Daftar Blog Saya

Rabu, 31 Januari 2018

Kutipan The Storied Life of A. J. Fikry

Kita bukan novel. Kita bukan cerpen. Pada akhirnya kita adalah kumpulan karya. (hlm. 263)

Ada juga selipan kalimat-kalimat yang beraroma buku:
  1. Terkadang buku-buku tidak menemukan kita hingga saat yang tepat. (hlm. 101)
  2. Sebuah tempat kurang sempurna tanpa toko buku. (hlm. 212)
  3. Buku jauh lebih memuaskan bagi pembacanya jika kau tahu. (hlm. 215)
  4. Kita membaca untuk mengetahui kita tidak sendirian. Kita membaca karena kita sendirian. Kita membaca dan kita tidak sendirian. Kita tidak sendirian. (hlm. 263)
  5. Kita bukan novel. Kita bukan cerpen. Pada akhirnya kita adalah kumpulan karya. (hlm. 263)
Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Beberapa orang memiliki talenta yang hebat. (hlm. 76)
  2. Tidak ada orang yang sempurna. (hlm. 109)
  3. Kita adalah yang kita cintai. Kita menjadi diri kita karena kita mencintai. (hlm. 265)
  4. Kita bukan hal-hal yang kita kumpulkan, dapatkan, baca. Selama ada di sini, kita hanya mencintai. Hal-hal yang kita cintai. Orang yang kita cintai. (hlm. 265)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Jangan memperlakukan orang yang berbaik hati kepadamu dengan buruk. (hlm. 11)
  2. Sulitnya hidup sendirian adalah kau harus membereskan sendiri semua kekacauan yang dibuatnya. (hlm. 23)
  3. Orang jahat pantas menerima ganjaran mereka, tapi kita sungguh-sungguh tidak suka kesepian. (hlm. 83)
  4. Hampir semua hal buruk dalam kehidupan diakibatkan waktu yang tidak tepat, dan semua hal baik disebabkan waktu yang tepat. (hlm. 113)
  5. Seluruh kehidupan ada dalam memoar olahraga. (hlm. 115)
  6. Ketakutan tersembunyi bahwa kita tidak patut dicintailah yang menyebabkan kita terisolasi. (hlm. 167)
  7. Cantik bukan alasan bagus untuk berpacaran dengan seseorang. (hlm. 219)
  8. Segala sesuatu yang baru tidak lebih buruk dibandingkan dengan sesuatu yang lama. (hlm. 225)

Air di Dalam Teko

Oleh Amika An (Padang Ekspres, 28 Januari 2018)
Air di Dalam Teko ilustrasi Orta - Padang Ekspres
Air di Dalam Teko ilustrasi Orta/Padang Ekspres
Panen bawang kali ini bertepatan dengan musim kemarau. Di satu sisi, panen di musim kemarau menguntungkan karena bawang-bawang yang baru di panen bisa langsung dijemur dan cepat kering. Sementara di sisi lain panen pada musim kemarau membuat para petani cepat lelah. Debu-debu dan racun bawang akan beterbangan. Petani harus selalu menutup mulut dan hidung dengan masker supaya kulit tidak mengelupas dan debunya tidak terhirup. Mereka juga menggunakan sarung tangan dan sepatu bot supaya kulit tidak terbakar sinar matahari langsung. Di bawah kaki Bukit Okoh, para petani bawang sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing, ada yang mencabut bawang dari tanah, ada yang menjalin tangkainya, ada yang memasukkannya ke dalam karung ada pula yang hilir mudik mengangkutnya ke dalam truk. Panen selalu dilaksanakan dengan sistem gotong royong dan kali ini adalah jatah ladang Mak Min.
Aku yang baru pulang sekolah, diminta ibuku untuk mengantarkan satu teko air ke ladang Mak Min, tidak jauh dari rumah kami. Lagi pula aku juga sering ke sana. Selain mengantarkan air, ibu juga kerap menyuruhku ke ladang Mak Min untuk memetik daun singkong, memetik cabai, bunga kol atau seledri jika sewaktu-waktu ibu kekurangan bahan masakan. Aku segera bersiap-siap dan berangkat.
“Hati-hati ya, Nak,” pinta ibu sambil memasang tutup teko.
“Baik, Bu,” balasku sambil merapikan topi.
Aku lalu memasang sendal dan menuju ladang Mak Min.
Mak Min adalah petani ulung. Selain menanam bawang, Mak Min juga menanam wortel dan sayur-sayuran yang lain. Mak Min memanfaatkan setiap bagian ladang yang kosong. Mak Min punya anak bernama Hafiz, dia seusia denganku. Biasanya kami berangkat ke ladang berdua, namun kali ini sepertinya Hafiz sudah sampai dulu di sana. Aku bisa melihat itu dari topi koboi yang digunakannya.
Dua hari yang lalu, ladang Mak Min tampak seperti karpet hijau yang membentang luas. Daun bawangnya muda. Mak Min pandai memperhitungkan pupuk dan racun apa yang diberikan kepada tanaman bawangnya hingga bawang-bawang Mak Min tumbuh sehat dan subur. Namun karpet hijau di pinggir danau itu sekarang sudah gundul. Satu persatu tangkai bawang sudah dicabut dari tanah.
“Mak Miiiin,” teriakku pada Mak Min sambil mengangkat teko yang kubawa dengan kedua tanganku, menandakan bahwa sudah waktunya minum dan beristirahat. Mak Min melambai-lambai. Aku menuju pondok dan meletakkan teko di atas meja.
“Mak Min, istirahat dulu,” kataku.
“Iya, iya, sebentar,” Mak Min lalu melepas maskernya.
Beberapa menit kemudian, orang-orang yang membantu Mak Min ikut menuju pondok.
Kutuangkan air di teko ke dalam gelas satu persatu.
“Hausnya luar biasa,” cetus Pak Ali, teman Mak Min yang baru saja meneguk satu gelas air.
“Tambah sedikit lagi, Zaki,” sambung Pak Ali sambil menampung gelasnya.
“Baik, pak,” jawabku patuh. Air dari teko kutuangkan lagi ke dalam gelas Pak Ali.
Orang-orang dewasa kemudian beristirahat sambil bercerita sementara aku dan Hafiz beralih mengumpulkan bawang-bawang yang tercecer di tanah.
***
“Zaki, Hafiz, kemarilah,” kata Mak Min ketika senja menjelang dan orang-orang sudah pulang. Jika sudah begini, seperti biasa Mak Min akan bercerita dan kami bersemangat mendengarnya.
“Masih ada air di dalam teko?” tanya Mak Min membuka cerita.
“Sudah habis, Mak Min, tapi bisa diisi lagi,” aku dan Hafiz saling berpandangan, kami mungkin akan disuruh ke rumahku untuk menambah air minum.
“Tidak, tidak usah ditambah,” timpal Mak Min menenangkan.
“Begitulah. Air di dalam teko ibarat rezeki yang diberikan Tuhan kepada manusia. Jika kita membagi rezeki kita kepada orang lain, maka Tuhan akan menggantinya dengan rezeki yang baru dan bahkan lebih banyak. Bayangkan apabila air di dalam teko tidak pernah dituangkan sama sekali, maka sampai kapanpun dia akan tetap begitu, bahkan teko tersebut bisa berlumut, lalu akan muncul jentik nyamuk,” terang Mak Min. Aku dan Hafiz mengangguk paham.
“Kita harus rajin bersedekah ya, Mak Min?” tanyaku memastikan.
“Dan berbagi kebaikan kepada orang lain, Ayah?” imbuh Hafiz.
“Kalian cerdas sekali, itu maksudnya,” simpul Mak Min.
Langit senja semakin tampak jingga. Gema suara murotal dari masjid sudah terdengar. Kami harus segera berkemas, waktu mengaji sebentar lagi. Aku dan Hafiz sama-sama berjanji bahwa kami tidak akan seperti teko yang diam, namun akan meniru sifat teko yang selalu menuangkan air-airnya untuk sesama. Aku membawa teko yang sudah kosong itu pulang, untuk esok diisi air dan kembali dibawa ke ladang. (*)

Selasa, 30 Januari 2018

Rintik-rintik Kuning

Cerpen Elfi Ratna Sari (Lampung Post, 28 Januari 2018)
Rintik-rintik Kuning ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post.jpg
Rintik-rintik Kuning ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
Ketika seekor merpati mengepakkan sayap lalu santai nangkring di kabel listrik, riang bercuit-bercuit dengan kawannya, aku sedang menikmati secangkir rosella yang asapnya mengepul. Mataku menatap lepas ke jalanan, memerhatikan lebih saksama dari bingkai jendela. Yang lama kelamaan malah memunculkan kenangan tentang hujan, kau, aku, dan sebuah janji.
Kutarik napas sejenak. Mengisi paru-paru dengan oksigen penuh. Biar nyaman. Biar tenang. Lalu mataku mengitar. Mamandangi segala sudut yang ada dalam ruangan. Dan ketika sampai pada satu sudut yang menghentikan korneaku untuk melanjutkan gerak, ada hasrat hebat yang memaksa memfokuskan pandangan ke tumpukkan buku berdebu di rak pojok kamar.
Kegiatan itu berlanjut pada keinginan untuk mendekati dan meraih buku bersampul batik cokelat itu. Aku tahu, jika membukanya, boleh jadi akan menggali sebuah luka baru dari kejadian yang sudah lama dikubur paksa. Tidak perlu ditanyakan itu buku apa. Jelas saja kau tahu jika itu berisikan coretan kisah antara kau dan aku dulu. Ya, kau dan aku yang sempat disebut kita.
Kubuka. Bau khas menyeruak, menggatalkan indra penciuman. Bersin sudah pasti tak terelakkan. Ah, memang sudah risikonya jika membuka buku yang bertahun-tahun hanya di tumpuk di rak pojok ruangan. Dibiarkan tidak tersentuh dan dikerubungi debu. Tapi keadaan itu sedikit pun tak membuatku mengurungkan niat. Aku tetap membukanya.
Tak lama setelah kubuka sempurna halamannya, yang kutemukan tidak lain hanya barisan tinta hitam yang telah menguning termakan waktu. Tentu saja. Apa lagi? Itu adalah buku dengan tulisan tangan, jadi tidak heran jika setelah bertahun-tahun akan seperti itu jadinya
Kubolak-balik pelan, memandangi jajaran tulisan di sana—yang lebih mirip sandi rumput. Tulisan seorang gadis yang pernah menjadi kekasihmu.
Kepada Diary yang senantiasa menemani. Jiwaku dikerubungi duka. Sebuah nestapa menyapa siang tadi, di saat sorot matahari kilaukan bekas hujan di jalanan. Aku teramat heran. November yang harusnya berduyun gerimis, kini terik. Walau begitu, hujan tangisku membanjir deras, teramat sangat deras. Aku masih diam, ketika pandangannya menunduk sendu dengan sepasang mata yang memerah. Tergambar jelas bekas air mata menggantung di sana.
“Ada apa? Mengapa wajahmu tak secerah biasanya, Syam? Padahal lihatlah! Matahari di atas sana riang sekali bersinar.”
Dia diam. Menunduk. Bahkan seolah tak berani membalas pandangan hangatku. Kau tahu mengapa, Diary?
Dia mengusap rambut dari dahi ke belakang. Aku paham betul, tindakan itu hanya dilakukan jika dia sedang sangat putus asa. Dan jelas saja, aku dibuat semakin bingung. Apa sebenarnya yang membuatnya putus asa?
Lemas dia berjalan menghampiriku yang duduk agak jauh darinya, kemudian menempatkan diri di sampingku. Kulirik wajah tertunduk itu.
“Apakah kau bertengkar dengan Kakakmu lagi?”pertanyanku selanjutnya.
Padahal, pertanyaan sebelumnya pun belum sempat dia jawab, atau barang kali malah takkan terjawab.
Dia menggeleng. Kemudian menghela napas panjang. Aku tambah khawatir akan sikapnya itu. Sikap yang begitu aneh. Sikap yang sangat membingungkan.
“Ra, apakah kau masih mencintaiku?”
“Tentu saja, Syam.”
“Kalau begitu, maafkan aku.”
Apa maksudnya? Kalimatnya semakin membuatku bingung. Tubuhku mematung menatapnya, ada banyak pertanyaan yang berloncatan di dalam kepalaku dan memaksa untuk keluar. Aku benar-benar butuh penjelasan.
“Maaf untuk apa, Syam? Kau adalah laki-laki terbaik yang pernah kumiliki.”
“Ma-maafkan aku harus meninggalkanmu.”
“Meninggalkanku?”
Dan untuk entah ke berapa kalinya, aku semakin bingung atas ucapannya—walau sebenarnya sebagian pikiranku yang lain sudah dapat mengartikan dengan baik ucapannya. Bersamaan dengan itu, tanggul air mataku jebol. Lantas tak menunggu lama, membanjirlah air mata membasahi pipi.
“Aku sangat mencintaimu, Ra. Tapi takdir harus menghentikan cinta kita, cukup di sini.”
“Apa salahku, Syam?”
“Kau tak salah, Ra. Hanya saja aku ingin mengakhiri hubungan kita. Hai! Sudahlah jangan menangis! Bukankah pacaran memang tidak boleh? Ra, percayalah! Kelak … bila kita berjodoh, sudah pasti akan ada jalan untuk pertemuan yang indah.”
Hendak dia usap genangan air di pipi, namun tersadar dengan ucapan ustaz dan ustazah yang pernah didengar, kita bukan mahram. Maka dia mundur. Menyodoriku sebuah sapu tangan putih.
Tapi apa balasanku? Bukannya meraih sapu tangannya, malah meraih pisau buah di meja. Aku tak rela hubungan ini karam begitu saja. Takkan kurelakan dia meninggalkanku.
Scrat …!!! Cucuran merah menetes. Kugigit bibir bawahku menahan perih. Dia menatap pasi. Wajahnya pucat seketika. Sama sekali tak sempat mencegah kelakuan di luar nalarku. Bahkan aku yakin dia tidak pernah berpikir aku akan segila ini.
“Hai, kenapa kau sakiti dirimu sendiri?”
“Ini hanya sakit fisik, Syam. Tak sesakit hatiku karena kau putuskan secara sepihak.”
Kuraih lantas kubentang sapu tangan miliknya di pangkuan. Tergoreslah ‘I Will Always Love You’ dengan telunjuk yang tadi kulukai. Tenang, Diary …. Aku tak segila itu sampai mau memotong urat nadi.
“Simpanlah! Ingat, bahwa kau akan kembali untukku. Benar-benar kembali untuk menjabat tangan ayahku dan diijabah sah oleh saksi,” ucapku lantang dan yakin. Yakin bahwa dia benar akan kembali. Padahal …. entahlah, aku tidak tahu. Siapa pula yang tahu apa yang akan terjadi di masa selanjutnya? Lagi pula, aku yang memintanya berjanji, bukan janji atas keinginannya sendiri.
Tak berselang lama, dia sudah tak peduli dengan dosa yang tadi dihindari. Kini jemariku yang memerah perih digenggamnya. Dia menyobek kemejanya untuk membalut lukaku. Lantas, jemarinya halus mengusap air mata yang menggenang di pipi.
“Maafkan aku telah menyentuhmu, Ra. Tapi aku merasa penting untuk melakukan itu. Kita sama-sama tahu hubungan kita masih haram. Mengapa keputusan yang sebenarnya baik ini malah kau tangisi? Terlebih malah membuatmu melukai diri sendiri. Kau terlalu jauh terperosok pada rayuan setan, Ra. Kau zalim. Tidak perlu seperti itu untuk menunjukkan perasaanmu padaku. Aku telah tahu kau amat cinta. Aku pun sama. Dengarkan, Ra. Kita akan bertemu lagi. Nanti … di saat jingga bercampur kuning di ufuk sana menghapus titik gerimis sesiangan. Di saat usia kita telah cukup untuk berumah tangga. Tanggal yang sama di tahun ke lima setelah kepergianku berlayar.”
Itu janjinya, janji yang akhirnya dia ucapkan atas keinginannya sendiri, bukan atas pintaku. Apakah aku masih pantas menangis, Diary? Kukira tidak lagi. Tentu dia akan kembali, bukan?
Kututup pelan buku yang masih kugenggam. Mataku kembali menyapu pendaran jingga di ufuk barat sana. Ini tahun kelima seperti yang kau janjikan. Akhirnya penantian panjangku selesai.
Kukenakan khimar, kini lengkap dengan cadarnya. Sudah kuputuskan, sejak kali pertama kepergianmu, aku memilih memantaskan diri. Tak ada kata pacaran dalam hidup. Cukup kau, kesalahan terindah yang mau kubenarkan. Dari yang awalnya hubungan haram tanpa ikatan, menjadi sebuah hubungan yang halal, yang sah secara agama dan negara. Iya, selayak janjimu.
Kini aku telah sampai, Syam. Di bawah gerimis kecil di ufuk senja. Di sebuah bukit yang akan mengikat cinta kita, tempat yang kita sepakati dulu untuk bertemu. Rona oranye menyemburat. Mengemaskan titik-titik air hujan sisa tadi siang. Aku juga heran, kenapa matahari mau muncul setelah mendung sesiangan. Seolah menghapus semua tangis yang ada. Tapi inilah yang kurindu, Syam. Suasana yang kutunggu selama ini. Menjalani hidup bertahun-tahun dalam kenangan, hanya demi satu pertemuan yang kau janjikan.
Gerimis sudah tak seperti awal kedatanganku. Walau sorot senja merona di ufuk sana, namun bersamaan pula, gerimis berganti nama menjadi hujan. Membuat tubuhku menggigil kedinginan. Entahlah apa namanya? Yang jelas matahari tidak mau kalah bersinar, walau hujan datang. Mungkin ini yang kau maksud dengan jingga yang bersatu dengan hujan, atau apa katamu dulu itu, aku sudah mulai sedikit lupa. Atau aku sudah lupa semuanya? Ini mulai terasa lucu. Iya, kan?
Namun tak berselang lama, langit mulai sendu, sungguh amat sangat sendu. Sesendu hatiku yang bertahun-tahun hidup dalam penantian. Dan aku mulai berpikir, seharusnya bila kau benar cinta, kau tidak akan menyuruhku menunggu selama itu. Yang boleh jadi pada akhirnya Tuhan berkehendak lain. Tidak menjodohkan kita misalnya.
Sungguh aku lagi-lagi berbuat kesalahan. Harusnya tak kusandarkan harapan padamu. Dan apakah aku masih terlalu bodoh dengan keadaan menunggumu sampai masa megamerah datang? Yang boleh jadi takkan kentara karena hujan. Karena mentari mulai tertutup awan. Seperti senyum yang tertutup tangis. Karena nyatanya, belum ada tanda-tanda kedatanganmu.
“Mau pakai payung Sya?”
Korneaku menoleh. Gadis kecil berlesung pipi menyodorkan sebuah payung merah jambu miliknya. Sya? Nama yang cantik. Serta … entah mengapa sungguh mengingatkanku kepadamu. Ah, mungkin karena aku terlalu merindukanmu, jadi siapa pun yang kutemui mengingatkanku padamu. Masuk akal, kan?
Aku membalas ucapannya dengan senyum.
“Payung Sya dipakai saja. Tante suka hujan. Hujan selalu terasa menenangkan. Oh ya, Sya dengan siapa? Orang tua Sya mana?”
Sesingkat itu saja aku merasa begitu akrab dengan gadis bermata kejora ini. Seolah dia sudah lama sekali kukenal, dan matanya adalah bagian dari yang pernah kumiliki.
“Itu.”
Dia menunjuk seorang lelaki yang berdiri tegap di belakangku.
“Ayaaah ….”
Sya berlari memeluk sang Ayah. Aku terpasung ketika menolehkan pandangan untuk melihat rupa laki-laki pertama yang dikenal Sya itu.
“Ka-kau?” Gagap bibirku bertanya. Kaku hendak menyebut nama yang harusnya sangat mudah untuk kusebut.
Ayah? Kau dipanggil ayah oleh gadis kecil itu? Yang benar saja? Bukankah … bukankah itu artinya, kau datang namun ingkar? Ya Tuhan … kau datang untuk mengenalkanku dengan anak hasil pernikahanmu dengan perempuan lain? Tega! Benar-benar tega! Mana janjimu dulu yang akan datang untuk menikahiku di tahun kelima perpisahan kita? Mana? Kau memang datang, sungguh datang, tapi tidak dengan hatimu yang dulu utuh untukku. Kau jahat!
Aku menggeleng geram. Memilih hengkang dengan tangis berceceran. Tak kentara memang. Sebab sudah dari tadi pipiku basah oleh hujan.
Ya Tuhan … menyaksikan kepergianmu dulu saja aku sudah sangat sakit. Dan sekarang? Lagi-lagi kau membawa luka. Benar, seharusnya aku tak menyandarkan segala harapan padamu. Aku yang bodoh! Benar aku yang bodoh. Kau tidak pernah tahu, Syam, sudah berapa lelaki yang kutolak mempersuntingku, hanya karena aku terlalu yakin kau akan kembali untukku. Sungguh, penyesalan kini menyesak di hati.
“Ra!” teriakmu.
Tentu saja aku tidak akan memaafkanmu walau puluhan ribu kali kau mengatakannya. Tidak akan pernah.
***
“Ra, kau nampak lebih anggun dengan cadar di wajah.”
“Benarkah? Kau bergurau, Syam. Hahahaha …. Syam … Syam … nama yang bagus. Seperti seorang yang sudah lama kutunggu tapi tak datang-datang.”
Seseorang di dekatku yang mengaku Syam, ya Syam … namamu … itu menitikkan air mata didampingi gadis kecil bermata kejora yang kau ajari memanggilku Bunda, dan orang-orang berseragam putih.

Miss Gatal-gatal

Oleh Iskadarwati (Lampung Post, 28 Januari 2018)
Miss Gatal-gatal ilustrasi Sugeng Riyadi - Lampung Post.jpg
Miss Gatal-gatal ilustrasi Sugeng Riyadi/Lampung Post
“Teeeet… teeeeet… teeeet….” bel tiga kali tanda istirahat berbunyi.
Semua siswa bergegas ke kantin. Tetapi Arinal tetap berada di dalam kelas. Ia selalu membawa bekal dari rumah.
Tidak lama kemudian sebagian besar dari mereka berdatangan. Ternyata mereka ke kantin untuk membeli makanan lalu dibawa ke kelas. Karena mereka akan mendiskusikan tugas dari Bu Indri. Bu Indri memberi tugas membawa tanaman dalam pot. Maklumlah sekolah mereka di pinggir jalan dan halamannya sempit. Sekolah menghendaki ada lahan penghijauan supaya udara menjadi sehat. Satu-satunya jalan dengan menanam tanaman di pot.
“Arinal, kamu sama siapa?” tanya Ira melihat teman-temannya sibuk berdiskusi dengan kelompoknya masing-masing, tetapi Arinal sendirian. Sebetulnya Ira juga ingin berdiskusi, tetapi ketiga temannya yang satu kelompok tidak terlihat. Mungkin mereka masih di kantin.
Arinal cuma senyum-senyum sambil menikmati singkong goreng. Singkong goreng adalah salah satu jualan neneknya.
“Sama aku, Dewi, dan Agnes,” sahut Tyas yang duduk tidak jauh dari Arinal dan Ira.
“Tapi kami tidak mau satu kelompok dengan Miss Gatal-Gatal,” sambung Agnes.
“Miss Gatal-gatal?” tanya Ira heran. Arinal yang mendengar pembicaraan mereka langsung keluar kelas.
“Takut tertular,” jelas Dewi. Tentu saja Ira semakin heran.
“Kamu anak baru sih. Andai tahu, kamu pasti juga enggan berteman dengan Miss Gatal-gatal,” ungkap Dewi.
Semakin mendengar penjelasan mereka, Ira semakin bingung. Maklumlah, ia anak baru. Sebulan lalu ayahnya pindah tugas di kota ini. Maka ia juga harus pindah sekolah. Ira merasa kasihan, lalu menemui Arinal di luar. Ia berjanji akan meminta Bu Indri supaya dirinya satu kelompok dengan Arinal. Kemarin Bu Indri mengatakan jumlah anggota kelompok antara dua hingga empat anak. Beliau baik hati. Jika ada sesuatu hal, mereka boleh berpindah kelompok. Yang terpenting semua anak satu kelas harus memiliki kelompok.
Syukurlah, ketika Ira menceritakan tentang Arinal, Bu Indri mengizinkan.
“Ar, nanti kita satu kelompok. Aku sudah minta izin sama Bu Indri. Kelompokku juga tidak keberatan aku pindah dan bersamamu.”
Tentu saja Arinal senang mendengarnya. Ira anak baru dan baik hati. Kalau tidak bersamanya, Arinal sendirian.
Diam-diam Ira menyelidiki, mengapa teman satu kelas menjulukinya Miss Gatal-Gatal. Padahal Arinal anak yang baik. Selalu mengerjakan tugas sekolah. Setiap ulangan mendapatkan nilai di atas KKM. Ia tidak mencontek. Ternyata setelah diselidiki karena rambut Arinal banyak kutu. Tanpa disadari Arinal memang suka garuk-garuk kepala. Tapi Ira tidak menyangka kalau temannya itu banyak kutu. Maka ia dijuluki Miss Gatal-Gatal.
***
“Obat kutu rambut apa sih, Ma?” tanya Ira suatu saat.
“Memang kamu kutuan?” mama terheran balik bertanya.
“Tidak, Ma, ditanggung anak Mama bebas dari kutu rambut,” jelas Ira. Kemudian Ira bercerita tentang Arinal yang dijauhi teman-temannya karena banyak kutu. Padahal nenek sudah membelikan obat kutu rambut. Untuk itulah ia ingin menolong.
“Coba diberi kapur semut kemudian digosok-gosokkan pada kulit kepala. Anak teman Mama pernah kutuan. Mama beri resep itu, semua kutu hilang,” jelas mama. Ira manggut-manggut.
***
Sore ini Ira akan menemui Arinal. Mereka sudah berjanji bertemu untuk mengambil tanaman dari halaman rumah Arinal. Kemudian tanaman itu dipindah di pot. Halaman rumah Arinal banyak macam tanaman. Tapi sayang, tidak terurus. Maklumlah karena di rumah, Arinal hanya berdua dengan nenek. Kedua orang tuanya sudah meninggal karena kecelakaan. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, nenek berjualan makanan gorengan dari pagi hingga sore.
“Kamu sudah mencoba obat dengan kapur semut?” tanya Ira. Mereka akan mengambil pot yang sudah disimpan di belakang rumah Arinal.
“Paling kutunya masih, Ir,” jawab Arinal putus asa.
“Jangan putus asa, Ar, kamu harus coba. Ini kebetulan Mamaku sudah membelikan,” ungkap Ira sambil menyodorkan kardus kecil panjang berisi kapur semut dari saku bajunya.
“Mamamu baik sekali. Aku berutang budi padanya.”
“Ah, tidak berutang budi. Mamaku ikhlas membelikan ini. Kita memang harus tolong-menolong. Terimalah!”
Arinal pun mengucap terima kasih yang tak terhingga saat menerima kapur semut itu. Tidak lupa Ira menjelaskan cara menggunakan kapur semut itu.
Mereka segera mengerjakan tugas. Mereka memilih tanaman bunga sepatu. Lalu keduanya memindahkan tanaman bunga sepatu dari halaman ke dalam pot yang sudah diberi tanah terlebih dahulu. Setelah selesai Ira segera pulang dengan mengendarai sepeda. Hari hampir petang. Arinal bersedia membawa ke sekolah besok karena jarak rumahnya ke sekolah lebih dekat dibanding Ira.
Semenjak memakai kapur semut, kepala Arinal tidak lagi terasa gatal. Akibatnya ia tidak garuk-garuk kepala. Teman-temannya pun senang bergaul dengannya. Mereka berterima kasih kepada Ira. Mereka juga meminta maaf kepada Arinal yang tidak mau memberikan saran tapi malah mengejek.
Kini kelas mereka tidak ada lagi panggilan Miss Gatal-Gatal.

Senin, 29 Januari 2018

Gagal Landing

Cerpen Achmad Supardi (Jawa Pos, 28 Januari 2018)
Gagal Landing ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos.jpg
Gagal Landing ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
BANYAK orang ingin menyesap kopi di sini. Menikmati harum moka, sebersit kayu manis, sambil melemparkan pandangan pada feri yang berjalan pelan.
Dari meja ini—meja untuk dua orang, namun hanya ada aku sendiri—bisa kulihat jalur pesepeda di tepian Brisbane River. Sebagian mengayuh sepeda mereka berombongan, banyak sekali yang bersepeda berdua-dua. Mereka seperti tak kehilangan topik. Bibir mereka bergerak, mata mereka sesekali saling pandang, senyum dilempar sambil kaki terus mengayuh pedal.
Di seberang sungai, pasangan-pasangan menyenderkan tubuh mereka pada pagar pembatas sungai. Mereka seperti tak pernah kehabisan cerita. Di belakang mereka, keluarga-keluarga datang dengan anak-anak mereka. Sebagian antre menaiki bianglala. Mereka menyebutnya The Wheel of Brisbane. Pengunjung yang lain duduk-duduk saja sambil menikmati camilan yang mereka bawa. Wajah mereka cerah. Tak ingin kubandingkan wajah mereka dengan wajahku. Aku tak berani melihat bayangan wajahku di sungai itu.
Di sini, di tepian Brisbane River, ingatanku melesat ke sungai lain, hanya sedikit di selatan khatulistiwa. Sungai Martapura dengan air kecokelatan yang di dua titiknya ada pasar terapung. Sesekali kubeli kudapan di situ. Biasanya wadai cincin, kadang wadai apam kukus. Kumakan sendiri, seperti saat ini aku menyesap kopi.
***
MEREKA menyebutnya Kangaroo Point. Mungkin, dulu, banyak kanguru di tebing ini. Tentu tak kutemui lagi binatang berkaki belakang sangat panjang itu. Di depanku, tersaji Brisbane dalam siraman cahaya.
Sepertinya, inilah yang membawa orang-orang itu ke sini. Memandang kota bertabur cahaya. Betapa klise. Namun kudapati diriku di antara orang-orang itu. Kupandangi gedung-gedung penuh nyala lampu. Mataku terpaku. Adakah yang kucari di situ?
Semakin banyak orang berdatangan. Para sejoli duduk di beragam titik. Sebagian tampak selalu berbagi cerita, yang lain sama-sama diam memandang cahaya. Sesekali mereka berpandangan, tersenyum, lalu kembali meresapi cahaya di kejauhan sana. Aku tersenyum sendiri menyadari kesendirianku.
Tiba-tiba sungai di depanku berpendar. Gelombang longitudinal muncul dengan segaris ombak. Ah, citycat lewat. Feri sungai itu tampak romantis dari ketinggian ini. Ia seperti cahaya yang bergerak menembus gelapnya malam. Apakah yang dilakukan orang-orang dalam feri itu? Apakah mereka baru pulang kerja dan begitu merindukan merebahkan diri di sofa? Apakah mereka bergegas pulang menjumpai senyum istri dan anak-anaknya? Adakah di antara mereka yang ternyata diam-diam memandangi kami di atas tebing ini, sebagaimana kami memandangi mereka? Atau, adakah di antara mereka yang sekadar menghabiskan waktu saja dalam feri itu karena baru saja putus dengan kekasihnya?
Malam, dan cahaya lampu di kejauhan, mengingatkanku pada Bukit Bintang. Di antara keraton, alun-alun, Malioboro, beragam museum dan angkringan, entah mengapa aku lebih sering ke sini. Pada kursi beton panjang, ku duduk memandangi lampu-lampu kota. Adakah yang sebenarnya kucari di situ? Atau sesuatu yang kutinggalkan?
Sesekali mataku menangkap pesawat yang bersiap landing di Bandara Adi Sucipto. Ada sejuk yang tiba-tiba mengaliri nadi tiap kali melihatnya. Ada senyap yang magis. Ada kosong yang tiba-tiba terasa. Pedagang jagung bakar yang untuk kesekian kali mendapatiku tepekur sendiri di Bukit Bintang ini menyapaku dengan ekor matanya yang menusuk. Senyum usilnya seperti bertanya: masih sendiri juga?
Di bawah sana, di kejauhan, sebuah pesawat yang berusaha landing tiba-tiba mengudara kembali. Mungkin gust wind. Mungkin ada pesawat lain yang tiba-tiba nyelonong megambil alih runway yang disediakan untuknya. Apa pun penyebabnya, yang jelas landing pesawat itu tertunda. Aku seperti melihat diriku pada pesawat itu.
***
SHORNCLIFFE Pier menjadi pilihanku Sabtu pagi ini. Sebenarnya tak ada yang indah di sini. Pantainya sempit. Hanya ada satu pier menjorok agak memanjang ke arah laut. Tapi justru itu kelebihannya buatku. Di pier itu, beberapa orang duduk dengan khusyuk. Di samping kiri dan kanan mereka terdapat joran pancing, tempat umpan, dan cool box. Optimis sekali mereka, seolah penantian mereka pastilah akan berujung dengan beberapa ekor ikan. Andai mereka tahu kisahku, mungkin mereka takkan seoptimis itu.
Di pier ini bukan tak ada manusia. Cukup banyak, malah. Namun mereka terkonsentrasi pada aktivitas masing-masing. Tak ada yang peduli pada kehadiranku. Mungkin malah mereka tak menyadari ada aku di antara mereka. Inilah yang membuatku menyukai tempat ini. Ramai, namun aku tak terusik. Aku tetap bisa bersendiri. Beda sekali dengan kos-kosanku di Bulak Sumur dulu.
Selalu ada teman, penjaga kos, dan tetangga yang mengingatkanku saat aku terlihat mulai dekat dengan dia. Kalimat peringatan mereka semuanya sama: dia punya nama depan Rara. Itu sudah cukup untuk membentangkan palung samudera di antara kami. Mereka, dengan dalih peduli, mengingatkan bahwa aku hanyalah peneliti honorer di pusat kajian sementara dia dosen PNS UGM. Aku pria Banjar sederhana, keluarga besarnya berhulu di Keraton Jogjakarta.
Mungkin itu pula yang terjadi padanya. Setiap hari, orang yang berbeda-beda membanjirinya dengan pertanyaan tentang diriku untuk kemudian mempertanyakan benarkah aku pria paling cocok untuknya?
Masa-masa kami berdiskusi santai tentang tatanan dunia, tentang PBB, Asean, dan Uni Eropa di warung bubur kacang ijo, sukses menyatukan kami. Melakukan survei dan menggelar FGD bersama-sama untuk program penelitian dari grant luar negeri membuat kami makin dekat. Membanding-bandingkan ranking perguruan tinggi luar negeri dan menerka-terka apakah kami akan menjadi mahasiswa PhD di sana merupakan pengisi we time kami.
Kami dekat karena berbagi mimpi yang sama cemerlang. Sayangnya, kami tak bisa menyepakati titik landing bersama. Ibu kos dan teman-teman, dengan bahasa mereka yang berputar-putar, selalu mengingatkan bahwa ia adalah pesawat dreamliner, sementara aku cuma twin otter. Kami tak akan bisa berdekatan karena pesawatku akan terpelanting oleh deru dan energi pesawatnya.
Lama-lama omongan mereka mengusikku. Aku sampaikan kekhawatiran ini padanya. Ia hanya tertawa. Namun ketakutan akan dampak perbedaan kasta di antara kami membuatku menyampaikan hal itu berulang-ulang padanya. Lama-lama pertanyaanku benar-benar mengusiknya. Ia seperti tersadar siapa aku dan siapa dirinya.
***
PANAS sekali pantai Surfer’s Paradise ini. Setiap inci kulitku serasa terbakar. Kubiarkan dada dan perutku terbuka supaya gosongnya merata. Puluhan, mungkin ratusan orang berkumpul di pantai andalan Gold Coast ini. Sebagian bermain gelombang. Mereka sedikit melentingkan tubuh saat ombak datang. Orang-orang yang lihai tampak santai sekali dialun ombak dan tetap berdiri di tempat mereka semula begitu ombak itu berlalu dan pecah di pasir. Mereka yang kurang lihai, seperti aku tadi, berkali-kali diseret ombak hingga ke pinggir.
Di atas pasir pantai yang panas, banyak orang berjemur. Sebagian membaca, banyak pula yang memejamkan matanya, menikmati angin kering dan aroma garam. Aku, seperti yang lalu-lalu, memandang jauh hingga ke balik cakrawala. Di sana, di ujung timur Samudera Pasifi k ini kau berada.
“Tak maukah kau menungguku?” tanyamu saat itu.
“Mengapa mesti menunggu kalau kita bisa menyatu dalam waktu dekat ini? Kita menjadi suami dan istri sebelum kau memulai studi?” jawabku.
Pembicaraan kita pun berakhir, seperti berkali-kali sebelumnya saat kita menyentuh topik itu.
Kampus sudah sepi. Kau, yang tadinya menawarkan diri menemaniku menyelesaikan laporan akhir tahun permisi pulang lebih awal. Tak enak badan, katamu. Kau menolak kuantar. Jalanmu cepat dan sigap, seperti tak ada yang salah dengan kesehatanmu malam itu. Tapi aku bersyukur kau pulang dan menolak kuantar. Menggarap laporan akhir tahun European Union Studies Center sambil melihatmu, setelah pembicaraan yang seperti itu, pasti akanmembuat konsentrasiku makin buyar.
Apa yang sebenarnya kau takutkan?
“Kita sama-sama kuliah. Kalau Mas akhirnya diterima kampus dan dapat beasiswa itu. Kita akan disibukkan oleh kelas dan penelitian untuk disertasi masing-masing. Kita bersama, tapi kita sibuk sendiri-sendiri. Apakah itu hal yang sehat untuk memulai sebuah pernikahan?” jawabmu pada pertanyaanku, saat itu.
“Kita sama-sama kuliah dan kita akan saling menguatkan. Bukankah itu akan indah?”
“Dan tanpa kita benar-benar menyadarinya, kita akan punya anak. Tangisan bayi. Pesing kencing. Cucian yang menggunung. Uang kita pun akan banyak tersedot untuk kebutuhan bayi selain konsentrasi yang pasti akan sangat terbagi. Apakah Mas siap? Aku meragukan kesiapanku.”
“Kau meragukan kesiapanmu? Bukankah itu caramu menyampaikan keraguanmu akan kesiapanku?”
“Kok dirimu jadi menuduh Mas?”
Wajahnya seperti siswa yang terpergok menyontek.
Selain itu, katamu, semua kampus di belahan selatan California di mana kampusmu berada menerapkan standar tinggi. Kau takut aku tak mampu menembusnya. “Aku diterima di sana ini sebuah keajaiban. Aku tidak merasa layak. Sepertinya aku hanya beruntung saja,” katamu.
Maksudmu merendah, namun kumencium kesombongan di situ. Kau lupa, kita sama-sama master ilmu politik. Kita tahu ke mana kalimat mengarah. Kau tak tahu aku sudah mendapatkan letter of acceptance dari beberapa kampus di beberapa negara, termasuk kampusmu.
Malam itu, meski laporan European Union Studies Center belum sepenuhnya selesai, kupinjam motor Radit. Kupacu ia menuju Bukit Bintang. Dari jalan raya yang menghubungkan Jogjakarta dan Wonosari itu, kembali kulihat beberapa pesawat gagal landing. Mereka menukik menuju darat, namun terbang lagi. Kuanggap itu isyarat. ***

Achmad Supardi, mahasiswa program doktoral di The University of Queensland, Brisbane, Australia. Banyak menulis cerpen.

Penjual Mata

Cerpen Ken Hanggara (Kedaulatan Rakyat, 28 Januari 2018)
Penjual Mata ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat.jpg
Penjual Mata ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
Sudah berhari-hari aku berkeliling untuk menjual bola mataku, tapi tidak ada yang sudi membeli. Katanya, bola mataku terlalu suci untuk orang-orang seperti mereka yang selama ini kerap mempergunakan anugerah penglihatan untuk mengeruk banyak dosa.
Aku tidak tahu kenapa orang-orang ini begitu sadar dan tidak malu mengakui dosa yang mereka perbuat. Meski sebenarnya mereka butuh mata cadangan, sebab aku hanya menjual mataku untuk orang-orang yang kehilangan satu atau dua bola mata gara-gara karma atau (menurut dugaanku) kecelakaan, mereka tetap merasa bola mataku terlalu suci.
Sebenarnya, penjual bola mata di negeri ini bukan hanya aku. Hampir setiap hari ada saja orang yang bola matanya tiba-tiba copot begitu saja, dan jika insiden semacam itu terjadi, siapa pun yang bersangkutan kemungkinan berpikir soal karma. Aku tidak tahu apa mereka benar-benar yakin bahwa karma memang bekerja, tapi dari pengakuan orang terakhir yang kudatangi dalam beberapa hari ini, memang itulah yang bakal dia dan orang-orang sejenisnya pikirkan.
“Kenapa begitu?”
“Karena kami mengerti semua yang kami lihat selama ini adalah sumber dosa. Yah, memang tidak semua pendosa tidak tahu apa yang mereka kerjakan.”
Aku tidak paham, tapi kusampaikan bahwa aku butuh uang dan itulah kenapa orang ini harus membeli bola mataku. Lalu dia bertanya, kenapa mataku sendiri yang kujual? Di luar sana, para penjual bola mata tidaklah benar-benar menjual mata mereka sendiri, melainkan bola mata keluarga yang sudah meninggal atau terkadang bola mata curian.
“Itu dua bola mata sendiri yang Anda jual? Bagaimana Anda bisa melihat?”
“Saya tidak ingin melihat apa pun lagi. Saya cuma ingin ibu saya sembuh dari sakit yang dideritanya.”
Hanya saja, meski mengungkap alasanku secara jujur, orang itu tetap tidak tergerak membeli bola mataku. Pada akhirnya bola mataku laku pada seseorang yang sama sekali tidak kuduga. Bola mataku dibeli pembasmi koruptor, yang percaya bahwa tidak lama lagi negeri kami ini dilanda fenomena berupa copotnya bola mata seluruh pejabat tinggi negara, karena tiap hari mereka mengeruk dosa-dosa lewat mata. Setiap jam dan menit dosa-dosa tidak berhenti dikeruk. Itulah kenapa dia ingin bola mata sebanyak mungkin. Dia bertekad membeli seluruh bola mata yang dijual dan menimbun semuanya di tempat rahasia.
Tiba-tiba aku merasa bodoh karena tidak terpikir menjual bola mataku ke koruptor, dan malah mendatangi tempat-tempat peribadatan. Tetapi itu tidak penting lagi, sebab aku sudah membawa uang untuk ibuku berobat. Uang yang sangat banyak dan melebihi yang kuharapkan. q – g

Gempol, 21 Januari 2018
Ken Hanggara lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya berjudul Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).

Matinya Seorang Kuli Panggul

Cerpen Kak Ian (Radar Surabaya, 28 Januari 2018)
Matinya Seorang Kuli Panggul ilustrasi Fajar - Radar Surabaya.jpg
Matinya Seorang Kuli Panggul ilustrasi Fajar/Radar Surabaya
Badrun mulai bergegas ketika pagi masih gelap, dan bau embun masih sangat menyengat segar saat tercium dari balik pucuk-pucuk dedaunan. Begitu pun dengan kabut yang masih terlihat menggumpal dan tebal, serta ditambah rasa dinginnya angin pagi menyelimuti kulit membuat ia tetap bertahan. Ia tidak memedulikan rasa sedikit apa pun pagi itu. Baginya, ia harus lekas tiba di tempatnya bekerja.
Lelaki berperawakan gempal, berisi, dan tinggi serta berotot itu ingin lebih awal sampai di tempat ia menawarkan jasa tenaganya untuk para pelanggannya. Di Pasar Pagi lah, tempat di mana ia menjajakan jasa tenaganya sebagai tukang kuli panggul.
“Abang, nggak sarapan dulu. Siti sudah masakin nasi goreng kesukaan Abang tuh dengan daun mengkudu. Ayolah, Bang, makan saja sedikit buat mengganjal perut,” Siti mengingatkan Badrun, suaminya yang saat itu ingin bergegas berangkat menuju ke Pasar Pagi yang tidak jauh dari rumahnya.
“Nanti sajalah! Atau, kasih saja ke Umar. Dia kan mau berangkat sekolah juga. Kasih saja sarapan abang untuknya,” jawab Badrun sambil terburu-buru. “Abang berangkat dulu ya, Ti! Doain abang biar dapat rezeki kali ini biar tidak beli nasi aking lagi,” lanjut Badrun tidak sehari-harinya ia berkata demikian.
Siti yang mendengarkan ucapan Badrun saat itu tidak menaruh firasat apa-apa. Memang begitulah yang dilakukan suaminya itu tiap pagi. Sebelum melangkah jauh meninggalkan dirinya beserta dua anak laki-lakinya yang masih bau kencur itu, Badrun selalu begitu. Lagi-lagi Siti tidak menaruh firasat apa-apa. Siti sudah terbiasa. Usai meminta pamit dan doa pada istrinya, Badrun baru melangkah ke Pasar Pagi.
Badrun akhir-akhir ini selalu berangkat pagi-pagi sekali. Entah, apa karena ia tidak ingin pelanggannya direbut oleh orang lain lagi. Atau, pendapatannya kurang? Tapi, itulah kenyataannya. Maklum sekarang banyak sekali wajah-wajah baru di Pasar Pagi itu—dalam memikat para pelanggan untuk menggunakan jasa tenaga mereka.
Jadi Badrun tidak ingin para pelanggannya itu direbut mereka kembali. Apalagi sudah beberapa hari ini para pelanggannya tidak menggunakan jasanya.
Setiba di Pasar Pagi Badrun sudah berdiri di muka jalan, di mana orang-orang hilir-mudik membawa karung—yang di dalamnya berisi berupa sayur-mayur, pakaian jadi maupun peralatan permainan anak-anak dan sebagainya. Sepagi itu ia sudah ada di sana sebelum azan subuh usai berkumandang.
Ternyata pikirannya salah. Badrun bukan orang pertama yang tiba di sana. Ada Pak Kodir, lelaki paruh baya yang masih kuat tenaganya mengangkat beban apapun. Badrun pun langsung berbaur dengannya beserta lainnya pula.
Kuli panggul itu ‘profesi’ yang Badrun ‘geluti’ selama 10 tahun lamanya. Ia menjadi kuli panggul karena kebutuhan yang mendesak dirinya saat itu. Apalagi sejak ia dirumahkan oleh pabrik yang memproduksi suku cadang motor, di mana dirinya bekerja sebagai seorang pengawas. Ia melakukan itu tidak ada pilihan lagi selain menjadi kuli panggul di Pasar Pagi. Lagi pula saat ia dirumahkan bertepatan Siti saat itu sedang hamil anak pertama. Tentu menjadi kuli panggul jalan satu-satunya Badrun untuk memenuhi kehidupan keluarganya itu.
Sebenarnya menjadi kuli panggul bukanlah cita-cita Badrun. Itu terihat seusai dirumahkan, ia langsung melamarkan diri kembali ke pabrik-pabrik lainnya. Sayangnya, mereka menutup diri Badrun. Alias, tidak ada lowongan pekerjaan untuknya. Akhirnya takdir pun ‘melemparkan’ ia ke Pasar Pagi.
Saat itu zaman lagi paceklik. Krisis moneter telah mempengaruhi segala produktivitas dan pendapatan para pabrik saat itu. Bukan hanya itu saja. Ada pula yang gulung tikar akibat dampak krisis itu. Salah satunya pabrik tempat Badrun bekerja tutup produksi. Gulung tikar. Dan menjadi kuli panggul mau tidaknya ia harus menerima itu. Masih untung di Pasar Pagi itu ia memiliki kenalan orang dalam, sehingga dapat bekerja di sana tanpa embel-embel. Lagi-lagi hanya sebagai seorang kuli panggul, Badrun bekerja.
“Tumben pagi-pagi sekali kamu sudah sampai, Drun?” tanya Pak Kodir.
“Iya, Beh! Habis beberapa hari ini saya nggak bawa pulang duit untuk anak dan istri saya. Kasihan mereka tiap hari hanya makan nasi aking saja,” jawab Badrun parau.
Pak Kodir—yang dipanggil Babeh pun paham apa dirasakan Badrun pagi itu. Memang semenjak krisis moneter banyak berdatangan wajah-wajah baru di Pasar Pagi itu, hingga membuat pendapatan hasil jasa kuli panggul sangat berkurang. Begitu pun yang dirasakan Badrun dan Pak Kodir pula.
“Sabar saja, ya, Drun! Rezeki nggak ke mana,” seru Pak Kodir memberi petuah sekaligus menghibur Badrun.
“Iya, Beh! Terima kasih.”
Belum lama Badrun berada di pasar itu mendadak ada seseorang yang melambaikan tangan ke arahnya. Orang yang melambaikan tangan itu ternyata seorang ibu muda. Ia memanggil-manggil Badrun dari jarak tidak begitu jauh. Ibu muda itu ingin menggunakan jasa tenaga Badrun. Tapi, ia tidak memerhatikannya ini malah sebaliknya Pak Kodir yang memberitahukannya.
“Ada yang memanggil kamu tuh, Drun,” Pak Kodir memberitahukan pada Badrun.
Ah, bukan kali, Beh! Mungkin itu pelanggan Babeh kali. Lagi pula Badrun kan baru sampai,” jawab Badrun lantang.
“Nggak itu pelanggan kamu, Drun. Babeh tahu kalau pelanggan Babeh sendiri. Ayolah ambil saja, angkat barang-barangnya itu. Kasihan Babeh lihat sudah setengah jam berdiri di sana sepertinya. Anggap saja ini penglaris kamu,” Pak Kodir kembali berujar sambil tersenyum dengan mengulumkan gigi gerahamnya yang sudah tanggal sebagian itu. “Rezeki jangan ditolak!”
“Ya, sudah saya ambil ya, Beh?” Badrun pun berpamitan.
“Iya, silakan! Hati-hati ya Drun angkat barang-barangnya.”
“Iya, Beh.”
Badrun akhirnya menghampiri ibu muda tersebut yang sejak tadi memanggilnya. Ia langsung bergegas mengangkat barang-barang yang dimiliki pengguna jasanya itu. Padahal sepagian itu ia belum menyentuh makanan apapun.
Usai itu Badrun kembali ke tempat semula. Di sana Badrun mengeluhkan rasa sakit yang mendadak dirasakan olehnya. Dan itu membuat perhatian Pak Kodir.
“Kamu kenapa, Drun?” tanya Pak Kodir.
“Ah, hanya sakit biasa. Nanti juga baikan, Beh,” jawab Badrun menghibur dirinya. Padahal rasa sakit yang dialami menyiksa dirinya saat itu.
“Maaf, Beh, Badrun kerja lagi ya. Itu ada pelanggan Badrun manggil-manggil lagi,” lanjut Badrun. Walaupun saat itu sakit masih ia rasakan.
“Ya, hati-hati, Drun!” tukas Pak Kodir masih menaruh curiga dengan rasa sakit yang dialami Badrun. Tampak terlihat jalan Badrun tidak seimbang.
Ah, mungkin perasaan ini saja yang terlalu mengkhawatirkan Badrun. Pikir Pak Kodir.
***
Tidak menunggu lama, satu, dua, tiga bahkan hampir lima pelanggan pengguna jasa tenaganya sudah Badrun dapatkan. Lumayanlah setengah pagi itu ia sudah mengatongi upah dari para pengguna jasa tenaganya. Dilihatnya saku bajunya sudah lumayan mengembung. Sudah mulai terisi.
Saat itu matahari sudah menampakkan diri dari ufuk timur, tapi mendadak Badrun sudah mulai merasa tidak beres pada dirinya. Kepalanya terasa berat. Pusing. Begitupun keringat dingin sudah mulai mengucur dan membasahi pelipis serta seluruh tubuhnya. Apapun yang dilihatnya saat itu sudah tidak lagi sempurna. Semua kabur. Lalu berubah gelap.
“Drun, kamu kenapa? Tu-tunggu dulu, Drun! Tu-tu…,” belum habis ucapan Pak Kodir usai itu tubuh Badrun terhempas dan jatuh di pelataran Pasar Pagi.
***
Pada masa kecilnya Badrun adalah seorang anak kecil yang suka sekali bermain layangan, kelereng, dan suka mencuri hasil panen ubi di ladang milik orang lain. Tentunya suka sekali berkelahi. Emak selalu bilang lebih baik bantu abah dan emak di ladang atau di sawah, tetapi Badrun kecil tidak pernah menurut.
Emak pernah suatu hari bertanya pada Badrun kecil saat ia sedang menghitung kelereng-kelerengnya hasil ia menang bermain. Emak selalu bertanya.
“Kamu itu mau jadi apa sih, Drun! Sekolah nggak mau. Disuruh mengaji sama Bang Rohman selalu aja banyak alasannya. Apalagi bantu Abah atau Emak nggak pernah mau. Mau jadi apa kamu besar nanti, Drun,” ucap Emak.
“Badrun mau jadi kuli panggul saja, Mak. Itu seperti Bang Tato di Pasar Senja. Lihat itu Emak badan Bang Tato gede dan besar kan? Badrun mau seperti itu, Mak,” jawab polos Badrun kecil saat itu.
“Masya Allah Drun, Badrun! Kenapa kepikiran seperti itu sih. Emak nyekolahin dan suruh mengaji biar kamu bisa jadi orang berguna nantinya. Jadi jangan ngomong begitu nanti malaikat lewat langsung dicatat, kamu baru tahu nantinya, Drun! Istighfar, Drun! Istighfar!” Emak Badrun berapa kali menyadarkan ucapan Badrun kecil saat itu.
Tapi, ucapan Emak dianggap seperti angin lalu saja oleh Badrun kecil. Masuk ke kuping kanan dan dikeluarkan dari kuping kiri. Dihempaskan begitu saja.
***
Benar. Ucapan itu adalah doa. Badrun baru menyadari ucapan emak saat itu. Kenapa saat itu ia tidak mendengarkan kata-kata emak dulu. Tapi, nasi sudah menjadi bubur tak akan bisa menjadi nasi lagi. Hanya ada rasa penyesalan yang kini dirasakan Badrun saat nyawanya hampir sepenggal leher. Sebentar lagi Izroil akan menjemput dirinya.
Namun, sebelum itu Badrun ingat dengan Siti dan kedua anak laki-lakinya yang masih ingusan itu. Ia mencoba bertahan untuk hidup, walaupun sesaat hanya untuk memberitahukan pada Pak Kodir. Mungkin lebih tepat kata-kata terakhir yang akan disampaikannya. Supaya nanti ketika ia mati tenang bisa menyampaikan sesuatu pada Siti, istri dan ibu bagi anak-anaknya itu melalui perantara Pak Kodir.
“Beh, saya nitip Siti dan dua anak saya, ya. Tolong kasih uang ini sama Siti. Bilang sama dia hanya ini yang mampu saya dapat. Bukan hanya itu saja, bilang juga permohonan maaf saya padanya jika saya tidak bisa membahagiakannya…,” usai itu Badrun memejamkan matanya pelan-pelan untuk terakhir kalinya.
“I-iya, Drun! Innalillahi wainnailahi rojiun…,” ucap Pak Kodir terbata-bata sambil mengusap mata Badrun pagi itu.
Seketika itu Pasar Pagi pun geger. Semua ramai-ramai melihat kematian Badrun yang malang itu. Semua teman-teman ‘seprofesi’ pun ikut turut berduka cita. Dengan penuh kesetiakawanan mereka pun memberikan sumbangan kematian Badrun melalui pakaian ‘kebesaran’ kuli panggul yang ditaruh di dekat mayat Badrun. Itu pun atas inisiatif Pak Kodir pula. Sumbangan itu seikhlasnya bagi siapa saja yang mau ikut empati.
“Bagaimana, Beh, kita lapor saja ke kepala pasar biar bisa bantu mencari mobil jenazah untuk mengantar jenazahnya Badrun,” usul salah satu kuli panggul yang mengenal Badrun.
“Tidak usah. Tidak usah! Kita tidak perlu merepotkan orang-orang di Pasar Pagi. Biar kita usaha sendiri saja,” sergah Pak Kodir.
“Kalau hal seperti macam ini tidak ada yang direpotkan, Beh! Tapi wajib untuk membantunya,” timpal kuli panggul lainnya.
Pak Kodir berpikir panjang. Ia sesaat diam sejenak.
“Ya, sudah jika itu yang kalian inginkan. Silakan saja lapor pada kepala pasar ini ada kuli panggul yang mati mendadak,” akhirnya Pak Kodir menyerahkan semua itu pada sesama para kuli panggul.
“Lalu, bagaimana dengan istrinya apa kita kasih tahu langsung saja,” usul yang lain.
“Tidak usah, kita langsung antar saja jenazahnya agar istrinya tidak merasa kehilangan,” lanjut Pak Kodir.
“Iya, sudah kalau begitu, Beh,” kali ini ucapan Pak Kodir diiyakan oleh mereka.
Usai itu mereka sibuk mencari mobil jenazah. Pak Kodir masih menunggu jenazah Badrun di hadapannya.
Sedangkan Siti di rumah lagi mengeringkan nasi aking yang dibelinya tadi dari warung terdekat dari rumahnya. Padahal ia ingin sekali makan ayam goreng yang dijual di tepi-tepi jalan raya demi buah cintanya dan Badrun yang sudah tiga minggu tertanam di perut Siti. Siti menaruh harap penuh pada Badrun jika sepulang dari Pasar Pagi nanti, suaminya itu membawa uang agar bisa membeli ayam goreng walau hanya sepotong.
Tapi, Siti tidak tahu jika saat itu Badrun pulang bukan membawa uang, melainkan tubuh kakunya. Jenazah suaminya itu sedang diantar oleh Pak Kodir dan teman-temannya sesama kuli panggul yang masih berada dalam perjalanan menuju rumahnya. (*)

 Penulis adalah penulis fiksi anak dan remaja, aktif di Komunitas Pembatas Buku Jakarta

Mayat yang Diarak

Cerpen Mawan Belgia (Bali Post, 28 Januari 2018)
Mayat yang Diarak ilustrasi Citra Sasmita - Bali Post.jpg
Mayat yang Diarak ilustrasi Citra Sasmita/Bali Post
Kasimin menggendong anaknya yang masih balita, bergegas menuju pemakaman. Tempat istrinya disemayamkan. Lolongan anjing meraung di keheningan malam. Sorot matanya menatap tajam pada Kasimin berjalan tergesa-gesa. Seolah mengutuk apa yang akan dilakukan Kasimin terhadap kuburan istrinya. Bagi Kasimin, orang-orang harus tahu bahwa istrinya meninggal karena Tuhan menyayanginya. Tidak ada sangkut pautnya dengan tradisi adat yang selama ini mereka abaikan.
Kasimin masih ingat betul, detik-detik Marliang didatangi Izrail. Betapa Marliang tersenyum saat Izrail menampakkan rupa padanya. Senyum Marliang seperti itu, lebih lebar daripada senyumnya saat Kasimin pulang, setelah bertahun-tahun mengadu nasib di negeri orang. Dan, senyum Marliang lebih lebar lagi daripada senyumnya saat pertama kalinya Kasimin membisikkan kata cinta padanya.
Jika yang Izrail tangani adalah manusia penuh dosa, maka ia akan datang dengan wajah yang teramat garang. Dan, kalau yang ia cabut nyawanya adalah manusia baik-baik maka tampilan Izrail juga tak kalah baik. Sehingga beda perlakuan Izrail manakala ditugaskan mencabut nyawa Marliang dan mencabut nyawa ayahnya.
Sebab itulah Marliang tersenyum saat Izrail datang menjemputnya. Senyum Marliang tetap bertahan hingga nyawanya terenggut. Tubuhnya boleh kaku tapi bibirnya masih menggoreskan senyum. Belum pernah Kasimin mendapati mayat perempuan secantik istrinya. Dulu ketika ayahnya meninggal dunia, Kasimin sedih. Kedua mata ayahnya terbelalak dan mulutnya menganga. Ironisnya lagi, saat dibimbing mengucapkan kalimat tauhid tak sanggup lagi. Kasimin senang, istrinya mati dalam keadaan khusnul khatimah. Ia yakin betul predikat itu sampai padanya.
Usai bakda subuh waktu itu, Kasimin berjalan tergesa-gesa ke langgar. Air matanya sempat bercucuran. Antara sedih lantaran ditinggal istri tercinta dan senang karena Marliang meninggal dalam keadaan baik. Jamaah salat subuh beberapa menit yang lalu sudah kembali ke rumah masing-masing. Di langgar itu Kasimin mengumumkan sendiri kematian istrinya melalui pengeras suara.
Mayat Marliang yang menggoreskan senyum sudah di pindahkan ke ruang tengah. Hanya di temani oleh anak perempuannya yang masih balita. Yang belum tahu kematian itu apa. Anak malang itu asyik bermain di samping ibunya. Ia mengelus wajah ibunya. Dan mencari-cari payudara ibunya untuk menetek.
Kasimin kembali ke rumahnya setelah dari langgar. Sepanjang jalan suasana masih lengang. Perlahan-lahan kegelapan disingkap terang. Rumah warga yang ia lalui banyak sudah yang terbuka pintunya. Pada bagian dapur terlihat kepulan asap. Aroma makanan tercium. Kasimin yakin betul kematian istrinya yang ia umumkan di langgar, sudah sampai di telinga warga. Anehnya tak satu pun warga sudih bertanya-tanya perihal kematian Marliang. Mereka abai dan cuek melihat Kasimin berjalan tergesa-gesa kembali ke rumah. Air mata kasimin masih berkaca-kaca. Senang dan sedih berkecamuk dalam dirinya.
Mata Kasimin terbelalak begitu sampai di rumah. Didapatinya suatu adegan, anaknya tengah menetek pada jasad ibunya yang sudah terbujur kaku itu. Senyum masih menggores di wajah Marliang. Dari payudaranya memancar deras air susu yang dilahap anak malangnya. Bagaimana mungkin mayat masih bisa memberikan hak-hak pada anaknya? Bagaimana bisa Marliang masih memiliki air susu? Bukankah Izrail telah menjemputnya? Batin Kasimin. Aneh tapi memang nyata. Tangis Kasimin memecah melihat itu. Ia membiarkan anak malangnya menetek sepuasnya. Sebelum ibunya dikubur nanti.
Pagi itu, cuaca bersahabat. Tidak panas juga tidak mendung. Matahari begitu baik memberikan pancaran sinarnya. Kasimin mengaitkan itu dengan kematian baik istrinya. Mayat Marliang wangi semerbak, bak minyak kasturi. Tidak seperti kematian ayahnya. Kasimin masih ingat, ketika ayahnya meninggal dunia. Hujan deras mengguyur. Karena itu dua hari dua malam mayatnya belum di kuburkan. Ia membusuk di ruang tengah. Sedangkan mayat Marliang teramat wangi bak minyak kasturi.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh. Pelayat belum juga berdatangan. Berkali-kali ia menengok ke arah pintu. Berharap ada orang yang datang melayat. Sementara jasad Marliang semakin wangi. Wanginya memenuhi rumahnya. Dengan perasaan sedih Kasimin melangkah gontai ke teras rumahnya. Mengarahkan pandangannya pada ruas jalan. Tak satu pun ada tetangga yang tergerak hatinya datang melayat.
“Manusia macam apa kalian?” ucap Kasimin lirih. Raut wajahnya teramat kesal. Tangannya ia kepalkan. Mayat Marliang harus segera dikuburkan. Jika tidak, wanginya semakin menjalar menuju rumah tetangga, bahkan bisa tercium oleh satu kampung, pikir Kasimin. Tak menunggu lama lagi, Kasimin segera menuju pemakaman membawa cangkul. Sementara di ruang tengah anaknya masih menetek pada mayat ibunya.
Orang-orang sibuk dengan aktivitasnya. Seolah-olah hari itu di kampung mereka tidak ada kematian. Sekumpulan warga tertawa riang di teras rumah. Mereka tenggelam dalam celoteh. Suara musik berdentum hebat terdengar walau radius 100 meter. Sementara Kasimin berbanjir keringat menggali kubur. Tak ada satu pun yang berkenan membantunya.
Mulai dari penggalian kubur, pemandian jenazah, mengkafani, hingga mensalati.  Kasimin sendiri yang melakukannya. Sementara anaknya yang malang itu tertidur pulas usai puas menetek pada mayat ibunya. Betapa repotnya Kasimin membawa sendiri mayat istrinya ke pemakaman untuk ia kuburkan. Setiap rumah yang ia lalui ditutup rapat. Seolah mengutuk keluarga Kasimin. Semua memandangnya dengan penuh benci.
Barulah setelah mayat Marliang dikuburkan. Orang-orang membuka mulut. Saling bercerita tentang kematian Marliang adalah kutukan. Atas kesombongan Kasimin selama ini mengabaikan seruan adat.
“Marliang menjadi tumbal dari rumah yang mereka bangun,” teriak salah seorang di tengah jalan. Semua orang harus dengar apa yang ia teriakkan. “Marliang menjadi tumbal dari rumah yang mereka bangun,” berkali-kali ia mengulangi teriakannya itu. Ia berupaya memprovokasi orang-orang untuk mengsangkut-pautkan kematian Marliang dengan rumah mereka.
Ketika Kasimin membangun rumah itu. Ia tidak mendarahinya. Tidak ada tunas kelapa dan simbol-simbol lainnya yang digantung pada ariang posi (Tiang Tengah). Mereka percaya simbol itu sebagai doa keselamatan agar terhindar dari bala bagi yang empunya rumah. Tradisi itu turun temurun dilakukan oleh penduduk kampung sejak zaman leluhur mereka. Kasiminlah orang pertama yang lancang mengabaikannya.
Kasimin memang sengaja mengabaikan tradisi itu. Mengabaikan bukan berarti tidak menyukai. Jika simbol semacam itu dipercaya sebagai doa, maka Kasimin punya cara lain berdoa. Ia tidak pernah menyalahkan. Tidak juga menganggapnya sebagai sesat atau perbuatan syirik. Tapi, apabila simbol-simbol itu dipercaya memiliki kekuatan mistik dan memiliki kekuatan untuk meredam marabahaya. Maka akan lain ceritanya. Kasimin akan berlagak menjadi singa menentang kesyirikan.
“Leluhur kita di alam sana akan mengirim karma padamu. Kau lancang mengabaikan seruan mereka yang turun temurun kita lakukan, Kasimin,” tutur salah seorang warga dengan wajah teramat jengkel menatap Kasimin. Setelah ia melihat rumah Kasimin berdiri tanpa ada tunas kelapa dan simbol lainnya pada ariang posi.
“Kesombongan Kasimin akan mencelakakannya.”
“Tidak lama lagi! Tidak lama lagi! Ia akan ditimpa musibah. Camkan kataku!”
Tidak hanya itu saja. Kasimin kerap kali terlibat cekcok dengan ayahnya. Ia selalu meminta pada ayahnya untuk berhenti jadi sanro (Dukun). Kasimin menilai ayahnya terlalu jauh meninggalkan nilai-nilai agama dalam segala praktik perdukunannya.
Ayahnya selain sakti dalam meramal nasib juga memiliki jampi-jampi. Jika warga sakit bukannya berobat ke dokter malah lebih mempercayakan padanya. Di samping murah, kesembuhan juga terjamin. Ia tidak pernah mematok berapa kisaran harga. Seikhlas dan semau warga. Kadang ia diberi sembako atau duit. Warga yang telah ia sembuhkan penyakitnya wajib membawa sesajen padanya. Biasanya berupa aneka jenis makanan dan seekor ayam.
“Jampi-jampi yang kututurkan adalah doa. Doa kepada Tuhan. Bahkan doa itu jelas-jelas ada dalam kitab, hanya saja dilafalkan dalam bahasa daerah,” ucap ayahnya ketika Kasimin mencoba mendebatnya.
“Secara tidak langsung mereka telah menuhankan, Bapak. Mereka percaya yang menyembuhkan mereka adalah Bapak, tidak ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Itu praktik kemusryrikan,” tutur Kasimin.
Tidak lama Kasimin menempati rumahnya. Kondisi Marliang semakin hari semakin melemah. Hingga ia jatuh sakit selama beberapa bulan dan berujung kematian. Orang-orang mengaitkan kematian Marliang sebagai karma yang dikirim leluhur mereka lantaran mengabaikan seruan adat. Dan dosa-dosa Kasimin yang selalu menghalangi Ayahnya menjadi sanro.
Karena sudah geram diolok-olok warga. Kasimin meradang, ingin membungkam mulut-mulut mereka. Bahwa Marliang mati karena Tuhan menyayanginya. Tidak ada sangkut pautnya dengan tradisi mendarahi rumah. Kasimin ingin membuktikan omongannya kalau Marliang mati dalam keadaan tersenyum dan wanginya bak minyak kasturi.
Sehingga malam ini Kasimin ingin menggali kubur istrinya. Lolongan anjing tak henti-hentinya mengiringi langkah Kasimin menuju pemakaman. Seolah anjing-anjing itu tidak membenarkan perbuatan nekat Kasimin. Begitu sampai di kuburan, anaknya yang malang itu, ia baringkan di dekat kuburan ibunya. Sedangkan Kasimin tengah melakukan penggalian kubur Marliang. Setiap mata cangkul menghujani tanah selalu diiringi lolongan anjing. Rupanya anjing-anjing itu membuntuti Kasimin hingga ke pemakaman. Mata mereka menatap penuh kebencian dengan kenekatan Kasimin.
Walaupun Marliang sudah tujuh hari berada dalam kubur. Tapi sekujur tubuhnya masih utuh. Wangi minyak kasturi masih tercium oleh Kasimin. Bibirnya masih menggoreskan senyum. Kasimin terisak mendapati istrinya seperti itu. Ia begitu haru, baginya Tuhan amat menyayangi istrinya. Itu yang ia ingin tunjukkan pada orang-orang . Telah salah kaprah perihal kematian Marliang. Kasimin membawa mayat itu ke rumahnya dan mereka tidur bersama-sama.
Hari masih pagi, orang-orang dihebohkan dengan ulah Kasimin yang mengarak mayat istrinya dari jalan ke jalan. Walaupun begitu tetap saja tak mampu mengubah penilaian mereka. Yang tetap menganggap kematian Marliang adalah kiriman karma leluhur mereka karena mengabaikan tradisi adat. Tentang mayat Marliang yang utuh dan wanginya bak minyak kasturi, bagi Kasimin itu adalah keajaban Tuhan. Sementara mereka menganggap Kasimin telah mengawetkan mayat istrinya.

Mawan Belgia, lahir pada tanggal 15 November 1997. Saat ini masih aktif menjadi mahasiswa jurusan matematika di Universitas Sulawesi Barat.

Minggu, 28 Januari 2018

Muazin Pertama di Luar Angkasa

Cerpen Kiki Sulistyo (Koran Tempo, 27-28 Januari 2018)
Muazin Pertama di Luar Angkasa ilustrasi Imam Yunni - Koran Tempo.jpg
Muazin Pertama di Luar Angkasa ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
Di dunia ini tidak ada yang lebih menakjubkan dari suara azan. Baginya, suara azan bisa menembus pori-pori, menyusup dalam tulang, bergerak dalam darah. Ia berpikir bahwa suara azan itulah yang membuatnya hidup; mendenyutkan nadinya, mendegupkan jantungnya, memompa paru-parunya. Suara azan menumbuhkan dan menguatkan tulang-tulangnya, memproduksi sel-sel darahnya, mengaktifkan kerja otaknya. Hingga ia bisa tumbuh dari bayi merah menjadi seseorang yang sanggup menentukan sendiri jalan hidupnya. Bukan itu saja, baginya suara azanlah yang sebenarnya menggerakkan seluruh kehidupan di muka bumi ini; menyusun sistem yang memungkinkan terjadinya fotosintesis bagi tanaman, mengembangkan jalur rantai makanan, sekaligus secara ajaib memungkinkan hadirnya hukum alam dengan kausalitasnya.
Karena itu, sudah sejak lama, ia hanya ingin menjadi muazin.
Keinginan itu terdengar sederhana. Apalagi ia tinggal di negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim, terlebih di sebuah pulau dengan masjid yang dibangun hampir di setiap dusun. