Terkadang hati mencoba menutupi apa yang paling mengganggu pikiran seseorang.
Berpura-pura tak merasa, berpura-pura tak terganggu.
Namun, segala kepura-puraan akan sia-sia pada akhirnya.
Yang dirasa tetap akan terungkap, yang menganggu tetap akan diucap.
Aku sudah menjalani setengah perjalananku di sini. Hidup sendiri demi
sebuah ambisi besarku, berjuang dengan semua kekuatan yang aku miliki
untuk membuktikan bahwa aku mampu dan pantas mendapatkan mimpiku.
Sebentar lagi, semua usahaku akan terbayar, impianku akan tercapai dan
ambisiku akhirnya terpenuhi. Aku masih ingat ketika pertama kali akan
melakukan perjalanan ini, dengan segala keegoisan dan sifat keras
kepalaku, aku mengorbankan semua yang sudah aku miliki, aku mengabaikan
semua orang terdekatku, aku hanya menuruti diriku sendiri.Pengorbananku termasuk meninggalkan orang yang telah lama mendampingiku, berada di sisiku bahkan di masa-masa paling sulit dalam hidupku. Seseorang yang tanpa ragu mendukung semua impianku bahkan ketika impian itu membuatku harus meninggalkannya. Seseorang yang selalu aku sebut dalam doaku setelah nama kedua orangtuaku. Sebuah pilihan yang sangat berat untukku di kala itu. Namun, ada keyakinan dalam diriku yang berkata takdirku adalah miliknya dan begitu juga takdirnya adalah milikku. Keyakinan itu yang menguatkanku hingga hari ini, menenangkan hatiku yang terus memupuk rindu padanya. Jikapun keyakinan itu keliru, pada akhirnya aku hanya mengharapkan kebahagiaan melingkari kami berdua sebab siapa yang tahu soal takdir? Terlepas dari semua itu, aku bersyukur pernah menjalani hari-hari indah bersamanya, kini dia adalah bagian dari perjalananku yang sudah lalu, yang tersimpan rapi bersama ingatanku tentang rumah.
Saat ini, aku hanya ingin memfokuskan diriku pada perjalanan ini. Perjalanan yang tidak hanya memberikanku kehidupan baru namun juga memori-memori baru yang perlahan-lahan menggantikan memori lamaku. Setengah perjalanan sudah berlalu dan hingga hari ini hanya kebahagiaan yang mengisi hari-hariku di sini. Semua berjalan lancar tanpa hambatan yang berakibat fatal. Aku pun sangat mensyukurinya dan berharap semua akan tetap seperti ini hingga tiba saatnya aku pulang.
***
Aku baru saja terbangun saat membaca sebuah pesan dari teman lamaku
di rumah. Ia memberi kabar tentang seseorang yang tak kuizinkan hadir
kembali ke hidupku. Sakit, katanya dalam pesan itu. Sangat
mengkhawatirkan, begitu yang dijelaskannya dan membutuhkan bantuanku.
Seketika rasa kantukku hilang, berganti perasaan aneh yang menyelimuti
hatiku. Aku membacanya sekali lagi, kemudian aku menghapusnya. Aku tidak
peduli kataku pada diriku sendiri. Aku tak pernah lagi mencari tahu
tentang orang itu. Sedikitpun tak ada celah yang kubuka untuk sekedar
bertukar kabar. Barulah pagi ini, aku mendapat kabar tentangnya. Kabar
yang sama sekali tak kuharapkan. Namun, aku putuskan untuk melanjutkan
hariku seperti biasa. Aku memilih untuk tidak peduli sedikitpun.Siang hari saat aku sedang beristirahat di kafetaria, ponselku berbunyi, sebuah panggilan video dari temanku yang aku abaikan pesannya tadi pagi. Aku memeriksa jam tanganku, sekarang jam 12 siang di Jakarta. Pantas saja, dia menelpon.
“Hei, aku menganggumu tidak?” katanya sesaat setelah tersambung.
“Tidak kok mba, aku lagi jeda” Jawabku sambil tersenyum.
“Kenapa pesanku tidak dibalas?” Menanyakan pesannya tadi pagi.
“Belum sempat, maaf. Hari ini, kelasku penuh dari pagi” Jawabku sambal menghela napas.
“Dia benar-benar membutuhkan bantuanmu,
cuma kamu yang bisa bantu dia saat ini” Dari raut wajahnya aku melihat
kekhawatiran yang mendalam.
“Tapi aku gak bisa, aku jauh di
sini. Lagipula, kenapa harus aku? Keluarganya lebih memungkinkan untuk
membantunya” Aku berusaha menjelaskan kondisiku.
“Aku gak tahu sejauh apa hubungan kalian dulu. Aku gak
tahu, seberapa membekasnya kamu di hatinya. Sampai-sampai di kondisinya
sekarang ini, cuma nama kamu yang bisa dia sebut” Dia menjelaskan
dengan nada bicara yang penuh pengharapan.
“Kalau begitu, minta saja orang lain
berpura-pura jadi aku” Dengan nada sedikit kesal aku mencoba memberi
solusi yang tak sempat aku pikirkan.
“Hei, jangan begitu. Bagaimana jika ini
seperti permintaan terakhirnya? Bagaimana jika ini terakhir kali kamu
menolongnya?” Dia masih dengan sabar membujukku.
“Mba, yang kamu sebut kali terakhir itu
sudah lampau bagiku. Aku sudah melewati terakhir kali itu dan saat itu
aku minta agar dia tetap menjauh, jangan pernah kembali lagi. Lagipula
sudah ada yang lain yang mendampinginya saat ini kan?” Kataku dengan memberi penekanan di akhir kalimat.
“Dan lagi, kondisiku gak memungkinkan untuk pulang. Jadwalku sedang padat karena sebentar lagi ujian dan mulai penyusunan tesis” Aku menambahkan.
“Hei dengar, semua orang di sini berharap
sama aku untuk bisa membawa kamu ke sini. Karena yang punya kontakmu dan
masih bisa menghubungimu, cuma aku. Dan aku berharap kamu bisa bantu.
Kalau kamu gak mau melakukan ini untuk dia, lakukan untuk
keluarganya, mereka pernah jadi bagian hidupmu juga dan lakukan untuk
kamu juga, untuk ketenangan hati kamu” Dia masih berusaha membujukku
agar mau menolong orang itu.
“Ketenangan hatiku ada di sini mba. Bukan
di sana. Maaf, aku belum bisa bantu apapun selain doa. Semoga dia cepat
pulih. Aku pamit dulu mba, ada kelas lagi nih. Terimakasih untuk
kabarnya ya” Akhirnya aku memlih untuk menyudahi obrolan dengannya.
“Oke, nanti malam aku hubungi lagi ya. Tolong kamu pikirkan baik-baik, jangan lagi menyimpan dendam. See ya”
Sambungan telepon sudah terputus, namun aku masih menatap layar ponselku.
Seketika sekujur tubuhku lemas, rasa sakit itu kembali lagi,
ingatan-ingatan tentang dia yang telah lama aku abaikan. Dua tahun sudah
berlalu sejak aku memintanya untuk tetap menjauh dariku, membebaskan
aku dari bayang-bayangnya dan membiarkan aku memilih orang lain yang
lebih baik untukku. Tentu saja, aku tidak ingin kembali ke sana kepada
orang yang paling tidak mensyukuri kehadiranku. Hidupku sudah tenang
tanpa dia, hatiku sudah pulih dan sudah dapat ditinggali oleh orang yang
lebih baik. Lalu, sekarang apa lagi yang dia inginkan dariku? Aku
bertanya pada diriku sendiri.Sebelum bangkit dari kursi dan meninggalkan kafetaria ini, aku menghela napas panjang dan berdoa semoga sisa hariku tak terganggu oleh kabar tentang orang itu. Hari ini masih ada sebuah presentasi yang harus aku sampaikan dan malam nanti ada anak-anak yang menunggu ilmu baru dariku. Aku mohon, jangan lagi menganggu konsentrasiku atau merusak mimpi-mimpiku. Aku sudah tenang dengan hidupku sekarang. Aku bicara dalam hati seolah-olah orang itu dapat mendengarku dan entah bagaimana aku selalu yakin dia masih mendengarku.
Kadang hidup senang bergurau.
Memberi hiburan entah untuk siapa.
Mungkin untuk dirinya sendiri.
Atau mungkin untuk manusia yang seringkali berpikir dapat mengendalikan semua yang terjadi di dalam hidupnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar