Daftar Blog Saya

Rabu, 07 Februari 2018

Musim Durian


Oleh Vira Fazirah (Padang Ekspres, 04 Februari 2018)
Musim Durian ilustrasi Orta - Padang Ekspres.jpg
Musim Durian ilustrasi Orta/Padang Ekspres
Malam ini papa pulang lebih awal dari kantor. Sesuatu hal yang jarang ia lakukan dalam dua bulan terakhir ini. Kata mama, papa sedang ada proyek yang mendesak sehingga ia selalu pulang malam, terkadang larut malam. Jelas, aku merasa kesepian.
Setelah azan Magrib berkumandang dengan merdunya, kami menunaikan shalat berjamaah, kemudian makan bersama. Hal yang sudah dua bulan ini selalu kami lakukan tanpa papa. Selama papa tidak ada di rumah, abangku yang menjadi imam. Malam ini, tentu papa yang menjadi imam.
Dalam dua bulan ini juga, aku hampir tak pernah bicara dengan papa. Papa berangkat pagi-pagi sekali ke kantor. Kami sarapan bersama, namun ia akan menyelesaikan sarapan terlebih dahulu dan pamit terlebih dahulu juga. Biasanya ia menyempatkan untuk menananyakan apakah aku sudah mengerjakan PR atau belum, dan sekarang tidak lagi. Perlahan aku mulai merasa jauh dari papa.
Mungkin papa tak sayang lagi padaku. Jika aku ingin mainan baru, biasanya papa meluangkan waktunya untuk menemaniku membelikannya. Sekarang, peran itu sepenuhnya diambil abangku. Dan malam ini, walau kami makan di meja makan bersama papa kembali, aku merasakan papa begitu asing.
“Irsyad!” papa memecah lamunanku.
“Kalau pesawatnya nggak terbang-terbang, kapan mau sampai tujuan?” canda papa. Rupanya sedari tadi tanganku sibuk memainkan sendok di nasi tapi tak kunjung menyuap juga.
Aku hanya diam, tak tahu akan berkomentar seperti apa.
“Syad, maafin papa ya, karena selama dua bulan ini hampir tak ada waktu untukmu. Untuk tebusannya, bagaimana kalau besok kita berlibur ke rumah nenek,” ujar papa.
“Ke rumah nenek!” aku akhirnya tertarik juga.
“Iya, tadi siang nenek menelpon papa, katanya di kampung sedang musim durian. Bagaimana?” ujar papa.
“Boleh deh,” jawabku datar. Sebenarnya dalam hati, aku sangat senang. Menurut cerita papa dan abangku, nenek punya banyak pohon durian. Aku belum pernah ke rumah nenek ketika musim durian. Kata papa dan abangku, mengasyikkan mendengarkan durian jatuh kemudian memungutnya langsung di dekat pohonnya.
Memasuki wilayah kampung tempat nenek tinggal, bau durian masak sangat semerbak dimana-mana. Di kiri-kanan jalan, banyak terlihat durian yang telah berjejer rapi di atas meja tepi jalan, ada juga yang digantung pada tonggak seadanya. Kemudian jika ada yang berniat membeli, pemilik durian itu segera keluar dari rumahnya, dan terjadilah tawar menawar.
Sekitar sepuluh menit kemudian, mobil papa sudah masuk ke pekarangan rumah nenek yang sekelilingnya dipagari bambu. Papa memarkirkan mobilnya. Aku lekas turun, tidak sabar ingin berjumpa nenek dan tentunya juga berjumpa durian-durian yang sedari tadi telah berasa di lidahku.
Nenek menyongsong kami ke teras. Aku langsung menyalami nenek. Begitu juga dengan papa, mama dan abangku. Di dalam rumah, nenek sudah siap dengan hidangannya menyambut kami. Ketan durian, makanan fovoritku.
Setelah selesai makan ketan durian, aku duduk di teras depan. Udara di kampung nenek segar sekali dibanding di kota tempat tinggalku. Pohon-pohon di sini juga masih banyak. Nenek juga suka menanam pohon dan beberapa tumbuhan di pekarangan rumahnya yang luas itu.
Papa keluar rumah, kemudian ia duduk di sebelahku. “Syad, penasaran nggak tentang apa yang pernah papa dan abangmu dulu ceritakan tentang memungut durian dekat pohonnya langsung,” tanya papa.
Tentu saja aku penasaran, papa dan abang selalu menjahiliku karena suka durian tetapi tidak pernah merasakan keseruan menyaksikan durian itu jatuh sendiri dari pohonnya. Akupun mengangguk menanggapi pertanyaan papa.
“Yuk ikut papa,” akupun mengikuti papa. Ia berjalan menuju arah belakang rumah. Ternyata ketika keluar rumah tadi ia sudah siap membawa karung dan sebuah golok, sebagai persiapan. Di halaman belakang rumah nenek, terdapat banyak batang pohon kakau. Papa terus berjalan, mengikuti jalan setapak setelah melewati kebun kakau nenek.
Setelah 20 menit melewati jalan setapak itu, papa berhenti dan mengajakku duduk di sebuah gubuk kecil beratapkan daun rumbio. “Lihat!” kata papa sambil menunjukkan sesuatu, wajahnya tampak tersenyum. Aku mengikuti arah telunjuknya. Ternyata sekitar 10 meter dari tempat kami duduk nampak beberapa batang pohon durian. Dan yang paling membuat mataku berbinar adalah, buahnya sangat lebat. Inilah kali pertama aku menyaksikan buah durian di batangnya dengan buah yang begitu lebat.
Papa mengambil beberapa kayu kering dan daun kering. Ia membuat perapian kecil. Katanya, itu untuk mengusir nyamuk. Benar saja, sebelum papa menghidupkan perapian itu, nyamuk berdengung-dengung di telingaku, dan sekarang tidak lagi.
“Kenapa berhenti di sini Pa?” tanyaku heran, kenapa papa tidak berhenti lebih dekat ke pohon itu.
“Kita tunggu di sini, ini tempat yang aman. Karena kalau kita berada lebih dekat akan berbahaya,” terang papa. Sambil menunggu buah durian yang jatuh, papa menceritakan beberapa kisah mengenai orang yang pernah ditimpa durian jatuh kepadaku. Ada yang kepalanya berdarah hingga perlu banyak jahitan, dan ada pula yang meninggal pada akhirnya.
“Seeerrr buuum,” satu durian akhirnya jatuh juga. Aku tak sabar ingin mengambil buah yang jatuh itu, tapi papa melarangku beranjak dari gubuk, katanya terlalu berbahaya. Akhirnya aku hanya bisa melihat papa dari gubuk mengambil durian itu. Papa mengenakkan sebuah pelindung kepala. Pelindung itu sepertinya sebuah helm yang sudah lusuh. Setelah menyibak beberapa semak-semak, papa berhasil membawa durian itu ke gubuk.
Papa melayangkan golok yang tadi ia bawa tepat ke kulit dekat tampuk durian. Kulit durian menjadi menganga. Dan dengan mudah, papa mengoyak kulit durian itu dengan kedua tangannya. Kulit durian itu terbuka dengan sempurna. Aku langsung memakannya tak sabaran. Rasanya begitu segar, manis, dan lezat.
Hampir dua jam aku dan papa duduk di sana menunggui durian sambil bercerita-cerita. Papa menyakan apa saja yang kulakakan ketika ia tak ada waktu untukku, dan apa yang ia lakukan ketika ia tak ada waktu untukku. Hari itu, kurasa papa telah kembali menjadi papaku, bukan orang asing lagi.
Hari ini aku tersadar bahwa seorang papa tak pernah mengabaikan anaknya, papa sibuk dengan pekerjaannya itu juga demi aku. Dari cerita papa aku tahu bahwa papa selama ini setelah pulang kerja, selarut apapun selalu menyempatkan datang ke kamarku, dan mencium keningku. Aku sangat menyayangi papa. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar