Daftar Blog Saya

Kamis, 02 November 2017

Bunga Kering

Terkadang hati mencoba menutupi apa yang paling mengganggu pikiran seseorang.
Berpura-pura tak merasa, berpura-pura tak terganggu.
Namun, segala kepura-puraan akan sia-sia pada akhirnya.
Yang dirasa tetap akan terungkap, yang menganggu tetap akan diucap.
Aku sudah menjalani setengah perjalananku di sini. Hidup sendiri demi sebuah ambisi besarku, berjuang dengan semua kekuatan yang aku miliki untuk membuktikan bahwa aku mampu dan pantas mendapatkan mimpiku. Sebentar lagi, semua usahaku akan terbayar, impianku akan tercapai dan ambisiku akhirnya terpenuhi. Aku masih ingat ketika pertama kali akan melakukan perjalanan ini, dengan segala keegoisan dan sifat keras kepalaku, aku mengorbankan semua yang sudah aku miliki, aku mengabaikan semua orang terdekatku, aku hanya menuruti diriku sendiri.
Pengorbananku termasuk meninggalkan orang yang telah lama mendampingiku, berada di sisiku bahkan di masa-masa paling sulit dalam hidupku. Seseorang yang tanpa ragu mendukung semua impianku bahkan ketika impian itu membuatku harus meninggalkannya. Seseorang yang selalu aku sebut dalam doaku setelah nama kedua orangtuaku. Sebuah pilihan yang sangat berat untukku di kala itu. Namun, ada keyakinan dalam diriku yang berkata takdirku adalah miliknya dan begitu juga takdirnya adalah milikku. Keyakinan itu yang menguatkanku hingga hari ini, menenangkan hatiku yang terus memupuk rindu padanya. Jikapun keyakinan itu keliru, pada akhirnya aku hanya mengharapkan kebahagiaan melingkari kami berdua sebab siapa yang tahu soal takdir? Terlepas dari semua itu, aku bersyukur pernah menjalani hari-hari indah bersamanya, kini dia adalah bagian dari perjalananku yang sudah lalu, yang tersimpan rapi bersama ingatanku tentang rumah.
Saat ini, aku hanya ingin memfokuskan diriku pada perjalanan ini. Perjalanan yang tidak hanya memberikanku kehidupan baru namun juga memori-memori baru yang perlahan-lahan menggantikan memori lamaku. Setengah perjalanan sudah berlalu dan hingga hari ini hanya kebahagiaan yang mengisi hari-hariku di sini. Semua berjalan lancar tanpa hambatan yang berakibat fatal. Aku pun sangat mensyukurinya dan berharap semua akan tetap seperti ini hingga tiba saatnya aku pulang.
***
Aku baru saja terbangun saat membaca sebuah pesan dari teman lamaku di rumah. Ia memberi kabar tentang seseorang yang tak kuizinkan hadir kembali ke hidupku. Sakit, katanya dalam pesan itu. Sangat mengkhawatirkan, begitu yang dijelaskannya dan membutuhkan bantuanku. Seketika rasa kantukku hilang, berganti perasaan aneh yang menyelimuti hatiku. Aku membacanya sekali lagi, kemudian aku menghapusnya. Aku tidak peduli kataku pada diriku sendiri. Aku tak pernah lagi mencari tahu tentang orang itu. Sedikitpun tak ada celah yang kubuka untuk sekedar bertukar kabar. Barulah pagi ini, aku mendapat kabar tentangnya. Kabar yang sama sekali tak kuharapkan. Namun, aku putuskan untuk melanjutkan hariku seperti biasa. Aku memilih untuk tidak peduli sedikitpun.
Siang hari saat aku sedang beristirahat di kafetaria, ponselku berbunyi, sebuah panggilan video dari temanku yang aku abaikan pesannya tadi pagi. Aku memeriksa jam tanganku, sekarang jam 12 siang di Jakarta. Pantas saja, dia menelpon.
“Hei, aku menganggumu tidak?” katanya sesaat setelah tersambung.
“Tidak kok mba, aku lagi jeda” Jawabku sambil tersenyum.
“Kenapa pesanku tidak dibalas?” Menanyakan pesannya tadi pagi.
“Belum sempat, maaf. Hari ini, kelasku penuh dari pagi” Jawabku sambal menghela napas.
“Dia benar-benar membutuhkan bantuanmu, cuma kamu yang bisa bantu dia saat ini” Dari raut wajahnya aku melihat kekhawatiran yang mendalam.
“Tapi aku gak bisa, aku jauh di sini. Lagipula, kenapa harus aku? Keluarganya lebih memungkinkan untuk membantunya” Aku berusaha menjelaskan kondisiku.
“Aku gak tahu sejauh apa hubungan kalian dulu. Aku gak tahu, seberapa membekasnya kamu di hatinya. Sampai-sampai di kondisinya sekarang ini, cuma nama kamu yang bisa dia sebut” Dia menjelaskan dengan nada bicara yang penuh pengharapan.
“Kalau begitu, minta saja orang lain berpura-pura jadi aku” Dengan nada sedikit kesal aku mencoba memberi solusi yang tak sempat aku pikirkan.
“Hei, jangan begitu. Bagaimana jika ini seperti permintaan terakhirnya? Bagaimana jika ini terakhir kali kamu menolongnya?” Dia masih dengan sabar membujukku.
“Mba, yang kamu sebut kali terakhir itu sudah lampau bagiku. Aku sudah melewati terakhir kali itu dan saat itu aku minta agar dia tetap menjauh, jangan pernah kembali lagi. Lagipula sudah ada yang lain yang mendampinginya saat ini kan?” Kataku dengan memberi penekanan di akhir kalimat.
“Dan lagi, kondisiku gak memungkinkan untuk pulang. Jadwalku sedang padat karena sebentar lagi ujian dan mulai penyusunan tesis” Aku menambahkan.
“Hei dengar, semua orang di sini berharap sama aku untuk bisa membawa kamu ke sini. Karena yang punya kontakmu dan masih bisa menghubungimu, cuma aku. Dan aku berharap kamu bisa bantu. Kalau kamu gak mau melakukan ini untuk dia, lakukan untuk keluarganya, mereka pernah jadi bagian hidupmu juga dan lakukan untuk kamu juga, untuk ketenangan hati kamu” Dia masih berusaha membujukku agar mau menolong orang itu.
“Ketenangan hatiku ada di sini mba. Bukan di sana. Maaf, aku belum bisa bantu apapun selain doa. Semoga dia cepat pulih. Aku pamit dulu mba, ada kelas lagi nih. Terimakasih untuk kabarnya ya” Akhirnya aku memlih untuk menyudahi obrolan dengannya.
“Oke, nanti malam aku hubungi lagi ya. Tolong kamu pikirkan baik-baik, jangan lagi menyimpan dendam. See ya
Sambungan telepon sudah terputus, namun aku masih menatap layar ponselku. Seketika sekujur tubuhku lemas, rasa sakit itu kembali lagi, ingatan-ingatan tentang dia yang telah lama aku abaikan. Dua tahun sudah berlalu sejak aku memintanya untuk tetap menjauh dariku, membebaskan aku dari bayang-bayangnya dan membiarkan aku memilih orang lain yang lebih baik untukku. Tentu saja, aku tidak ingin kembali ke sana kepada orang yang paling tidak mensyukuri kehadiranku. Hidupku sudah tenang tanpa dia, hatiku sudah pulih dan sudah dapat ditinggali oleh orang yang lebih baik. Lalu, sekarang apa lagi yang dia inginkan dariku? Aku bertanya pada diriku sendiri.
Sebelum bangkit dari kursi dan meninggalkan kafetaria ini, aku menghela napas panjang dan berdoa semoga sisa hariku tak terganggu oleh kabar tentang orang itu. Hari ini masih ada sebuah presentasi yang harus aku sampaikan dan malam nanti ada anak-anak yang menunggu ilmu baru dariku. Aku mohon, jangan lagi menganggu konsentrasiku atau merusak mimpi-mimpiku. Aku sudah tenang dengan hidupku sekarang. Aku bicara dalam hati seolah-olah orang itu dapat mendengarku dan entah bagaimana aku selalu yakin dia masih mendengarku.
Kadang hidup senang bergurau.
Memberi hiburan entah untuk siapa.
Mungkin untuk dirinya sendiri.
Atau mungkin untuk manusia yang seringkali berpikir dapat mengendalikan semua yang terjadi di dalam hidupnya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar