Daftar Blog Saya

Kamis, 08 Februari 2018

Misteri Penemuan Istana Dewa


Oleh Yusna Rusin (Rakyat Sumbar, 03-04 Februari 2018)
Misteri Penemuan Istana Dewa ilustrasi Rakyat Sumbar.jpg
Misteri Penemuan Istana Dewa ilustrasi Rakyat Sumbar
PERNAH dengar lagu Ragam Pasisia? Sebagian syairnya berbunyi Bayang Sani di Koto Baru/Yo Ngalau Dewa di Koto Ranah/Indak diliek mangko tak tau/ Di puluik-puluik jambatan aka atau Bayang Wisata Ciptaan Zai Sefei dan Tusriadi: Walkum dulu namonyo/ maso dahulunyo/ kiniko banamo Bayang Sani/ aia tajunnyo batingkek tujuah tapian mandi sajauak aianya// Nagalau dewa/ isatano dewa/ kiniko banamo ragam pesona/ indak diliek manggko tak tau di Puluik-puluik jambatan aka.
Di dalam lagu itu disebut-sebut salah satu objek wisata yang bernama Istano Dewa atau Ngalau Dewa di Koto Ranah Bayang Pessel. Gua dengan kedalaman 25 meter dan di bibirnya mengalir Sungai Bayang Janiah ini pernah dikunjungi Nandine sekitar tiga tahun yang lalu.
Di tahun 1991 objek wisata ini diresmikan Bupati Masdar Saisa. Di sekelilingnya dibangun pondok-pondok dengan atap bundar seperti payung yang terbuat dari lalang. Gua ini telah ditemukan sejak tahun 1956. Inilah kisah penemuannya.
Pada suatu hari di tahun 1956 seorang ibu hendak pergi ke sawah. Begitu bersiap-siap hendak berangkat, salah seorang anaknya yang masih berumur lima tahun langsung mendahuluinya, berlari ke pintu sambil berkata, “Aku ikut Mak!”
“Jangan,” kata Maknya. “Nanti cuaca panas. Kalau panas, kamu menangis-nangis minta pulang. Mak bekerja. Siapa yang akan mengantarkan kamu pulang?”
“Aku janji tidak akan ganggu, Mak.” Begitu dia menjelaskan supaya permintaannya dikabulkan.
Akhirnya dengan kaki kecilnya dia berlari-lari kegirangan. Senang sekali hatinya boleh ikut ke sawah.
Sesampainya di sawah, Maknya mulai bekerja menebas rumput pematang sawah yang sudah mulai menebal. Lama-lama bekerja, lupa waktu entah sudah jam berapa. Dilihat matahari, rupanya lampu raksasa itu sudah tepat berada di atas kepala, berarti hari sudah kira-kira pukul 12.00. Burung elang berputarputar di udara, di sekitar dia bekerja. Begitu melihat burung elang berputar-putar itu, darahnya langsung berdebar dan hatinya berkata ini pasti ada tanda-tanda.
Memang benar. Dilihatnya anaknya sudah tidak ada lagi. Dia panggil-panggil, tidak ada sahutan. Dia cari-cari, tidak ketemu. Akhirnya dia bergegas pulang sambil menangis.
Di sepanjang jalan, setiap bertemu orang dia tanyakan apakah ada melihat anaknya. Setiap yang ditanya menjawab tidak ada. Hatinya semakin galau. Sesampai di rumahnya dia juga tidak menemukan anaknya. Dia semakin cemas lalu menangis-nangis. Orang kampung beramai-ramai membantu. Tempat-tempat tersembunyi termasuk sungai dan pondokpondok tengah sawah rasanya tak ada yang terlewati. Pencarian dilanjutkan pada malam harinya ada yang menggunakan suluh, senter, dan ada pula yang menggunakan lampu stromkeng, namun anaknya tak diketemukan juga.
Masyarakat Koto Ranah tidak bisa tidur. Mereka dibalut rasa cemas, takut, dan risau bercampur aduk. Ibu-ibu dan anak-anak tidak ada yang berani tinggal di rumah sendirian. Mereka semua berkumpul-kumpul. Anak-anak kecil tak ada yang lepas dari pangkuan ibunya. Takut kalau-kalau anak mereka akan hilang pula. Untuk menghilangkan rasa takut itu, mereka ramai-ramai membaca Alquran.
Hari-hari berikutnya pencarian dilanjutkan. Seluruh masyarakat desa di kecamatan Bayang termasuk para dukun dimintai pertolongan. Orang-orang biasa diminta mencari di tempat-tempat yang tidak dianggap angker, sedangkan para dukun diminta mencari di tempat yang dianggap angker, namun hasilnya masih tidak ada.
Pada hari yang ketiga diadakan musyawarah bersama ninik mamak, alim ulama, dan cerdik pandai untuk mengetahui tempat-tempat mana yang belum disilau. Akhirnya, tersebutlah sebuah gua di pinggir sebuah sungai. Maka didatangilah gua itu beraramai-ramai yang dipimpin Datuk Gamuk dan Katik Malim Bungsu serta dukun gadang Peto Kayo ditambah dengan dukun-dukun lain, Pak Wali Syukur, serta Angku Basir.
Sesampainya di sana, mereka masuk ke dalam gua. Begitu masuk, mereka terkesima melihat pemandangan yang begitu indah dan bersih. Ada meja dan kusi batu yang tertata rapi. Di tengah-tengahnya terlihat anak sungai mengalir santai. Pasirnya yang putih laksana mutiara. Setelah mereka teruskan perjalanan ke dalam, mereka melihat banyak pintu kiri kanan. Pada pandangan terakhir, mereka melihat sebuah pintu berukuran kecil. Hanya sebesar kotak korek api, tetapi di dalamnya sangat lapang.
“Coba lihat di atas pasir ada jejak kaki manusia,” teriak Datuk Gamuk. Semua rombongan menyaksikan jejak kaki manusia, namun setiap jejak kaki manusia itu selalu diiringi jejak kaki harimau. Dan jejak kaki anak kecil yang diperkirakan jejak kaki Mahyunar.
“Tidak ada harapan lagi,” teriak Angku Basir. “Sekarang mari kita berdoa bersama semoga dia bisa kembali lagi.” Selesai berdoa mereka kembali keluar dengan perasaan sedih.
Tiga tahun setelah kehilangan itu, Mahyunar mendatangi Maknya ke rumahnya. Hal itu diberitahukan dukun. Menurut dukun, dia akan datang pada petang Kamis Malam Jumat. Mak Mahyunar disuruh bentangkan tikar putih di dalam kamar, di atasnya letakkan nasi putih, nasi hitam, dan nasi kuning, segelas kopi dan kacang goreng.
Petang Kamis malam Jumat berikutnya diulang lagi. Setiap makanan dan minuman yang sama disajikan, selalu habis, tapi dia tak pernah kelihatan.
Pernah Maknya merasakan bersalaman dengan dia, suaranya terdengar menangis meminta maaf. Dan pada tahun 2000, sesudah ayahnya meninggal, di saat di rumah itu tidak ada orang karena ditinggal sebentar untuk pergi ke Sago Painan, terdengarlah orang menangis di rumah itu. Sesudah itu terdengar suara orang mengaji atau membaca Alquran.
Menurut cerita orang pandai atau atau orang pintar atau dukun, Mayunar itu sudah kawin dengan orang bunian atau di Bayang disebut “urang aluih” dan tinggal dalam gua tersebut. Maka ketika gua itu akan dijadikan objek wisata, dia dan istrinya disuruh pergi meninggalkan gua itu dengan jampi-jampi pengusir jin.
Pada tahun 1990 Koto Ranah dipimpin oleh Kepala Desa Muknis Malin Sinaro. Dengan kerja sama semua lapisan masyarakat mulai dari remaja sampai orang dewasa, tidak ketinggalan ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai, serta bundo Kanduang meminta persetujuan Camat Bayang dan Bupati Pesisir Selatan Masdar Saisa untuk menjadikan gua itu sebagai tempat wisata.
Setelah mendapat persetujuan, masyarakat melakukan perlombaan membuat rumah-rumah bulat di sekitar intano dewa. Siapa yang bagus rumah bulatnya, diberi hadiah. Secara berangsur-angsur jalan ke sana diperbaiki. Jembatan dibangun sehingga dapat dilewati kendaraan roda empat. Dan pada tanggal 1 Oktober 1990 objek wisata itu diresmikan oleh Bupati Pesisir Selatan, Masdar Saisa. Akhirnya tempat itu menjadi terkenal sampai ke manca negara. Sayang sekarang sudah kurang terawat dengan baik. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar