
Setrika Arang
ayam jago itu masih bertengger di situ
menunggu tanganmu memasukkan bara
hidup membosankan dimulai
mondar-mandir dari pakaian satu ke pakaian lain
dari kenangan satu ke kenangan lain
mungkin suatu waktu
tanganmu akan berhenti
pada lipatan saku baju
memeriksa rahasia
yang sembunyi
di ujung setrika arang
yang setia hanya ayam jago
begitu sabar menunggu tanganmu
ia berkukuruyuk dari masa lalu
berharap dunia tidak sekelam
abu dalam setrika
2017
Kamera
tak ada yang lebih indah
selain matamu, kamera
gambar-gambar tak kukenal
membentang bagai fatamorgana
pohon-pohon bercahaya
seakan dilahirkan matahari pagi
seorang bocah duduk
di atas bongkah batu
menatap sungai
yang mengalir ke dalam dirinya
aku tak mengenali mataku lagi
semua muncul begitu saja
serupa bayang-bayang
di penghabisan siang
tak ada yang lebih indah
selain matamu, kamera
kucipta gambar dari kelam
agar mereka paham
apa yang semayam
di kedalaman jiwa
2017
Mesin Tik
mesin tik karatan bergumam:
sungguh letih menjadi tua
jari-jari gemetar, suara parau,
napas tersengal
seperti mesin tik lainnya
ia mengenang suatu masa
puisi-puisi lahir seirama
nyanyian tombol-tombol huruf
surat-surat pun bertaburan
dari negeri-negeri jauh
kini, ia hanya membisu dan makin renta
tak ada lagi mata kagum melihatnya
tak ada tangan rindu menyentuhnya
ia tahu sebentar lagi tuan rumah
membawanya ke tukang loak
berkumpul bersama besi-besi tua lainnya
menatap hampa pada atap seng gudang kumuh
berhimpitan dengan sepi dan dingin malam
tentu ia telah siap dilebur dalam tungku api
lahir kembali menjadi bentuk berbeda
tapi, hanya satu pintanya:
tak ingin menjadi mesin tik lagi
2017
Telepon
kuangkat gagang telepon
“hallo, ini siapa?”
tak ada suara di seberang
jam dinding berdetak lambat
gerimis bernyanyi lirih
bersama daun-daun
“hallo, hallo…”
tak ada suara menyahut
kutaruh gagang telepon
dingin malam membekas
di meja kayu
telepon kembali berdering
“halloo, siapa di sana?”
tak ada suara. hening
malam sedingin pualam
gagang telepon menempel di kupingku
berdebar aku menunggu suara di seberang
hanya gemerisik angin terdengar
2017
Jam Dinding
sebelum malam usai
dalam halusinasi
jantung jam dinding itu
berdetik berkali-kali
ia tahu kau akan pergi
ketika kau buka pintu
dan melangkah ke beranda
mata jam dinding itu
menatap lekat tengkukmu
ia mengasihi denyut nadimu
terdengar bunyi pagar dikunci
mendadak jam dinding itu
berhenti menghitung waktu
yang meleleh di lantai
tak jadi pergi
kau termangu
menatap jam dinding
berdetik-detik seirama
debar hatimu
2017
Wayan Jengki Sunarta lahir di Denpasar, Bali, 22 Juni 1975. Di antara sejumlah kumpulan puisinya adalah Pekarangan Tubuhku (2010) dan Montase (2016). Ia tinggal di kota kelahirannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar