Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Puisi-puisi Muhamad Arfani Budiman (Media Indonesia, 26 November 2017) Ketukan Hujan 1, Aubade 2, Variasi Doa, dan Lainnya ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
Ketukan Hujan 1
bulan menghiasi dinding malam
rintik hujan mengusap perih kerinduan
sementara curamnya luka tersimpan
pada kesabaran batu-batu di ruang tamu
bayang wajahmu menyusup bersama putaran waktu
kekasih petiklah kembang-kembang doa kirimkan
pada wajah langit sehingga cinta masih bisa menyala
seperti kobaran api yang dijaga dewa puisi
2017
Aubade 2
sepanjang malam bulan remuk
dipunggung langit ledakan rindu
seperti selongsong peluru tubuhku
terpisah menjadi sebuah kekosongan
ketika luka menetes dari putaran waktu
doa-doa berlayar seperti perahu dikayuh
menuju lautan ingin rasanya mencintaimu
seperti ikan-ikan dikolam tepat ketika pagi
begitu berbahaya dan seorang gadis
menenun cinta dengan telapak tangan yang berdarah
2016
Variasi Doa
menjelang senja matahari
terbit dimatamu seolah
rindu seperti pisau yang diasah
melewati jalan-jalan berlubang
aku temukan ketabahan batu-batu
diguyur hujan sepanjang hari
seperti juga tanganmu mampu
mengusap dadaku yang lebam
oleh pusaran luka digigil cermin
bayangan wajahmu melompat
menciptakan cinta yang suci
ditaburi puisi dengan seluruh imajinasi
2016
Gerimis Luka
pada hari jumat agung
seluruh hamba-hamba
mengumpulkan doa menjadi
serpihan hujan sehingga
bumi begitu terluka menerima
rintik kesedihan yang mengalir
dari matamu matahari terbelah
pecah diwajahmu riak-riak cahaya
membentuk lingkaran waktu
sehingga aku masih mampu
membaca takdir pada telapak tanganmu
meniupkan ruh pada retakan kata-kata
2016
Kepada Waktu 2
senja mulai memasuki ruang rindu
hembusan angin meluruhkan daun-daun
menuju rebah tanah matahari terkurung
oleh kepak awan putih sementara
ledakan doa-doa berlayar menuju
samudera waktu seluruh luka
terseret menuju punggung langit
mencintaimu adalah sebuah takdir
tapi kesedihan adalah tangan tuhan
yang menurunkan sayap-sayap puisi
menuju lubang kesunyian
2016
Potret Wajahmu
:Ardisa Nadilestari
wajah malam dengan getarnya luka
tersimpan rapi bersama rintik hujan
lalu di atas tanah datar ini aku meniupkan
rindu pada irama gerimis yang ritmis
perempuan itu mengusap lebam dadaku
melipat doa-doa yang jatuh dari ranting cahaya
sehingga cinta itu seperti titik api membakar
seluruh garis-garis kesedihan yang dikendalikan sang
waktu
2017
Goresan Namamu
:Ardisa Nadilestari
doa-doa membasuh rekah
kelopak mawar pada matamu
aku menemukan sebuah jalan pulang
dimana kau menjadi rumah bagi
setiap langkah perjalanan kau tabukan
cinta menjadi sebuah ungkapan luka
dimana kau menjadi ibu bagi setiap
kata-kataku membentuk rindu
pada putaran waktu terlempar
menuju lubang kesunyian
2016
Muhamad Arfani Budiman, lahir pada 6 Januari 1989. Penyair yang bergiat di ASAS (Arena Studi Apresiasi Sastra) UPI Bandung. Buku Puisinya Pecahan Kaca Di Jalan Lestari.
Puisi-puisi Setia Naka Andrian (Suara Merdeka, 26 November 2017) Aku Pesan Namamu ilustrasi Google
Menulismu adalah
menulismu adalah
puisi di dalam lekuk pipi
yang tiba sesaat
selepas aku malu-malu
berselancar lemas
di atas telapak tanganmu
menulismu adalah
meneguk anggur
saat dunia sedang sibuk
memilih bercuriga
kepada kamu
kepada siapa saja
yang kerap urung bertemu
menulismu adalah
menyibak cahaya
yang kerap melarikan diri
dari balik jendela rumah
dari balik dada
yang melambatkan degubnya
menulismu adalah
tanda tanya
yang tak sempat
dikirimkan
sebagai pesan dan janji
yang tak pernah kunjung matang
menulismu adalah
kalimat pertama
yang sering kita lupakan bersama
sebelum memulai merapal tanya
mana luka
mana duka
mana binar matamu
yang sederhana
Kendal, November 2017
Aku Pesan Namamu
aku pesan namamu
dalam secangkir kopi
selepas adzan tak lagi bunyi
selepas kehilangan
tiada pernah dibaca lagi
aku pesan senyummu
dalam sekental rindu
selepas segalanya
urung mengetuk pintu
lupa datang di pagi-pagi
aku pesan namamu
dalam segelas teh pahit
dalam keheningan
yang diciptakan
dari gelagat matamu
yang tak lagi wajar
mengunjungi sunyi-sunyi
aku pesan namamu
saat semua orang tahu
jika aku adalah kegagalan itu
yang memilih pulang
untuk menemukan
nama-nama baru
selain dari nama-namamu
Kendal, November 2017
– Setia Naka Andrian, lahir di Kendal, 4 Februari 1989. Pengajar di Universitas PGRI Semarang ini menerbitkan buku puisi tunggal Perayaan Laut (2016), Manusia Alarm (2017), Orang-Orang Kalang (2017).
Dia meraih Penghargaan Acarya Sastra 2017 dari Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (44)
Cerpen Abu Rifai (Suara Merdeka, 26 November 2017) Sukarni ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka
Namanya tak ada di buku-buku pelajaran, tak juga di daftar pahlawan
nasional, bahkan mungkin tidak di batu nisannya. Namun hingga kini
namanya tetap harum.
Nama sederhana itu tak disertai makna indah atau gelar kehormatan.
Sukarni, itulah nama perempuan cantik berkulit kuning langsat yang
tinggal di sebuah desa kecil di Blora. Orang-orang menjuluki dia kembang
desa.
Dia tak hanya cantik, tetapi juga sopan, tak banyak bicara, penurut,
dan penyayang. Hampir semua orang di desa tergila-gila. Para lelaki
ingin meminang Sukarni menjadi istri. Mereka dari berbagai latar
belakang, menawarkan uang, tanah, perhiasan, hingga nyawa.
Tentu cuma seorang yang beruntung. Dia lelaki biasa, tidak kaya,
tidak rupawan. Namun dia tangguh, pekerja keras, dan menyayangi Sukarni
sepenuh hati. Dialah Kasdi, sahabat Sukarni sejak kecil.
Mereka pun menikah dengan mas kawin sebuah cincin tembaga. Cincin
yang Kasdi peroleh dengan keringat, cincin yang memunculkan segores
senyum Sukarni saat memakai. Walau sederhana, pernikahan mereka berjalan
khidmat.
Alam pun tampaknya merestui, sehingga kemarau berubah menjadi musim
hujan seminggu setelah mereka menikah. Tak ada hari tanpa hujan
mengguyur. Keadaan itu menyenangkan bagi Kasdi dan Sukarni. Mereka bisa
menghabiskan waktu di kamar. Setiap jengkal tanah di rumah pun menjadi
ranjang berbulan madu. Ah, betapa bahagia mereka.
Namun kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar. Pada minggu ketiga
pernikahan, Kasdi pamit pergi ke kota untuk menjual hasil ladang. Dua
hari setelah kepergian Kasdi, pasukan Belanda memasuki kampung.
Para serdadu bertubuh besar itu bersenjata lengkap. Tak seorang pun
warga berani melawan. Para serdadu leluasa bertindak apa saja;
keluar-masuk rumah penduduk, tak terkecuali rumah Sukarni.
Lima orang tentara Belanda memasuki rumahnya. Mereka menjumpai
Sukarni yang gelisah. Kegelisahan itu tertangkap mata para serdadu.
Mereka senang karena itu berarti bertambah lagi pribumi yang tunduk.
Senyum mereka melebar ketika melihat wajah cantik Sukarni.
“Cantik, dia cantik,” bisik serdadu berkumis tebal kepada rekannya.
Rekannya mengangguk setuju. Dengan langkah tak sabar, mereka mendekati Sukarni.
“Kamu cantik!” ucap seorang prajurit.
Sukarni diam, gemetar.
“Kamu harus menghibur kami,” lanjut prajurit itu sambil menarik
Sukarni dari kursi. Teman-temannya membantu, lalu mereka pun memerkosa
Sukarni ganti-berganti.
Di antara tawa dan desah mereka, Sukarni menangis menggerung-gerung. Tubuh dan batinnya terluka.
“Lain kali kami ke sini lagi, Cantik! Ha-ha,” ucap seorang serdadu.
Sukarni menangis tak henti-henti. Dia menyeru-nyeru nama sang suami.
Sukarni ingin menangis di pelukan Kasdi, menceritakan kebiadaban yang
baru saja terjadi. Namun juga takut Kasdi tahu dia tak lagi suci. Pedih,
hati Sukarni pedih.
Dua hari kemudian Kasdi pulang. Awalnya Sukarni tak menceritakan soal
pemerkosaan oleh serdadu Belanda. Ia takut suaminya pergi dan dia makin
terguncang. Namun karena tak ingin terus-terusan membohongi Kasdi, dia
pun bercerita.
“Begitulah, Mas…,” lirih suara Sukarni sambil terisak-isak.
“Bajingan! Kubunuh mereka semua!” teriak Kasdi.
Lelaki itu berlari keluar rumah sambil menggenggam parang. Sukarni
mencegah, tetapi tak ia pedulikan. Kemarahan Kasdi meluap dan hanya bisa
reda bila melihat serdadu yang memerkosa sang istri mati mengenaskan.
Kasdi bisa membunuh seorang serdadu dan melukai dua orang lagi. Namun
dia tewas, tertembak kepalanya.
Kabar tewasnya Kasdi sampai ke telinga Sukarni. Perempuan itu kini
makin tak berdaya. Semua telah menghilang: kehormatan dan cinta. Batin
Sukarni memedih, jiwanya makin terguncang. Apalagi setelah kematian sang
suami, serdadu Belanda makin sering datang ke rumah.
Awalnya Sukarni pasrah. Ia kehilangan gairah hidup. Beberapa kali dia
hendak bunuh diri. Namun suatu hari, ketika mengingat kematian sang
suami, dia membuhulkan tekad untuk balas dendam.
Sukarni memikirkan cara untuk melawan serdadu Belanda. Karena tak
mungkin berkelahi, dia memanfaatkan kecantikan dan tubuhnya. Sukarni pun
makin rajin bersolek. Dia tak cuma membedaki wajah, tetapi juga
melumuri tubuh dengan racun mematikan. Dia meracik racun tak berwarna
dan tak berbau itu berdasar resep mendiang sang nenek. Jika racun itu
terjilat bakal mematikan atau setidaknya membuat sang penjilat sakit
berbulan-bulan.
Suatu malam, dia merias diri begitu anggun. Dia mengenakan kebaya
paling bagus dan parfum paling wangi. Sukarni duduk di ruang tamu,
menembang. Ketika para serdadu datang, dia membiarkan mata mereka
menelanjangi tubuhnya. Mereka, para bangsat itu, terperangkap jebakan
yang dia buat.
Rencana demi rencana pun ia lakukan. Ia kini rajin menggoda pasukan
Belanda. Dan tepat seperti rencananya, para pemuja berahi itu pun masuk
ke dalam jerat.
“Nikmati tubuhku, Setan! Nikmati! Jilat semua racun itu! Matilah kau,
matilah!” Begitulah batin Sukarni setiap serdadu Belanda menggagahi
tubuhnya. Sekarang tak ada lagi rasa sakit atau hina, yang ada hanya
desah perjuangan.
Peristiwa tempo hari agaknya jadi titik balik kehidupan Sukarni. Dulu
ia pendiam, sekarang liar. Dulu ia wanita yang pasrah, sekarang ia
melawan.
Perlahan-lahan perlawanan itu pun membuahkan hasil. Banyak serdadu
Belanda mati keracunan, sebagian sakit parah. Hari demi hari para
prajurit yang datang menyurut. Ia pun bosan, merasa kehilangan
tantangan.
Karena tak lagi banyak mangsa dan untuk menghindari penyelidikan,
Sukarni memutuskan hengkang ke pusat kota. Sekarang tujuan dia
bertambah: semula hanya membunuh pasukan Belanda, sekarang mengorek
informasi sebanyak mungkin. Sukarni kini jadi sekspionase.
Pelan-pelan dan sembunyi-sembunyi Sukarni mengajak penduduk melawan,
tentu dengan jalan berbeda. Ia membujuk para pemuda mengangkat senjata.
Ia juga membagikan sebanyak mungkin informasi dari sekspionasenya.
Sukarni barangkali memang berjuang, tetapi karena melalui jalan
asusila, selalu ada yang mencemooh. Namun Sukarni bergeming. Ia masa
bodoh. Orang-orang boleh mengangkat parang, tombak, atau bambu runcing.
Dia berhak menggunakan senjatanya sendiri.
Setelah cukup lama di kota, Sukarni berjumpa pemimpin pasukan tingkat
kota, Van Brown. Itu bukan nama asli, nama samaran entah karena alasan
apa. Ia melancarkan aksi seperti biasa. Kini dia memakai cara lebih
halus, tanpa olesan racun ke tubuh. Dia lakukan itu semata-mata untuk
mengorek sebanyak mungkin informasi dari Van Brown.
Berbekal kecantikan dan keterampilan berbahasa Belanda pasaran,
Sukarni cukup mudah menaklukkan hati Van Brown. Lebih tepatnya
menaklukkan nafsu berahi lelaki itu. Dia berhasil memperoleh banyak
informasi. Dia bagi info itu kepada rekan-rekan seperjuangan di kampung.
Setelah merasa cukup memperoleh informasi dan muak pada mulut buaya
Van Brown, Sukarni berencana membunuh dengan racun seperti dulu. Dia
berhasil! Dia puas. Menang. Namun dua hari setelah keberhasilan itu,
Sukarni ditangkap. Identitasnya sebagai pembunuh sekaligus sekspionase
terungkap.
Sukarni terciduk. Dia diborgol dan dibawa pergi entah ke mana. Sukarni lenyap, seolah-olah tak pernah ada di bumi ini.
Berbulan-bulan setelah itu, rekan-rekan seperjuangan di kampung
akhirnya tahu dia telah ditangkap dan tak mungkin bisa keluar dari
cengkeraman Belanda.
Mereka bersedih. Seorang pelawan sudah pergi dan tak akan kembali.
Untuk mengenang dan menghormati perempuan itulah mereka mengukir namanya
di hati masing-masing. Mereka menceritakan kisah patriotiknya kepada
anak-cucu.
Namanya memang tak ada di buku pelajaran, tak juga di daftar
pahlawan, bahkan juga tidak di batu nisannya. Nama sederhana itu tak
punya makna yang indah atau gelar kehormatan. Namun nama itu akan selalu
dikenang, dihormati, segenap orang. Kisahnya akan abadi. Perlawanannya
tak akan pernah mati. (44)
Sekaran, 10 Oktober 2017: 19.59
– Abu Rifai, mahasiswa Sastra Inggris Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang
Fabel Heru Prasetyo (Suara Merdeka, 26 November 2017) Burung Hantu yang Ingin Tahu ilustrasi Suara Merdeka
“Kebanyakan orang takut dengan hantu karena seram, tapi tak takut padamu, burung hantu.”
Burung nuri berkata kepada burung Hantu, sahabatnya di dahan sebuah
pohon pinggir hutan pada suatu petang. Burung hantu tak menjawab. Raut
wajahnya tak berubah, tetap seram.
“Padahal nama dan wajahmu seram tapi malah banyak manusia yang menyukaimu,” lanjut burung nuri.
“O jadi selama ini mereka menyukaiku,” sahut burung hantu kaget mendengar perkataan burung nuri.
“Iya, bahkan ada yang memeliharamu,” kata burung nuri.
Mendengar itu, burung hantu tampak senang.
“Tapi apa kamu tak ingin tahu kenapa mereka menyukaimu?” tanya burung nuri.
Burung hantu terdiam. “Betul juga ya kata burung nuri,” pikir burung hantu.
“Baik, aku akan cari tahu,” jawab burung hantu. Burung nuri lalu
terbang meninggalkan burung hantu yang masih bertengger di dahan pohon.
Burung hantu bingung ke mana harus mencari tahu. Tiba-tiba terdengar suara tapi tak ada wujudnya.
“Tunggu saja malam hari. Kamu akan tahu kenapa manusia menyayangimu.”
“Kamu siapa?” tanya burung hantu ketakutan.
“O ya, aku sampai lupa. Perkenalkan, aku ini pohon tempatmu bertengger,” jawab Pohon.
Burung hantu lega mendengarnya. Karena, ia sempat mengira itu suara hantu.
“Aku harus menunggu malam, apa maksudmu?” tanya burung hantu.
“Kamu akan tahu sendiri nanti,” jawab Pohon.
Burung hantu tak bertanya lagi. Hanya terdiam hingga malam tiba.
“Sekarang saatnya cari tahu kenapa manusia menyukaimu,” kata Pohon.
“Caranya?” tanya burung hantu.
“Pergilah ke tempat manusia-manusia itu tinggal,” perintah Pohon.
***
Burung hantu menuruti. Lalu terbang menuju perkampungan manusia, tak jauh dari pinggir hutan.
Ketika sedang terbang di atas perkampungan manusia, burung hantu
melihat seekor ular masuk ke halaman belakang sebuah rumah. Naluri
berburu burung hantu muncul. Ia pun hendak menjadikan ular itu sebagai
santapan makan malam yang lezat, meski tak mudah. Ular memberi
perlawananan. Terjadilah pergumulan seru yang akhirnya dimenangi burung
hantu.
Selesai memakan ular, burung hantu melihat seekor tikus yang cukup
besar hendak masuk ke dalam rumah. Burung hantu langsung menyambarnya
tanpa banyak kesulitan. Lagi-lagi ia menjadikan tikus sebagai santapan
makan malam terlezat kedua setelah ular.
Manusia penghuni rumah keluar. Rupanya ia mendengar suara gaduh di
luar yang disebabkan pergumulan burung hantu dengan ular dan tikus.
Burung hantu yang kekenyangan sampai tak kuat terbang, hanya diam
ketika manusia itu mendekatinya. Lalu manusia menangkap burung hantu dan
kemudian membawanya masuk ke dalam rumah.
Tampak di dalam rumah seorang anak kecil senang melihat kehadiran
burung hantu. Dielusnya bulu di tubuh burung hantu sambil berseru,
“Ayah, kita pelihara burung hantunya ya.”
Manusia yang dipanggil ayah itu pun mengangguk pelan.
Kini burung hantu mengerti kenapa manusia tak takut dan justru
menyukainya. Karena mereka melihat bukan pada nama dan wajah burung
hantu yang seram, melainkan manfaat yang dihasilkannya. (58)
Puisi-puisi Thoha Muntaha (Republika, 26 November 2017) Diskriminasi, Ojo Dumeh, Hukum Alam, dan Lainnya ilustrasi Google
“DISKRIMINASI”
Marginalisasi wong cilik sering hadir menyertai libido kekuasaan
Ruang kreasinya ditekan
Pasar bebas adalah firman
Pemodal menjelma sebagai tuhan
Penguasa sekedar jongos suruhan
Hedonisme dipaksa menjadi gaya hidup
Keadilan hanya terdengar sayupsayup
Partai politik kerap menjadi mantel orang korup
Cahaya hukum makin meredup
Sementara wong cilik tetap basah kuyup.
“OJO DUMEH”
Katakan “Akulah Rupiah”
Kepada Ku kalian menyembah
Sejurus kemudian jidat menghitam bersujud pada Rupiah kuasa Alam
“Mobilku mewah, rumahku megah
Sekali lirik semua menyerah” ujar jamaah Rupiah
Namun saat terengah karena malnutrisi
Rupiah yang dipuji tak bertaji
Mereka berteriak “Mana kuasamu hai Rupiah”
Semua terlambat saat jasad berkalang tanah
“Sangkan paraning dumadi”
Bermula dari kesetiaan zat padat, cair dan urai untuk saling menyatu
Lalu bertarung, menang kemudian berenang menggapai telur bulu perindu
Sejengkal kemudian bertiup ruh kehidupan dalam mahkota hulu
Dendang mijil, kinanti, sinom, asmaradhana, hingga megatruh saling memandu
Demikianlah narasi tiap diri
Kepada Nya diri kembali
Kasih Sayang Nya senantiasa menyertai
Ilahi, Engkaulah tujuan abadi, Ridlo-Mu selalu dinanti
“HUKUM ALAM”
Sabda Alam telah sepakat
Bahwa siapa berbuat, siap pula akibat
Kreativitas dan improvisasi adalah modal
Keberanian mengeksekusi laku profesional
Melayani sepenuh hati
Adalah semangat dan ekspresi sehari-hari
Ingat…alam senantiasa tersenyum
Jika manusia santun dan taat hukum
“EKSPRESI”
Hadir menyertai manusia organ lihat, dengar dan rasa
Setia menerima lalu mengelola dan mengekspresikan ragam berita
Jadilah ia mahluk mulia
Berkomunikasi dengan banyak bahasa
Gerak tubuh dan mimik wajah
Bisa dipindai arah dlolalah atau hidayah
Mendidiknya untuk jujur
Berbuah hidup makmur
Membimbingnya untuk Taat
Menuai banyak manfaat
Wajah nan teduh
Lapang rasa tanpa keluh
Membiarkannya bergerak liar
Membuat rasa senantiasa dikejarkejar
Membalutnya dengan laku maksiat
Menuai banyak madlorot
Wajah keruh nan lusuh
Beban berat tubuh berpeluh
THOHA MUNTAHA, Pesantren Minhajut Thullab Indonesia.
Cerpen Artie Ahmad (Jawa Pos, 26 November 2017) Tarian Biyung ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa PosBIYUNG dan tari tak ubahnya pohon dengan akar. Biyung tanpa tariannya adalah suatu kehampaan, suatu ketidaksempurnaan.
Sejak dulu, aku selalu merasa bahwa tarian-tarian yang dibawakan
Biyung tak ubahnya sebuah kemagisan, jalan spiritualisme yang tak bisa
ditempuh semua orang. Biyung selalu menghaturkan sesuatu yang tak bisa
ditebak lewat setiap tarian yang dibawakannya. Setiap kali kedua kaki
dan tangannya bergerak selaras dalam pakem tandak, setiap kali itu pula
seakan Biyung masuk ke dimensi lain. Sebuah dimensi yang berada dalam
kotak kaca, hanya dia sendiri yang mampu memahami.
Dulu, beberapa kali aku melihat Biyung mendemonstrasikan tari bedoyo.
Dari Bapa aku tahu, bahwa tari bedoyo tak ubahnya menari dengan
kelembutan di atas awan. Tiap kali melihat Biyung mendemonstrasikan
tarian itu, terkadang aku ketakutan, khawatir jika Biyung benar-benar
akan terbang ke awan, dan lesap dalam gumpalan-gumpalan putih yang mirip
kapas. Tapi nyatanya Biyung tak pernah terbang, tak pernah lesap
ditelan awan. Malahan Bapa yang lebih dulu terbang, meng awal
burung-burung belibis terbang di antara awan. Hilang ditelan mega-mega,
mencari yang namanya suwarga.
Kematian Bapa adalah segala pusat dari segala kemuraman. Segala hal
yang dulu menyenangkan bersamanya menjadi kenangan yang menumbuhkan
bibit rindu dalam kepedihan. Kekosongan melanda seluruh penjuru rumah.
Bahkan burung beo milik Bapa yang selalu ribut setiap hari akhirnya ikut
terbang tinggi. Mati di dalam sangkarnya, tak tahan menanggung rindu
yang berkepanjangan.
Kami bertiga, anak-anaknya juga menanggung hal yang sama. Bagiku
sendiri, kepergian Bapa adalah kemalangan yang belum siap aku jalani.
Kepergiannya yang begitu cepat mengguncang jiwaku yang kala itu masih
sangat muda. Betapa kematian menjadi momok yang sangat menakutkan. Tak
pernah aku ba yangkan bahwa aku akan kehilangan Bapa secepat itu. Kedua
kakakku pun merasakan hal serupa. Keduanya juga sama tak siapnya
kehilangan Bapa seperti diriku.
“Kematian adalah awal dari kehidupan yang kekal. Bapa kalian akan
lebih baik, dia tak perlu menyandang sakit lagi,” suara Biyung terdengar
jernih di telingaku.
“Tapi, kenapa kematian datang sedemikian cepat, Biyung? Kita belum
puas diasuh Bapa. Masih ingin berlama-lama bersamanya,” kakakku Nastiti
berkata perlahan, air matanya jatuh berlinangan.
“Ya, kita belum puas diasuh Bapa. Seharusnya bertahun-tahun lagi Bapa pergi!” Wikan, kakak sulungku itu menyela.
Aku hanya terdiam. Bagiku kematian adalah hal aneh. Kematian tak ubahnya hal purba, sulit dipahami akan tetapi ada.
“Semakin kalian menyukai sesuatu dengan sangat, maka Gusti tidak akan
berlama-lama untuk mengambilnya kembali. Semua yang hidup akan mati,
tak terkecuali Bapa kalian.”
Suara Biyung sangatlah tegar. Meski pada kenyataannya, kepedihan
lantaran kehilangan Bapa berkali-kali lebih menyakitkan bagi dirinya.
Terlihat benar dari dua bola mata Biyung yang kerap basah setelah
kepergian Bapa. Demi menghalau rasa galau dan resah di hatinya, Biyung
menenggelamkan dirinya dalam gerakan-gerakan tarian. Hidupnya kembali
dihiasi pakem-pakem gerak tari dan segala bunyi gamelan yang mengiringi
tandak-tandakan yang dihaturkan Biyung di hadapan para murid-muridnya.
Tari tak hanya menghaturkan gerak gemulai lenggak-lenggoknya badan,
melainkan sebuah jalan spiritualitas.
Begitulah yang diucapkan Biyung kepada para muridnya, ketika mereka
bertatap muka. Perlahan, kesepian Biyung lantaran kehilangan Bapa
terkikis, meski nyatanya kehilangan jauh lebih besar menanti Biyung di
kelokan jalan hidupnya. Kehilangan kami anak-anaknya, yang bisa
dipandang, didengar suaranya, namun tak bisa disentuhnya dengan leluasa
ketika kami bertiga beranjak dewasa.
***
SUDAH hampir satu jam Biyung mengamati foto
keluarga. Kenangan lima manusia dalam bingkai kaca yang tergantung di
dinding ruang keluarga. Ruang keluarga yang dulu selalu semarak dengan
kebersamaan, kini sangat terasa senyap. Dulu, kami berlima seringkali
menghabiskan waktu di sana. Biyung akan mendemonstrasikan sebuah tarian,
Bapa akan bersemangat memberi pujian dalam nada riuh rendah.
“Kapan kakak-kakakmu pulang?” suara Biyung terdengar.
Aku mengangkat kepala, perlahan aku menatap Biyung.
“Entah, mungkin Minggu depan.”
“Beberapa waktu lalu mereka bilang akan pulang hari Sabtu kemarin.
Tapi nyatanya tak pulang. Sebenarnya mereka masih mau bertemu Biyung
atau tidak?” pertanyaan yang keluar dari bibir Biyung tak bisa kujawab.
Sudah beberapa tahun belakangan kedua kakakku hidup memisahkan diri
dari kami. Si sulung Wikan memilih pekerjaan di tengah laut lepas,
menjadi insinyur di perusahaan pengeboran minyak. Sejak gagal dalam
pernikahannya, Wikan seakan ingin lenyap dari riuhnya dunia.
Kakakku Nastiti memilih jalan sebagai peneliti. Menikah dengan teman
kuliahnya dan sangat menggemari penelitian-penelitian keluar negeri.
Tinggalah aku sendiri di rumah, menemani Biyung yang masih menekuni
dunia tari.
Aku dan Biyung kembali terperangkap dalam sepi. Tak ada lagi suara
dari kami untuk se kadar bercakap-cakap guna berbasa-basi. Aku terjebak
dalam pikiranku sendiri. Duniaku yang sekarang jauh lebih rumit
ketimbang duniaku yang lama. Pekerjaan, meneruskan tingkat pendidikan,
asmara, melebur menjadi satu, berubah menjadi polemik bagi diriku
sendiri.
Biyung kembali ke dunia tari. Dunia spiritualitas yang tak dimiliki
banyak orang. Lemparan sampur, gerak dalam pakem tandak diiringi suara
gamelan masih selalu tampak selaras dibawakannya. Nyata, meski dicekik
segala macam rindu dan kesepian, Biyung masih prima dalam menari.
Kemampuannya belum luntur meski usianya selalu bertambah, bahkan senja
usianya sudah lama terlewat.
Kini, ruang keluarga adalah tempat paling sunyi bagi Biyung. Rindu
seakan selalu menampar-nampar dirinya tiap kali duduk sendirian
memandang foto keluarga yang tergantung di dinding. Aku sendiri tak bisa
banyak membantu, menyelamatkan Biyung dari racun kesunyiannya.
***
AKU melihat Biyung menari di ruang keluarga.
Sampurnya berwarna biru. Suara gending dari gamelan terdengar. Aku
mengintip dari balik pintu kamar. Semakin lama, langkah kaki Biyung
seakan terlihat begitu ringan. Perlahan tubuh Biyung melayang. Aku
tergagap, tak percaya dengan apa yang aku lihat. Biyung masih menari
meski kini badannya terbang. Biyung terbang melayang-layang, nyaris
menyentuh langit-langit, tapi kemudian tubuhnya menerobos pintu yang
terbuka. Biyung terbang melayang tinggi, menuju langit. Melihat Biyung
terbang, aku pun ikut terbang. Aku turut melayang-layang. Biyung masih
menari mesti kini berada di balik awan.
Aku memanggil-manggil namanya, namun sepertinya Biyung tak mendengar.
Lalu dari balik awan yang mirip kapas menggumpal, tiba-tiba muncul
Bapa. Wajah Bapa sangat semringah, dari bibirnya terdengar tembang Asmaradana. Keduanya bertayub di atas mega-mega.
Aku masih memanggil-manggil Biyung, memintanya kembali bersamaku di
rumah. Tapi nyatanya Biyung tak mendengar. Aku mencoba terbang mendekati
mereka, tapi mendadak tubuhku kaku. Aku kehilangan kemampuan terbangku.
Badanku lunglai, jatuh ke bumi dan menghantam tanah dengan keras.
Aku terperanjat. Mataku membelalak memandangi langit-langit kamar.
Suara benda jatuh itu seakan nyata di telingaku. Lalu suara erangan
pendek itu terdengar. Aku segera bangun, setengah berlari menuju kamar
Biyung. Di dalam kamar aku melihat Biyung terkulai di atas lantai.
Matanya setengah terpejam, napasnya memburu. Dengan cepat aku memapah
tubuh Biyung kembali ke ranjang. Ambulans segera aku telepon untuk
menjemput kami. Malam itu, aku seakan bermain dadu nasib, ketika
berlari-lari di samping brankar yang membawa tubuh Biyung ke UGD.
Tarian Biyung di balik-balik mega-mega yang menjadi kembang tidurku
tadi tak ubahnya menjadi momok yang menakutkan. Gambaran ba gaimana Bapa
yang kasmaran bermain di kelopak mata. Aku mengejap-ejapkan mata, bukan
mengusir kantuk yang datang, melainkan untuk menghapus bayangan Bapa
dan Biyung yang sedang asyik bertayub di balik awan. Bahwa bagiku, mimpi
bukan hanya sekadar kembang tidur, melainkan sebuah perlambang. Entah
perlambang tentang keelokan atau hal sebaliknya, sebuah kemalangan.
Malam itu Biyung kehilangan kesadaran. Para medis berusaha
mempertahankan nyawa Biyung yang berada di ujung tanduk. Dengan hati
patah aku menelepon kedua kakakku. Suara di seberang terdengar
putus-putus. Aku berusaha menyampaikan kabar lara itu seterang mungkin.
Suara Wikan terdengar gugup, dan dia berjanji akan segera datang esok.
Nastiti beda lagi, dia memekik tertahan, lalu terisak. Secepatnya dia
mengusahakan kepulangannya.
“Segera kemari, tengoklah Biyung. Jangan sampai terlambat.” Dadaku terasa sesak ketika menyampaikan kalimat itu.
Setelahnya aku merasa hampa. Di ruang tunggu rumah sakit yang senyap,
aku hanya merasakan penyesalan, kenapa kemarin-kemarin aku tak bisa
membantu menyelamatkan Biyung dari kesepian. Seorang penari seperti
Biyung yang selalu dikelilingi murid-murid tarinya dan hentakan-hentakan
suara gamelan, bukan berarti tidak bisa disekap kesepian. Mungkin,
penyesalan itu nantinya juga akan mendera kedua kakakku.
Tiba-tiba suara Bapa seolah-olah terdengar di telingaku. Tembang macapat Maskumambang terdengar: Kelik, kelik, biyung sira ana ngendi. Sambat welas arsa. Awakku kecemplung warih. Gelagepan wis meh pejah… (Nak, Nak, ibumu ada di mana. Memohon belas kasih pemilik hidup. Badanku masuk ke dalam air. Sulit bernapas hampir mati…)
Suara Bapa yang mendengung di telingaku tak ubahnya halusinasi. Tapi
lepas mendengar tembang macapat itu, aku menangis tersedu. Belum siap
aku melihat Biyung menari di atas awan. Belum siap aku melihat Biyung
menari hanya di dalam mimpi. ***
Catatan:
Bapa = Bapak
Biyung = Ibu
ARTIE AHMAD lahir di Salatiga, 21 November 1994. Beberapa cerpennya terhimpun di beberapa buku antologi. Dua novelnya terbit tahun lalu.
Cerpen Anggi Nugraha (Media Indonesia, 26 November 2017) Matinya Sang Penulis ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
Kisah ini bermula di penghujung musim dingin. Saat bunga-bunga violet
mulai kembali bermekaran di kota Tavuliaprovinsi Presaro, Italia. Di
satu hari yang cerah di dermaga Venesia, Armanno Arrigo kehilangan
cintanya.
“Berjanjilah untuk kembali!” teriaknya pada sang kekasih, tak lama
setelah perempuannya itu menginjakkan kakinya di sebuah kapal yang
hendak berlayar menuju Cina.
Dari ratusan orang yang melambai-lambaikan tangan, kekasihnya itu
menjadi satu daripadanya. Semakin lama, lambaian itu terlihat semakin
mengecil. Dan akhirnya benar-benar menghilang. Sedangkan Armanno masih
saja mematung. Seketika saja ia merasa, seperti ada yang mengalir deras
melewati pipinya.
Namun itu semua dulu. Jauh sebelum kedatanganku ke rumah Armanno
untuk bekerja sebagai pembantu. Demikianlah yang ia kisahkan padaku di
waktu-waktu terakhirnya. Mungkin, karena tak lagi ia punya sanak saudara
di Tavulia. Atau sebagaimana banyak para penulis yang bercumbu dengan
kesunyian, Armanno, seperti menyadari, bahwa denganku, ia memiliki
sahabat untuk berbagi.
Armanno memang seorang penulis. Meski pada saat itu, tak satu pun
karya tulisnya dimuat di koran. Tak juga ada penerbitan yang berminat
akan karya-karyanya. Bila malam, ia selalu membaca buku hingga larut.
