
Dudu baru menyadari kalau pagi tadi, sebelum berangkat sekolah hanya menyentuh satu ubi rebus saja untuk mengganjal perutnya. Sebenarnya ia bisa saja mengabiskan ubi rebus itu saat Ibunya menyajikannya di meja. Tapi ia ingat jika ubi rebus itu bukan hanya untuk dirinya saja. Masih ada Ayahnya yang bekerja sebagai sol sepatu keliling dan Adit, adiknya yang masih sekolah di kelas dua. Dan makan ubi rebus itu sebagai sarapan mereka.
Ternyata hujan hari itu belum juga reda. Dudu bingung. Jika ia harus berlama lagi menunggu nanti rasa laparnya makin menjadi-jadi. Bila ia harus menerjang hujan saat itu matanya terus melihat ke bawah. Tidak lain melihat sepatunya yang sudah hampir mirip mulut buaya. Padahal belum begitu lama sepatunya itu dijahit oleh ayahnya.
Saat Dudu menunggu hujan reda ia tidak sengaja melihat Pak Januar, si penjaga sekolah itu memakai payung. Ia baru usai mengantar kepala sekolah ke mobilnya. Akhirnya Dudu pun memberanikan diri untuk meminjam payung.
“Pak Jan, boleh aku pinjam payungnya?” tanya Dudu pada Pak Januar.
Pak Januar tidak langsung menjawab. Matanya melirik ke gudang sekolah.
“Begini karena ini payung inventaris sekolah lebih baik kamu cari saja di gudang. Kali saja ada payung untuk kamu bisa pulang. Jika nanti ada itu buat kamu saja,” tukas Pak Januar.
Dudu yang mendengar ucapan Pak Januar pun terkejut. Ia tidak menyangka jika Pak Januar berkata seperti itu. Ia pun langsung menuju gudang sekolah di samping kantor guru.
Tidak lama Dudu pun sudah berada di gudang sekolah. Ia akhirnya mendapatkan payung yang dibutuhkannya. Payung itu masih bisa digunakan olehnya. Walaupun ada yang bolong sebagiannya itu bisa ditambal.
Payung itu sekarang sudah ada di tangan Dudu. Ia ternyata tidak pulang dulu. Tapi sebelum-sebelumnya ia sudah izin pada Ibunya jika telat pulang dari sekolah berarti mencari uang. Dan Ibunya pun mengizinkannya. Seperti saat itu ia mengojek payung.
Satu, dua dan tiga bahkan sampai lima orang sudah Dudu dapati menjadi penerima jasa ojek payungnya. Ia mengojek tidak jauh dari sekolah. Akhirnya karena sudah kedinginan dan rasa laparnya begitu kuat ia pun berhenti. Ia lalu menuju sebuah warung nasi dan membeli beberapa bungkus. Ia tahu Ibunya tidak akan masak banyak.
Usai itu Dudu keluar dari warung nasi. Tapi saat ia keluar matanya melihat ada sebuah dompet jatuh. Ia lalu mengambilnya dan melihat tanda pengenal pemilik dompet itu.
Dompet itu akhirnya Dudu simpan. Besok ia akan mengembalikan pada pemilik dompet itu. Biar bagaimanapun dompet itu bukan miliknya walau di dalamnya banyak uang dan kartu-kartu penting lainnya. Ia harus mengembalikan pada pemiliknya secepatnya. Esokkan harinya, Dudu pun menepati janji itu. Ia akan mengembalikan dompet itu pada pemiliknya. Usai pulang sekolah ia akan mengembalikannya.
Tidak menunggu lama Dudu pun sampai di rumah pemilik dompet itu. Karena alamatnya tidak jauh dari sekolah. Dengan rasa sungkan Dudu pun memencet bel rumah pemilik dompet yang ditemukannya itu.
Beberapa kali Dudu memencet bel tapi si pemilik rumah belum juga keluar. Dudu pun putus asa. Ia pun meninggalkan rumah itu. Namun sebelum Dudu meninggalkan rumah itu tiba-tiba ada suara yang memanggilnya. Ternyata pemilik rumah itu keluar juga.
“Hei, Nak, tadi kamu yang memencet bel, ya?” tanya lelaki muda berkacamata dan berlesung pipit pada Dudu.
“Iya, Om!” pungkas Dudu. “Saya mau mengembalikan dompet Om yang saya temukan di jalan. Apakah ini dompet, Om?” lanjut Dudu.
“Oh, iya, ya,” seru lelaki itu.
“Pantas saya cari-cari tidak ada. Ternyata jatuh di jalan,” ucapnya.
“Makanya, Om, saya mau mengembalikannya. Saya juga minta maaf kalau mengganggu istirahat Om.”
“Oh, nggak kok. Ayo masuk dulu,” lelaki itu akhirnya menyuruh Dudu masuk. “Oya, nama kamu siapa?”
“Terima kasih, saya di sini saja, Om. Saya tidak bisa lama-lama karena ibu saya lagi sakit,” Dudu berkata yang sebenarnya. “Nama saya Dudu, Om.”
“Ya, sudah kalau begitu. Ini ada uang untuk Dudu jajan. Anggap saja sebagai imbalan Dudu menemukan dompet Om. Bagaimana?” bujuk lelaki itu.
Dudu sempat diam sejenak. Ia hampir tergoda dengan imbalan yang diberikan lelaki itu yang cukup lumayan banyak. Jika untuk membeli sepatu baru mungkin bisa. Tapi ia ingat kembali pesan ibunya jika menolong apapun harus ikhlas.
Dan Dudu pun ingin membuktikan ucapan ibunya itu. Ia harus ikhlas menolong tanpa pamrih. “Oh, tidak, Om! Terima kasih. Saya ikhlas kok, Om!” seru Dudu lagi.
Lelaki itu takjub dengan sikap Dudu. Tapi matanya tidak sengaja melihat sepatu mulut buaya Dudu yang sedang mangap lebar.
“Kalau tidak mau bagaimana kalau sepatu mulut buaya Dudu itu Om bayar. Nanti Dudu ganti yang baru. Jadi Om tidak memberi secara cuma-cuma. Nah, Dudu harus terima dong. Apalagi ini rezeki Dudu. Nggak boleh lho menolak rezeki,” bujuk lelaki itu kembali sambil tersenyum.
Dudu sesaat terdiam. Ia berpikir sejenak. “Ya, sudah Om kalau memang mau beli sepatu mulut buaya saya,” Dudu pun akhirnya mengikhlaskan sepatunya dibeli. Ia pun melepaskan sepatu mulut buayanya.
“Ini sepatunya, Om!” Dudu memberikan sepatunya.
Lelaki itu pun langsung menerima sepatu sambil memberi uang.
“Ini uang hasil beli sepatu Dudu. Sekarang Om balikin lagi sepatu ini ke Dudu,” lelaki itu ternyata mengembalikan sepatu mulut buaya Dudu.
Dudu termangu. Ia tidak menyangka jika lelaki yang di hadapannya sangat baik padanya.
“Lho, kok om balikin lagi?”
“Nggak apa-apa, kok. Lagi pula sepatu kamu kecil mana muat Om pakai!” ucapnya.
“Oh, iya, ya! Kalau begitu terima kasih banyak ya Om atas kebaikannya,” ujar Dudu.
“Iya, sama-sama. Jangan lupa beli sepatu baru ya untuk mengganti sepatu mulut buayamu itu. Ngeri lho melihatnya,” hibur lelaki itu.
Dudu pun tersenyum. Akhirnya karena dompet yang ia temukan di jalan kini berbuah balasan. Apalagi nanti ia akan menukar sepatu mulut buayanya itu dengan yang baru. Lagi-lagi Dudu tidak sabar untuk membelinya. Setelah itu Dudu akan membelikan ibu obat untuk menyembuhkan penyakitnya.
Dudu benar-benar beruntung hari itu. Sudah bertemu om berhati malaikat dan ia juga bisa mengganti sepatu mulut buayanya itu dengan yang baru. Dudu jadi tidak sabar untuk menggantinya. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar