Daftar Blog Saya

Rabu, 28 Februari 2018

Bermain Ayunan

Oleh Faris Al Faisal (Kompas, 25 Februari 2018)
Bermain Ayunan ilustrasi Regina Primalita - Kompas
Bermain Ayunan ilustrasi Regina Primalita/Kompas
Bel istirahat berdentang. Siswa-siswi SDN Bulak I Kandanghaur, Indramayu, Jawa Barat, berhamburan keluar dari kelas-kelasnya. Setelah menyantap jajanannya Hafsah, Luna dan Zallumy berlarian menuju ayunan yang berada di taman bermain.
“Hore aku duluan!” ucap Luna riang sambil tangannya menggerakkan ayunan itu berulang kali.
“Aku juga!” kata Hafsah tak kalah senangnya. Zallumy terpaksa menunggui kedua temannya, karena permainan ayunan itu hanya ada dua buah.
Beberapa saat kemudian, datanglah Zahrah bergabung. Hafsah dan Luna belum juga mau turun dari permainan ayunan.
“Gantian, dong!” ucap Zallumy memelas.
“Betul, gantian ya…?” timpal Zahrah.
“Tidak bisa. Karena kita yang duluan sampai di permainan ini,” kata Luna.
“Iya, salah sendiri. Kalian kalah cepat,” kata Hafsah kepada Zallumy dan Zahrah.
Dari teras ruang guru, Ibu Guru Salamah diam-diam memperhatikan keempat muridnya itu dengan seksama. Ibu Salamah kemudian menghampiri mereka.
“Ada apa ini? Kalian sedang memperdebatkan apa?” kata Ibu Salamah dengan suara lembut.
“Kami ingin naik ayunan, tetapi sepertinya Luna dan Hafsah tidak mau gantian. Betul kan, Zallumy?” Zahrah memberi penjelasan.
“Benar, Bu Salamah,” timpal Zallumy.
Kemudian Ibu Guru Salamah berkata, “Hafsah? Luna? Kenapa kalian tidak mau gantian?”
Hafsah dan Luna hanya bisa tertunduk mendengar pertanyaan Bu Salamah. Mereka berdua sadar telah berlaku serakah, dengan menguasai permainan ayunan. “Iya, Bu, maafkan kami,” kata Luna kemudian.
“Ya, sudah, kalian tidak perlu minta maaf sama Ibu. Minta maaflah kepada Zallumy dan Zahrah, karena kedua teman kalian ini sudah lama menunggu.”
“Maafkan kami ya, Zallumy, Zahrah,” pinta Hafsah dan Luna sambil turun dari ayunan mengulurkan tangannya.
Zallumy dan Zahrah pun memaafkan.
Ibu Guru Salamah tersenyum. “Apakah kalian mau Ibu ajari bermain ayunan dengan adil?”
“Adil? Maksudnya bagaimana, Bu?” tanya Zallumy.
“Agar satu dengan lainnya tidak menzalimi dan tidak merasa dizalimi. Karena adil tu salah satu maknanya adalah berlaku tidak zalim.”
“Bagaimana caranya, Bu?” Hafsah dan Luna giliran ganti bertanya.
“Coba Zallumy dan Zahrah sekarang yang naik ayunan dahulu. Lalu Hafsah dan Luna nanti mendorong dengan hitungan yang disepakati. Jika sudah selesai hitungannya, kalian bisa bergantian. Begitu seterusnya berulang. Adil, kan?”
“Wah, Ibu guru Salamah hebat!”
Zallumy, Zahrah, Luna dan Hafsah kemudian bermain ayunan dengan cara yang membuat mereka merasa adil dengan sesama teman. Dengan riang dan senang, mereka bergantian naik dan mendorong permainan ayunan. Hari itu pelajaran berbuat adil yang diberikan Ibu guru Salamah sangat membekas di hati.

Tilas Harimau, Langgam Harimau, Mengkaji Langkah Surut

Puisi-puisi Fariq Alfaruqi (Kompas, 24 Februari 2018)
Tilas Harimau, Langgam Harimau, Mengkaji Langkah Surut ilustrasi Google.jpg
Tilas Harimau, Langgam Harimau, Mengkaji Langkah Surut ilustrasi Google

Tilas Harimau

– untuk Raden Saleh

Kenapa kau biarkan air muka pagi tempias
mengasihani torehan luka di sekujur tubuhku
lambang tuah yang ditikamkan oleh seribu
ekor maut, sebelum aku memangsanya satu demi satu.
Lihatlah bagaimana ulur tangan cahayanya, justru
menumpas denyar gulita dari liang petilasanku
tentu juga merampas kilat-kilau ilahiah
yang bersemayam dalam relung suluk moyangmu.
Dengan udara seiris limau dan warna seragi kamboja
hendak ia tiriskan juga, derau cuaca pada pakis dan akasia
lembap waktu pada lumut dan batu.

Oh, hutan sungsang rimba suling
masih ada lagikah lurah, lereng, atau tebing
yang lena kelabu, bakal menyempurnakan belangku
yang haru biru, menyimpan kubur aib leluhurmu.

Jikalau sorot mata fajar budi itu
kau biarkan menghalau bantu gunung, arwah lembah
makhluk bingung, penghuni sekalian belantara lenyah.

Sementara di setiap penjuru pintu
jalan menuju ulu hati tali jantung belantara ini
kaum pemburu pirang jembut jagung
puak pengelana berkuncir akar gantung
tipak pedagang keling cangkang kenari
mengintai dengan tatapan bermata peluru
menunggu dengan dengus nafas asap mesiu.

Meskipun kau berusaha merintangi alur ke hulu
—di mana benih semesta ditanam dalam kelam—
dengan gelondong kayu, patahan dari pepatah dahulu
lembu tak bakal rebah di padang datar
rusa tak akan terkejar di semak belukar
pekik siamang di malam buta pertanda akan bala
keluang melintasi pagi alamat berkah sepanjang hari.

(Sembah salamku untuk gelagatmu)

Tapi hanya berapa kali kemarau lagi
sebelum cahaya belas kasihnya—yang kau puja dengan
kuas yang berlumur, tangan yang bersih—mulai menagih
buah jerih, hewan-hewan yang diberi pakan sekadar
untuk disembelih.

Hanya berapa selisih purnama lagi
sebelum kerontang mataharinya mendahagakan gelap
paling murni, muasal dari setiap denyut hutan rimba ini.

Dan mata peluru sedia menghunjam ke segala tuju
dan setiap jengkal tanah menguarkan aroma mesiu.

Pandanglah kini. Di luar bias waktu, batas pigura itu
betapa lembu rebah di padang datar
bagaimana rusa terkapar dalam semak belukar
siang malam siamang mengguncang pucuk ketapang
keluang membenturkan diri pada beringin gadang.

“Aku lupakan harum pandan yang tumbuh di halaman
untuk membilurkan hijau yang telah mengunjungi
setiap helai rumput dan dedaunan.
Aku lupakan bau tembikar yang menguar dari dapur
ketika menyusuri jalan setapak yang belum pernah
dilalui oleh pengembara manapun.
Jangan tanyakan kepadaku perihal hutan
yang tak lagi ramah pada benalu, sebab telah aku sisihkan
lena kelabu dan haru biru itu dari kilas masa laluku.”

Kalau begitu inginmu, biar aku balur bulu dan kuku
dengan abu sisa pembakaran, biar aku simpan
aum dan geram dalam selubung kain hitam
biarkan aku khalwat ke arah malam
haribaan yang tak terjamah
oleh pedih padanan warnamu itu.

(Sembah salamku, untuk anak-keturunanmu)

Mahali, 2017

Langgam Harimau


Jangan kau alamatkan lagi sirih pinang
bagi penjaga nadi air, untuk pengawal jantung angin
pada pengasuh lambung tanah.
Atau gelombang pitunang
untuk menziarahi kuntum rahasia
warna pasi kematian terkilas di pucat kamboja
aroma mabuk kesedihan tajam sengat lantana.
Atau decak tolak bala dan siulan tiga nada
sebab musim pancaroba menyeret jubahnya
demi mengunjungi kesepian yang meninggi
di pucuk akasia, menguji ketabahan
yang menebal pada kulit trembesi.

Demi degup rimba, lenguh gunung, desah padang sabana
yang sehembus setarikan nafas dengan aumku.

Jangan kau haturkan sembah seluruh salam
sebagai puja-puji pada denyut renik sekalian alam.

Ketika suluh pandangmu padam
tongkat langkahmu patah, kitab pikiranmu latah
memilih jalur mana menuju landai lembah
jalan mana ke arah curam lurah
membaca rusuh muara dari gelagat tenang hulu
memisahkan racun cendawan dan tawar benalu.

Semenjak jelujur akar dan sulur menjalar
putus tali rima dari sampiran pantunmu
mata air tak hendak menuntun mata kailmu
menemu insang ikan di balik batu-batu
tangan angin enggan membimbing anak panahmu
mendahului lesat tungkai rusa dan lejit waktu.

Sedan petuah rimba hilang rimbun
dalam pokok kecambah gurindammu
dendam babi tak menunggu gugur kamboja
untuk menyudumu dan menghantamkan taringnya
amarah cindu akan mencegatmu
dan menyabetkan kukunya
sebelum aroma lantana raenguap di udara.

Gelombang pitunang, sembah salam
tebu manis yang pemah tumbuh di bibirmu itu
kini hanya tinggal sepah serapah penyulut api jerubu.

Tak akan mampu lagi mengusik petilasanku
agar menyeberangkan nyawamu di musim bandang
tak bakal bisa lagi memanggilku untuk datang
dan mengalihkan topan dari jalanmu pulang.

“Semenjak benih hutan masih dikandung tanah
moyang kita telah saling bertukar cendera kata.
Pohon riwayat telah mencatat persetubuhan laknat
yang melahirkan anak-anak belang kala dilanda kesumat
Di lain bunga hikayat, arwah leluhurku
menunggangi jasad leluhurmu
menjaga malam kelat dengan pupil mata yang biru.

Jangan pisahkan usul arang dengan muasal abu
yang berbagi serat dalam satu jasad kayu.”

Demi gelap belukar yang bersekutu dengan belangku
jangan sebut lagi kisah-kisah lama perintang lengang itu.

Pulangkan sejumput bulu yang aku titipkan
jadi jalin gelang sumpah kita dahulu
kembalikan seruas kuku yang aku berikan
dan kau tanam dalam bandul perjanjian masa lalu.

Kemudian, hanya terkamanku
yang akan menyahut sirih pinangmu.

Padang-Depok, 2017

Mengkaji Langkah Surut


Kitab tebal yang kau kaji semalam suntuk
memang mampu menuntunmu membaca
jalinan pantun pengusir bala
untaian doa penolak hari buruk.

Ahli nujum yang kau panggil
dengan sekeping pinang dan selembar sirih
menerka takdirmu dari angka-angka ganjil
yang ia susun dari helai ubannya yang tersisih.

Beringin keramat tempat segala jihin bermufakat
dengan sebisik rayu boleh menyaru sebagai juru selamat
mengantarkanmu pada tinggi pucuk makrifat

Tapi tak sehelai bulu pun dari serimbun cara
menanam nasib dalam muslihat umpama
yang bakal mengajarimu siasat mengambil langkah surut

Langkah bijak lagi patut
bagi kaum yang tak ingin
mati oleh jatuhan mumbang kelapa,
oleh perangkap getah nangka.

Bagi golongan yang tahu cara berkilah
dari tudingan pepatah
bahwa harimau mati haruslah meninggalkan belang
gajah mati mestilah meninggalkan gading ganih lagi panjang.

“Hari-hari naas. Guru
telah aku tukar dengan derai pasir dari tujuh muara
kelopak kembang tujuh rupa
percik air dari tujuh sumur yang berbeda.

Malam-malam celaka, lihatlah Engku
sudah aku gadaikan pada empunya marabahaya.
Kepadanya segala sakit berhulu
segala pedih bermuara.

Serasa tak seujung kuku pun dari tikaman tangan maut
yang mampu menggoreskan kata takut dalam kitab
detak jantungku.”

Syair yang lebih ngilu dari lengking seruling manapun
pernah diuntai dari gelimang tubuh sahid di medan jihad.

Serangkaian epos dengan iringan tetabuh gendang
dikumandang untuk menyambut seorang panglima perang
yang pulang dengan panji-panji musuh dalam genggaman.

Tetapi betapa golongan yang selalu menumpang biduk ke hilir
tahu bahwa hidup paling lugu
adalah berserah pada arus dari hulu.

Betapa kaum yang lihai berenang-renang ke tepian
paham bahwa kematian lebih dingin
bahkan dari bebatuan yang berharap hanya
pada pelukan lumut dan belaian kerakap.

Jika kau rasakan sekerikil ragu
menyelip dalam alas kakimu
sehembus gamang meniup bulu remang di tengkukmu
tanpa mengucap dan melafal nama si anu
picingkanlah matamu.

Langkah surut, langkah bijak lagi patut ini
boleh kau ramu dengan siasat pepatah lama itu
kilik rusa mengelak dari sekawanan serigala
pekik beruk membangunkan seisi rimba raya.

Agar kau segera tunai mengkaji
langkah terakhir langkah para petarung yang berusaha mangkir
dari terkaman takdir.

Kandangpadati-Mahali 2016-2017


Fariq Alfaruqi lahir di Padang, Sumatera Barat, 30 Mei 1991. Alumnus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Bergiat di Komunitas Kandangpadati dan Lembaga Kebudayaan Ranah. Saat ini bermukim di Depok.

Agama Kopi-Kabut-Puisi-Burung-Putih-Suara

Puisi-puisi Marhalim Zaini (Koran Tempo, 24-25 Februari 2018)

Agama Kopi-Kabut-Puisi-Burung-Putih-Suara ilustrasi Google
Agama Kopi-Kabut-Puisi-Burung-Putih-Suara ilustrasi Google 

Agama Kopi


lima waktu
sehari semalam
biji-biji kopi
jatuh dari langit.
dipungutnya satu-satu
rasa pahit dari doa
yang gugur
dari pohon iman.
pohon yang dulu
menggugurkan adam.

2017

Agama Kabut


berdirilah di lereng ini,
tegak seperti pohon hutan berambut kabut
menghadap lembah yang tengadah
dan kaki-kakimu yang mengakar
ke urat-urat tanah bukit yang sejuk,
apa yang akan kau kenang
selain anak sungai yang memanjang?

kita bukan air terjun, yang berani menghempaskan waktu
ke batu-batu,
memecah batu-batu saban waktu
kita hanya buih yang sansai,
selalu lenyap sebelum sampai

ke tepi, ke tepi-tepi iman, tempat para perantau pulang
menghitung satu-satu napas yang lepas
dari ujung uban,
seperti lepas tetes hujan
dari langit tuhan

sudah kuucapkan dulu, bahwa di kelok sembilan itu
tak kan ada lagi cinta yang gugur dari agamamu
di jalan-jalan subuh yang lengang
dipagut dingin gunung singgalang

aku pernah mendaki, katamu,
tapi bukan ke puncak keheningan.
aku pernah mendaki, kataku,
tapi jatuh sebelum sampai di ketinggian.

maka berdirilah di lereng ini, sekali lagi,
sebelum magrib berkabut, dan lembah kian curam.
sebelum kaki-kakimu, kaki-kakiku,
tak berurat tak berakar,
dan tanah-tanah bukit bergerak
berderak seperti gempa di jantung kita.

lalu apa yang akan kau kenang,
selain batu-batu diam
di padangpanjang,
di anak sungai yang memanjang?

Pekanbaru, 2018

Agama Puisi


kata-kata bersaksi, hanya kepada puisi
ia sembunyikan sunyi.

puisi bersaksi, hanya kepada bunyi
ia sembunyikan sepi.

bunyi bersaksi, hanya kepada kata-kata
ia sembunyikan api.

2017

Agama Burung


sejak ia terjatuh dari sarang,
yang ia tahu hidup itu adalah terbang.

ia hanya percaya kepada sayap,
kepada keluasan langit yang membuka jalan
menuju kebebasan memilih tuhan.

tapi sayap adalah kaki yang rapuh,
kelak ke ranting jua ia bersimpuh.
kalau pohon-pohon pun rubuh,
kelak ke tanah jua hancurnya tubuh.

maka ia tak menyembah langit,
tak minta ampun pada tanah,
bahkan kepada terbang,
pun tak.

2017

Agama Putih


tak ada warna lain, selain putih, katamu.
kamu lalu pergi, menanggalkan bayanganmu
yang hitam, dari tubuhmu yang malam.

aku sudah lama menunggu bayanganmu
mandi, mencuci bola matanya yang merah,
tapi air tanah menolak menjadi air
jika tugasnya hanya membuat tanah
menjadi tong sampah.

maka bayanganmu pun pergi, menanggalkan
bola matanya yang tertutup. aku melihat
air putih mengalir dari bayangan hitam
tubuhku, dari bola mataku yang padam.

2017.

Agama Suara


tak ada suara yang bisa disembunyikan di sini, dindingdinding
hanya pembatas ruang dari sejarah tubuh kita yang tak suci.
sejarah yang saling tembus urat darahnya, saling baur warnanya,
saling peluk kutukan-kutukannya.

maka aku adalah suara yang gaduh. tak mungkin dapat kautemukan
aku, sebagai sunyi yang utuh. bahkan ketika waktu pun telah tiada,
yang abadi adalah suara.

tapi kita diciptakan dari suara yang satu,

kun!

suara yang satu…

2017


Marhalim Zaini, lahir di Bengkalis, 15 Januari 1976. Buku puisinya yang ketiga, Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu, dianugerahi dua penghargaan: Anugerah Hari Puisi Indonesia 2013 dan Penghargaan Sastra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2013.

Balon-balon Permintaan Maaf

Cerpen Nurul Khotimah (Pikiran Rakyat, 25 Februari 2018)
Balon-balon Permintaan Maaf ilustrasi Yana Husna - Pikiran Rakyat
Balon-balon Permintaan Maaf ilustrasi Yana Husna/Pikiran Rakyat
SUNGGUH hari-hariku kini terlalu berat untuk kulewati. Setumpuk pekerjaan yang kian hari menggunung berhasil memberatkan punggung ini. Beban itu semakin terasa ketika sang kekasih yang kuharapkan dapat dijadikan pundak untuk bersandar saat kulelah, seseorang yang dapat kujadikan tempat pelepas penat kini telah pergi dan berpaling ke lain hati.
SEMUA bermula ketika aku yang tak sengaja lewat di depan kafe dekat tempat aku bekerja beberapa minggu yang lalu. Dengan jelas kulihat dia, orang yang selama ini kupercaya akan setia menjaga hatinya, tengah asyik berduaan dengan seorang pria. Pertengkaran hebat pun tak bisa dihindarkan hingga kuputuskan untuk mengakhiri hubungan ini.
Saat jam kantor telah selesai, kuputuskan untuk segera pulang. Di dalam bus itu suasana begitu ramai karena hampir terisi penuh dengan orang-orang yang baru pulang dari kerjaannya.
Kuputuskan untuk tidak peduli dengan semua itu. Aku memilih diam menghadap jendela bus. Menatap siluet yang terlewati sepanjang jalan.
Di tengah perjalanan, seorang pria dengan beberapa balon digenggamannya memilih duduk di bangku sebelahku yang memang saat kosong.
Setelah lama kuperhatikan, ternyata dia adalah pria yang dulu bersama pacarku di kafe itu. Dadaku langsung sesak seketika, peluh tiba-tiba mengalir deras di pelipisku. Emosiku tersulut, namun tak kubiarkan untuk meluapkanya dalam bus ini. Aku berusaha menahan diri dan memilih turun walaupun sebenarnya tujuanku masih cukup jauh. Namun belum sempat kuberdiri, pria itu terlebih dahulu mengangkat suara.
Aku tertahan. Terpaksa mengikuti keinginannya.
“Sekarang apa mau Anda? Belum puaskah Anda telah menghancurkan hubunganku dengannya?” ujarku, kesal dengan nada yang sedikit tinggi.
“Biarkan saya berbicara dan mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi saat itu,” katanya, lirih.
“Kau tak patut menghukum dia dengan memutuskan hubungan secara sepihak.”
Aku hanya terdiam, kupalingkan wajahku kembali menghadap jendela bus yang menghadirkan siluet keramaian jalanan. Telingaku tersumbat secara tiba-tiba. Tak ingin kudengar apapun darinya.
“Kau tahu? Balon-balon yang kubawa sekarang adalah pemberian darinya.”
Aku sempat tersentak. Namun masih tak kupedulikan. Mendengarkannya hanya akan menambah luka yang hampir kering ini semakin perih. Apalagi dia memamerkan balon-balon pemberian darinya.
Dia seakan tak peduli dengan sikap acuh yang kusuguhkan. Dia terus bercerita. Aku. Terpojokkan, menahan emosi.
“Aku mempunyai seorang istri, yang belakangan sangat sensitif dan mudah sekali marah padaku.”
Aku sempat tertarik saat ia menyebutkan bahwa ia telah mempunyai istri. Entah, tiba-tiba telingaku perlahan refleks untuk bisa mendengamya bercerita.
Lanjutnya. “Sampai pada suatu pagi, istriku benar-benar marah besar hanya karena saat malam harinya aku tidak menuruti maunya untuk tidur di ranjang sebelah kanan, dekat dengan tembok. Bagiku tidur di sebelah manapun sama saja. Tetapi mungkin tidak bagi dirinya. Ia benar-benar marah dan sama sekali tak mau berbicara denganku.”
“Hingga suatu saat, aku bertemu dengan dia, kekasihmu. Dia menyarankanku untuk memberikan lima buah balon untuk istriku lengkap dengan surat permintaan maaf. Terdengar lucu memang, namun hal itu berhasil membuat istriku kembali tersenyum. Sejak saat itu, setiap hari aku selalu membawakannya balon-balon ini entah itu aku berbuat salah atau tidak.”
Aku sedikit terharu mendengar kisahnya, lantas dengan sendirinya aku mengangkat bicara.
“Jadi, sebenarnya Anda telah beristri? Lantas apa yang Anda lakukan sore itu dengan dia?” ujarku.
“Sejak pertemuan itu hingga sekarang, dialah yang membelikan balon-balon ini, bahkan ia membawanya lebih dari lima, karena biasanya sebelum sampai rumah selalu ada yang meletus. Dia juga yang mengajariku merangkai kata yang kutuliskan pada surat permintaan maaf yang kemudian kuberikan pada istriku.”
“Kau tahu, dia juga banyak bercerita tentang kekasihnya, yang tiada lain adalah Anda. Banyak sekali hal yang ia kagumi dari Anda. Betapa ia sangat mencintai Anda lebih dari ia mencintai dirinya sendiri. Mungkin ia masih belum bisa melupakan Anda. Hingga pada akhirnya kuputuskan untuk menemui Anda dan menjelaskan semuanya,” lanjutnya.
Pikiranku tiba-tiba kacau dan tak karuan. Aku membatin. Apa yang telah kulakukan? Aku telah menyakiti perasaan wanita yang selama ini tulus mencintaiku. Aku yang terlalu emosi saat itu, tak mampu berpikir jernih.
Oh Tuhan, berikan aku kesempatan satu kali lagi untuk bersamanya. Pintaku, dalam hati.
Saat aku meratapi apa yang telah terjadi tertunduk lesu dan tak berdaya, bus tiba-tiba berhenti tepat di depan tempat pemakaman umum. Kulihat pria itu turun dari pintu depan bus dan terdengar bunyi letusan. Dua baton yang dibawanya pecah.
Saat itu juga muncul rasa penasaran di benakku, banyak pertanyaan yang menggantung di pikiranku hingga kuputuskan untuk turun dari bus dan secara perlahan mengikuti langkahnya.
Tibalah ia pada sebuah makam yang tanah kuburannya masih basah. Ia tertunduk lama di atas makam tersebut. Kulihat nisan yang masih berwama putih bersih itu bernamakan “Ratna Ningsih binti Aji Suryadinata” dan tanggal wafatnya yakni “21 November 2017” berarti sekitar satu minggu yang lalu wanita itu telah meninggal.
Rasa penasaranku semakin bertambah. Siapa sebenarnya “Ratna” itu. Untuk apa dia kemari dan lama tertunduk di atas makamnya. Tiba-tiba dia membuka suara seraya mengikatkan balon-baton yang dibawanya pada nisan tersebut.
“Ratna, sayangku. Aku kembali datang membawa baton-baton kesukaanmu. Namun aku minta maaf karena baton yang kubawa tidak seperti biasanya. Hanya empat balon yang tersisa setelah dua baton yang lain meletus saat tadi turun dari bus. Kuharap kau tak akan marah. Sebagai permohonan maafku, biar kubacakan surat permohonan maaf yang dengan tulus kutulis untukmu. Dengarkan yaa sayang….”
Saat menyaksikan semua itu, hatiku turut larut dalam suasana duka. Tangis di mata tak terbendung lagi. Akhirnya baru kumengerti, dan kuputuskan untuk pergi karena tak ingin mengganggunya.
Rasa haru mengiringi langkahku. Sepanjang jalan pulang, rinaian bening tak henti-hentinya menetes dari mataku. Entah mengapa sore itu aku bisa menjadi sosok lelaki selemah dan secengeng itu. Aku teringat pada kekasihku, sungguhaku merasa bersalah.
Aku duduk menunggu sebuah bus di sebuah halte tua, bercat merah tua yang telah banyak memudar terkena panas dan hujan yang tak jauh dari pemakaman. Langit senja yang menghadirkan warna jingga khasnya, menemaniku sore itu.
Tiba-tiba, sebuah tangan mengulurkan selembar sapu tangan berwama pink bermotif bunga ke arahku. Kuperhatikan sapu tangan itu sama seperti sapu tangan yang dulu pernah kuberikan pada kekasihku saat ulang tahunnya.
Senja yang mulai berganti malam, menarik halus warna jingganya membuat siluet seseorang itu menjadi samar-samar, ditambah mataku yang baru mengeluarkan air mata semakin menambah kekaburan akan sosok orang itu.
Saat aku mulai menyadari bahwa sosok itu adalah Adina kekasihku, entah mengapa bulir bening itu kembali menetes membasahi pipi. Ia dengan sabar mengusap air mata yang jatuh dengan perlahan, usapan lembutnya tak hanya menyapu air mata tapi seakan menyapu semua rasa gelisah dan bersalah yang aku alami saat itu.
Minggu-minggu berikutnya hubunganku berjalan seperti dulu lagi. Aku merasa seperti seseorang yang telah mati namun diberi kesempatan untuk hidup kembali. Aku kembali bernyawa.
Adina, yang telah berkawan baik dengan pria itu mengisahkan bahwa ternyata istrinya tebh lama mengidap penyakit kanker otak yang sudah amat parah, ia sering mimisan dan muntah darah yang membuatnya sering pergi ke kamar mandi agar semua orang tidak tahu perihal penyakitnya. Termasuk suaminya.
Hingga setiap malam ketika hendak tidur ia meminta tidur di ranjang sebelah kiri, dengan alasan tiap malam ia sering ke kamar mandi untuk buang air kecil sehingga ia meminta suaminya tidur di ranjang sebelah kanan karena takut membangunkan suaminya.
Semua rencananya berlangsung dengan rapi. Tak seorang pun menyadari bahwa ia sebenarnya tengah menderita menahan sakit. Mungkin karena kebahagiaan yang diberikan suaminya, sehingga ia tak pernah menampilkan kesan seperti orang sakit di wajahnya.
Namun pada suatu hari ia benar-benar tak dapat lagi menahan rasa sakitnya. Ia jatuh pingsan saat menghidangkan sarapan pagi untuk suaminya. Dengan cepat ia dilarikan ke rumah sakit, namun sayang sudah terbmbat. Penyakitnya berhasil mengalahkan tubuh lemahnya. Ia pergi dengan damai.
Sadar bahwa ia terlambat menyadari apa yang dialami istrinya, ia kini dirundung rasa bersabh dan menyesal. Setiap sore ia selalu mengagendakan untuk mengunjungi makam istrinya dengan membawa balon-balon dan surat permintaan maaf, persis seperti yang dilakukannya dahulu ketika istrinya masih hidup. ***

Es Lilin Mbak Erna

Cerpen Diyana Mareta Hermawati (Radar Surabaya, 25 Februari 2018)
Es Lilin Mbak Erna ilustrasi Fajar - Radar Surabaya
Es Lilin Mbak Erna ilustrasi Fajar/Radar Surabaya
Bagaimana kau merancang mimpi? Kau jelas tahu mimpi apa yang ingin diwujudkan. Semisal setelah besar nanti kau ingin menjadi dokter, guru, atau polisi. Kau juga tahu bagaimana mewujudkan mimpi itu. Mama akan menyemangati dan memintamu belajar dengan rajin sejak kecil. Ayahmu juga akan ikut serta walau sekadar memuji kehebatanmu di depan teman-temannya. Orang tuamu akan membiayaimu dengan susah payah. Namun, aku bukan kau yang dengan mudah mewujudkan mimpi. Mamaku seorang penyakitan. Beberapa penyakit bersarang di tubuhnya, seperti kolesterol dan diabetes. Ayahku bukan pekerja kantoran. Dia hanya seorang kuli bangunan yang pekerjaannya tak tetap. Bagi keluargaku uang adalah barang langka; untuk makan, bayar listrik, mengurusi mama yang penyakitan, mewujudkan mimpiku dan lainnya.
Bagiku, mewujudkan mimpi layaknya menggenggam langit ke tujuh. Mustahil. Meski pepatah mengatakan; tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina, tapi untuk menyelesaikan sekolahku saja tak mudah. Uang SPP tak kunjung lunas. Jadi, bagaimana mewujudkan mimpiku sendiri? Sulit! Perkara uang dan uang membuat keluargaku harus berpikir cepat. Uang keperluan ini dan itu. Semua melilit tubuhku. Sesak.
Barangkali aku harus bekerja membantu ayah, menghasilkan uang. Mama terobati dan mimpiku bisa terwujud. Namun, tak habis pikir jemari lembut mama mendarat kasar di pipiku. Sebabnya hanya es lilin buatan Mbak Erna tetanggaku. Kujual habis di sekolah setiap harinya. Es lilinnya manis dan enak. Tapi, bukan sebab rasanya yang membuat mama marah. Kami—orang tuaku—masih sanggup menyekolahkanku, katanya. Tapi, itu bohong! SPP-ku tak kunjung lunas. Surat peringatan sudah berkali-kali dikirim ke rumah.
Saat itu pikiranku tak bisa berpikir jernih. Lepas ditampar mama, aku lari dari rumah. Pergi tanpa bekal ke perbatasan desa. Di sebuah kolong jembatan rel kereta api, aku tertidur. Seharian tubuhku tergeletak. Lupa akan rumah. Lupa akan mimpi yang mengakar di tubuhku.
Suara jangkrik yang menemani mengingatkanku pada radio butut milik ayah yang disimpan di ruang tengah rumah. Suara air sungai yang mengalir lambat terdengar layaknya suara mama kala kesakitan sebab penyakitnya.
Aku membereskan pakaian yang lusuh. Beranjak, sesaat suara kereta api melintas di atasku. Decitan rel terdengar jelas di telinga. Lepas kereta berlalu aku, segera pergi. Perbatasan desaku dekat dengan lapangan luas. Setiap menjelang sore lapangan akan ramai oleh anak seusiaku. Bergerombol. Mereka membawa bola plastik dan bermain sampai magrib.
Tunggu!
Jika aku pulang. Akankah mama menerimaku lagi? Dia menampar sebab sekotak es lilin Mbak Erna yang kujual di sekolah. Padahal jika dihitung, menjual es lilin di sekolah bisa laku. Meski keuntungan yang kudapat tidak lebih dari sepuluh ribu. Namun, jika dikumpulkan mungkin bisa menutupi kekurangan uang di keluargaku.
“Woy!”
Suara keras menghentikan langkahku. Aku cukup mengenali suara itu. Suara tak asing yang sering kudengar setiap hari.
“Kamu miskin! Kamu tidak mungkin jadi dokter! Mimpimu terlalu tinggi.”
Batinku ingin memakinya. Namun, aku ingat perkataan ayah bahwa hidup itu keras. Sejauh mana kamu melangkah, pasti ada rintangan. Entah itu tanah yang tiba-tiba longsor sebab pohon yang gundul, hujan deras tanpa kita membawa payung, sandal yang putus di tengah-tengah jalan, dompet hilang, dan bahkan makian orang terdekat bisa jadi bumerang bagi kita, kata ayah begitu. Dia selalu berkata begitu saat aku muak akan kehidupan yang tak berbeda, seakan berhenti di satu titik, kekurangan, ya, kami memang miskin.
“Wah, kamu tidak mendengar perkataanku, ya?”
Dia terus memaki. Merecoki gendang telinga dengan perkataannya yang tak bermutu. Jika ada lagi kawannya yang memaki, telingaku bisa jadi panggung hiburan. Ramai dengan makian mereka. Memang bocah itu dari kalangan berada. Ibunya seorang bidan di desaku. Ayahnya seorang polisi. Dia benar-benar dari kalangan terhormat, sayang ucapannya tak dijaga, orang lain bisa sakit hati karena ucapannya.
“Kamu tuli, ya?”
“Woy!”
Kesabaranku hampir habis. Dia benar-benar membuat gendang telingaku ramai dengan perkataannya yang mengiang tak hilang.
“Kamu tidak akan menjadi dokter!” teriaknya sekali lagi.
Kubiarkan perkataannya jadi angin lalu. Langkah kakiku berhenti di ujung ubin rumah. Mama berdiri di pintu, kaget melihat
“Belajarlah dengan giat!”
Belajar dengan giat tak akan membuat SPP-ku terlunasi. Hanya uang! Uang yang akan membuat SPP-ku terlunasi. Diabetes mamaku tinggi lagi minggu lalu. Uang yang harusnya dibayarkan SPP dibayarkan obat mama. Sekolah tak butuh obat! Tapi, butuh uang.
Katanya, mimpi selalu indah dan akan lebih indah saat mimpi itu terwujud. Setelah kejadian mama menamparku sebab es lilin Mbak Erna. Keesokan harinya, aku masih menjual es lilin di sekolah. Namun, aku rahasiakan dari mama dan ayah dan buat perjanjian dengan Mbak Erna. Kubilang saja es lilin yang kubawa setiap hari akan habis. Sebab uang, dia sepakat. Terkadang uang membawa hal baik lainnya. Seperti, keberuntunganku menjual es lilin tanpa diketahui mama dan ayah.
Puluhan es lilin telah kujual. Recehan uang terkumpul. SPP bisa kucicil. Meski di setiap harinya tak sedikit es lilin yang mencair, sebab panas yang menyengat. Pernah sekali aku dimaki oleh seorang pembeli. “Kau jual es lilin atau minuman!” Sebab waktu itu tak seperti biasanya, hari benar-benar panas dan sebagian es lilinku mencair. Tapi, es lilin itu tetap habis juga.
Ketika mama memberikan uang yang katanya untuk bayar SPP. Aku tak memberikannya pada aparat sekolah. Aku masukkan uang itu pada toples bekas makanan. Diam-diam aku meminta toples bekas makanan dari Mbak Erna.
Kau tak akan tahan jadi aku, bocah yang dilahirkan dari rahim seorang ibu penyakitan dan ayah kuli bangunan. Setiap hari saat pergi ke sekolah tubuhmu akan menggigil kedinginan, sebab langit yang masih berkabut. Kau akan keberatan membawa sekotak es lilin. Pundakmu akan sakit sebelah. Di sekolah kau tak akan bisa bermain dengan kawanmu. Kau harus berteriak, “Es lilin! Es lilin!” saat menjajakan es lilin. Hanya demi mewujudkan mimpi!
***
Aku membenarkan jas putih yang kukenakan. Mengusap hidup yang terasa mampet sebelah karena pendingin ruangan. Kurapihkan meja kerja. Anak di hadapanku memandangiku. Wajahnya unik. Matanya kecil. Senyumnya manis. Dia memegang boneka beruang kecil di tangan kanannya. Perempuan di sampingnya tersenyum.
“Dok,” ujar perempuan di sampingnya.
Aku mengangguk, “Ya, Anda tidak apa-apa. Ini resep obat untuk Anda. Semoga lekas sembuh.”
“Setelah besar, aku ingin jadi dokter,” ujar anak itu.
Tiba-tiba dia mengingatkanku pada masa kelam bersama sekotak es lilin yang setiap hari memberikan sepeser uang untuk mencicil mimpi. Percayalah, keajaiban selalu datang pada orang yang mempercayainya. Barangkali mama di sana bilang padaku, “Sudah Mama katakan, Mama sanggup membiayaimu sekolah.” Kemudian, ingatanku mencair layaknya es lilin yang sempat mencair sebab terik mentari waktu itu. (*)

*Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

Senin, 26 Februari 2018

Ziarah Terakhir Gus Dar

Cerpen Triyanto Triwikromo (Kompas, 25 Februari 2018)
Ziarah Terakhir Gus Dar ilustrasi Sito Pati - Kompas.jpg
Ziarah Terakhir Gus Dar ilustrasi Sito Pati/Kompas 
Setelah shalat tahajud, Gus Dar merasa mendapat pesan yang sudah lama ditunggu: kau akan mati pada saat berziarah di salah satu makam wali.
Kiai 81 tahun itu gemetar. Bukan karena takut. Ia justru takjub pada kedatangan pesan yang terduga itu. Ia sama sekali tidak ingin menghindar dari kematian. Karena itulah, sesungguhnya, ia tak hendak melacak dari mana asal pesan. “Tetapi kalau berasal dari iblis, bahaya juga. Mati dalam rengkuhan tangan perkasa sang iblis bukanlah kenikmatan yang kuinginkan.”
Gus Dar, pemimpin Pondok Pesantren Kalipungkur yang meskipun telah uzur tetap dipanggil dengan sebutan Gus itu, lalu membayangkan bagaimana pesan kematian tersebut sampai kepadanya. Mungkin mula-mula Allah berbisik kepada Nabi Muhammad. Nabi Muhammad berbisik kepada merpati. Merpati berbisik kepada angin. Angin mengulang berkali-kali kemudian menyampaikan kepada hujan. Kata Hujan: aku tidak sanggup menyampaikan sendiri. Aku akan segera membisikkan pesan ini kepada Sunan Kalijaga.
Karena itulah, menurut Gus Dar, Sunan Kalijaga pun menerima pesan itu. Sebelum itu, Sunan Kalijaga menyibak kerumunan seribu sunan dan nabi, menembus lapisan tujuh langit, dan akhirnya hanya berhadapan dengan Hujan.
“Di makam wali yang mana ia akan mati?” tanya Sunan Kalijaga.
Hujan tak menjawab. Hujan hanya membisikkan pesan berantai itu.
***
“Bagaimana jika ternyata Hujan merupakan penjelmaan iblis?” batin Gus Dar, “Bagaimana jika ternyata pesan itu berbunyi: kau akan mati sesaat setelah mimpi buruk, sesaat setelah kau pulang dari Makam Sunan Bonang?”
“Tak ada cara lain aku harus sowan ke Pondok Pesantren Kiai Rahtawu,” kata Gus Dar, “Aku harus bertanya apakah aku akan mati pada usia 81 tahun pada saat sujud di Makam Sunan Bonang?”
Gus Dar yakin setelah bertanya kepada kiai berusia 101 tahun itu misteri kematiannya akan tersibak. Gus Dar membayangkan: Allah telah mengi rimkan pesan kematian itu kepada Izrail, sang malaikat pencabut nyawa. Izrail lalu membisikkan pesan itu kepada Nabi Muhammad. Nabi Muhammad berbisik kepada merpati. Merpati berbisik kepada angin. Angin mengulang berkali-kali kemudian menyampaikan pesan itu kepada hujan. Hujan lalu berbisik kepada Sunan Kalijaga. Kata Sunan Kalijaga: Hanya Rahtawu yang sanggup membisikkan perihal kematian itu kepada Gus Dar.
“Mengapa?” tanya Hujan.
“Karena Gus Dar berguru kepada Rahtawu.”
“Hanya karena itu”
“Karena Rahtawu itu Al Hallaj dan Gus Dar apinya. Karena Rahtawu itu Simurg dan Gus Dar 30 burung pencari raja. Karena Rahtawu cermin dan Gus Dar sepasang mata.”
Hujan tidak terlalu memahami ungkapan-ungkapan Sunan Kalijaga. Hujan hanya bilang kepada Sunan Kalijaga: di balik kematian masih ada langit, di balik kematian masih ada laut, di balik kematian masih ada hutan. Apakah telah kau siapkan juga semacam buraq semacam cahaya untuk siapa pun yang akan dibunuh Izrail agar ia bisa terbang ke langit? Apakah telah kau siapkan semacam perahu kencana? Apakah telah kau siapkan kereta kuda terindah?
Gus Dar tahu Sunan Kalijaga tidak akan pernah mau menjawab pertanyaan semacam itu. Gus Dar tahu Sunan Kalijaga justru akan segera meminta dia ke Pondok Pesantren Kiai Rahtawu.
***
Diantar sopir terkasih, Gus Dar meluncur ke Kota Suci. Mereka kemudian menuju ke Pegunungan Rahtawu.
Akan tetapi, tidak mudah bertemu Kiai Rahtawu. Untuk bertemu sang kiai, Gus Dar harus berhadapan dengan Jamal Juaim. Jamal adalah penjaga pintu pondok pesantren yang sangat mengetahui situasi Kiai Rahtawu. Jamal tahu apakah Kiai Rahtawu sedang sujud atau membaca A1 Quran. Jamal paham Kiai Rahtawu sedang tidur atau berzikir. Jamal juga paling mengerti apakah Kiai Rahtawu ingin menolak atau berkenan menerima tamu. Namun, Jamal tak tahu Gus Dar adalah murid terkasih Kiai Rahtawu.
“Apakah aku bisa bertemu dengan Kiai Rahtawu?” tanya Gus Dar begitu berada di Pondok Pesantren Kiai Rahtawu.
“Mungkin bisa,” kata Jamal Juaim, “Tetapi menunggu waktu yang tepat.”
“Aku murid Kiai Rahtawu,” kata Gus Dar.
“Murid atau bukan murid tidak bisa bertemu dengan Kiai Rahtawu sekarang.”
“Apakah Kiai Rahtawu sedang berzikir?”
“Bisa, ya, bisa tidak.”
“Apakah Kiai Rahtawu sedang membaca Al Quran?”
“Bisa, ya, bisa tidak.”
“Apakah Kiai Rahtawu tidak pernah berpesan kepadamu: bakal datang seseorang untuk menanyakan kapan ia akan mati dan di mana ia akan dikuburkan?”
“Kiai Rahtawu tidak berpesan apa-apa.”
Gus Dar terdiam sesaat. “Pasti ada yang tak beres,” pikirnya, “Sunan Kalijaga bisa saja belum mengatakan apa-apa kepada Kiai Rahtawu. Bisa juga Sunan Kalijaga sudah mengatakan segalanya tetapi Kiai Rahtawu lupa.”
Gus Dar lalu bertanya lagi kepada Jamal Juaim, “Apakah semalam Kiai Ralitawu tidur?”
“Kiai Rahtawu nyaris tidak pernah tidur.”
“Apakah Kiai Ralitawu tidak bermimpi tentang kematian lelaki berusia 81 tahun?”
“Sejak lima tahun lalu Kiai Rahtawu tak bisa bermimpi lagi.”
Gus Dar terdiam lagi. “Pasti ada yang tak beres,” pikimya, “Barangkali Allah memang tidak pernah mengirim pesan kematian. Barangkali Izrail ingin memainkan nyawaku. Barangkali Nabi Muhammad juga tidak pernah membisikkan apa-apa kepada merpati. Merpati juga tidak pernah berbisik kepada angin. Angin tidak pernah mengulang pesan kematian itu berkali-kali kemudian menyampaikannya kepada hujan. Hujan juga tidak pernah bercakap-cakap dengan Sunan Kalijaga.
Gus Dar lalu bertanya lagi kepada Jamal Juaim. “Apakah kau pernah bermimpi bertemu Sunan Kalijaga?”
“Pernah.”
“Apa yang pernah dikatakan oleh Sunan Kalijaga kepadamu?”
“Sunan Kalijaga bilang: seseorang akan mati indah pada saat berziarah di salah satu makam wali.”
“Apakah kau mengenal siapa yang akan mati?”
Jamal Juaim menggeleng. “Kiai Rahtawulah yang tahu siapa yang bakal mati siapa yang bakal hidup hingga sembilan hari mendatang.”
“Kalau begitu,” kata Gus Dar, “Sekali lagi izinkan aku bertemu Kiai Rahtawu. Aku akan bertanya siapa yang akan mati pada sembilan hari mendatang?”
“Mungkin kau akan bisa bertemu Kiai Rahtawu,” kata Jamal Juaim, juga sekali lagi, “Tetapi menunggu saat yang tepat.”
Sebenarnya Gus Dar ingin marah. Akan tetapi, ia memilih bersabar. Malah tiba-tiba Gus Dar merasa Jamal Juaim, sebagaimana Kiai Rahtawu, tahu siapa akan mati siapa akan hidup sembilan hari mendatang.
Karena itu, Gus Dar mengurungkan niat bertemu dengan Kiai Rahtawu.
“Apakah sembilan hari mendatang aku akan mati?”
Jamal Juaim terdiam. Jamal Juaim kaget. “Mengapa tidak kau lontarkan pertanyaanmu itu kepada Kiai Rahtawu?”
Kini ganti Gus Dar yang terdiam. Ia merasa berhadapan dengan tembok yang tidak bisa ditembus. Karena itu, ia ingin pulang saja. Jika masih memiliki sembilan hari untuk hidup, ia memutuskan hari itu juga mulai berziarah ke Makam Sunan Ampel. Lalu meneruskan secara acak ke Makam Sunan Giri, Makam Syekh Maulana Malik Ibrahim, Makam Sunan Drajat, Makam Sunan Bonang, Makam Sunan Muria, Makam Sunan Kudus, Makam Sunan Gunung Jati, dan diakhiri ke Makam Sunan Kalijaga.
***
Akan tetapi, niat Gus Dar terhalang oleh sopir yang tiba-tiba menghilang. Tidak. Tidak menghilang. Sopir itu diusir oleh sepasang laki-laki berusia 40 tahunan, yang sangat tampan. Sopir itu akan ditembak jika tidak segera pergi.
“Tidak perlu mencari sopir Sampean. Kami akan mengantar ke mana pun Sampean pergi,” kata salah seorang kepada Gus Dar.
“Aku akan ke makam para wali.”
“Akan kami antar.”
Mereka kemudian mengantar Gus Dar ke makam para wali. Sembilan hari. Selama itu pula Gus Dar tidak pernah bertanya siapakah mereka. Gus Dar yakin kedua pria tampan itu bagian dari kisah kematian dirinya yang dirancang agak berbelit-belit dan rumit oleh Allah. Hanya, pada hari kesembilan Gus Dar masygul. “Mengapa aku tidak mati-mati?”
***
Kini Gus Dar berada di Makam Sunan Kalijaga. Ia berharap akan mati setelah melakukan wasilah terakhir. Ia berharap pesan Allah terwujud.
“Apakah jika aku mati hari ini kalian akan memakamkan aku di dekat makam para wali?”
“Siapa bilang Sampean akan mati?” tanya salah seorang.
“Aku merasa akan mati.”
“Mungkin Sampean akan mati,” kata salah seorang, “Tetapi menunggu saat yang tepat.”
“Aku akan mati saat berziarah di salah satu makam wali.”
“Siapa yang memberi pesan Sampean akan mati saat mengunjungi makam wali?”
“Tentu saja Allah.”
“Yakin?”
“Yakin.”
“Bukan iblis?”
Gus Dar terperanjat mendapat pertanyaan semacam itu. “Tetapi aku yakin aku akan segera mati. Usiaku sudah 81 tahun.”
“Ya, kau mungkin akan mati,” kata salah seorang, “Tetapi tidak di makam ini.”
“Lalu aku akan mati di makam siapa?”
Kedua pria tampan itu tidak menjawab. Mereka bergegas memapah Gus Dar yang kian lama kian kelelahan. “Akan kalian ajak ke mana lagi aku?” tanya Gus Dar.
Kedua pria tampan itu membisu. Mereka kemudian meninggalkan Makam Sunan Kalijaga. Jip mereka kini menuju ke arah Tanjungrasung. Dalam ingatan samar Gus Dar, di Tanjungrasung memang ada makam kecil. Makam di ujung tanjung.
“Apakah itu Makam Syekh Siti Jenar?” Gus Dar membatin, “Apakah aku akan mati setelah berziarah di makam itu? Apakah Syekh Siti Jenar wali paling wali? Apakah…”
Jip terus melaju ke Tanjungrasung.
“Kami akan membunuhmu sekarang,” kata salah seorang, setelah jip berhenti di ujung tanjung yang sepi.
Meskipun telah cukup lama mempersiapkan kematian, Gus Dar terperanjat juga. Gus Dar tak tahu akan mati dengan cara apa. Apakah kedua orang itu akan berebutan memukul kepala Gus Dar dengan pentungan kasti? Apakah kedua orang itu akan membentangkan tangan Gus Dar di tiang lalu menusukkan lembing di jantung? Apakah seseorang akan meletuskan pistol tepat di lambung atau hanya memintanya tafakur di antara keheningan daun-daun yang gugur? Gus Dar tak tahu. Gus Dar sudah tak berhasrat mengetahui apa pun saat meninggalkan dunia yang fana dan kian karut-marut itu.

Triyanto Triwikromo telah menulis Kematian Kecil Kartosoewirjo yang memungkinkan ia memperoleh penghargaan Tokoh Seni 2015 Pilihan Majalah Tempo. Ia juga menulis Ular di Mangkuk Nabi (pemeroleh Penghargaan Sastra 2009 Pusat Bahasa). Selain sebagai jurnalis, ia mengajar Penulisan Kreatif di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Sastrawan ini memperoleh Penghargaan Kesetiaan Berkarya Kompas 2017.
Sito Pati, lahir 6 Agustus 1966 di Pati, Jawa Tengah. Menempuh pendidikan seni di STSRI/ISI Yogyakarta. Sito menjadi finalis Philip Morris Indonesia Art Award tahun 1995, 1996, dan 1998. Ia juga memperoleh penghargaan Karya Terbaik dalam pameran Rambut Putih, Tahun Mas (2015). Kini menetap di kota Yogyakarta.

Zera

Cerpen Putu Wijaya (Suara Merdeka, 25 Februari 2018)
Zera ilustrasi Putut Wahyu Widodo - Suara Merdeka.jpg
Zera ilustrasi Putut Wahyu Widodo/Suara Merdeka
Bu Raka mengadu lagi pada Bu RT. Suaminya diam-diam punya wanita simpanan.
“Sudah lama uang belanja bulanan saya terus dikurangi. Turunnya juga seret. Kalau sudah saya ancam-ancam akan bunuh diri, baru dia membuka dompet. Tapi sudah siang. Mau masak apa coba. Akhirnya saya sering minta makan ke rumah tetangga supaya tidak mati. Eh, pulang-pulang, dia ngamuk, ribut tidak ada makanan. Padahal kalau ada juga, menoleh sebelah mata pun tidak. Segalanya jadi salah. Saya heran, dia sering marah-marah tanpa alasan. Segalanya dia gampar, tak terkecuali saya. Untung, anak saya Risky selalu melindungi. Dia tidak takut lawan papa tirinya yang kesetanan itu. Saya suruh Risky terus latihan fitnes supaya ototnya kuat. Nanti kalau tiba-tiba berantem supaya tidak kalah. Kalau mulut papanya pedas, harus dia jawab lebih pedas lagi. Kalau papanya banting kursi, Risky juga saya suruh banting kursi. Masa dia nuduh saya sudah morotin sampai dia bangkrut. Saya juga selalu dia tuduh bawa sial. Batu bara hancur, nyalahin saya. Gagal nyaleg, dia bilang saya tidak bawa hoki. Padahal yang selalu bikin perkara kan itu, si Riene anak kandungnya. Perempuan kegenitan itu maksa-maksa papanya menceraikan saya dan menuntut semua warisan jatuh ke dia. Anak saya jadi marah. Kalau saya tidak cegah dia sudah ngamuk. Untung, bisa saya bujuk. Lalu dia hanya mengadu ke LBH. Papanya kaget, mengeluarkan pistol. Entah dapat dari mana, entah ada isinya atau tidak. Tapi saya kan jadi stres. Akhirnya, saya…”
Putus. Bu Raka menyemburkan tangis. Dengan tangkas Bu RT menenangkan seperti biasa, sambil mengusap-usap. Tapi tangis tamunya terus mengucur. Baru setelah disuguh makan, ia anteng kembali.
“Makannya lahap sekali, seperti orang kelaparan, Pak. Masa sih orang kaya begitu kelaparan? Pulang juga minta dibawain, untuk makan malam, katanya!” lapor Bu RT kemudian entah sudah berapa puluh kali pada suaminya. “Kalau kelas dia saja kelaparan, bagaimana kita ini?”
“Ya betul, Bu RT, serius! Sudah enam bulan saya hanya makan mi instan. Yang lain tidak ada yang bisa masuk!”
“Jangan, Bu Raka! Kebanyakan makan mi instan sama dengan bunuh diri.”
“Tapi kan enak!”
“Semua yang enak berisiko tinggi. Enak di mulut, racun di perut!”
Biarin, yang dalam perut kan tidak kelihatan! Yang tidak kelihatan bukan urusan kita!”
Bu RT tersenyum. Ia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan otak yang lagi kacau. Tetapi ia tak bisa membiarkan warganya sesat terlalu jauh.
“Kalau Bu Raka makan mi instan terus berarti selalu membuang makanan yang saya sering berikan dong?!”
Bu Raka bingung, tak menjawab. Ia loncat ke soal lain.
“Sekarang saya mulai minum pel mengurangi tekanan, karena tekanan saya sering sampai 120. Tinggi kan, Bu RT?”
“Siapa bilang, 120 itu normal.”
“Bukan 120, melainkan 210!”
“Wah, 210? Itu tinggi sekali. Ibu harus ke UGD. Cepat, sebelum kecolongan!”
“Betul, Bu RT. Risky juga bilang begitu. Tapi bagaimana ya, ke UGD kan repot, jauh, belum kalau dimainkan rumah sakit. Periksa sini, periksa sana. Mau bilang mencret saja, pakai periksa jantung, periksa darah, dironsen. Nanti kalau saya dikirim ke rumah sakit gila bagaimana? Memang itu tujuannya! Supaya saya pergi dari rumah. Jadi dia merdeka dengan cemceman-nya dan si Riene ambil alih semua. Tinggal Risky yang akan jadi anak ayam kehilangan induk. Aduh, tak kuat saya. Akhirnya, akhirnya saya….”
Putus lagi. Ibu kaya yang kelaparan itu sekali lagi dilabrak tangis.
Bu RT kemudian menyelipkan selembar 50-an ke tangan Bu Raka. Langsung tangisnya tamat. Lalu ia mau pulang ke rumahnya yang berlantai tiga di ujung.
“Itu dia. Kenapa aku kemarin ngotot menentang kamu jadi ketua RT!” kata Amin ngedumel. “Sudahlah. Mundur saja, Bu!”
“Lo, Pak, kamu ini bagaimana! Mau saya langsir? Jangan berpikir negatif terus! Ini kan risiko. Mana ada jabatan tanpa risiko. Katanya ingin belajar jadi caleg. Sudah, bersihkan rumah, jangan sambat aja, aku nengok saudara dulu! Nanti kalau tetangga baru itu lapor mau bawa tamu untuk nginap, tahan KTPnya, jangan terulang kasus sodomi itu lagi!”
Amin tak bisa membantah. Sejak istrinya jadi ketua RT, ia tak bisa ke mana-mana, karena seluruh kegiatan rumah praktis jatuh ke tangannya. Maka ketika dulu warga mencalonkan dia jadi ketua RT, ia angkat tangan. Tapi istrinya kepengin. Teman hidupnya itu ngiler dipanggil Bu RT.
Menjelang sore, datang Pak Raka. Curhat dia juga tak sedikit. Entah tahu entah tidak istrinya langganan menangis di rumah Bu RT. Ia begitu saja nubruk Amin.
“Pak Amin, payah!”
“Apalagi, Pak Raka? Kan mobil baru ganti!”
“Bapak-bapak menteri ada-ada saja! Masa pembangunan Menara Jakarta kerja sama dengan Tiongkok, pelaksanaannya mau ditumpahkan ke saya!”
“Oh ya? Hebat, Pak Raka! Selamat! Saya bangga!”
“Tapi itu kan berat! Pasti makan bertahun-tahun. Banyak intrik, friksi, kontradiksi, gosip, sikut-sikutan, iri hati. Salah sedikit, saya bisa digantung KPK!”
“Itu risiko! Tapi proyeknya kan gede, Pak. Untungnya pasti juga gede banget! Ya nggak?”
“Memang.”
“Bapak yang terpilih dari 250 juta rakyat Indonesia. Itu kan tandanya Bapak hebat! Masa sih, bapak-bapak di atas akan memilih saya. Pasti mereka pilih Bapak yang hebat?! Selamat!”
Amin menyambar tangan Raka. Mengguncangnya berapi-api. Tapi muka Raka kelihatan loyo.
“Tapi rumah tangga saya lagi galau, Pak Amin. Tahu kan, istri saya belakangan ini stres, lalu suka berhalusinasi. Dia sudah tahu dari berita koran, TV, ekonomi kita lagi merosot, rupiah terpuruk, semua menjerit. Saya banyak tugas, saya perlu konsentrasi, kok saya dituduh punya simpanan bini muda? Bini muda tahi kucing! Bini muda saya tugas negara! Memang saya jarang di rumah, tapi itu kan karena saya sibuk membantu menteri mau buat Menara Jakarta sebagai ikon Indonesia, proyek mercu suar bersama dengan Republik Rakyat Tiongkok. Uang belanja sudah saya dongkrak, tapi dia terus saja ngaku ke tetangga saya potong sampai tidak bisa makan. Itu bullshit. Bawaannya tegang, curiga, marah terus. Akibatnya, jangankan anak saya, anaknya juga tidak dia urus. Masa si Risky pernah memukul saya! Lo jelek-jelek begini saya kan papanya! Risky sudah jadi liar dan narkobais sekarang! Masa Riene, anak saya, adiknya, mau dia perkosa? Saya laporkan saja dia ke polisi! Eh, dia malah mengadu ke LBH supaya status saya diajukan ke pengadilan berada di bawah pengampuan! Supaya saya tidak berhak melakukan tindakan hukum sendiri! Itu kan sama dengan pembunuhan! Itu otak sesoprenia ibunya! Ternyata dia paranoid, berkepribadian ganda! Bekas Ratu Kebaya kok begitu! Tadinya waktu kami menikah, dia santun, intelek, berkarakter! Sekarang kok tahi kucing, jadi iblis begitu! Kepala saya hampir pecah mikirin kelakuannya. Shit! Shit! Akhirnya, akhirnya….”
Putus. Bu Amin muncul.
“Tumben, Pak Raka pulang sore!”
Raka kaget. Gugup menyapa, “O, Bu RT. Selamat sore. Dari mana? Apa kabar? Apa itu?”
Bu RT mengangkat kurungan kucing yang dia tenteng dari rumah keponakan.
“Ini Zera. Anak kucing persia, punya ponakan. Istrinya mengandung, dokter nyuruh kucing diungsikan dulu, bulunya bisa menyebabkan tokso plasma yang mengganggu janin. Jadi Zera dibuang, cuma sayang harganya mahal. Jadi mending saya tampung.”
Amin terkejut.
“Tapi kalau kita pelihara, aku kan bisa asma?”
Bu RT kaget.
“Astaga, kok saya bisa lupa Bapak alergi bulu kucing?”
“Lagian itu kan kucing ras! Makanannya, dokternya, akan morotin kita. Itu kucing orang kaya. Bukan untuk kita. Itu mainan untuk bos-bos seperti Pak Raka yang mau jadi kepala proyek Menara Jakarta ini.”
Raka ketawa.
“Mau mengadopsi Zera, Pak Raka?”
“Adopsi?”
“Ya!”
“Adopsi kucing?”
“Ya!”
Raka ketawa. Bu RT mengangkat tentengan plastik berisi dokumen Zera.
“Di sini ada akta kelahiran Zera. Buku harian Zera. Jadwal dokter, daftar makanan, kaset lagu kesayangan dan video yang suka dia tonton.”
Raka tertawa geli.
“Mau tidak?”
“Oke, oke, saya adopsi. Tapi saya harus bayar berapa juta?”
“Tidak usah bayar, asal dipelihara selayaknya sebagai anggota keluarga.”
“Oke, oke, deal, akan saya pelihara sebagai keluarga!”
Mereka bersalaman.
“Terima kasih, Bu RT. Hanya satu permohonan kecil. Tanpa mengurangi rasa hormat saya atas kebaikan hati Bu RT, saya mohon, kalau istri saya datang kemari mau curhat, mohon tolak saja. Dia itu sesoprenia, depresi, paranoid, berkepribadian ganda, dan suka berhalusinasi. Kalau ditanggapi, dia akan merasa didukung dan dibenarkan. Dan, maaf, tolong jangan sekali-sekali memberi dia makanan kampung. Perutnya supersensitif. Kemarin sampai dilarikan berobat ke Sing. Oke, terima kasih. Selamat sore!”
Raka cepat menenteng kurungan kucing ke mobil. Bu RT dan Amin ternganga. Tak percaya apa yang mereka alami.
“Itu bukan Pak Raka yang kita kenal, Pak. Itu orang lain!” bisik Bu RT.
“Ya! Kelihatan sekarang, jiwa dia yang terganggu!”
Malam hari Bu RT tetap bengong. Ia menyesal telah menyerahkan Zera pada orang yang lagi sakit jiwa. Lalu ia memutuskan mengambil Zera kembali.
Sembari ngumpat dalam hati, Amin terpaksa ikut. Ternyata rumah Raka gelap gulita. Bu RT berusaha ngintip.
Kedengaran ada suara percakapan di dalam. Amin hampir saja mengetuk pintu. Tiba-tiba lampu teras menyala. Bu RT menyambar tangan suaminya untuk bersembunyi.
Lalu kedengaran derai suara tertawa bersama. Pak Raka memegang sebatang lidi dengan robekan kertas bekas kresek di ujungnya. Ia memainkan kertas itu hingga Zera dengan serius penuh semangat menerkam, mengejar, melompat, jatuhbangun. Semua ketawa histeris.
Kemudian sambil mengeluarkan bujukan dan kata-kata lembut, bergantian pegang lidi. Bu Raka menari-nari, Risky bergulung dan Riene menyanyi.
Bu RT dan Amin ternganga melihat orang dewasa itu jadi lebih dari anak-anak. Ketawa mereka meledak-ledak, terpingkal-pingkal tak putus-putus. Kegelapan rumah itu berubah jadi cahaya kebahagiaan yang lembut dan begitu mengharukan.
Ketika Raka terjatuh karena terlalu bersemangat mengelaki terkaman Zera, kucing itu terkejut, lalu ngibrit masuk rumah. Semua membantu Raka bangun, lalu bersorak tertawa melihat celana calon kepala proyek Menara Jakarta itu robek. Raka cekakakan.
Zera mengeong seperti minta permainan diteruskan. Semua menyusul masuk sambil tertawa. Tapi Raka salah langkah, oleng. Bu Raka menggapai, tapi terlambat. Keduanya jatuh pelukan. Amin tertawa, hampir saja bertepuk tangan. Bu RT cepat menutup mulut suaminya dan segera membawanya pergi. (44)

Jakarta, 10 November 2015
Putu Wijaya, yang bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya, adalah sastrawan serbabisa. Pria kelahiran Tabanan, Bali, 11 April 1944, ini menulis esai, cerpen, novel, naskah drama, serta skenario sinetron dan film. Dia juga melukis serta bermain dan menyutradari teater.

Surga di Kolong Ranjang

Cerpen Abdullah Salim Dalimunthe (Media Indonesia, 25 Februari 2018)
Surga di Kolong Ranjang ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Surga di Kolong Ranjang ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
LAGI-LAGI, saya menemukan Alessa merebah di kolong ranjang di kamarnya. Sudah tiga kali saya temukan ia di sana. Tertidur pulas di lantai keramik berwarna gradasi abu-abu muda. Dengan posisi menyamping, dan telapak tangan yang menyelip di antara lantai dan pipinya, Alessa tertidur sambil tersenyum. Ingin saya membelai dan mengecup keningnya, atau bahkan memeluk tubuhnya, tetapi saya tahan. Saya khawatir, jika itu saya lakukan, saya hanya akan mengganggu tidurnya. Atau malah membangunkannya. Saya tidak mau itu terjadi. Oleh sebab itu, saya merebahkan diri dan mengawasi Alessa hanya dari pinggir kolong. Sambil mereka-reka apa yang sedang dimimpikan oleh keponakan saya tersebut.
Barangkali, Alessa sedang memimpikan sebuah istana yang terbuat dari cokelat, yang di dalamnya terdapat kolam besar yang berisikan madu. Atau, mungkin juga, saat ini Alessa sedang memimpikan sepasang boneka kelinci raksasa yang jarijemarinya dapat diemut bagaikan permen. Sebagaimana yang pernah ia ceritakan kepada saya dua hari yang lalu–ketika saya baru saja tiba di rumah ini, setelah kakak saya (mama Alessa) meminta saya untuk datang menemani Alessa selama beberapa hari ke depan. “Om, apakah di surga ada boneka kelinci raksasa?”
Pertanyaannya itu membuat saya tersenyum. Ia menggandeng saya ke kamarnya. “Tentu saja, Alessa. Di sana, apa pun yang menyenangkan hati kamu, pasti ada.”
“Meskipun boneka kelinci raksasa itu berbeda?”
“Ya, meskipun boneka kelinci raksasa itu berbeda. Asalkan hati kamu merasa gembira, boneka yang bagaimanapun bedanya, di sana pasti ada.”
Dengan senyum kanak-kanaknya yang khas, Alessa memandangi saya cukup lama, kemudian mulai bercerita. Ia mengatakan kepada saya, bahwasanya kemarin siang, setibanya di rumah usai pulang sekolah, ia terburu-buru masuk ke dalam kamar dan tanpa sengaja menjatuhkan botol minumnya. Dan, ketika hendak mengambil botol minumnya tersebut, ia melihat kerlip bintik-bintik cahaya yang beterbangan memenuhi kolong ranjang. Ia terkejut–sekaligus penasaran. “Seperti kunang-kunang?” tanya saya. Alessa lekas mengiyakan, “Iya, maksudku itu, Om, seperti kunang-kunang.”
Alessa kembali meneruskan ceritanya. Ia bilang, dirinya mengamati kerlip bintik-bintik cahaya itu terlebih dahulu—dalam beberapa menit—sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam kolong. Dan, ketika dirinya telah berada di tengah-tengah kerumunan kerlip bintik-bintik cahaya—yang entah apa—itu, ia merasakan seperti ada sesuatu yang mengisap tubuhnya kuat-kuat. Hingga ia tersedot dan terlempar jauh ke suatu tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. “Dan, tempat itu benar-benar indah, Om!”
Ia tampak begitu ceria, saat mengatakan, di tempat itu ia melihat sebuah danau yang tidak terlalu luas, tetapi di tepiannya berderet perahu-perahu karet yang berwarna-warni. Dan, di dekat perahu-perahu karet yang berwarna-warni itu pulalah ia bertemu dengan sepasang boneka kelinci raksasa yang berdiri tegak menghadap ke arah danau. Sepasang boneka kelinci raksasa itu kemudian mengulurkan kedua kelingking mereka masing-masing ke dekat mulut Alessa. Sehingga aroma khas permen mentol yang menguar dari jari-jemari sepasang boneka kelinci raksasa itu tercium olehnya. Alessa pun mengulum satu per satu jari-jemari boneka-boneka kelinci raksasa tersebut.
Selepas menikmati jari-jemari sepasang boneka kelinci raksasa tersebut, Alessa dihampiri oleh seekor merpati yang berukuran besar. Tinggi badan merpati itu setinggi rumah dua lantai, hampir menyamai tinggi boneka-boneka kelinci raksasa tersebut. Merpati itu merebah. Lalu merentangkan sebelah sayapnya, “Naiklah ke punggungku, gadis kecil.” Dengan hati-hati, ia merangkak naik ke punggung merpati yang berwarna putih itu. Kemudian memegangi bulu-bulu yang tumbuh di leher merpati itu erat-erat. Merpati itu membawanya terbang menuju ke sebuah bukit yang sangat tinggi. Dan, di puncak bukit itu, Alessa melihat papanya sedang asyik memetik apel. “Papa? Papa kamu?”
“Iya, Om, papa kandung aku!”
Saya terkejut mendengarnya. Bagaimana Alessa bisa yakin kalau orang yang dilihatnya di puncak bukit itu adalah papa kandungnya? Padahal, saya tahu, sekali pun Alessa belum pernah melihat wajah papanya sejak ia berumur dua tahun. Karena mamanya tidak membiarkan hal itu terjadi. Saya ingat, enam tahun silam, dua minggu setelah kepergian papanya dari rumah yang entah ke mana, mamanya mengumpulkan semua foto yang ada di rumah lalu membakarnya. “Pernikahan dengan laki-laki itu adalah sebuah kesalahan,” kata mama Alessa meradang, “dia laki-laki pecundang.”
Dia bukan pecundang, pikir saya. Dia, laki-laki itu (papa Alessa), hanyalah seorang laki-laki yang kurang beruntung. Laki-laki itu bernasib jelek setelah menikahi kakak saya. Dia di-PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja, tepat enam bulan sesudah menikah. Dan, nasibnya kian kurang beruntung setelah tidak berhasil memperoleh pekerjaan yang baru. Lamaran-lamaran pekerjaannya selalu ditolak, entah mengapa. Barangkali, perusahaan-perusahaan itu tidak menaruh minat kepada orang-orang yang terkena PHK. Atau, mungkin juga, usianya yang tidak lagi mampu bersaing dengan pelamar-pelamar yang jauh lebih muda. Atau memang, belum rezekinya saja. Ya, apa pun itu, menurut saya, papanya Alessa hanyalah seorang laki-laki yang kurang beruntung dan menikahi seorang perempuan yang kurang bersabar. Padahal, laki-laki itu laki-laki yang baik. Dia bahkan rela bekerja serabutan menjadi juru parkir liar demi anak dan istrinya. Dan, dia juga rela menerima hardikanhardikan istrinya setiap hari. Sampai pada suatu hari, dia menghilang, dan tak pernah kembali.
“Merpati itu yang memberi tahu, bahwa orang yang ada di puncak bukit itu adalah papaku.”
Betapa senangnya Alessa mengatakan hal itu. Saya bisa merasakan kebahagiaan yang berbalut kerinduan dalam getar suaranya.
“Ternyata papaku itu orangnya ganteng, ya, Om.”
Saya memalingkan muka. Saya tidak mau Alessa melihat kedua mata saya berkaca-kaca.
“Iya, sekarang kamu tahu, kan, cantiknya kamu itu nurun dari siapa?”
Ia tidak menjawab. Tapi, saya yakin, Alessa sedang tersenyum-senyum sendiri.
“Kasihan kamu, Alessa,” gumam saya pelan.
Ingin rasanya saya memeluk Alessa dan cepat-cepat membawanya pergi dari sini. Betapa sepinya Alessa di rumah ini. Setiap hari, ia hanya berteman dengan boneka-boneka yang ada di kamarnya. Dan seorang pembantu yang terlalu sibuk dengan pekerjaan-pekerjaannya, sedangkan mamanya, sungguh, ia tidak pernah peduli. Bagi mama Alessa, tanggung jawabnya hanyalah: menyekolahkan Alessa, memberinya pakaian dan makanan agar Alessa tetap hidup. Cuma itu. Dan itu pun sudah lebih daripada cukup buat seorang anak yang terlahir dari sebuah kesalahan. “Bagaimana dengan perhatian dan kasih sayang yang dia butuhkan?” protes saya kala itu. “Untuk hal-hal demikian, Kakak percayakan sama kamu,” jawabnya ringan.
Dan, ketidakpedulian mamanya itu kian menjadi-jadi setelah menikah lagi, setahun kemarin. Mamanya cuma sibuk mengurusi dan memberi perhatian kepada suami barunya saja. Sedangkan Alessa? Entahlah. Mungkin, baginya, Alessa hanyalah setitik debu di kehidupannya. Ah, seandainya saja kedua orangtua saya (kakek dan nenek Alessa) masih hidup.
Tiba-tiba, ponsel di saku celana saya bergetar. Sebuah pesan pendek dari kakak saya yang memberitahukan bahwa ia dan suaminya akan pulang esok pagi. Saya melihat jam yang tertera di layar ponsel: 19:09 PM. Ternyata, sudah hampir dua jam saya mengawasi Alessa dari pinggir kolong. Saya harus segera membangunkan Alessa untuk mengajaknya makan malam. Saya tidak mau ia masuk angin lalu sakit. Perlahan saya mendekati Alessa.
“Alessa, ayo bangun, kita makan dulu,” bisik saya ke telinganya.
Ia tidak merespons. Alessa masih terlihat pulas dengan senyumnya yang tampak begitu polos. Saya mencoba sekali lagi, “Alessa, ayo kita makan dulu, nanti setelah makan malam, kamu boleh tidur lagi,” bisik saya dengan suara yang agak lebih tinggi.
Alessa tetap tidak menjawab. “Alessa, bangun,” saya mengguncangkan badannya. Tapi, Alessa tetap tidak bereaksi. Saya menyentuh pipinya, kemudian memegangi tangannya. Dan, yang saya rasakan saat ini, pipi dan tangan Alessa terasa sangat dingin. Lalu saya mendekapnya. “Alessa, ayo bangun, sayang….”
Kemudian saya lepaskan dekapan saya dan berbaring di sampingnya. Saya kembali teringat, siang tadi, Alessa berkata: “Om, di tempat yang indah itu, aku melihat sebuah istana yang sangat megah. Dan, di situ, aku melihat banyak bidadari cantik yang berdiri di dekat Papa. Aku juga melihat Kakek, Nenek, dan Om ada di sana. Tapi…, kenapa aku tidak melihat Mama ada di sana, ya?”
Tidak lama kemudian, tiba-tiba, saya melihat kerlip bintik-bintik cahaya bermunculan satu demi satu. Mereka mulai menerangi dan memenuhi kolong ranjang. Kerlip kuning keemasan yang tampak cantik. Membuat saya terlena dan hanyut. Perasaan saya begitu damai. Tenang. Sejuk. Dan, ada rasa bahagia yang merangkul batin saya. Belum pernah saya merasakan kegembiraan seperti sekarang ini. Memaksa saya untuk selalu tersenyum. Hingga, mendadak saya merasakan ada sesuatu yang menarik diri saya dan mengempaskan saya ke suatu tempat. Dan, tempat itu terlihat sangat-sangat indah.
“Alessa?”
***

Abdullah Salim Dalimunthe. Kelahiran Medan, Sumut, November 1982. Alumnus Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Kini ia tinggal di Bandung, Jawa Barat.

Minggu, 25 Februari 2018

Kabar dari Semar

Cerpen Daruz Armedian (Banjarmasin Post, 18 Februari 2018)
Kabar dari Semar  ilustrasi Rizali Rahman - Banjarmasin Post.jpg
Kabar dari Semar ilustrasi Rizali Rahman/Banjarmasin Post Group 
“Raden, saya benar-benar tidak tahu siapa yang menaruh pistol itu di meja ruang tamu rumah saya.”
Semar berkata seperti itu pada suatu ketika tuannya, Raden Said, bertanya muasal pistol dengan peluru yang tinggal tiga itu. Mendengar ucapan Semar sambil memelas, Raden Said cuma manggut-manggut, sesekali meneguk kopinya yang masih hangat. Lalu mencomot pisang goreng yang ada di nampan.
“Menurutmu, siapa?” kata Raden Said sambil menyalakan korek api yang kemudian digunakan membakar ujung rokoknya.
Semar hanya menggeleng. Menggeleng sambil menunduk. Sepasang matanya tidak berani sama sekali menatap tuannya.
Sebenarnya, ia juga ingin menyeruput kopi sambil makan gorengan. Terlebih lagi ketika membaui asap tembakau yang dilinting dengan klobotan, daun jagung kering. Akan tetapi, ia merasa hal itu tidak sopan. Maka, ia hanya menatap perutnya, yang walaupun besar seperti perut orang hamil, tetapi menanggung lapar yang amat sangat. Ia berharap si tuan menawarkan. Tetapi, belum tuntas ia berharap, harapan itu terkabul.
“Jangan takut begitu. Ini, makan dulu gorengannya.”
Raden Said berseloroh sambil menahan geli melihat Semar malu-malu tapi mau.
Dan sejurus kemudian, Raden Said merenung kembali. Ia bingung dan bertanya-tanya, siapa yang berani-beraninya membawa alat modern di zaman yang masih kuno? Perlu diketahui, di dunia, waktu itu, belum ada sama sekali yang namanya pistol. Tentara-tentara, bala perang, masih menggunakan tombak, pedang, panah, dan lain-lain. Lenin, Stallin, Hitler, Mao Zedong, Saddam Hussen, Bush, Osama Bin Laden, Imam Samudra, belum lahir.
“Raden, apa di pikiran Raden, saya yang sengaja menyembunyikan pistol itu?”
Semar memberanikan bicara lagi. Ia takut tertuduh. Takut sekali. Pasalnya, ketika bangun tidur dan beranjak dari kamar, tiba-tlba ia menemukan sebuah pistol teronggok di atas mejanya. Pistol itu masih hangat, seperti baru saja digunakan menembak.
Sebenarnya, kalau cuma pistol teronggok di meja begitu saja, tidak akan serumit itu. Masalahnya, bersamaan dengan pistol tergeletak di meja, ada kabar bahwa telah ditemukan: orang mati dengan kepala yang luka ditembus peluru.
Orang itu diketahul bernama Sengat Ibrahim. Rambutnya panjang, ia pintar dalam hal strategi peperangan. Tetapi, ia sangat miskin. Rumah pun tak punya. Makan di mana saja. Dan, hanya satu yang baik darinya: ia selalu membantu rakyat-rakyat miskin. Seperti namanya, kata-katanya selalu menyengat para penguasa, yang dalam hal ini, para raja.
“Aku tidak menuduhmu apa-apa. Aku hanya bingung, siapa pemilik benda berbahaya ini.” Raden Said angkat bicara lagi.
“Oh, baiklah kalau begitu, Raden!” Semar lega.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba mata Raden Said nanar. Ia dapat ide.
“Mari kita cari sama-sama siapa pemiliknya.” Dengan cepat ia menggenggam tangan Semar. Mereka meluncur ke masa depan. Ke dunia modern. Sebab, Raden tahu betul, pistol hanya ada di dunia modern.
Hanya sekejapan mata mereka sampai pada tempat tujuan.
“Di mana ini, Raden?” Semar mengatakan seperti itu karena terkejut.
Bagaimanapun, ia tidak pernah melihat hal-hal seperti ini: cuaca panas, udara abu-abu seperti berdebu, besi-besi berjalan dengan suara bising, besi-besi terbang bak burung, orang-orang lalu lalang tanpa menyapa sesamanya, dan lain-lain.
Entah bagaimana caranya, Raden Said bisa tahu di mana pistol itu dibuat. Ia langsung menuju ke sebuah tempat yang asing sama sekali bagi Semar. Pabrik pistol. Di sana, Raden Said langsung menemui pemilik pabrik itu. Seorang lelaki tua dengan uban di kepala, dengan penjaga di kanan dan kirinya. Setelah perbincangan agak lama, si pemilik pabrik memberi jawaban pasti mengenai pistol itu.
“Ini buatan tahun enam puluhan. Yang memesan adalah jendral bintang lima. Ya, aku masih sangat ingat hal itu. Tetapi sayang sekali, beliau sekarang sudah mati. Jadi kamu nggak mungkin mewawancarainya, kan?”
“Katanya, beliau butuh pistol yang bisa menembus masa lalu. Sebab, di masa itu ada orang bernama Ibrahim, yang dari keturunannya, akan menggagalkan semua rencana-rencana beliau. Beliau ingin jadi presiden.”
Mendengar penjelasan itu, Raden Said langsung paham. Ia berpikir: Jahat sekali orang yang mengirimkan pistol ini. Bahkan orang yang ada di masa lalu pun mesti dibunuh. Jabatan memang telah banyak membuat manusia jadi gila.
Di samping itu, Semar hanya melongo. Tidak mengerti maksud apa pun. Ia bingung dengan dunia masa lalu dan masa depan yang memang membingungkan itu. Akhirnya, yang ia pikirkan saat itu hanya pulang ke tempat yang teduh. Ngopi dan ngerokok. Ia tidak mau memikirkan kabar apa pun mengenai pistol itu, yang walaupun ia sendiri yang mengabarkannya pertama kali. ***

Daruz Armedian, lahir di Tuban, Jawa Timur. Penggiat Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta ini tercatat sebagai mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga. Penulis tetap di tubanjogja.org ini tinggal di Yogyakarta.

Eustasius

Cerpen Maywin Dwi-Asmara (Koran Tempo, 23-24 Februari 2018)
Eustasius ilustrasi Imam Yunni - Koran Tempo.jpg
Eustasius ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
Lenin mendengar suara berdebum. Ia bergegas keluar dan menemukan dirinya sendiri terkapar di atas rumput-rumput yang belum sempat dibersihkan. Diamatinya sosok itu, bagian-bagian yang tertelungkup di atas rumput tinggi yang menyemak karena telah lama tak dihiraukan. Sosok dirinya yang seperti baru saja terjatuh itu merasakan kakinya dingin, pipinya gatal seperti menyentuh ujung-ujung bunga digitaria; aromanya terhirup lembut. Ia merasa seekor serangga merangkak dari dalam tanah ke lubang telinganya, suara langkah serangga itu menggema di gendang telinganya. Ia bangun terperanjat, menemukan dirinya masih di dalam kamar…
Lenin duduk memiringkan kepalanya dan mulai mengorek-ngorek lubang telinga mencari serangga yang kini sudah terasa menapaki saluran eustasius-nya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana rupa saluran eustasius yang sesungguhnya. Ia berharap serangga dalam telinganya kini menikmati perjalanan di dalam sana dan keluar membawa cerita yang mungkin menginspirasi Lenin untuk menjelajahi saluran eustasius orang lain.
Semenjak mendapat gagasan untuk menulis dengan cara yang tak pernah dibayangkan sebelumnya, Lenin mulai mendengar suara-suara khayalan-seakan suara itu keluar dari otaknya dan masuk lagi melalui lubang telinga, merambat menghantarkan getar lewat eustasius, memukul gendang telinganya dan kembali masuk ke dalam sumber di mana suara itu berasal. Ia sedikit terkejut karena ternyata tak hanya mendengar suara khayalan. Ia pun mampu melihat wujud khayalannya. Saat itu ia sedang asyik menghitung rumus-rumus fisika dasar yang berhubungan dengan jatuhnya sesuatu yang dipengaruhi oleh gaya tarik bumi. Di pangkuannya ada modul perihal Hukum Newton dengan tinta warna hitam tebal, angka-angka yang hampir tak terbaca, formulasi rumus berjajar membentuk kerumitan tanpa garis, tanpa kalimat yang bisa dieja untuk mengerti dari mana datangnya angka 200 dari akar 400. Sebelum suara itu terdengar, ia sampai pada pengamatan tentang gerak suatu dimensi. Di bagian itu ia tertarik pada prinsip gerak jatuh tanpa hambatan. Prinsip itu menjelaskan, jika sebuah benda jatuh dari ketinggian tertentu dengan besar kecepatan 0, maka seutuhnya benda itu akan tertarik oleh gaya gravitasi bumi.
Lenin mulai menduga seberapa tinggi gedung apartemen tempat Veronica tinggal. Saat ia masuk ke dalam apartemen wanita itu, ia melihat angka terbesar pada lift berhenti pada 15 dengan menghilangkan angka 13-ia yakin bahwa siapa saja yang merancang atau membuat gedung itu pastilah seorang penderita triskaidekafobia-jadi ada 14 tingkat secara keseluruhan. Jika masing-masing tingkat dari apartemen itu memiliki ketinggian 2,5 m, maka tinggi keseluruhan bangunan itu adalah 35 m. Kemudian ia bayangkan menempatkan dirinya di atap gedung itu dan membiarkan dirinya ditarik gravitasi seperti apel yang jatuh di hadapan Newton. Ia mulai menghitung berapa lama waktu yang diperlukan hingga tubuhnya terhempas di atas permukaan tanah; t =  dengan kecepatan gravitasi sebesar 10 m/s2, ia hanya membutuhkan waktu kurang dari 3 detik untuk terhempas ke permukaan tanah. 3 detik cukupkah untuk mengingat semua kehidupan yang pernah dijalaninya? Hanya 3 detik dan kematian yang dirindukan akan datang menghampiri? Sesingkat itukah memanggil kematian? Telinganya berdenging mendengar suara dentuman keras melalui lubang telinga, merambat menghantarkan getar lewat eustasius dan memukul gendang telinganya. Lenin terperanjat mendengar betapa nyatanya suara itu. Ia berlari keluar dan menyaksikan tubuhnya sendiri terlungkup di atas rerumputan..
Beberapa malam sebelum Lenin mulai mempelajari rumus-rumus yang berhubungan dengan gravitasi, gerak, dimensi, kejatuhan atau apa pun itu, ia telah terlebih dahulu jatuh cinta pada Veronica. Wanita ini mampu membuat Lenin memikirkan hal-hal yang tak pernah dipikirkan; termasuk memikirkan wanita itu hampir setiap saat meski pada awalnya ia tak pernah memikirkannya sebelumnya, tepatnya tak pernah sekeras itu. Lenin mengeja nama wanita itu bagaikan membaca sebaris ayat suci; dengan lembut dan penuh rasa haru. Pada malam-malam ketika ia tak bisa tidur karena apa pun, bayangan Veronica menjadi selimut lembut menyelubungi dan membuatnya nyaman. Saat dalam kebimbangan dan kesulitannya menemukan pembenaran, Lenin seringkali menemukan perkataan Veronica menjadi fakta yang absolut. Lenin akan selalu terpesona pada apa pun yang dilakukan Veronica; akan selalu mendengarkan perkataan Veronica dengan antusiasme yang terkadang berlebihan. Ia akan selalu mengamati setiap detail pada wajah dan tubuh wanita itu, memeriksa kembali detail-detail yang luput dari perhatiannya sebelum melepas wanita itu dengan pelukan hangat.
Beberapa malam lalu mereka bertemu di “sarang” mereka-Lenin menyebutnya begitu. Veronica telah menyiapkan makan malam dan mereka duduk berhadap-hadapan. Tak ada hujan hari itu. Lenin juga tak bisa melihat bulan karena jendela di belakang Veronica mengarah ke kegelapan. Lenin merasa hatinya penuh.
“Betapa menyenangkan melihat kau menikmati makananmu.”
“Benarkah?” Veronica mengangkat tatapannya ke wajah Lenin, matanya yang coklat bagaikan memancarkan hangat matahari ke dalam hati Lenin.
“Sungguh, aku selalu menyukainya.”
“Kadang aku merasa sedikit aneh jika kau perhatikan seperti itu, kau seolah-olah sedang melihat sekuntum bunga purba yang sedang mekar.”
“Kau benar,” Lenin tersenyum dan melihat Veronica benar-benar menjadi sekuntum bunga purba yang begitu rapuh dan indah dengan semua kenangan yang terkatup dalam kelopak-kelopaknya. Rambutnya menjuntai bagai benang sari yang mengikat nasib para bayi yang belum menemukan pintu masuk ke dunia ini.
“Kau benar. Kau seperti sekuntum bunga purbakala yang sedang mekar dan selamanya akan mekar karena kau tak tersentuh waktu.”
Mereka tersenyum dan kembali menikmati makanan tanpa suara atau percakapan, itu membuat Lenin semakin jatuh cinta padanya; ketenangannya yang lambat seperti ketika langit jingga senja hari berubah gelap. Lenin bersyukur karena mampu menikmati ketenangan itu dari wajah Veronica. Saat acara makan malam yang khidmat itu selesai, mereka akan memulai percakapan perihal apa saja, apa saja bagi Lenin berarti Veronica dan semua hal tentang dirinya. Jadi ia selalu berharap Veronica menceritakan sesuatu tentang buku-buku yang dibacanya, tentang burung yang hinggap pada tali temali yang ia lihat entah di mana, tentang arwah nenek moyang yang menginjak kakinya, tentang seorang laki-laki yang baru kembali dari rantauan dan lupa mengeja nama desanya, tentang sejarah seekor belatung atau nama mahoni, tentang film yang telah ditontonnya malam lalu, tentang seorang sutradara dan aktor serta aktris favoritnya, tentang musik dan keinginannya mengumpulkan semua album yang dimiliki oleh semua musisi yang dikenalnya, tentang seseorang yang memberinya vodka saat udara begitu dingin menusuk hidungnya yang manis. Apa saja berarti kemungkinan yang selalu menggairahkan.
Begitulah, malam itu Veronica bercerita tentang buku yang ia baca, buku itu menyita perhatiannya. Veronica adalah seorang penulis. Jadi, apa pun yang ia katakan tentang buku, cerita, atau puisi akan terdengar begitu hidup dan nyata. Ia mulai bersemangat menceritakan tentang cerita yang sedang ditulisnya. Cerita itu berkisah tentang upaya bunuh diri seorang wanita dengan cara melompat dari jembatan. Dalam cerita itu ia menuliskan bahwa tokoh yang ingin bunuh diri itu berusaha menghindari tatapan orang lain agar tak ada siapa pun yang melihatnya. Secara tidak terduga ia menemukan hal serupa dari buku yang dibacanya malam sebelumnya. Buku itu juga berkisah perihal seorang yang melakukan tindakan bunuh diri dengan melompat dari jembatan. Bedanya, karakter dalam cerita Veronica tidak berhasil melompat karena ada seorang ibu baik hati yang berusaha menolongnya, sedangkan karakter dalam buku itu berhasil melompat dan berusaha mati. Karena Lenin sangat ingin menjadi bagian dari apapun yang Veronica pikirkan, ia mulai berpikir untuk menulis cerita tentang seseorang yang ingin bunuh diri dengan cara melompat dari jembatan.
Pertemuan terakhir dengan Veronica itu terus mengganggu Lenin hingga ia memutuskan menulis cerita tentang dirinya sendiri.
“Lenin Endrou duduk termenung menatap dahan pohon yang berayun. Di dalam kepalanya keinginan untuk bunuh diri begitu kuat. Ia pernah menyaksikan orang-orang yang begitu putus asa hingga memutuskan untuk bunuh diri, ia memikirkan hal itu hingga tertidur dan ia bermimpi dirinya jatuh dari tempat yang sangat tinggi. Ia menyadari dirinya jatuh tepat seperti adegan dalam film garapan Federico Fellini di mana tokohnya diikat dengan tali seperti layangan, terbang di atas hamparan laut di bawah langit abu-abu, kemudian jatuh karena orang yang memegang tali itu menarik-nariknya, memaksanya turun. Ia merasa terhempas di atas digitaria dan seekor semut masuk ke dalam telinganya.”
Saat mengetik tanda titik, Lenin tahu ia belum sempat menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan tubuhnya untuk menyentuh tanah, ia juga belum menetapkan di mana tempat karakter-dirinya itu harus melompat; karena jembatan-jembatan telah digunakan oleh Veronica dan seorang pengarang besar yang bukunya telah dibaca Veronica. Hal lain yang membuatnya beralih dari angka-angka dan hitungan adalah alasan apa yang kira-kira masuk akal bagi karakter-dirinya itu untuk melakukan upaya bunuh diri?
I Still Can’t Sleep dari Bernard Herrmann mengalun dari pemutar musik terpantul pada dinding-dinding kamar yang menjaga imajinasinya. Lenin baru ingat ia telah memutar lagu itu berulang-ulang semenjak tadi. Tepat sebelum adegan Robert De Niro mulai bercerita tentang bagaimana buruknya kesepian dan masalah susah tidurnya, Lenin menutup mata. Ia mulai melihat dirinya berada di puncak sebuah apartemen. Angin dingin menggoyangkan tubuhnya sebelum ia terjatuh begitu dalam.

Maywin Dwi-Asmara, penulis cerpen dan peneliti. Tahun 2014 mendapat research fellow dari salah satu universitas di Bologna, Italia. Pada Oktober 2016 diundang Dewan Kesenian Jakarta sebagai pemateri dalam Dua Forum Teater Riset. Ia berkhidmat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Catatan
I Still Can’t Sleep adalah soundtrack untuk film Taxi Driver besutan Martin Scorsese (1976).

Kutipan Go Where Your Heart Takes You

“Jika dipandang dari luar, kehidupan banyak orang tampak tidak bercela, tidak masuk akal, bahkan gila. Jika kita memandang permukaannya saja, mudah untuk salah memahami orang-orang dan hubungan mereka. Hanya dengan memandang ke bawah permukaan, dengan menjalani kehidupan mereka selama tiga bulan, barulah kita bisa berharap memahami motif mereka, alasan mereka, apa yang membuat mereka bertindak dengan satu cara alih-alih lain cara.” (hlm. 211)

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Yang membebani kita bukanlah ketidakhadiran mereka yang sudah tiada, melainkan kata-kata yang tak terucap di antara kita dan mereka. (hlm. 12)
  2. Mimpi adalah cara menyusun strategi untuk kelangsungan hidup. (hlm. 19)
  3. Kau perlu mempersenjatai dirimu dengan semua kebajikan, jika ingin menempuhnya hingga akhir. (hlm. 58)
  4. Lakukan jika kau punya kesempatan. Lupakan segala prasangkamu dan amati saja. (hlm. 75)
  5. Takdir punya lebih banyak imajinasi daripada kita: tepat ketika kau merasa tidak ada jalan keluar dari situasi tertentu, ketika kau tealh mencapai dasar keputusanmu, secepat embusan angin segalanya akan berubah. (hlm. 161)
  6. Pemahaman berasal dari kerendahan hati, bukan dari keangkuhan pengetahuan. (hlm. 211)
  7. Jika kehidupan adalah perjalanan, maka perjalanan itu menanjak sepanjang waktu. (hlm. 214)
  8. Satu-satunya guru, satu-satunya guru yang sejati dan bisa dipercaya, adalah hati nurani. (hlm. 215)
  9. Di bawah pohon ek, jadilah pohon ek, alih-alih dirimu; di dalam hutan, jadilah hutan; di atas rumput, jadilah rumput; diantara orang-orang, jadilah seseorang. (hlm. 224)
  10. Diamlah dan dengarkan kata hatimu dalam keheningan. Ketika hati sudah bicara, bangkitlah dan ikuti. (hlm. 245)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Ketika penyakit menyerang seseorang yang belum pernah tahu bagaimana rasanya jatuh sakit, maka penyakit itu akan menyerang dengan sangat keji dan mendadak. (hlm. 6)
  2. Selama tubuh kita berfungsi dengan baik, kita tidak menyadari betapa tubuh bisa menjadi musuh mengerikan. Namun, jika meruntuhkan pertahanan sedetik saja, kita akan kalah. (hlm. 9)
  3. Jika hendak meningkatkan dan memperluas lingkungan, kau harus meninggalkan lingkungan mencekik tempatmu dibesarkan. (hlm. 23)
  4. Belum tahukah bahwa seleksi alam adalah prinsip yang mengatur dunia? (hlm. 24)
  5. Adakah cara membebaskan diri dari takdir yang didiktekan oleh lingkungan masa kecil atau diwariskan? (hlm. 41)
  6. Penampilan adalah segalanya; semua hal lain tidak menarik. (hlm. 45)
  7. Ketidakbahagiaan biasanya diwariskan lewat garis keturunan pihak perempuan. (hlm. 51)
  8. Kita terbiasa menganggap masa kecil sebagai periode kebutaan, ketidaklengkapan, alih-alih sebagai masa kekayaan besar. (hlm. 75)
  9. Jangan menganggap menyingkirkan kepribadian dan menerima karakter palsu itu mudah. (hlm. 83)
  10. Karakter dan kepribadian, bertentangan dengan apa yang mungkin kau yakini, bukanlah hal yang sama, bahwa sesungguhnya yang satu mengecualikan yang lain dalam banyak kasus. (hlm. 83)
  11. Pemberontakan bukanlah bagian dari pembawaan. (hlm. 155)
  12. Ketika kau tidak sedang jatuh cinta kepada siapa pun, ketika hatimu sedang bebas dan matamu tidak mencari mata orang lain, maka dari semua lelaki yang mungkin kau anggap menarik, tak seorang pun tertarik kepadamu. (hlm. 182)
  13. Begitu kau direbut oleh seseorang dan orang lain tidak berarti sedikit pun bagimu, kaum lelaki mulai mengejarmu, membisikkan kata-kata manis kosong dan merayumu. (hlm. 182)
  14. Seseorang tidak melakukan apa-apa. Iman itu datang. Kau sudah memilikinya, tetapi keangkuhan mencegahmu untuk mengakuinya. (hlm. 223)