Saat pagi menjelang, adalah waktu terbaiknya untuk menulis. Tak lupa,
sebuah Flat Cap usang berwarna abu-abu selalu saja ia kenakan manakala
ia hendak menulis. Aku sempat bertanya padanya dulu ihwal ritual unik
itu.
“Kenapa kau selalu mengenakannya, Tuan?”
Ia pun tersenyum. Seraya membuka topi pet itu, ia mencoba untuk tak
hanya menjawab pertanyaanku. Lebih jauh, ia menunjukkan betapa
berharganya sebuah kenangan.
“Topi ini pemberian darinya, Yoana. Entahlah, dengannya aku merasa
dekat dengan kekasihku itu. Terlebih bila aku mengenakannya di saat
menulis. Bukankah menulis adalah proses mengukir kenangan, Yoana?”
“Itulah sebabnya, kau senantiasa menulis, Tuan? Karena kau ingin memetik kenangan itu kelak?”
“Hmm..hmm. Di dunia ini, hanya kenangan yang mampu abadi. Dan
karenanyalah kita hidup. Namun, teramat banyak kini orang memberi
kenangan berupa benda. Bagiku, kenangan adalah sebuah cara, Yoana.”
Demikianlah mungkin yang ia maksud sebuah ”cara” itu, adalah usahanya
dalam belajar menulis. Kekasihnya dulu memang seorang pecinta sastra.
Oleh sebab itu, ia sangat ingin agar Armanno bisa menjadi seorang
penulis.
“Menulislah! Karenanya, kelak kau akan menjadi seorang yang
bijaksana.” Ucap Armanno padaku, kala ia mencoba menirukan apa yang
perempuannya dulu katakan padanya.
Akan tetapi, selain menyukai sastra, kekasihnya itu adalah sosok yang
juga menyukai berbagai macam pengobatan tradisional. Itu semua berawal
dari pertemuannya dengan seekor kucing yang nyaris buta di suatu hari.
Ia pun segera membawa pulang kucing itu dan merawatnya. Satu minggu
berselang, kucing itu pun akhirnya bisa melihat kembali. Sejak saat
itulah, perempuan cantik itu bertekad untuk mendalami pengobatan
tradisional. Karenanya, ia pun memutuskan untuk pergi ke negeri Cina
guna mendalami ilmunya. Tentu dengan konsekuensi, bahwa ia harus
berpisah dengan pujaan hatinya untuk beberapa lama. Tapi sayang, tahun
berganti tahun, tak lagi ada berita dari perempuan itu. Yang hadir
hanyalah berita ketidakpastian tentang kapal yang juga tak pernah
benar-benar kembali.
Masih sangat kuingat dulu, pada saat aku datang tuk melamar pekerjaan
padanya, Armanno, adalah seorang pria ringkih. Tubuhnya bungkuk. Air
mukanya menyiratkan kerinduan yang teramat dalam. Namun yang mengerikan
adalah, TBC akut menjelma monster pembunuh di dalam tubuhnya.
Ia teramat lama menanti. Menghabiskan waktunya dengan membaca,
menulis, mengisap tembakau yang teramat pekat, juga meminum anggur
kesukaannya itu. Karenanya, penyakitnya itu semakin hari semakin
menyiksa. Pernah di suatu pagi, ia memanggilku dengan teramat lemahnya.
“Yoana!” rintihnya. Suara batuknya berulang tak henti. Aku pun
bergegas menemuinya dan mendapati lelaki itu dalam kondisi yang
memilukan. Darah segar mengalir dari mulutnya.
“Tampaknya… tak lama lag…i… aku akan ma…ti!” ucapnya, dengan nada yang terputus-putus.
“Tenanglah, Tuan! Aku akan meracik obat untukmu.” Aku pun segera
menuju dapur guna memeras satu buah mengkudu matang. Setelahnya kucampur
sedikit dengan parutan kunyit putih dan madu. Dan kuberikan ramuan itu
perlahan pada Armanno.
Seperti itulah akhirnya keadaan laki-laki itu membaik. Namun, bila ia
merasa sehat, ia akan kembali menulis. Mengisap tembakau pekatnya.
Menenggak anggur kesukaannya. Melupakan obat-obatan yang semestinya ia
minum.
Karenanya, waktu itu pun akhirnya datang juga dalam hidupnya.
Di satu pagi berkabut, sekembalinya aku dari berbelanja, kudapati
Armanno tertidur dengan wajah dan kedua tangannya terjatuh ke meja. Flat
Cap miliknya telah terhempas ke lantai. Begitupun dengan sebuah pena
kesayangannya. Semakin dekat, semakin tercium pula bau darah segar itu,
yang ternyata telah membasahi beberapa bagian dari kertas tulisnya.
Namun, semua sudah terlambat. Lelaki itu telah pergi tuk selamanya.
Sungguh itulah hari yang memilukan. Aku kehilangan lelaki yang begitu
berarti dalam hidupku. Dia, Armanno, tak hanya menjadi satu-satunya
orang di Tavulia yang mau menerimaku untuk bekerja. Namun, dialah juga
sosok yang tak pernah menghiraukan segala kekurangan yang selama ini aku
miliki. Aku, seorang wanita dengan wajah yang teramat buruk ini.
Dan hari pun terus berganti. Dua bulan berlalu sepeninggal Armanno
pergi. Tak lagi ada senyumnya. Hanyalah sehelai kertas bernodakan darah,
dengan tulisan yang juga tak tuntas yang jadi peninggalannya. Aku telah
menyimpannya terlebih dahulu, untuk akhirnya membaca tulisan terakhir
darinya itu. Tulisan itu adalah sebuah cerita pendek. Sebuah kisah
tentang penantian seorang lelaki yang ditinggal kekasihnya pergi. Sang
lelaki terus menanti meski sang kekasih tak jua datang. Namun, hanya
sampai bagian itu sajalah cerita pendek itu sanggup ia tulis. Tentu, TBC
akut telah merenggut nyawanya, sebelum ia menuntaskan cerita tersebut.
Lama aku menanti sebelum akhirnya, seperti ada yang mendorong
tanganku untuk melanjutkan kisah tersebut. Maka, segera kuraih sebuah
pena dan mencoba melanjutkan kisah tersebut, yang kurang lebih seperti
inilah kisahnya:
Sungguh, lelaki itu tak pernah tahu tentang apa yang sebenarnya
terjadi. Sebuah amukan badai telah memaksa kapal yang ditumpangi
kekasihnya itu menepi ke sebuah negeri yang dipimpin oleh seorang tiran.
Alih-alih mendapat pertolongan, para penumpang di kapal itu dipaksa
bekerja pada penguasa negeri itu. Para lelaki harus bekerja membangun
benteng-benteng yang tinggi. Namun yang lebih memilukan, tatkala
perempuan muda dipekerjakan di sebuah tempat pelacuran. Termasuk
perempuan itu. Perempuan yang hadirnya selalu dinanti-nanti.
Dan dua dekade pun berlalu. Namun kecantikan sang perempuan tak juga
sirna. Setua itu ia masih menjadi primadona. Karenanya, ia harus pasrah
dengan kenyataan, bahwa ia tak mampu keluar dari tempat itu. Sedangkan,
ia teramat rindu pada kekasihnya. Ia ingin sekali bisa kembali ke negeri
asalnya. Maka, tiada henti ia berpikir dan selalu berusaha.
Sampai akhirnya, ilham itu pun datang juga.
Satu-satunya cara agar bisa keluar dari negeri itu adalah dengan
mengubah wajahnya yang cantik itu menjadi buruk. Seburuk-buruknya.
Karenanya, di sebuah malam yang kelam, ia memberanikan diri meracik
pelbagai rempah-rempah yang berkhasiat merusak wajahnya. Keesokan, tak
lagi ada yang tahu, bahwa ia adalah perempuan cantik tersebut.
Syahdan, ia pun berhasil keluar dari tempat pelacuran, bahkan
beruntung berhasil kembali ke negerinya setelah menumpang kapal yang
hendak menuju ke sana. Namun sesampainya ia di negerinya itu, tak lagi
ia diakui oleh keluarganya sebagai perempuan yang dua dekade lalu
menghilang. Satu-satunya harapan, adalah mendatangi kembali kekasihnya
yang pada saat itu tampak mulai menua dan juga sakit-sakitan.
Akan tetapi, ia tak kuasa bila harus jujur. Perempuan itu tak tega
bila harus menyakiti kekasihnya dengan kenyataan, bahwa ia kini tak lagi
cantik. Terlebih, ia dapati lelaki itu masih selalu setia menantinya.
Lalu, perempuan itu pun memohon untuk bisa bekerja padanya. Tentu, ia
pun telah mengubah namanya, gaya bicaranya, dan menghilangkan semua hal
yang tampaknya bisa mengingatkan lelaki itu pada kekasihnya yang telah
pergi dulu. Dan singkat cerita, perempuan malang itu diterima bekerja
sebagai pembantu.
Hingga, sampailah nanti di suatu pagi, di mana penyakit paru-paru
telah menghentikan napas sang lelaki malang, sungguh, lelaki itu tak
pernah tahu tentang siapa gerangan perempuan buruk rupa yang jadi
pembantunya selama itu.
Setelah selesai menuliskan lanjutan cerita itu, aku pun lekas
mengirimkannya pada redaktur di kota. Selang dua minggu, cerita pendek
itu pun dimuat di koran. Kisah itu disukai oleh banyak orang di Tavulia.
Dan hingga kini, saat limabelas tahun berlalu sepeninggal kekasihku itu
pergi tuk selamanya, aku tengah memandangi wajahku yang begitu buruk
itu lewat cermin dengan perasaan bahagia. Bahagia, karena kini
orang-orang mengenalnya. Mengenal seorang penulis yang meninggalkan
tulisannya.
Anggi Nugraha lahir di Batumarta 2, Kab
OKU, Sumsel. Kini ia menetap di Bandung. Alumnus Sastra Inggris UIN
Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya dimuat di Republika,
Pikiran Rakyat, Tribun Sumsel, Lampung Post, Malang Post, Padang
Ekspres, Palembang Ekspres, Radar Surabaya, Koran Singgalang, dan Majalah SUAKA. Buku yang akan terbit Kekasihku ‘Hujan’ ialah kumpulan cerita pendek.
Tidak ada yang lebih membahayakan, tidak ada yang lebih dahsyat,
tidak ada yang lebih penting dan diperlukan untuk kelangsungan hidup,
daripada kebohongan yang kita ceritakan pada diri sendiri. (hlm. 454)
Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
Manusia tidak bisa belajar melupakan, tetapi menggayuti masa lalu;
seberap jauh atau cepatnya dia berlari, belenggu itu berlari bersamanya.
(hlm. 1)
Waktu tidak habis. Waktu bahkan tidak nyata. Waktu hanyalah ukuran
jarak yang kita ciptakan untuk memahami segala sesuatu. Seperti inci
atau mili. (hlm. 41)
Masa lalu ada di sana. Satu-satunya yang bergerak hanyalah dirimu. (hlm. 41)
Benarlah apa yang dikatakan filsafat, bahwa kehidupan harus dipahami dengan menengok ke belakang. (hlm. 47)
Waktu sedang menjelaskan untuk segalanya. (hlm. 288)
Lakukan apa yang harus kau lakukan. (hlm. 439)
Kehidupan harus dijalani dengan memandang ke depan. (hlm. 443)
Jarak, seperti waktu, hanyalah sesuatu yang bisa kita ciptakan. (hlm. 474)
Banyak juga selipan sindiran halus dalam buku ini:
Kejujuran atau tantangan. Tantangan. Tantangan. Selalu tantangan. (hlm. 107)
Tahun-tahun yang kita jalani di dunia ini hanyalah sebuah permainan.
Risiko untuk mendapatkan hasil, ujian untuk mendapatkan jawaban,
penghitungan jumlah sekutu dan musuh, dan nilai akhir. (hlm. 207)
Tidak berlebihan jika kau kurang tidur, jika kau baru saja diancam,
jika orang yang kau cintai hilang. Di sini, tidak begitu sulit untuk
memercayai adanya monster. (hlm. 279)
Kedukaan mencekam entah dari mana. Kedukaan itu licik dan licin, dan
kau tidak bisa melihat kedatangannya hingga dirimu dikuasai olehnya.
(hlm. 321)
Kaum perempuan lebih cermat. Mengisi daftar helaan napas secara
diam-diam, menghitung jumlah penghinaan, membangun kasus, surut dalam
batin. (hlm. 329)
Kau ingin percaya bahwa dirimu bukanlah orang paling sedih di dunia.
Bahwa ada orang lain yang lebih parah, orang lain yang ada di sana
bersamamu. Seseorang yang menderita di sampingmu dalam kegelapan tak
terperikan. (hlm. 331)
Dunia masih dipenuhi orang yang ingin memberikan informasi, yang
terkadang mengarang informasi dengan harapan bisa member petunjuk ke
suatu tempat. Namun, dunia ini juga dipenuhi orang yang tidak ingin
berada di dekat polisi. (hlm. 353)
Pacarmu yang hilang bukanlah semacam bahan gurauan. (hlm. 385)
Kematian itu menular. Seakan-akan kematian mengalir dari bagian tengah, lalu menyebar keluar. (hlm. 407)
Semua orang dua punya wajah. (hlm. 418)
Bayar utang-utangmu, sama seperti semua orang lainnya. (hlm. 456)
Cerpen Dwi Rezki Fauziah (Koran Tempo, 25-26 November 2017) Apa pun Selain Tentara dan Kehilangan ilustrasi Indra Fauzi/Koran Tempo“Ibu, aku ingin menjadi tentara.”
Oh, Syahdan… kau tidak tahu sudah berapa kali aku bermimpi buruk
selepas Digta mengatakan itu padaku. Kurasa setiap malam, satu-satunya
hal yang dapat kudengar adalah bunyi meriam dan tembakan peluru yang
menembus daun, dinding, kayu dan hati-hati manusia. Setiap aku
memejamkan mata, bayangan akan darah, memar dan tanganmu gemetar saat
menyentuhku membuat aku tak pernah sekali pun tidur nyenyak. Lebih parah
lagi, kadang aku merasa darah itu mengalir di sela-sela jariku,
merembes ke bagian leher dan kuisapi baunya, sementara kau benar-benar
pucat—kehilangan darah. Lalu Digta juga akan terbangun, bertanya mengapa
aku gelisah, dan ujung-ujungnya berkata dengan “sok dewasa”-nya: Tak
perlu takut ibu, itu hanya mimpi buruk. Sekali pun tak pernah berpikir
bahwa dialah penyebab mimpi burukku.
Seandainya kau ada di sini, akan kupukul kau habis-habisan. Sebab
kisah peperangan yang saban hari kau ceritakan pada Digta membuat anak
kita itu tumbuh dengan terobsesi menjadi tentara. Katanya pejuanglah,
patriotlah, pahlawanlah, Hah! Pahlawan apa? Kau dan orang-orang berbaju
loreng itu hanya dijadikan tumbal saja, Bodoh! Mereka menempatkanmu di
barisan depan, agar mereka bisa bersembunyi di barisan ke seratus sambil
duduk-duduk. Kau tidak tahukah? Dan sekarang bertanggungjawablah,
karena Digta sudah sangat ingin menjadi tentara. Bahkan dia lebih ingin
itu ketimbang melihat jasadmu, yang kini tak tahu rimbanya.
Beberapa kali sudah kukatakan padanya, menjadi guru atau dokter jauh
lebih baik dan mulia ketimbang tentara. Sudah kuiming-imingi dengan
status sosial, gaji tinggi, para gadis bahkan pahala dan ridaku sendiri,
tetapi dia tetap tak bergeming. Selalu saja, kehormatan yang dia
junjung tinggi. Dia berkata padaku dengan wajah dibuat semeyakinkan
mungkin: Ibu, kalau aku jadi tentara, ibu akan dihormati karena
telah melahirkan seorang prajurit. Kata ayah, itulah keinginan setiap
ibu di dunia ini. Kau yang mengajarinya, kan? Menentang keinginanku
demi mengatasnamakan namamu. Oh, Syahdan.. harus bagaimana lagi aku
mengatakannya? Aku benci tentara.
***
“Ibu, tentara itu hebat, yah? Pandai menembak dan memanah.”
Begitulah dia katakan setiap kali melihat berita perang saudara di
kampung kita. Lalu dia akan menjulurkan tangannya ke depan, mengepal
jari- seolah-olah itu pistol, dia arahkan ke sana-kemari sembari
berkata: “Door!” “Door!”
Aku kesulitan sekali menangkapnya yang berlarian di halaman. Kau
tahu, perang masih belum reda. Meski sudah tak pakai senjata, masih
banyak penduduk desa kita yang tiba-tiba terkapar bercucuran darah,
sebab peluru yang entah siapa empunya. Keluarga kita termasuk orang
paling diincar. Terlebih mereka tahu bahwa Digta ini satu-satunya lelaki
setelahmu. Orang-orang mengira Digta pasti memiliki jiwa-jiwa pejuang
sepertimu. Dan sayangnya, perkiraan itu memang benar.
Saban hari, Digta menyisihkan satu jam sepulang sekolah untuk belajar
bela diri di kampung sekolah. Anak kita sudah menginjak usia sepuluh
dan sudah hafal jalan pulang. Sebagai anak lelaki, adalah hal wajar
ketika dia suka bepergian. Selain itu, dia bilang dia suka petualangan,
silat, naik sepeda menuruni bukit, dan ah, dia juga sangat suka sepak
bola. Tetapi yang sering dia katakan malah, Aku ingin jadi tentara.
Bukan jadi karateka, pesilat, atau pemain sepak bola. Mengapa tidak jadi
pemain bola saja? Tanyaku padanya suatu ketika. Tidak usah, Bu. Pemain
bola tidak akan bisa bermain jika keamanan saja masih terganggu.
Begitulah jawabnya yang membuat aku semakin mengutuk dirimu, Oh Syahdan.
Kau pernah bilang bahwa jika itu laki-laki, kau ingin anakmu menjadi
tentara. Dan aku bersikukuh mau punya anak mahaguru. Kita sempat tak
bicara tiga hari tiga malam karena itu. Padahal, kau sangat jarang
berada di rumah. Dirga—anak perempuan kita-juga tidak suka dengan
pekerjaanmu. Seperti halnya aku, dia pun paling benci kehilangan. Dan
tampaknya dia mulai terbiasa merasakan hilangmu, sehingga ada-tidaknya
kau dianggap angin lalu saja. Malangnya anak kita, Syahdan, dia pun
mulai menyatu dengan kehilangan itu.
Beberapa bulan setelah kematianmu, dan kepergian tawaku, dia keracunan akibat memakan daun aglaonema
di depan rumah. Kurangnya persediaan beras waktu itu membuatku terpaksa
hanya memasak sekali sehari saja. Uang pun aku tak punya. Ibu dan bapak
yang sakit bahkan tak kuobati. Inilah yang mengherankan. Kau bilang,
uang pensiunmu akan membantu kami, selalu kau embel-embeli dengan uang
tunjangan, asuransi, jaminan, atau apalah, tapi semuanya hampa. Kau itu
cuma orang desa, Syahdan. Mereka mungkin sudah lupa alamatmu. Omong
kosong dengan uang-uang itu. Anak kita—Dirga—akhirnya meninggal, di
rumah sakit yang tak memberi pelayanan baik karena hanya kubayar dengan
janji.
Ibu dan bapak pun menyusul tak lama kemudian. Namun, kematian mereka
masih kuwajari dan tak terlalu menyayat hati. Mereka memang sudah tua
sekali, dan beberapa kali telah kita prediksikan mati. Sebab asap-asap
peluru yang mengganggu pernapasan mereka kian menerobos celah-celah
rumah kita. Kini kami tinggal berdua. Aku dan Digta. Kuhidupi dia dengan
menjual segala berharga yang masih melekat di badan. Anting-anting,
kalung, baju pengantin, dan cincin kita. Lalu kugunakan uang itu sebijak
mungkin. Ada pula beberapa juta kusisipkan untuk pengobatan. Kalau saja
Digta kenapa-kenapa, maka aku tidak pontang-panting lagi untuk
berhutang.
***
“Ibu, apa tentara punya banyak uang?”
Aku masih memikirkan kau dan uangmu ketika Digta menanyakan itu
padaku. Aku muak, Syahdan. Aku lelah diingatkan tentang kau oleh
pertanyaan-pertanyaan Digta. Kubanting meja keras-keras di depannya.
Sebuah vas bunga kaca terjatuh namun tak sampai pecah. Dia bertanya
kenapa. Aku balas dengan teriakan murka.
“Berhentilah berbicara tentang tentara!”
“Memangnya salah, Bu? Digta ingin jadi tentara, untuk melindungi ibu.”
“Omong kosong! Kau hanya akan pergi dari ibu, meninggalkan ibu sendiri. Seperti yang dilakukan ayahmu itu.”
“Tidak. Meskipun mati, Digta mati terhormat sebagai prajurit.
Lagipula semua orang bukannya akan mati, Bu? Mengapa ibu begitu takut?”
“Digta, pokoknya ibu tidak mau kau jadi tentara!”
“Ibuuu!” lalu aku mendengar teriakan Digta. Entahlah, ada kaget,
marah dan perih tersirat dari suaranya. Namun, aku tidak bisa
memastikan. Yang kuingat setelah teriakan itu, hanya tangis, darah,
peluru dan salak anjing menyahut-nyahut, kalau aku tidak keliru.
***
“Jadi kakek dulu juga seorang tentara, Yah?”
“Iya. Kakek ayah- bapak dari nenek- juga tentara.”
“Wah, betapa beruntungnya nenek, dikelilingi oleh banyak tentara.
Sudah semestinya dia tidak merasa takut selama perang berlangsung.”
“Seharusnya begitu.”
Seorang tentara dan anak perempuannya itu masih bersimpuh di kuburan
menjelang sore hari ini. Sesekali mereka tertawa, dan menunduk
khidmat—menatap nisan di hadapannya. Hingga telepon genggam tentara itu
berdering. Maka segerahlah dia mengajak anaknya kembali.
“Shayla, ayo pulang. Ayah ada kerjaan.”
“Apa ayah tidak kembali lagi malam ini?” Anak itu menatap ayahnya dengan mata berbinar gelisah.
“Ya, seharusnya begitu.”
Dwi Rezki Fauziah. Berusia 18 tahun. Masih
pelajar di sekolah menengah. Suka menulis. Cerpennya beberapa kali
diterbitkan dalam buku antologi.
Puisi-puisi Mutia Sukma (Koran Tempo, 25-26 November 2017) Jonker Walk ilustrasi Indra Fauzi/Koran Tempo
Payudara Ibu
: Shangguan Lu
Sebelum menetes susu pada mulut yang
selalu menganga minta dijejali
Langit mula-mula begitu biru
Matahari memantul pada kilauan keringat
Di payudaramu yang selalu kau puja
Dan amini sendiri
Sebagai lembah bergulma yang minta disiangi
Kini kamu tutup seluruh jendela
Kamu tutup dari seluruh udara dan gerakan angin
Kamu tutup hingga membentuk ruang baru yang pengap
Yang bebas dimasuki dan dipuja,
Dikulum hisapi anak-anakmu
Selalu siap seperti guci yang menuang air ke dalam kendi-kendi
Setelah menetes susu pada mulut yang selalu minta dijejali
Aroma sate di panggangan atau sup lobak yang baru matang
Tak memanggil-manggil perut anakmu untuk diisi
Tapi memandang dadamu,
Manis kurma merekah
Lebih dari candu
2017
Jonker Walk
Seorang pemuda menutup pintu toko sebagian
Para wisatawan genit berjalan mengalungkan kamera di lehernya
Di foto,
Abadikan kesedihan si pemuda
Merenungi nasib yang entah apa namanya
Memandangi tembok yang tergantung jalinan bilahan bambu
Bergambar ornamen cina tua
Yang letaknya masih sama
Sejak ingatan pertama masih menempel di kepalanya
Kesedihan bangkit padanya bagai hantu dan dewa-dewa
Di luar jendela,
Toko dan motel melata bagai ekor si naga
Tak ditemukan lagi jejak kaki kecilnya
Atau gantungan karakter fu yang ditulis pada
kertas merah masa kanak
dan remang cahaya lampion
bagai ngilu masa lalu yang begitu samar
maka,
di setiap hari yang selalu ribut di luaran
dunia begitu sunyi baginya
2017
Mutia Sukma lahir di Yogyakarta, 12 Mei 1988. Buku puisinya, Pertanyaan-pertanyaan tentang Dunia, masuk lima besar penghargaan Kusala Sastra Kathulistiwa 2017 kategori Buku Pertama dan Kedua.
Cerpen Gde Aryantha Soethama (Kompas, 26 November 2017) Ida Waluh di Lereng Gunung Agung ilustrasi Yusuf Susilo Hartono/Kompas
Sudah larut malam, barak pengungsi itu dipagut sepi. Mereka saling
pandang ketika hendak memutuskan siapa akan menjemput Ida Waluh di
lereng Gunung Agung. Perjalanan kurang dari tiga jam, tapi penuh mara
bahaya, jika gunung yang dalam keadaan awas itu tiba-tiba meletus.
“Saya bersedia,” ujar seorang anak muda mengacungkan tangan tiba-tiba setelah sekian lama suasana bisu beku.
Semua memandangnya dengan seksama. Dia tamatan institut teknologi
informasi, bekerja di penyedia jasa web design di Jimbaran. Ia yatim
piatu, kuliah ditanggung bibinya yang tidak menikah, hidup dari menjual
sembako di pasar kecamatan. Sejak warga dusunnya, Desa Kesimpar, di
lereng Gunung Agung mengungsi ke Swecapura, Ananta selalu bermalam
bersama mereka. Saban hari ia ulang-alik Swecapura-Jimbaran menempuh dua
jam bermotor.
“Kalau begitu, saya ikut,” usul laki-laki bersarung, mengenakan kemeja endek.
“Biar saya sendiri saja, Pak Losen. Bapak dibutuhkan di sini
menyambut kunjungan pejabat dan menemani para pembawa sumbangan untuk
selfi. Tak ada yang bersedih kalau saya tak kembali. Ayah, ibu, pacar,
saya tak punya. Saya cuma titip bibi.”
Losen anggota DPRD Kabupaten Karangasem, mendulang banyak suara
berkat bantuan para bebotoh judi sabung ayam. Berulang Losen
menyampaikan, ia bercita-cita jadi bupati bahkan gubernur, karena dengan
menjadi kepala daerah ia yakin bisa mensejahterakan Desa Kesimpar.
Menjelang subuh Ananta berangkat ke Kesimpar naik motor. Para
pengungsi melepasnya dengan pelukan dan tepukan bahu. Ibu-ibu terisak
seperti melepas putra mereka ke medan perang dan tak akan kembali.
Kakek-nenek mengusap-usap kepalanya, komat-kamit mengucap doa semoga ia
kembali selamat utuh bersama Ida Waluh.
Bibinya justru tegar, memberi semangat. “Kamu penyelamat dusun kita, An.”
“Kasi hadiah nanti ya, kalau saya berhasil.”
Si bibi tersenyum, menyodok lembut dada keponakannya dengan bangga.
Melewati bukit Kahang-kahang, Ananta mulai merasakan getaran gempa.
Selepas Desa Datah, gempa itu kian keras dan semakin kerap. Memasuki
Desa Kesimpar, gempa semakin kuat, tanah tak cuma bergoyang, juga
terguncang, dan bumi bagai hendak terbelah. Pohon terhuyung-huyung,
gesekan semak-semak menimbulkan suara berderak- derak, seakan sebentar
lagi Gunung Agung meletus. Tak ada burung melintas, juga tidak unggas
dan anjing. Sapi-sapi sudah diungsikan. Desa Kesimpar menjadi dusun mati
seperti disambar naga.
Ananta memasuki Pura Desa tempat Ida Waluh. Beberapa bagian tembok
pura retak, atap-atap bangunan miring digoyang ratusan kali gempa
sepanjang hari sejak dua pekan terakhir. Ia berhenti tepekur di depan
sebuah meru tumpang tiga beratap ijuk tempat Ida Waluh berada. Dengan
kunci yang ia ambil dari tas pinggang, perlahan ia membuka pintu dengan
dada berdebar, semakin berdebar oleh getaran gempa yang mengguncang
setiap dua menit.
Ida Waluh duduk bersimpuh, menatap teduh Ananta yang mencakupkan
tangan di dada, sebelum dengan takzim membopongnya ke balai piasan,
tempat yang dipenuhi sesaji jika upacara piodalan digelar.
Rambut Ida Waluh tergulung memanjang ke belakang, ujungnya melingkar.
Dari kemaluannya menyembul bunga waluh menutup pusar dan sebagian kedua
pahanya. Tubuhnya condong ke belakang, kedua tangan bertumpu menyangga
bunga waluh yang besar.
Warga Desa Kesimpar sangat yakin, rambut yang memanjang adalah
lingga, alat kelamin tanda kelaki-lakian Dewa Siwa, dan waluh adalah
yoni, kelamin perempuan. Ida Waluh diyakini sebagai perujudan
lingga-yoni simbol kesuburan, pemberi kesejahteraan dan kedamaian. Warga
menjaganya dengan tidur makemit saban malam di Pura Desa, sejak
beberapa tahun lalu, ketika puluhan patung suci pretima di desa-desa
kaki Gunung Agung disatroni maling.
Ida Waluh memang rawan diculik, karena persis di belahan dadanya
terbenam permata hijau lumut sebesar ibu jari tangan. Tersebar kabar ke
seluruh desa dan kota, permata itu sangat bertuah dan murah hati. Banyak
tokoh yang turut pemilihan kepala daerah atau anggota DPRD mohon restu
di Pura Desa Kesimpar, mohon petunjuk dan restu memenangkan pertarungan
politik. Mereka yakin anugerah permata hijau lumut itu menyiramkan
wibawa dan pengaruh bagi siapa saja yang memohon pada Ida Waluh, yang
diyakini percikan dari Ida Sang Hyang Widhi.
Ananta menyarankan tidak perlu makemit jika Ida Waluh selalu bersama GPS tracker
untuk melacak dan memberi alarm jika diculik atau dipindahkan. GPS
dipasang di atas lempengan baja yang menyatu dengan kayu, yang menjadi
alas duduk Ida Waluh.
Tapi warga tidak pernah yakin, tak pernah tenang. Laki-laki dusun
tidak semangat mengurus kebun, setiap saat dihantui perasaan was-was dan
bersalah jika Ida Waluh diculik. Orang-orang kampung itu meragukan
teknologi, karena teknologi hebat bisa dilawan dengan yang lebih
canggih. Teknologi itu gampang disiasati dan dikibuli. Beberapa hari
setelah pemasangan GPS, tiga wanita kesurupan meminta warga makemit kembali, bermalam di pura. Ida Waluh memperoleh dua perlindungan: digital dan manual. Dari tempat kosnya di Jimbaran, dengan smart phone Ananta bisa memantau Ida Waluh karena GPS tracker tetap terpasang.
Kesurupan kini berulang di pengungsian, dialami enam perempuan.
Selepas petang anak-anak menangis menjerit-jerit tanpa sebab. Para orang
tua bingung, inguh, gelisah. Orang-orang dewasa cuma
tidur-tiduran tidak karuan, bermalas-malasan. Mereka merasa tidak nyaman
dan ingin segera kembali ke Kesimpar, namun takut disergap lahar dan
terjebak awan panas. Ketika itulah mereka sadar, Ida Waluh semestinya
hadir untuk menjaga ketenangan dan kenyamanan. Mereka sepakat menjemput
Ida Waluh untuk bersama tinggal di barak.
Hari menjelang sore tatkala dengan sangat hati-hati Ananta membopong
Ida Waluh, setelah membungkusnya dengan kain kasa kuning yang ia
dapatkan di sudut balai-balai. Gempa mengguncang-guncang semakin sering
dan kian kuat. Kadang Ananta mendengar suara gemuruh seakan gunung
meledak. Waktu terasa berjalan sangat lamban ketika ia bergegas jalan
kaki melewati Tukad Gerudug yang dipenuhi batu muntahan letusan Gunung
Agung tahun 1963.
Ananta bergegas menghidupkan motor yang ia parkir di bawah mohon
jambu mete. Ida Waluh ia tempatkan di depan dada, tidak di boncengan,
karena kuwalat memunggungi sosok suci. Apalagi tanpa disadari kadang ia
kentut kalau naik motor. Dengan menempatkannya di depan, ia merasa
seakan dipeluk Ida Waluh. Ia menjadi sangat tenang, tidak gentar akan
bunyi-bunyi aneh alam sekitar karena gempa yang berulang.
Para pengungsi baru menyelesaikan makan malam ketika Ananta tiba di
pengungsian Swecapura. Ia disambut seperti pahlawan, dielu-elukan,
dipeluk penuh haru, dicubit-cubit ibu-ibu. Gadis-gadis mencium pipinya
dengan bangga dan penuh suka cita. Tempat pengungsian itu menjadi riuh
ketika Ida Waluh diarak ke ujung barak, ditempatkan dengan khidmat di
atas tumpukan kardus-kardus bekas mi dan biskuit sumbangan. Sesaji
dihaturkan, mereka menembangkan kidung wargasari, tirta dipercikkan.
Sejak itu orang-orang Kesimpar di pengungsian menjadi tenang. Tak ada
lagi yang kesurupan. Anak-anak meminjam buku dongeng dari perpustakaan
keliling. Untuk para kakek dan nenek, mereka membaca buku Mendongeng Lima Menit yang
dikumpulkan Made Taro. Kali ini anak muda yang mendongeng untuk orang
tua. Meski Gunung Agung dikabarkan kritis siap meletus, mereka di barak
tidur nyenyak. Anak-anak makan banyak, bayi menetek susu ibunya dengan
lahap.
Sampai suatu hari lewat tengah malam ponsel Ananta berdering. Tat-tit-tut-tet-tet-tet…
Ananta yang sedang duduk-duduk di barak pengungsi lain, tak harus
menunggu dering ketiga, ia menyambar ponselnya. Ia kaget ketika menatap
layar, ikon Ida Waluh bergerak ke luar barak. Ananta membangunkan
orang-orang, mengajak mereka menatap layar selebar telapak tangan itu.
Belasan orang bergegas mengikuti ikon yang bergerak semakin cepat di
layar. Mereka memasuki sawah yang sedang ditumbuhi kedele. Mereka
meloncati selokan tempat mereka mandi dan buang air di tengah sawah.
Layar di ikon semakin jauh dan kian bergegas menerobos sawah. Mereka
mengikuti Ananta, yang bagai menjadi komando dari sebuah pasukan tempur.
Ponsel di genggamannya seperti sebuah senjata otomatis siap menyalak.
Matanya tak lepas-lepas dari ponsel, silih berganti mengikuti arah
pematang di depan agar ia tidak terperosok.
Ananta memberi aba-aba agar orang-orang berhenti ketika ikon di layar
diam, cuma berkedip-kedip perlahan. Mereka memandang sekitar, gelap
sekali, sawah cuma diterangi cahaya bintang. Mereka mengendap-endap
menuju titik ikon Ida Waluh berhenti.
Ananta memandang lurus ke arah ikon yang semakin dekat. Matanya tak
lepas-lepas dari layar ponsel. Ia menatap sebuah gubuk kecil beratap
alang-alang, dikitari tanaman jagung yang baru berbunga. Dengan dagunya
ia menunjuk ke gubuk itu. Dan mereka serentak bergerak.
“Serbuuuuu…..!”
Mereka menerobos gubuk, mendapati seseorang duduk di atas tumpukan
jerami. Gelap sekali dalam gubuk ketika orang itu dihujani pukulan dan
tendangan bertubi-tubi. Erangan dan jeritan kesakitan kalah oleh deru
hantaman dan bising gerakan lengan.
Gubuk itu roboh karena tak sanggup menahan belasan orang. Atapnya
beterbangan menghantam batang-batang jagung. Ketika itulah mereka
menemukan Ida Waluh terduduk di sudut gubuk. Mereka segera mengambil pretima,
patung suci dari kayu cendana setinggi tiga puluh senti itu, dan
menjunjungnya ramai-ramai ke barak. Kecuali Ananta, tak seorang pun
peduli sama pencuri itu yang tertelungkup.
Dada Ananta berdegup kencang ketika ia membalik tubuh orang itu, dan menatap wajahnya yang dikenal semua orang Kesimpar.
“Pak Losen. Pak…. Pak Losen.” Ananta menggoyang-goyang tubuh lunglai itu.
Losen perlahan membuka mata yang digenangi darah. “Sejak lama saya
ingin memiliki permata ini, An,” ujarnya sembari merogoh saku celana dan
mengeluarkan permata hijau lumut yang tadi masih tertancap di dada Ida
Waluh, yang bercahaya lembut memantulkan cahaya bintang-bintang.
Ananta tak percaya, ketika orang-orang membawa Ida Waluh ke barak, ia masih melihat jelas permata itu berada di tempatnya.
“Yang itu palsu, An, saya mencungkilnya tadi, menggantinya. Yang ini
asli. Saya cuma ingin permata ini, tidak patungnya. Akan saya kembalikan
patung itu setelah berhasil menguasai permata lumut ini, agar saya bisa
jadi bupati atau gubernur.”
“Bapak yakin?”
“Kamu kenal almarhum Pan Buyar?”
“Semua orang Kesimpar mengenalnya.”
“Pan Buyar itu kakekku, pakar batu mulia. Ia kerap menerima berkah
batu bertuah di lereng Gunung Agung, tapi semua untuk penolak bala, tak
ada buat membangun wibawa. Kakekku bilang, permata lumut ini bisa
membuat pemiliknya jadi pemimpin nomor satu.”
Losen menggenggam tangan Ananta, mencoba memindahkan permata hijau
lumut itu ke genggamannya. Ananta terperanjat, menggeleng, menarik
tangannya. Tubuhnya merinding, sesuatu berdesing dalam dadanya. Ia
menggigil.
“Takdir benda ini milikmu, An, ambillah,” suara Losen melemah.
“Rawatlah dengan baik, kelak kamu bisa jadi bupati atau gubernur.”
Losen terengah-engah, tangannya berayun lemah memasukkan permata
hijau lumut itu ke saku baju Ananta. Setelah itu ia tak bergerak.
Wajahnya bengkak tengadah menatap langit, sekujur badannya berdarah.
Orang-orang itu meremukkan tubuhnya, mematahkan rusuk dan betisnya.
Beberapa kali bunyi krok-krok-krok meluncur dari tenggorokannya,
kemudian diam, benar-benar diam.
Di barak orang-orang mengumandangkan kidung wargasari, menyambut
kembali Ida Waluh yang sempat menerebos tanaman kedele dan jagung.
Kidung itu terdengar sayup ke gubuk, seakan sekalian menjadi nyanyian
mengantar keberangkatan Losen.
Sebentar lagi pagi tiba.
Gde Aryantha Soethama, meraih Anugerah Kesetiaan Berkarya dari harian Kompas pada 2016. Buku kumpulan cerpennya Mandi Api (2006) meraih Khatulistiwa Literary Award. Hampir setiap tahun cerpennya lolos dalam buku Cerpen Pilihan Kompas. Ia juga menulis buku-buku jurnalistik seperti Menjadi Wartawan Desa (1985), Wawancara Jurnalistik (1986), dan Koran Kampus (1986).
Puisi-puisi Ahmad Yulden Erwin dan Iyut Fitra (Kompas, 25 November 2017) ”Les Oignons” ilustrasi Isabelle Fournier Perdrix/Kompas
Semesta Karatsu
1/
Tak ada kilat atau tanda api
Kecuali hangus pasir
Atau cemas yang lingsir
Saat kutatap prana berayun di dinding
Cawan itu, sebelum percik dingin
Bermain dalam mataku, menduga-duga
Taksa pada rumpun bambu
Atau padang yang jauh, tentu,
Kau tahu, waktu bisa setipis embun
Atau haru yang rimbun, tetapi kita
Tak mampu menolaknya, semesta hadir
Bahkan dalam sebulir pasir, dan semua
Akan berakhir tepat ketika kita membuka mata
2/
Penafsir Tua, dulu kau pernah berkata
Dunia adalah mimpi di kala jaga, dan kami
Hanyalah bagian dari mimpi lainnya
Namun di sini, kami percaya, dunia tak lain fakta
Atau semacam permainan tanda, atau sekadar
Temaram cahaya, jadi siapa sebenarnya
Kami ini, Penafsir Tua? Apa sebenarnya mimpi ini?
3/
Sayang, apa benar kita masih terjaga?
4/
Misalnya cawan ini adalah mimpimu
Misalnya cawan ini adalah hatimu
Siapa yang akan diam-diam menyentuhmu?
Kami akan pergi malam ini, dan kau akan
Kembali ke lubuk mimpimu, gemetar
Menatap serbuk matcha di dasar cawan itu
Misalnya puisi ini tak lain cawanmu
Misalnya puisi ini tak lain hatimu
Siapa yang akan diam-diam menafsirmu?
5/
Sekarang kita tak perlu lagi bermain jigsaw
Atau menduga siklus cemas itu lahir dari
Jejak lampau, meski di bawah kilau parafin
Maut bisa tiba-tiba hadir dan menyentuh
Sepasang ruas bambu pada dinding cawan itu
Hingga kita mendadak yakin di luar sisa haru
Tinggal kirab angin, atau mungkin takdir
Yang lain, tepat saat murai kuning itu hinggap
Di ranting kaliandra, sebelum kita tertawa
Dan mendadak terjaga dalam mimpi lainnya
Pintu
Ada
satu
pintu,
bila dibuka, diriku
akan ikut terbuka.
Ada
satu
pintu,
bila ditutup, diriku
akan tetap terbuka.
Ada
satu
pintu
dalam diriku.
Jalan Lain Musashi
1 Berkerut kening Daruma
Menatap sepasang angsa
Termenung di sisi telaga
2 Patung dewa pedang
Memandang angkasa –
Tersenyum pada musuhnya
3 Buddha tertawa
Menatap pralaya
Dua ayam jantan
4
Burung pingai tertancap pedang – Sebuah lukisan tinta, tertanda Fudo Myo-o (dewa pedang) –
5
Ia letakkan pedangnya
Ia raih kertas, kuas, dan tinta – Pelikan menatap angkasa
Kecambah
Kau
telah tumbuh
di lembah tertinggi,
kau telah luruh
ke puncak terdalam,
kecambah! kecambah!
tumbuhlah, tumbuhlah,
biarkan daunmu
menyentuh tungku matahari,
biarkan kau terbakar,
biarkan kau tinggal abu,
dan dari abumu
tumbuh kembali
kecambah baru,
biarkan
kini
akarmu
menjulur menggali
tanah gembur waktu
l
a
l
u
dari tangkai mungilmu
menyulurlah semesta baru:
sehelai bulu lenganku.
Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandar Lampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi Perawi Tanpa Rumah (2013) dan Sabda Ruang (2015).
Orang-orang Bukit Tui
dalam lingkup kabut. ia bukan orang selatan
yang memecah dan membakar batu kapur
antara rao-rao hingga tanahhitam. udara bercampur sengat asap
“inikah bukit tui?”
ia lihat wanita-wanita perkasa menantang peluh
barisan laki-laki penambang tak akan pulang sebelum petang
berjuang di antara lapar dan sesak napas
lembab gerimis tak reda-reda
ketika hujan tumpah ruah. ia tak sedang di telaga
tapi tahun 1987. bulan ramadhan yang menggamit lebaran
tanah bergulingan dari puncak bukit
pohon-pohon menghalau rumah-rumah dan sawah
lalu orang-orang bercerita di lepau-lepau
di lapangan bahkan surau
tentang seorang kakek tua yang berkunjung sebelum senja
tentang para pejudi yang tiada peduli tinggi hari
tapi ia hanya melihat bayangan cukong-cukong kayu yang bergegas
juga para penebang yang tertawa
ia bukan pencari pakis dan rotan
tapi ia melihat di utara tambang tak lagi ada
orang-orang bukit tui meninggalkan kampung entah ke mana
meninggalkan bukit cinta
Payakumbuh, 2017
Alor dan Gadis-gadis Takpala
matahari bersengat gagah. kemarau memang selalu panjang
sungai-sungai kering dan sempit. melagukan musim berbeda rupa
seolah kisah dua raja yang tercebur ke dalam perang magi
di mana angin topan bergulung-gulung dari pedalaman pegunungan alor
lebah berdengung-dengung dari ujung timur pulau pantar
mengitari sudut-sudut abui dan munaseli. hingga ada pedang yang tercampak
“selalu ada yang kalah! selalu ada yang disimbah darah!”
orang-orang bersorak meratapi kehilangan
orang-orang menekuri kemalangan
tapi di takpala. gadis-gadis terus menari
sebelum masuk ke hutan-hutan
menyerahkan hidup pada pencarian
lihat. rentak kaki dan riuh tetabuhan menyambut kedatangan
moko bertingkahan mengiring kaki-kaki mungil berlingkaran
“ayo menari. marilah menari
lego-lego kita mainkan sebelum hari dijemput malam!”
sejenak mereka lupa cerita-cerita hasil hutan
mereka lupakan pula jalan-jalan tanah serta pendakian
lalu segala susut. waktu setia beringsut
alor pun berjalan menuju masa depan
2017
Anak-anak Pukat
apa daya si tukang pukat
biduk tersorong air laut kering
lagu orang pantai. gemanya pecah di bibir buih
sepanjang pesisir
anak-anak berkulit kelat melawan matahari. anak-anak pukat
yang tak letih menjala-jala hari
sekian depa jaring terkembang. sebegitu pula kadang nasib terjerat
tebuslah peluh demi pembayar utang
lepau nasi. juga teh kopi barang segelas
tapi rantau pariaman adalah cinta pada laut
seasin-asin garam. sekuat terjang pasang
orang-orang tak mengaku kalah pada ombak ataupun gelombang
anak-anak yang bermimpi jadi nakhoda
turun ke bandar-bandar
air bangis, sibolga, bahkan ke ujung singkil
perahu dan pincalang penuh barang
menyinggahi pekan dan harapan
sementara di pantai panas sengat tak redup-redup
entah bila rasian itu akan tiba
anak-anak yang besar dari kaba
dari teluk singalai tabang papan
bidurai putih menghela empat putri
jelita yang lahir dari kebun dan tambang
tapi laut segera beriak. “nan tongga, nan tongga…!”
suara angin berkeriuhan. semisal riuh tabut diarak-arak
“mana kapalmu? usirlah panglima yang datang!”
pantai sepi. pantai tak mati
anak-anak pukat
tak pernah takut pada siang terpanggang
bahu yang melepuh
juga pada topan malam datang
2017
Iyut Fitra lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat. Lelaki dan Tangkai Sapu (2017) adalah buku puisi mutakhirnya.
Oleh Tyas KW (Kompas, 26 November 2017) Menanam Pohon Puspa ilustrasi Regina Primalita/Kompas
“Banyak sekali, Kak, semuanya ada sepuluh? Bibit tanaman ini mau
ditanam di mana?” ujar Dayat pada Kak Wira. Bibit tanaman itu ada di
dalam polybag. Dayat bingung, halaman rumahnya di Jalan
Pajajaran, Branangsiang, Bogor, tidak terlalu luas dan sudah dipenuhi
pot-pot bunga kesayangan ibu.
“Ini bibit tanaman puspa, bukan untuk ditanam di halaman. Dayat ikut
Kakak saja ke hutan besok pagi? Seru, lho,” jawab Kak Wira penuh
rahasia. Setiap akhir bulan, kakaknya yang sudah kuliah itu selalu pergi
ke hutan di sekitar Bogor.
“Memang di hutan ada apa, kok seru, Kak?” tanya Dayat agak enggan.
“Itu karena Dayat belum tahu saja. Nanti Kak Wira tunjukkan, pasti Dayat suka!” ujar Kak Wira. Dayat pun mengangguk.
Esok harinya, Dayat mengikuti Kak Wira ke Telaga Saat, Kabupaten
Bogor, yang lokasinya sekitar 1 jam berkendara mobil dari rumah mereka.
Kak Wira mengajak Dayat menuju hutan di sekitar Telaga Saat sambil
membawa bibit tanaman puspa.
Kak Wira menggali lubang. Dayat membantu memasukkan bibit pohon puspa
ke dalam lubang itu. Bibit pohon itu dipegangi Dayat sampai Kak Wira
selesai menimbun lubang tanam, agar pohon puspa itu nanti tumbuh lurus.
Setelah selesai, Dayat yang kecapaian lalu berteduh di bawah pohon puspa
yang belum terlalu tinggi.
“Kalau duduk di bawah pohon begini, memang sejuk ya, Kak,” ucap Dayat.
“Dayat tahu sebabnya?” uji Kak Wira tersenyum.
“Iya, Kak, karena pohon ini menyerap karbondioksida dan mengeluarkan
oksigen. Tapi, kenapa menanam pohon puspa, Kak? Dan, serunya di mana?”
ujar Dayat.
“Pohon puspa cocok ditanam di tepian sungai. Akarnya akan membantu
penyerapan air sehingga bisa menjadi cadangan air saat musim kemarau.
Pohon puspa bisa tumbuh sampai 45 meter atau lebih, lho,” Kak Wira
menjelaskan.
“Wah, tinggi sekali ya, Kak?” Dayat tercengang.
Tiba-tiba Dayat melihat burung besar berwarna kuning kecoklatan sedang terbang melayang di atas mereka.
“Kak, lihat! Burung itu besar dan gagah ya?” Dayat yang suka dengan
burung langsung bersemangat. “Bentuknya seperti burung garuda, lambang
negara kita.”
“Itu burung elang jawa yang langka. Burung itu senang bersarang di pohon puspa karena tingginya,” Kak Wira lalu menjelaskan.
Dayat pun terkagum-kagum menyaksikan burung elang jawa itu. Ia kini
paham, mungkin inilah yang dimaksud kegiatan mengasyikkan oleh kakaknya.
“Dengan menanam pohon puspa, selain kita mendapat cadangan air saat
kemarau, kita juga bisa membantu melestarikan elang jawa yang merupakan
satwa langka di negara kita,” ujar Kak Wira kemudian.
Dayat mengangguk. “Bulan depan, Dayat ikut menanam pohon lagi, ya,
Kak? Seru sekali, bisa menanam pohon sambil menonton burung elang jawa
terbang.”
Kak Wira mengangguk sambil tersenyum. *
Cerpen Etik Nurhalimah (Republika, 26 November 2017) Impianku ilustrasi Rendra Purnama/Republika(HABIS)
“Tuan, kalau ada kiriman barang atas namaku tolong terima dan simpan
dahulu ya. Nanti jam istirahat, aku akan turun untuk mengambilnya,”
ucapku pada satpam apartemen.
“Oh iya, Nona. Kalau boleh tahu, bentuk paketan apa itu?” tanya lelaki paruh baya itu.
“Hanya berupa buku kok. Dan tidak perlu membayar.”
“Oke, kalau begitu.”
“Terima kasih, Tuan. Ini ada sedikit camilan untuk nanti sore,” seraya kusodorkan bungkusan kecil berisi biskuit dan kopi.
“Wah, terima kasih, Nona.”
“Sama-sama, Tuan,” balasku, sambil berlalu untuk naik ke apartemen.
Ini bukan sogokan, hanya tanda terima kasih. Satpam itu kerap
membantuku menyelamatkan buku-buku dan modul sekolah, yang dikirim pihak
pengajar untukku.
Ujian di ambang mata. Lagi-lagi aku masih bingung, bagaimana harus
mendapatkan izin agar bisa libur dua kali di bulan ini. Karena,
sebenarnya tuan hanya memberikan jatah satu kali libur dalam sebulan.
Terpaksa kali ini aku harus meminta bantuan agensi. Beliau baik
sekali, memperlakukanku seperti anaknya sendiri. Bahkan, di tengah
penentangan yang dilakukan oleh Tuan atas niatku bersekolah, beliau
memberi dukungan seratus persen.
“Kuliahlah! Karena hanya dengan ilmu dan pendidikan engkau mampu
mengubah dunia. Maka ubahlah duniamu menjadi indah dan penuh warna,”
tutur petugas agensi memberi semangat.
Sebenarnya bukan tanpa alasan dia baik padaku. Dahulu, saat kali
pertama aku menginjakkan kaki di Formosa, nasibku kurang beruntung. Di
dalam job kerja yang kutanda tangani ketika di PJTKI, tugasku
menjaga nenek. Ternyata, aku dipekerjakan di pabrik. Harus membersihkan
area pabrik yang luasnya seperti lapangan bola, serta berketinggian
tingkat lima.
Belum lagi harus memasak untuk tujuh belas orang setiap hari. Tidak
ada seorang TKW pun yang betah bekerja di sana terlalu lama. Satu sampai
dua bulan pasti mereka kabur. Tetapi aku mampu bertahan hampir dua
tahunan.
Oleh sebab itulah agensi mengagumi kesabaranku. Hingga akhirnya
ketika aku sudah tidak kuat lagi, ia menjemput dan mempekerjakanku di
sini. Bagiku, mimpi buruk itu telah terlewati. Di mana aku terpasung
dalam kesunyian, tertekan dalam tahanan, serta tertindas dalam
penjajahan.
Pagi cerah, matahari menyapa ramah. Sisa-sisa embun masih menempel di
keindahan daun-daun dan kelopak bunga. Hari ini adalah hari liburku,
sekaligus pelaksanaan ujian semester akhir. Seperti biasa, sebelum
berangkat, terlebih dahulu kubersihkan rumah, membeli koran pagi untuk
nenek, sekaligus mengajaknya berolahraga sebentar di lantai bawah.
Setelah itu, menyiapkan sarapan untuk nenek.
“Kamu nanti berangkat jam berapa, Ami?” tanya nenek.
“Jam delapan, Nek. Setelah beres semuanya, aku mau bersiap-siap,” jawabku yang tengah menyiapkan obat pagi untuk nenek.
“Kalau libur hati-hati ya. Apalagi di tengah kerumunan orang banyak,
kamu harus selalu jeli dan teliti. Jangan hanya bermain HP! Hingga tidak
tahu apa yang terjadi.”
“Iya, Nek. Aku pasti berhati-hati. Terima kasih atas peringatannya.”
Akhir-akhir ini memang marak terjadi tindak kriminalitas justru di
tempat-tempat umum. Mulai dari pembunuhan terhadap anak balita,
penyerangan membabi buta terhadap petugas stasiun, hingga banyak
tertangkapnya orang yang membawa senjata tajam saat bepergian. Sehingga
membuat pemerintah Taiwan semakin ketat melakukan pemeriksaan.
***
Suasana tegang dan mendebarkan. Lembaran soal ujian ada di depan
mata. Berbekal niat dan mengucap bismilah, satu per satu soal
kukerjakan. Harapanku satu, mendapat nilai memuaskan yang akan
kupersembahkan pada bapak-emak.
“Ami, selesai kuliah mau ke mana?” seloroh Dewi di tengah obrolan bersama kami.
“Kita makan ke toko Indo saja ya. Soalnya kalau di rumah aku tidak pernah makan menu itu,” jawabku penuh semangat.
“Oke. Si nona ternyata kalau di rumah kelaparan ya, he … he … he …,” ejek Dewi menggoda.
Kami pun pergi ke area toko Indo untuk mencicipi masakan nusantara.
Kebetulan matahari mulai condong meninggi serta perut kecilku sudah
kelaparan. Pada saat inilah aku bisa merasakan menu makanan.
Kembali aku sendiri bersama malam, langit jernih yang mengumbar
bintang-bintang. Remang-remang lampu menghiasi pinggir-pinggir jalan.
Kusandarkan tubuh lelahku di kursi bus bernomor 215 yang akan membawaku
pulang ke tempat kerja.
Sesegera mungkin inginku menuju kantung tidur dengan membawa enaknya
cita rasa nasi Padang yang kunikmati di toko Indo tadi ke alam mimpi.
Agar besok pagi aku tidak perlu kelaparan. Karena hanya disiapkan
selembar roti tawar tipis dan segelas air putih, menu sarapan pagi
setiap hari.
Kutekan bel pintu rumah karena nenek tak pernah membiarkanku membawa
kunci jika bepergian. Aku bercedak kaget. Saat mengetahui anak bungsu
neneklah yang membukakan pintu untukku.
“Cece, apa kabar?” sapaku, dengan menyuguhkan senyum ramah terbalut letih.
“Kabar baik, Ami. Sudah pulang liburannya?” tanyanya berbasa-basi.
Perasaanku tidak nyaman. Kenapa semua anak nenek berkumpul di rumah?
Sebenarnya apa yang terjadi? Mungkinkah ada hubungannya dengan uang
nenek yang ia bilang hilang tempo hari lalu? Belum sempat kuletakkan tas
punggung berisis buku dan alat lainnya.
Tiba-tiba Cece memanggilku untuk duduk di ruang tamu. Seketika itu
juga perasaan was-was menyelimuti. Jangan-jangan mereka akan
memulangkanku ke Indonesia sekarang juga? Belum sirna rasa penasaranku,
Cece dengan cepat membuka percakapan.
“Ami, atas nama nenek saya minta maaf, karena telah berburuk sangka
padamu. Sebenarnya kalau saya pribadi yakin benar, kamu tidak mencuri
uang itu,” terangnya, “karena kamu sudah lama bekerja di sini, serta
merawat nenek dengan baik-baik.”
Aku terdiam, bingung. Kenapa Cece berkata seperti itu? Ia tahu dari
mana jika bukan aku yang mengambil uang itu. Belum hilang sejuta tanya
dalam hati, Cece langsung menjelaskan; jika tadi nenek sempat tidak enak
badan. Tensi darahnya mencapai 185.
Dengan cepat Tuan Shu menelepon anak-anak nenek yang lain agar turut
serta mengantar ke rumah sakit. Setelah mium obat dari dokter, tensinya
kembali normal. Hingga tidak perlu menjalani rawat inap dan
diperbolehkan pulang.
Berhubung kamar nenek sempit, sedangkan anaknya berjumlah empat orang
datang semua, terpaksa bantal-bantal yang berada di samping kanan-kiri
nenek tidur, ditumpuk menjadi satu. Ketika itulah tumpukan uang itu
ditemukan di bawah bantal oleh anak kedua nenek yang kupanggil Er Keke.
Aku pun terharu mendengar cerita itu, tak sadar telaga ini
berkaca-kaca. Kemudian buliran bening itu jatuh. Bahagia. Kebenaran akan
tetap tampak, meskipun harus mengalah beberapa saat. Serta sebuah usaha
dan kesabaran pasti akan berbuah manis. Terima kasih, Tuhan, akhirnya
Kau jawab semua doaku.
Dengan langkah gontai aku menuju kamar nenek. Ia tengah tergolek
lemah di tempat tidur. Matanya yang sayu mengingatkanku pada sosok emak.
Wanita yang selama ini sangat kurindukan.
Taiwan, 27 Mei, 2017
ETTY DIALLOVA (NAMA ASLI ETIK NURHALIMAH) adalah
seorang buruh migran Indonesia (BMI) yang tinggal di Taiwan. Di tengah
kesibukannya sebagai BMI, Etty juga aktif sebagai jurnalis untuk media
BMI di Taiwan dan rajin menulis cerpen. Hidup dan bekerja di negeri
orang, justru mendorong Etty untuk meningkatkan ilmunya. Ia kuliah di
Universitas Terbuka. Cerpen “Impianku” berhasil menjadi pemenang ketiga
Bilik Sastra VOI Award 2017 yang diadakan oleh RRI Siaran Luar Negeri.