
daya Anda. Teruslah bertumbuh dan
tingkatkan diri. Dalam kepemimpinan,
jika Hanihyung berhenti bertumbuh,
habislah Hanihyung.

Talnovo


Talnovo ilustrasi Suara Merdeka
Talnovo ilustrasi Suara Merdeka
Talnovo kembali menyeret karung yang mengempis. Ikatannya mengendur. Pada sisa tenaga, ia berharap ada orang melintas yang bisa memberi tumpangan. Namun rupanya mustahil. Dini hari pada musim dingin seperti ini, orang-orang lebih suka menumpuk jerami untuk menghangatkan tubuh ketimbang keluar rumah dan melekat dengan percikan salju yang sanggup mendatangkan ribuan gigil. Atau memenuhi perapian dengan batu bara. Atau menenggak vodka yang memberi kehangatan.
Sebenarnya jemari Talnovo sudah kaku, hampir tak bisa digerakkan. Namun ia pantang berhenti di tengah perjalanan. Masih beberapa mil untuk mencapai rumah. Rumah dengan jendela-jendela tak pernah dibuka. Hanya ada sekat untuk menandai mana kamar, ruang tamu, dan dapur.
Hampir setiap minggu ia membongkar papan yang dulu jadi pembatas. Ia keranjingan vodka dan judi semenjak sang istri kabur bersama mantan kekasihnya.
Sebagian salju mencair. Makin menyulitkan langkah. Lelehan salju merembes ke dalam sepatu. Mantelnya basah. Pandangannya mengabur. Pucuk hidungnya terasa berat untuk menghirup udara.
Ia teringat, ketika berumur 25 tahun, ia menjadi kesayangan nyonya-nyonya di desa. Ia sanggup membawa berkarung-karung gandum dan selalu memperoleh rumput segar untuk domba milik juragan. Bahkan pada pertengahan musim dingin sekalipun.
Talnovo muda, meski bau domba, jadi incaran nyonya-nyonya yang setiap hari didekap suami tua dan kurik. Mereka mengundang Talnovo ketika para suami di ladang. Setelah membasuh muka dan badan dengan air hangat sehabis menumpuk gandum, Talnovo menghampiri nyonya rumah. Titik-titik air di ujung alisnya makin mendebarkan. Bau keringat Talnovo membuat mereka tambah bergairah.
Bertahun-tahun ia jadi gundik Miroles. Namun sesekali ia memuaskan nyonya-nyonya lain dan meraup ratusan rubel . Makin rajin bertandang, kian banyak rubel ia peroleh. Shara, sang istri, makin rajin bersolek. Shara makin cemerlang. Wajahnya serupa salju yang mencair. Tenang, tetapi begitu bening. Seolah titisan dewi kecantikan.
***
Semalam Talnovo datang ke rumahku. Begitu lama ia bercerita. Miroles memintanya meninggalkan Shara. Janda kaya itu hampir menemui ajal. Ia ingin Talnovo merawat dan menemaninya.
Bagaimana mungkin ia abai pada bibir Shara yang selalu basah? Yang kerap meninggalkan jejak lunyu di pipi? Ia tak sanggup meninggalkan bidadari bermata makin berbinar itu. Ia tak mampu menyaksikan air mata yang akan tiris di pipi Shara yang menirus.
Lantas, aku harus memberi nasihat apa?
Kawanku itu makin timpus. Setiap ke rumah Miroles, ia didesak meninggalkan Shara. Ia terlalu takut membungkam mulut Miroles dengan ciuman. Ia tak mau Shara tahu pergundikannya dengan Miroles atau nyonya-nyonya lain. Barangkali jika tahu, Shara akan meninggalkannya. Barangkali….
Bagi dia, Shara terlalu cantik untuk sekadar berbagi air mata.
Aku kembali ke rumahnya. Perlakuan Shara tetap sama. Hanya Talnovo yang tampak kikuk. Berkali-kali ia salah ucap dan tersedak. Sembari berbisik, Shara menanyakan kenapa sang suami beberapa hari ini bertingkah tak biasa dan sering melamun. Apakah ada yang kurang dari dia? Jika bercakap, suaminya lebih sering menunduk, bahkan membuang muka. Ia tak lagi berlaku romantis. Bahkan Talnovo lupa mengecup keningnya ketika hendak menjemput lelap. Dan, masih banyak hal aneh Shara rasakan.
Aku hanya menggeleng seraya menahan debar jantung yang meledak-ledak ketika mataku berbenturan dengan mata Shara.
***
“Kapan kau tinggal di sini, Nak?” tanya Miroles pada pagutan terakhir. Ia memulai percakapan yang Talnovo benci, bahkan sebelum berpakaian usai percintaan panjang mereka. Lebih-lebih memulai untuk postcoital intimacy . Talnovo jengah.
“Untuk apalagi? Seperti ini sajalah. Aku sanggup memberimu kenikmatan luar biasa bukan?” tepis Talnovo. Ia teringat kembali senyum Shara.
“Aku ingin kau setiap saat di sampingku.”
Miroles mengusap dada Talnovo yang ramping. Jemarinya seketika basah. Tubuh Talnovo penuh keringat. Makin menambah daya pikat. Talnovo berpikir, sebaiknya gegas meninggalkan Miroles. Bukankah uang bukan lagi permasalahan utama baginya? Pundi-pundi uangnya cukup untuk hidup bersama Shara. Ia akan keluar dari desa dan membangun rumah yang layak. Miroles makin menakutkan. Dahi dan mata penuh keriput. Lemak bergelayut di leher, perut, pipi… Ah, Talnovo bahkan tidak sanggup mengungkapkan.
Terkadang tertawanya yang mengikik itu seperti nenek sihir yang kegirangan dan berhasil menyulap saingannya menjadi buruk rupa. Bukan tertawa mengikik menggairahkan seperti beberapa tahun silam. Tawa yang sanggup mencairkan kelelakian Talnovo.
“Apa maksudmu akan pergi?”
“Aku ingin hidup normal. Bukankah kau pernah bilang, aku lebih pantas bersama Shara dan tidak pantas bersamamu? Aku kerap teringat ibuku saat bercinta denganmu. Umur kalian hampir sama, Miroles,” desah Talnovo. Ia menghitung ruas jemarinya, sekadar menutupi hati yang makin gelisah. Ia tidak sanggup menatap air mata Miroles yang hampir tumpah.
“Aku tidak rela kau meninggalkanku begitu saja. Apalagi untuk bersenang-senang bersama Shara dan aku akan membusuk sendirian!”
“Ini telah jadi keputusanku. Siapa pun tak bisa menghalangi. Selamat tinggal.”
Talnovo kembali berpakaian. Meski tergesa-gesa ia masih sanggup mengenali mana celana dalam Miroles dan celana dalamnya. Ia tidak memedulikan Miroles yang bersimpuh di depannya. Miroles meraung memanggil Talnovo. Gegas ia membawa Shara dan seluruh hartanya ke kota.
Ketika Talnovo mencapai halaman rumah Miroles, hendak membuka pintu gerbang, terdengar suara benda jatuh. Ia terkesiap. Miroles dan darah yang mengalir, dari kepala, hidung, telinga, dan seluruh tubuhnya.
Talnovo memejam sesaat. Ia menyeret kaki yang lemas menuju ke rumahku.
***
Aku membuat sup kentang untuk Talnovo. Ia telah menghabiskan berbotol-botol vodka. Giginya gemeletukan. Kakinya bergetar serupa rel kereta yang rapuh.
Aku yakin tidak lama lagi cerita kematian Miroles akan menyebar. Aku membayangkan wanita yang merabun itu bersusah-payah naik ke lantai atas rumahnya. Merangkak menuju jendela yang menghadap jalanan. Barangkali ia tidak menyangka akan mati dan ditinggalkan begitu saja oleh Talnovo. Ia berpikir akan jatuh persis di depan Talnovo yang akan menolong, merawat, dan hidup berdua selamanya. Namun ia salah. Hmmm, kisah nenek yang pilu.
Talnovo tertidur dengan mulut menganga dan memegang botol vodka yang telah tandas. Suara ngoroknya begitu memilukan. Aku bergegas menuju ke rumahnya.
Aku berharap orang-orang belum memberi kabar kepada Shara mengenai kematian Miroles atau perihal Talnovo yang kerap datang ke rumahnya. Jangan sampai para pembantu Miroles menyiarkan kedatangan Talnovo beberapa jam lalu atau betapa sering terdengar lenguhan panjang dari kamar Miroles bersama Talnovo kepada tetangga-tetangga sekitar. Begitu pun tentang tempat tidur yang masih berantakan dan Miroles yang belum sempat memakai celana dalam…
Shara tak ada di rumah. Pintu terbuka lebar dan barang-barang berserakan. Tetangganya menceritakan, Shara telah tahu suaminya menjadi gundik Miroles. Ia marah dan membanting seluruh perabotan. Ia pergi bersama mantan kekasihnya ke kota.
Aku terperangah. Entah kabar apalagi ini. Apa yang harus kuceritakan pada sahabatku?
***
Talnovo memungut puing-puing yang ditinggalkan istrinya. Shara membawa seluruh kekayaannya. Ia tidak meninggalkan serubel pun. Talnovo melarat. Keuangannya sekarat.
Ia memandang salju yang turun perlahan. Tanaman karet di depan rumahnya makin tertimbun. Dulu, ketika salju hanya berupa gerimis seperti ini, ia dan Shara sering menari-nari di bawahnya. Seperti anak kecil menyaksikan salju kali pertama. Kemudian makan bubur gandum yang hangat dengan campuran madu di beranda rumah. Dan, mereka kedinginan. Kemudian berpelukan dengan selimut dari jerami, saling memberikan kehangatan.
Talnovo memeluk lutut di depan perapian. Bahunya berguncang hebat. Ia tak mau hidup tanpa menatap mata Shara. Ia memendam lara.
***
Talnovo terjerembap. Mencium salju yang mencair. Meruapkan aroma tidak biasa. Semua terasa beku. Ia tidak sanggup menggapai karung yang mengempis itu.
Malam memudar. Lipas bergemeretakan di dinding, menebarkan bau bacin begitu menyengat. Gegas aku bangun, membuatkan makanan untuk domba ketika terdengar suara mengembik dari kandang. Lantas kubuka sedikit jendela untuk penerangan. Udara beku seketika menyergap hidung. Dingin merontokkan persendian. Kulongok kandang domba yang muram. Pohon-pohon karet di pot seakan merindukan matahari.
Mataku memicing. Ada lengan terbujur di halaman. Wajah pemilik lengan itu tak tampak. Aku gegas menuju halaman. Aku tahu siapa yang terbaring kaku dari mantel yang dipakai. Itu mantel Talnovo yang dulu dihadiahkan Miroles. Kuusap jemari kawanku yang membiru kepucatan.
Kulongok sebuah karung tak jauh dari jemarinya. Kepala Shara menyembul dengan bercak darah masih menempel-membeku. Aku terdiam. Merasakan gerimis salju bertebaran di wajahku. (44)

Semarang, 2013-2016
*Cerpen ini wujud terima kasih pada novel Rumah Matryona Alexander Solzhenitsyn. Talnovo nama desa dalam novel itu, tetapi dalam cerpen ini, itu tak berhubungan.

  1. Mata uang Federasi Rusia dan Belarus.
  2. Post-coital intimacy.

Santi Almufaroh, alumnus UPGRIS, kelahiran Jepara, 11 Mei 1991. Tulisannya dimuat di Keris, Potret, Sekar Kampoeng, Cempaka, Suara Kampus, Gradasi, Bilik Literasi, Papirus, Pawon, Republika, Suara Merdeka, Jateng Pos.

Amplop Kematian


Amplop Kematian ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat
Amplop Kematian ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
“DIA sudah tidak mau berdoa dengan Tuhannya, katanya malu, sering maksiat dan banyak dosa yang dia lakukan,” kabar yang sudah tersebar luas di kampung Ciwungu ini, menjadi topik utama para warga terutama ibu-ibu. Akibatnya banyak orang yang mengucilkannya, tak sedikit dari mereka juga mencibir dengan kata-kata yang kurang enak untuk di dengar.
Semenjak kabar itu tersebar luas, Masjid Al Hadi sekarang jarang dibuka, karena takut dengan lelaki yang sudah berambut perak itu. Pak Lurah pun ikut disibukkan mencari jalan keluar untuk menyelesaikan kabar yang mengganggu warganya ini.
“Sharman sekarang juga jarang ke masjid,” tutur kang Fikri.
“Rumahnya saja dekat sama lelaki itu, paling ikut ketularan” jawab Kang Jamal dengan nada agak keras.
***
Pagi ini suasana masih terlihat sepi, hampir semua rumah masih tertutup rapat-rapat, kecuali rumah Pak Rasyid yang sudah terbuka dan terlihat sedang asyik duduk di depan rumah sambil menikmati kopinya.
Angin pagi yang mendesis sedikit kencang membuat suasana lebih runyam, kabut hitam yang dari tadi menyelimuti putihnya langit pun ikut ambil bagian. Satu persatu pintu-pintu yang dibicarakan tadi terbuka. Dengan menampakkan wajah-wajah yang tak asing lagi, satu persatu penghuni rumah keluar dari balik pintu dengan wajah yang terlihat berkaca-kaca dan mengalungkan sarung selimutnya di leher.
Seketika suasana yang tadinya terlihat sepi sekarang menjadi ramai, di tambah lagi ibu-ibu yang sedang asyik bergunjing di dekat masjid untuk menunggu tukang sayur lewat. Tak lain halnya yang dibicarakan pastinya lelaki yang katanya yang tak mau berdoa itu.
“Dengar-dengar Pak Rosyid sudah tidak mau berdoa ya?” tutur Bu Inah mengawali pembicaraan.
“Iya, kata suamiku juga begitu, lebih parahnya sekarang jarang ke masjid lagi.” Ibu Lisa ikut ambil suara dan membenarkan omongan Bu Inah.
“Kok bisa seperti itu memangnya kenapa?” tanya salah satu ibu yang belum tau tentang kabar lelaki yang tidak mau berdoa itu.
“Sayur, sayur, sayur” suara tukang sayur membubarkan perbincangan tentang lelaki yang sudah menduda itu. Salah satu pertanyaan yang tadinya belum terjawab , akhirnya menjadi tanda tanya oleh ibu-ibu yang belum mendengar kabar tentang lelaki itu.
Ibu-ibu yang tadinya disibukkan dengan memilih-milih sayuran kini sedikit mengerutkan dahi, Laki-laki yang dibicarakan tadi, tak terduga sudah ikut memilih sayuran di sebelahnya. Entah suara apa yang memanggil lelaki itu hingga cepat ia sampai di dekat orang yang membicarakannya.
“Ini berapa Pak?” tutur Bu Inah pada tukang sayur.
“Semua Rp 9.000, Bu”, jawab tukang sayur dengan logat penjualnya.
Satu persatu ibu-ibu meniru apa yang dilakukan Bu Inah, hingga suasana yang tadinya ramai dengan suara dan cetus ibu-ibu, kini sudah terlihat sepi. Tukang sayur mulai heran dengan apa yang dilakukan ibu-ibu tadi, tak seperti biasanya mereka membeli dan memilih secepat itu. “Biasanya mereka bergunjing atau asyik mengacak-acak daganganku dulu baru pulang,” batinnya.
Melihat kepergian ibu-ibu tersebut, lelaki itu senyum-senyum sendiri, sampai tukang sayur yang ada di dekatnya ikut nyengir tak atau apa yang dibicarakan, dan lucunya lelaki itu tidak membeli sayur. Bahkan, tidak ada sepatah kata pun yang di katakan ketika meninggalkan gerobak dan tukang sayurnya.
***
Hari mulai gelap oleh awan hitam yang dari tadi menyelimuti cerahnya keputihan langit. Sang surya hari ini tidak memperlihatkan wajah cerahnya. Warga yang biasanya di sibukkan dengan profesinya di ladang seakan hari ini menjadi tanggal merah untuk berlibur bersama.
Seketika mendung yang dari tadi menghukum warga untuk berdiam di rumah, tumpah dengan derasnya. Tarian bintik-bintik air yang terjatuh sedikit terlihat dengan berhembusnya arah angin. Atap-atap rumah sudah terlihat basah dengan derasnya hujan, tidak mau ketinggalan, kilat juga ikut serta untuk meramaikan nya.
Terlihat dua anak seberang desa sedang bermain dengan mobil-mobilan yang terbuat dari kayu randu dan terkesan tradisional itu mulai meninggalkan pelataran depan rumah Pak Rasyid. Dengan wajah yang getir dan dua mata yang terlihat menuai kesedihan Sharman berlari di bawah payung hitam dan celana yang menjinjing ke atas agar tidak basah dari cipratan air yang sedikit mengenang di setapak jalan yang dilewati nya.
“Kenapa kamu lari-lari Nak?” tanya Pak Amir dengan agak penasaran.
“Mau ketemu sama Pak Lurah, Pak Rosyid meninggal”
***
Setengah jam berlalu, amplop kematian sudah disebarkan lewat pengeras suara yang ada di masjid, keheningan mulai terasa dengan orang-orang yang baru dibicarakan tadi pagi.
Satu persatu mereka keluar dari balik pintu dengan memakai baju hitam, baju khas kematiannya dan membawa bekal beras dan kantong kematian. Mereka menuju rumah Sharman yang akan mengurus jenazah lelaki itu. Tidak terlihat ada wajah yang menyedihkan ataupun merasa sedih dengan kepergian lelaki yang katanya tak mau berdoa ini. Terlihat wajah mereka dengan santai dan terkesan biasa saja, ibu-ibu yang disibukkan membaca Yaasiin untuk jenazah juga ada yang masih bergunjing dengan kematian yang tak ada sebabnya itu.
Hingga jenazah sudah siap untuk dibawa ke liang lahat. Entah apa yang membuat heran desa ini, seketika terasa banyak sekali yang mengikuti perjalanan jenazah ke liang lahat, lantunan syair Tuhan juga terasa nyaman dilontarkan dari bibir mereka, bau wangi khas kematian terasa menyengat di balik hidung, tidak ketinggalan juga, payung kematian juga mengiringi langkah mereka yang memikul jenazah.
Setengah jam sesi pemakaman selesai, warga mulai pulang dengan sendirinya, tanpa meninggalkan suara yang membicarakan tentang orang tidak pernah mau berdoa itu. Lelaki itu memang telah pergi bersama Tuhannya.– e

*) Penulis, seniman di Garawiksa Institute Yogyakarta.

Selasa, 25 April 2017

Kupu-Kupu Kecil yang Terbelah


Kupu-Kupu Kecil yang Terbelah ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos
Kupu-Kupu Kecil yang Terbelah ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
“Aku bermimpi, saat itu Hafeedz dan teman-temannya bermain di sekitar kelas. Hafeedz mengambil sebatang kapur berwarna, dan mulai menulis sesuatu, terlihat samar tapi aku tahu mereka berbicara dan berkata, “As-Shaab/Yoreed/Eskaat el nizam!” [1] Dan tepat di kata terakhir Eskaat el nizam! tiba-tiba aku terbangun dan tenggorokanku terasa tercekat. Serik!

1 Maret 2011, Kota Deraa
Deraa adalah sebuah kota yang terletak 100 kilometer sebelah selatan Damaskus, di Syria barat-daya. Tepat di siang hari yang terik, sinar mentari terasa sekali membakar kulit Zada, gadis kecil yang masih berusia 11 tahun. Ia pulang dari sekolah bersama kakak laki-lakinya, Hafeedz. Dalam perjalanan pulang, tak biasanya Zada terdiam. Biasanya gadis kecil itu paling cerewet menceritakan tentang kegiatan sekolah dan guru-gurunya yang terlalu banyak memberikan tugas untuk dikerjakan di rumah. Belum lagi kalau ada ujian, Zada pasti akan mengadukan hal itu pada Hafeedz.
Tiap langkah Zada diperhatikan kakaknya. Tak satu pun kata keluar dari mulut Zada. “Kamu sakit?” tanya Hafeedz berdiri di depan gadis kecil itu dan membungkukkan punggungnya sambil melihat apakah adik kesayangannya itu sedang terkena demam atau tidak. Ia lalu meletakkan punggung tangannya di dahi Zada.
Zada menatap mata Hafeedz, ia seolah kembali melihat teman-teman Hafeedz tertawa-tawa dan melontarkan kalimat, “Eskaat el nizam!” berkali-kali. “Kakak Hafeedz jangan pergi!” kata gadis kecil itu yang tiba-tiba memeluk tubuh Hafeedz erat.
“Ada apa sih? Zada habis dimarahin guru, ya?” Hafeedz mengeryitkan alis dan masih mengira adiknya tersebut sedang sakit.
Zada menggeleng.”Kakak jangan ikut-ikutan,” tukas gadis itu menggenggam erat tangan Hafeedz. “Zada tidak mau kehilangan Kakak!”
“Kamu main ramal-ramalan lagi, ya?” tebak Hafeedz. Ia melihat adiknya selalu membawa kartu ramalan tarot yang disimpan di dalam saku seragam sekolahnya.
“Kakak jangan ikut pergi. Diam saja!” katanya sekali lagi. Namun Hafeedz tak menghiraukannya, ia menggandeng tangan Zada dan kembali meneruskan perjalanan pulang ke rumah. Sebentar lagi ia diundang oleh Umar dan Qoish untuk rapat akhir minggu.
“Jangan percaya ramalan, itu syirik. Menyekutukan Tuhan,” kata Hafeedz terakhir kali sebelum ia melempar tasnya ke atas sofa dan lekas keluar lagi untuk bermain bersama teman-temannya yang lain. Gadis kecil itu berdiri di ujung pintu dan menatap dari kejauhan punggung kakaknya yang lebar. Tanpa sadar air mata menetes di pipinya. Lalu ia pun menundukkan kepala.
“Kak Hafeedz, kalau kau ke sana, sebentar lagi akan ada kehancuran yang sangat besar. Dengarkan aku, Kak Hafeedz… Dengarkan aku, huhuhu…!” gadis kecil itu duduk berjongkok sambil menangis terisak-isak. Sesuatu akan terjadi sebentar lagi. Ya, tak lama lagi.

6 Maret 2011
Seorang lelaki bertubuh tinggi besar tengah menyaksikan satu pemandangan yang baginya terlihat mengerikan, memanaskan darah dan adrenalin. Mempercepat detak jantung dan aliran darah yang naik ke ubun-ubun. Lelaki itu adalah seorang mukhabarat, salah satu dinas intelijen atau keamanan yang mengontrol dan mengawasi penduduk dan bertugas mempertahankan rezim dari ancaman-ancaman yang muncul. Ia melihat pemandangan graviti yang menyeramkan, tulisan-tulisan ejekan yang membabi buta untuk pemerintah.
Lelaki itu naik pitam. Ia lalu menghubungi beberapa kawan mukhabarat untuk menindaklanjuti kasus tersebut secara rahasia. Lelaki itu akan mencari nama orang-orang yang menggambar graviti itu.
“Kalian akan menerima akibat dari semua ini!” umpat lelaki itu yang kemudian masuk ke mobil dan meninggalkan sekolah tersebut.
***
Hafeedz beserta 14 teman lainnya tertawa-tawa di atas padang rerumputan. Tangan-tangan mereka masih penuh dengan berbagai macam warna pylox yang sebelumnya mereka buat untuk melukis graviti itu. Tawa mereka terdengar sangat lepas dan tiada dosa. Padahal bahaya besar akan datang sebentar lagi yang akan membuat semuanya tak lagi dapat tertawa. Jangankan tertawa, tersenyum pun mungkin terlalu sulit.
“Hahaha, sebentar lagi kita akan bebas!” kata Hafeedz melonjak kegirangan.
“As-Shaab/Yoreed/Eskaat el nizam!” teriak Ubaid ikut senang.
“Apa rezim Al-Assad akan tumbang? Seperti Khadafi dan lainnya?” tanya Qumar sedikit merasa takut.
“Insya Allah! Rakyat pasti menang!” jawab Hafeedz saat itu. Sedang temannya yang lain terkejut ketika noleh ke belakang dan melihat barisan mukhabarat membawa senjata dan dengan sigap menyergap Hafeedz dan teman-temannya. Para mukhabarat menggiring paksa mereka masuk ke dalam mobil dan menyekapnya. Mulut mereka disolasi dan dibawa ke satu tempat yang mereka tidak tahu karena semua dibuat tak sadarkan diri.
Zada berteriak ketakutan saat ia tengah tidur di siang hari. Ia terus memanggil nama kakaknya sampai menangis. Membuat sang ibu terkejut dan masuk ke kamar untuk mendatangi Zada. Tubuh gadis kecil itu gemetaran. Ia menatap wajah ibunya dan berkata, “Kota ini sebentar lagi… Kota ini sebentar lagi akan berdarah!”

Pukul 8 Malam
Zada berdiri menanti di ujung pintu rumah yang semenjak tadi sengaja dibuka. Beberapa tetangga saling mencari anak-anak mereka yang belum pulang semenjak jam sekolah berakhir. Mereka menduga ada kasus penculikan tapi tidak tahu apa penyebab terjadinya pen culikan. Orang tua Zada pun semakin cemas saat mendengar kabar bahwa tepat di dinding sekolah Hafeedz terpampang gambar graviti mengutuk rezim yang dilakukan oleh Hafeedz beserta teman-temannya. Ibu Zada pun saat itu langsung terkulai lemas dan pingsan.
Ia takut Hafeedz dilukai dan dibunuh.
Gadis kecil itu, Zada, berlari masuk ke dalam kamar dan mengambil kartu ramalnya. Ia juga mengambil korek api dan keluar dari dalam rumah. Zada duduk terdiam dan merenung sesaat. Ramalanku benar, ramalanku benar! ungkapnya dalam hati. Tapi, sisi hati kecilnya berkata, “Untuk apa kamu meramal, jika kau sendiri pun tak mampu mencegahnya. Adanya kau akan membuat resah dirimu sendiri, bakar kartu itu! Bakar!
Pemantik api itu dinyalakan oleh Zada. Ia ambil satu per satu kartu tarotnya dan mulai membakarnya sambil menangis terisak-isak. Kakaknya tak bisa kembali lagi. Kakaknya akan dibunuh oleh mukhabarat! Dalam bara api yang membakar kartu-kartu tersebut, Zada pun berkata, “Karena semua ini sudah terjadi, aku akan berkata, As-Shaab/Yoreed/Eska at el nizam!” Teriakan gadis kecil yang tiada mengenal rasa takut itu kepada orang-orang sekitar.
Bergegas ayahnya membekap mulut Zada dan ia diminta untuk masuk ke dalam rumah. Namun, sebelum gadis itu masuk ke dalam, seseorang dari kejauhan, entah dari mana datangnya, melepaskan timah panas yang diarahkan pada tubuh gadis kecil tersebut. Seorang mukhabarat yang menyamar.
DOR! Tubuh Zada yang kecil itu pun serta merta ambruk di sisi ayahnya, berdekatan dengan kartu-kartu ramal yang tengah terbakar. Api yang membara ditetesi darah merah yang segar. Seekor kupu-kupu kecil yang hendak menyelamatkan dunia, bukan lagi selamat yang didapat namun sebagai awal pencetus pemberontakan yang sebentar lagi akan terjadi. Kupu-kupu yang terbelah itu kini mati. ***

[1] Slogan revolusi yang diteriakkan rakyat di Tunisia, Mesir, dan Libya yang artinya, “Rakyat/ingin/menum bangkan rezim!” Slogan provokatif di dinding sekolah itu pernah ditayangkan di televisi yang menyiarkan revolusi di Tunisia, Mesir, dan Libya.

VANNY CHRISMA W., penulis kelahiran Sidoarjo, 4 Desember 1983. Novel dan buku nonfiksi yang sudah diterbitkan mencapai 39 buku. Di antaranya, Gadis Kecil di Tepi Gaza (sudah cetak ulang 9 kali), Wo Ai Ni Allah, Madah Cinta Shalihah, Maimunah Cinta sang Perawan, Hannah Misteri Gadis Terpasung, Lubna Deja Vu, Purnama untuk Palestine, Secuil Hati di Teluk Eden, Memelukmu di Kyoto, dan Lost on Everest.

Senin, 24 April 2017

Kepergian Rima


Kepergian Rima ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia
Kepergian Rima ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
AYAH Rima terbaring lemah di ranjang. Ia batuk-batuk sejak tadi malam. Sakit paru-parunya kambuh. Kata dokter, penyebabnya karena dulu Ayah perokok berat. Rima dan kakaknya sudah berusaha menyembuhkan Ayah. Obat-obatan tradisional dan obat-obatan dari apotek sudah ia konsumsi. Beberapa terapi pijat juga sudah dijalani. Namun, Ayah tak sembuh total. Kalau sudah kambuh, Rima tak tega melihat napasnya tersengal-sengal.
Ponsel Rima bergetar. “Ya, Bu?” sahut Rima sambil berdiri, lalu terdiam beberapa detik. “Saya tertarik. Tapi keputusannya dua hari lagi. Saya sedang membicarakannya dengan keluarga,” kata Rima sambil melirik Ayahnya.
Saat Rima menutup telepon, Ayah memandanginya. “Sudahlah, Nak. Di Jakarta nasibmu akan lebih baik,” kata Ayah dengan suara terbata-bata. Saat Rima hendak menanggapi perkataan Ayahnya, kakaknya datang bersama anaknya. “Tante Rimaaa!” seru Vita, keponakan Rima yang masih berseragam TK, masuk kamar, lalu memeluknya.
Rima mengelus-elus rambut Vita yang hitam dan panjang, lalu mengecup pipinya. “Gimana, tadi belajar nyanyi lagu apa?”
“Naik Kereta Api, Tante. Kapan aku diajak naik kereta api?”
“Ya, nanti kalau libur Tante ajak ya.”
“Tantemu pasti akan ngajak naik kereta api. Dia udah janji,” kata Rasti, ibu Vita, yang tiba-tiba berada di depan pintu. “Sebelum dia pergi…”
Rima menatap wajah kakaknya, lalu Ayahnya. Ketiganya terdiam. “Emang Tante mau ke mana?” tanya Vita.
“Eh! Tante tadi beli bolu kesukaanmu lho!” kata Rima, mengalihkan pembicaraan. “Ini,” kata Rima sambil mengangkat plastik bening berisi kue, “Vita dan Kakek kan suka kue ini!”
“Horeee!” kata Vita sambil mendekati Rima, mengambil kue bolu itu, lalu beranjak ke luar kamar.
Ayah, Rasti, dan Rima berpandangan. “Aku masih bingung, Kak. Masih ada waktu untuk memutuskan. Senin mereka menunggu.” Hari itu Sabtu, Rima tidak mengajar. Dua hari pada masa lalu terasa begitu enteng, namun saat itu… begitu meresahkan!
“Kami semua,” kata Ayah terbata-bata, “akan baik-baik aja di sini. Sudahlah, pergilah, demi masa depanmu.”
Rima mendesah panjang, memaksakan senyum untuk Ayah dan Rasti.
***
Minggu pagi di taman kota, Rima berlari-lari kecil, memandangi bunga-bunga bermekaran. Ia teringat Donny, pria yang dulu pernah membelikannya kemeja oranye, sehari sebelum ia mengajar pada hari pertama. Awalnya ia tidak yakin kemeja itu cocok untuknya. Warnanya terlalu menyala.
Namun, Rima tak pernah lupa, saat masuk halaman sekolah, satpam yang berada di dekat gerbang tersenyum lebar menyambutnya, menjabat tangannya. Satpam yang baru dikenalnya itu mengucapkan kata-kata yang membuat hatinya seketika damai, “Penampilan Ibu hari ini beda banget. Benar-benar kayak guru!”
Saat ia masuk ke dalam gedung, ibu Kepala Sekolah yang sedang membawa beberapa lembar kertas di tangan sambil mengecek sesuatu di depan pintu sebuah kelas menurunkan kacamatanya ketika menoleh ke arah Rima. “Jeng Rima,” katanya sambil tersenyum lebar, “hari ini manis banget lho! Kemejanya bagus, serasi dengan warna kulitmu!”
Malamnya, Rima menelepon Donny, mengajaknya makan malam. Ia menceritakan pujian yang diterimanya. Donny sering tersenyum, tak banyak bicara, sesekali telapak tangannya mengelus punggung tangan Rima. Saat meninggalkan rumah makan, ia berbisik lembut, “Kamu yang termanis, Rima. Aku sayang kamu.” Pada malam bertabur bintang, Rima memeluk pinggang Donny erat-erat saat ia dibonceng. Sepeda motor melaju, namun Rima tak ingin malam itu berlalu.
Donny yang bekerja di perusahaan alat-alat berat dipindahkan ke Sulawesi oleh atasannya, sebulan setelah malam itu. Dan, kira-kira empat bulan sejak malam itu, Rima mendapat kabar, Donny bertunangan dengan wanita lain. Kepergian Donny dari hidupnya kadang membuat Rima juga ingin pergi, meninggalkan kota Malang. Mungkin di luar kota, ada harapan baru, juga cinta yang baru.
Tangkai bunga itu patah, mahkotanya berhamburan. Rima nyaris tak sadar telah meremas-remas bunga itu. Rima duduk di bangku taman, membayangkan Jakarta, kota yang menantinya dengan sejuta harapan. Di sana, sebuah sekolah bertaraf internasional menunggunya. Ia akan digaji tiga kali lipat dari yang ia terima sekarang.
Namun, hati siapa yang tak tergoda dengan uang?
Memang, Rima tak pernah kekurangan, bahkan masih bisa menabung walaupun sedikit. Ayah masih menerima pensiun. Rima dan Rasti kadang bergantian membuat masakan agak istimewa saat akhir pekan. Dan ia juga tak memikirkan tempat tinggal. Suami Rasti bekerja di Sanggau, Kalimantan, di perusahaan kelapa sawit, biasanya pulang ke Malang setahun atau dua tahun sekali.
Selain itu ada Vita. Karena Rasti bekerja sebagai kasir di sebuah Toserba, Rima sering mengasuhnya. Kadang kakeknya yang mengasuhnya bila Rima ada acara sore hari di sekolah. “Kakek batuk-batuk terus. Kasihan ya, Tante?” kata-kata Vita terngiang-ngiang di benak Rima.
Sanggupkah Ayah menjaga Vita kalau Rasti bekerja? Membayangkan Vita, hati Rima gundah. Gadis kecil itu hampir tiap malam tidur di sisinya. Rima membacakan cerita untuk Vita, kadang cekikikan bersama menonton video-video lucu dari ponsel Rima.
Ponsel di saku Rima bergetar, membuyarkan lamunannya. “Kamu di mana? Batuk Ayah makin parah. Aku mau ke rumah sakit!” kata kakaknya, setengah berseru.
“Oh! Masih di taman. Udah berangkat? Aku balik ke rumah atau langsung ke sana?”
“Ke rumah sakit aja. Aku udah dapat taksi,” kata Rasti.
Rima datang lima menit setelah Rasti, Ayah, dan Vita sampai. Ayah sedang didudukkan di kursi roda, menuju ruang Instalasi Gawat Darurat. Untunglah saat itu sedang sepi. Saat dokter memeriksa Ayah, ketiganya berpandangan. Rasti mengangguk, lalu bersidekap. Matanya berkedip-kedip, lalu memerah. Rima mengelus-elus kepala Vita. Gadis kecil itu tak banyak bicara, wajahnya bengong menyaksikan kakeknya yang terbaring tak berdaya.
“Pak Aryo kelihatannya akhir-akhir ini kurang tidur,” kata dokter, pada Rima dan Rasti. “Saya menyarankan dia dirawat inap dua tiga hari.” Dokter mengatakan hal-hal lain tentang makanan dan obat-obatan, Rasti memerhatikan dengan saksama. Rima melirik Ayah. Sungguh tak dinyana, Ayah sedang menatapnya. Matanya merah.
Rasti menarik Rima ke sebuah sudut, berkata pelan, “Ayah selalu begitu. Dia nggak jujur. Aku tahu, dan kamu juga tahu, sebenarnya dia berat melepasmu ke Jakarta.”
***
Pada hari kedua Ayahnya dirawat, Rima minta izin pulang lebih awal.
“Nanti agak sore saya dan beberapa guru juga akan menjenguk Ayah Jeng Rima,” kata Ibu Betty, Kepala Sekolah.
“Oh, jangan repot-repot, Bu. Ayah saya sakitnya nggak…”
“Sudahlah, Jeng,” potong ibu Kepala Sekolah. “Jam berapa waktu bezuknya?”
Rima memandangi Ibu Betty yang berkali-kali mengatakan kepada Rima, juga orang-orang yang ia jumpai saat bersama Rima, bahwa Rima sudah ia anggap seperti anaknya sendiri. Rima kadang merasa canggung—atau berumur sebaya dengannya—kalau dipanggil “Jeng Rima”. Tapi begitulah Ibu Betty, semua wanita muda dan tua dipanggilnya “Jeng”. Ia mengatakan Rima cekatan, sayang anak-anak, dan—ini yang tidak bisa Rima lupakan—wajahnya sangat manis. “Iya, Bu, nanti saya kabari jam berapa rumah sakitnya buka,” kata Rima.
Saat meninggalkan ruangan Ibu Betty, Rima tiba-tiba teringat ibunya yang sudah tiada. Sosok Ibu jauh berbeda dengan Ibu Betty—lebih kalem, anggun, dan tak banyak bicara. Teringat Ibu, Rima berbalik, kembali ke ruang Kepala Sekolah. Tak terasa air matanya tumpah.
“Lho, Jeng, ada apa?”
Rima terdiam, menunduk. Ibu Betty berdiri, memeluknya. Tangis Rima pun pecah ketika mendekap badannya yang gemuk, juga lebih pendek sepuluh sentimeter darinya. Rima kangen Ibu, tapi mengatakan hal lain, “Saya… takut… ada apa-apa dengan Ayah saya.”
“Lho tadi katanya nggak apa-apa?” kata Ibu Betty sambil melepas pelukan.
Rima mengusap air matanya, mencoba tersenyum. Ia bingung harus mengatakan apa. “Iya, Bu, Ayah saya akan baik-baik aja.”
Tangan Ibu Betty menepuk-nepuk pundak Rima. “Jangan khawatir, Jeng. Ada apa-apa, kontak saya. Saya ini ibumu, jangan takut. Tetap sabar, tetap kuat.”
Air matanya tumpah sekali lagi. Rima memeluk Ibu Betty sekali lagi—lebih erat, hampir semenit.
***
Rima mendapat panggilan telepon ketika berjalan di koridor Rumah Sakit. Ia duduk di kursi panjang setelah menelepon, mengatur napas. Sampai di kamar rawat inap, Rima menyaksikan Ayahnya tertidur pulas. Dua jam di situ, Ayah masih tertidur.
Menjelang siang, Rasti dan Vita datang. Ayah dan Rima sedang bercakap-cakap. Wajah Vita yang murung seketika berubah cerah ketika melihat kakeknya tersenyum, lalu berkata, “Halo, Vita…”
Empat orang itu bercakap-cakap dengan riang sambil menyantap kue bolu.
Kepergian Rima tertunda entah sampai kapan. Mungkin ia tidak akan pernah pergi. Mungkin juga, ia baru akan pergi setelah Ayah pergi—untuk selamanya.

2017
Sidik Nugroho, lahir 24 Oktober 1979. Ia menulis cerpen dan novel. Oktober 2016 ia tampil di Ubud Writers and Readers Festival, Bali. Novelnya Tewasnya Gagak Hitam (2016) lolos seleksi program penerjemahan yang dihelat Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan (PPSDK). Ia tinggal di Pontianak, Kalbar.

Meninggalkan Semut di Masjid


Meninggalkan Semut di Masjid ilustrasi Yudixtag - Tribun Jabar
Meninggalkan Semut di Masjid ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar
HUJAN turun.
Butiran-butiran air sebesar biji jagung menghajar genting dan ranting, pohon dan kebun, dan memaksa orang-orang menyembunyikan diri mereka dalam rumah masing-masing. Angin buruk berembus. Tiang listrik di ujung gang bergoyang-goyang. Tiga dahan besar pohon trembesi di pinggir jalan patah dan melintang dari tepi ke tepi yang lain. Itu adalah salah satu sore terburuk di sepanjang tahun 1987. Di antara guyuran hujan dan deru angin yang semakin menggila, samar-samar, terdengar entakan kaki yang diayunkan dengan berat. Itu adalah langkah dari seorang lelaki dengan jaket tebal usang. Ia mengenakan fedora dengan tiga tambalan dan kacamata hitam. “Tak ada tempat berteduh,” ia menggumam. Dan ia terus berjalan. “Seperti juga tak ada tempat sembunyi dari maut jika memang waktunya sudah tiba,” ia kembali menggumam, kali ini sambil mengetatkan jaketnya. Di balik jaket itu, seekor semut diam dalam saku bajunya, basah tapi aman. Seekor semut yang ia pungut dari jatuhan dahan trembesi. “Tapi waktunya belum tiba bagimu.”
***
EMPAT puluh hari setelah Kiai Haji Alim Alimin wafat dalam damai pada usia sembilan puluh satu, Ali si bilal bersumpah bahwa ia melihat sesosok makhluk aneh tengah duduk dekat pengimaman masjid wakaf yang ditinggalkan Kiai Haji Alim Alimin. “Tapi ia bukan manusia,” ujar Ali si bilal dengan napas tersengal. “Sungguh, demi Allah,” lanjutnya.
Mak Ijah si pemilik warung mengangsurkan gelas berisi air putih yang segera ditandaskan Ali. Ia tampak masih kesusahan mendapatkan kendali penuh atas dirinya sendiri. Hari itu Jumat. Dan tak ada satu pun penduduk di sana yang ingat menunaikan salat Jumat hari itu.
“Seperti kalian tahu, aku datang pukul setengah sebelas seperti biasanya untuk menyiapkan segala keperluan salat Jumat. Tidak ada yang aneh. Pintu depan masih terkunci. Pagar tertutup tapi tidak dikunci. Semua seperti biasa. Aku masuk seperti biasa. Aku membuka pintu depan seperti biasa. Dan aku melihat makhluk itu. Aku melihat makhluk itu.”
“Seperti apa makhluk itu?” seseorang bertanya.
“Penuh bulu. Dan besar. Dan kakinya banyak. Aku tak tahu jumlah pastinya. Tapi banyak. Dan ia sangat hitam.”
“Apa kau tidak bermimpi?”
“Aku bersumpah. Demi Allah.”
Beberapa orang kemudian memeriksa masjid itu. Mereka kembali ke warung Mak Ijah beberapa saat kemudian dan mengatakan tak melihat makhluk seperti yang diceritakan Ali si bilal. Tapi bagaimanapun, Ali si bilal adalah satu dari sedikit orang yang tak memiliki riwayat suka membual. Maka sesuatu yang tidak beres pasti sedang terjadi. Kerumunan orang semakin banyak. Mereka-mereka yang hendak ke masjid berhenti di warung Mak Ijah dan melibatkan diri dalam kerumunan. Sebagian dari mereka yang heran kenapa tidak ada azan siang itu segera mendapatkan jawaban. Namun ingatan mereka tentang kewajiban menunaikan salat Jumat benar-benar muksa. Apa yang terjadi dengan Ali si bilal, ternyata, lebih menarik dari sekadar ancaman dosa dan neraka.
***
KIAI Haji Alim Alimin tak pernah terdaftar sebagai jemaah haji. Namun tak satu pun orang yang meragukan bahwa orang suci itu setiap tahun, pada musim haji, berziarah ke Tanah Suci dan menunaikan semua rukun haji. Banyak orang—bukan satu atau dua—yang bersaksi bahwa mereka bertemu dengan Kiai Haji Alim Alimin di sana. Meski pada waktu yang bersamaan, orang-orang di sekitar tempat tinggal Kiai Haji Alim Alimin juga bersumpah bahwa sang kiai tidak pergi ke mana-mana. Itulah yang kemudian membuat orang-orang yakin bahwa Kiai Haji Alim Alimin memiliki karomah yang membuatnya bisa berada di banyak tempat dalam waktu berbarengan. “Beliau hanya perlu membatin ingin pergi ke mana, dan hanya sekedipan mata, beliau sudah berada di tempat itu.”
Begitulah kabar beredar. Dan begitulah ia mendapatkan gelar kiai haji meski ia tak menyukai orang-orang memanggilnya seperti itu.
Itu bukan cerita satu-satunya tentang kehebatan Kiai Haji Alim Alimin. Pada tahun 1984 yang dikenal dengan tahun kesuraman lantaran wabah tikus menghancurkan lahan pertanian dan menjarah isi dapur orang-orang dan pemerintah kabupaten menyerah lantaran segala upaya yang dilakukan untuk membasmi hama itu tak membuahkan hasil, Kiai Haji Alim Alimin konon berbicara dengan seekor tikus. Kemudian, bersama tikus itu, Kiai Haji Alim Alimin pergi ke sebuah gorong-gorong. Di situlah kabarnya raja tikus tinggal. Kiai Haji Alim Alimin, dengan karomahnya, mengadakan perundingan dengan si raja tikus. Dan keesokan harinya, tak ada lagi tikus yang berkeliaran.
“Beliau tidak hanya bisa berbicara dengan binatang, melainkan dengan tumbuhan dan jin, juga angin.”
“Seperti Kanjeng Nabi Sulaiman.”
“Benar-benar beliau orang suci.”
“Orang suci yang sederhana.”
***
KIAI Haji Alim Alimin hidup selibat sampai malaikat maut menjemputnya. Orang tuanya merupakan juragan tanah dan sang kiai adalah ahli waris tunggal dari kekayaan yang melimpah. Setelah orang tuanya meninggal, Kiai Haji Alim Alimin menyedekahkan kekayaannya untuk panti asuhan, anak-anak yatim di sekitar tempat tinggalnya, pembangunan jalan, perbaikan rumah warga yang kurang mampu, menyekolahkan anak-anak jalanan, dan hal-hal lain semacamnya. Rumah warisan yang ia tempati kemudian ia pugar menjadi masjid dan ia wakafkan. Di samping masjid, dibangun bilik kecil tempat Kiai Haji Alim Alimin tinggal. “Aku hanya meminjam bilik ini saja. Ini bukan milikku,” ujar Kiai Haji Alim Alimin berkali-kali.
“Beliau melakukan semua itu agar perhatiannya sepenuhnya tercurah kepada ibadah belaka,” kata orang-orang.
***
DALAM hidup, seseorang hanya perlu berjalan. Kadang berjalan dalam arti kiasan. Kadang berjalan dalam arti harafiah.
Dan begitulah. Hari itu, ketika langit mendung dan bibit angin mengabarkan badai, Kiai Haji Alim Alimin, tanpa mengerti benar apa alasannya, berjalan ke ujung gang di saat orang lain bersiap menyambut hujan dahsyat dengan menutup pintu dan meracik wedang hangat. Ia mengenakan jaket tebal usang satu-satunya yang ia miliki, fedora dengan tiga tambalan, dan kacamata hitam. Dari ujung gang, ia berbelok ke arah jalan raya. Ia menunggu sesaat sebelum badai benar-benar tiba. Dan tak lama kemudian, terdengar derak dahan trembesi besar.
Kiai Haji Alim Alimin berjalan ke arah jatuhan dahan itu. Langit semakin gelap. Ia membalik dedaunan, menyingkirkan ranting-ranting kecil, menyingkap rerimbunan. “Kemarilah, makhluk kecil.”
“Jangan sentuh aku,” makhluk itu menjawab. Suaranya tipis dan tajam. “Aku tak tahu lagi apa yang aku cari.”
“Ya, hampir semua makhluk tak tahu apa yang mereka cari.”
“Kau tak tahu rasanya menjadi makhluk hina.”
“Semua makhluk itu hina. Hanya Allah yang mulia.”
“Kau makhluk mulia. Manusia makhluk mulia. Kau tak tahu rasanya menjadi aku. Kau tak tahu.”
“Kau juga tak tahu rasanya menjadi manusia. Kemarilah.”
Makhluk itulah yang mendekam dalam saku Kiai Haji Alim Alimin di salah satu sore terburuk sepanjang tahun 1987 itu.
***
TIDAK ada yang tahu bagaimana Kiai Haji Alim Alimin menghadapi malaikat mautnya. Orang-orang membuka pintu bilik setelah mereka tak mendapati Kiai Haji Alim Alimin keluar dari sana selama tiga hari. Bau harum menyeruak ketika pintu itu dibuka.
“Masya Allah.”
“Innalillahi.”
“Benar-benar beliau orang suci.”
Bagian di mana tak ada yang tahu bagaimana Kiai Haji Alim Alimin menghadapi malaikat mautnya tak sepenuhnya benar. Si semut, yang semenjak salah satu sore terburuk sepanjang tahun 1987 senantiasa mengikutinya, yang mendengar semua yang dikatakannya, mengetahui benar bagaimana si orang suci mengeluh tiga kali ketika nyawanya sampai di tenggorokan, lalu mengucap syahadat dengan payah, lalu terpejam selamanya, dengan sesungging senyum di bibir. Beberapa menit sebelum saat-saat menyedihkan itu, si kiai berkata kepadanya, “Sering-seringlah ke masjid ini. Tapi maaf, kau tak bisa tinggal di bilik ini. Aku hanya meminjamnya, dan karenanya, meski aku ingin, aku tak bisa mewariskannya kepadamu. Dan kau tak perlu terus-terusan menyembunyikan dirimu dalam wujud seekor semut.”
***
“ADA jin di masjid itu, ada jin. Pasti,” ucapan itu keluar setelah empat belas orang—dalam jangka waktu sebulan setelah Ali si bilal tersengal-sengal di warung Mak Ijah—mengutarakan bahwa mereka melihat sesosok makhluk aneh tengah duduk dekat pengimaman.
“Jangan-jangan itu roh Kiai Haji Alim Alimin.”
“Bisa saja.”
“Hush… jangan ngomong sembarangan… beliau orang suci.”
“Loh, bukannya di makam para wali dan para kiai juga sering penampakan seperti itu? Itu tandanya mereka masih bersama kita, menjaga kita. Itu berkah. Kita semestinya melantarkan doa-doa kita melalui beliau, biar lebih cepat dijawab.”
***
BERTAHUN-TAHUN kemudian, ketika luas masjid wakaf Kiai Haji Alim Alimin telah bertambah tiga kali dari ukuran semula dan jemaah yang datang seringkali meluber hingga trotoar jalan raya dan banyak hotel serta restoran berdiri di sekitarnya, seekor semut merayap di pinggir selokan. Ketika ia mendengar orang-orang berdoa dan meminta berkah serta dimudahkan hajatnya kepada hadratus syaikh Kiai Haji Alim Alimin, ia merasa matanya basah.
***

Dadang Ari Murtono lahir dan tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Buku ceritanya yang sudah terbit berjudul Wisata Buang Cinta (2013) dan Adakah Bagian dari Cinta yang Belum Pernah Menyakitimu? (2015). Buku puisinya berjudul Ludruk Kedua (2016). Saat ini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat dalam kelompok suka jalan.