
Patah Hati
: di rumah gus minin giriMemang, di hutan yang gelap, cahaya kunang-kunang
demikian kecil. Tapi meski kecil, ikutilah dengan rela.
Meski merangkak. Meski mengingsut. Dan meski
suara-suara yang ada memanggil-manggil. Seperti
panggilan yang menjadikan dadamu terhisap.
Keinginanmu terbetot. Sebab, sekali berbelok, kau
akan kesasar. Dan kami pun patah hati. Merindukan
kembalinya dirimu.
Gresik, 2017
Klangonan
Pada setapak dia membaca. Pada batu,
tanah, rumput, dan tebing dia membaca. Dan pada semua benda yang
ditemuinya dia membaca. Dan dia membaca dengan suara yang lembut.
Selembut ricik sungai. Ricik sungai yang dulu melarungnya ke samudera.
Dan disua si ibu dermawan yang punya kapal jangkung. Si ibu dermawan
yang kerap berdoa:
“Jauhkanlah kami dari segala yang
menggantung. Kecuali jika itu makin mendekatkan pada-Mu.” Doa yang kelak
membuat gunung kapur menjelma jadi lawang agung. Dan pena kering yang
dilempar menjelma jadi segerombolan tawon. Tawon yang mengusiri niat
buruk yang ingin menyergap secara diam-diam atau sebaliknya.
Dia, dia, memang membaca pada semua benda
yang ditemuinya. Seperti membaca pada kenangan lama yang dirindukan.
Kenangan lama yang menyimpan aromanya. Aroma ketika dia masih hijau. Dan
ketika masih menyukai teka-teki tentang bebuahan: belimbing, mengkudu, delima, dan sawo. Teka-teki yang meski rumit tapi gampang diterkanya.
Segampang dia ketika menghadapkan wajah
ke arah kiblat. Sebab ingin selalu menatap sesuatu yang ajaib. Sesuatu
yang pernah membuat sebatang palem berhikmat. Dan sekian batang pohon
lain merunduk takzim. “Wahai, Sesuatu Yang Ajaib, biarkan aku sentuh
ujung bayanganmu,” begitu yang ditukasnya berulang-ulang. Juga di setiap
usai membaca Kitab Pembeda miliknya.
Gresik, 2017
Langgam Umur 52
Berdikit-dikit aku makin sepi. Makin
sendiri. Dan percaya, jika aku mesti kembali ke masa kecil. Ke tempat
dulu aku berada di teras rumah pecinan. Membaca komik. Dan merasa, jika
jalan di depan rumah akan menuju ke padang rumput hijau. Dengan
sebentang sungai jernih di pinggirannya. Juga dengan sepasang kupu-kupu
sebesar piring yang riang beterbangan. Kupu-kupu berwarna kuning
berbintik merah. Kupu-kupu, yang jika senja turun, akan menjelma jadi
sepasang kunang-kunang. Yang juga sebesar piring. Dan malamnya, sepasang
kunang-kunang yang sebesar piring pun mengikut ke mana saja aku
bergerak. Jadinya, jika kau lihat dari jauh, aku seperti anak mambang
yang punya mata tambahan yang sebesar piring menyala yang melayang. Anak
mambang yang berjalan, berlari, dan berlompatan. Anak mambang, yang
jika mengantuk, pun langsung menggelosor. Dan besoknya, tahu-tahu sudah
di ranjang. Ranjang masa kecil. Ranjang, yang ketika aku sentuh di umur
52 ini, terlihat berkarat. Dingin. Dengan kasur yang mengeras. Tapi, aku
merasa. Di ranjang itu, aku masih menitipkan sebagian badanku. Badan
yang lengket. Badan yang tersenyum saat aku tepuk. Lalu menimpal: “Pada
akhirnya memang begini. Kita terbelah. Dan selalu ingin disambung.”
Gresik, 2017
Tugu
Aku memanggilmu. Meski tahu suaraku tak
akan sampai. Cuma jadi gaung. Gaung yang didengar oleh setiap yang
menyeberangi sungai. Dan menyangka, jika itu adalah deheman hantu yang
berdiam di tempat yang jauh. Hantu yang pernah disekap di dalam guci.
Lalu dilepas oleh si pengelana. Hantu yang ingin menyamarkan semua sumur
di hutan. Hutan, tempat si raja pilihan mengasah ilmu membidik,
menunggang, dan mengucapnya. Dan si raja pilihan, yang ketika memasuki
ujian akhir, menukas: “Kini, aku bukan lagi yang dulu atau nanti. Aku
adalah yang pergi, juga sekaligus yang datang.”
Sekali lagi aku memanggilmu. Meski sekali
lagi, tahu suaraku tak akan sampai. Dan kembali cuma jadi gaung. Gaung
yang mengitari si raja pilihan ketika kembali ke singgasananya. Dan
menyadari, jika kepala-kepala yang ada di dekatnya adalah kepala-kepala
yang dulu pernah ditemuinya di hutan. Kepala-kepala yang berbulu,
bertaring, dan bermoncong. Kepala-kepala yang setiap melengos, setiap
itu pula, pintu-pintu tertutup. Lampu-lampu kedap-kedip. Dan ketika
lubang-lubang yang ada ditelusupi kunci-kunci. Terus diputar bersamaan.
Tak dapat dibuka. Meski dipaksa berulang-ulang. Berulang-ulang.
Gresik, 2017
Mardi Luhung, lahir di
Gresik, 5 Maret 1965. Dia lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sastra
Indonesia Universitas Jember. Buku puisi tunggalnya: Terbelah Sudah Jantungku (1996), Wanita yang Kencing di Semak (2002), Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007), Buwun (2010), Jarum, Musim dan Baskom (2015), Teras Mardi (2015), serta Cum cum Pergi ke Akhirat (2017). Sementara itu, kumpulan cerpen pertamanya berjudul Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku (2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar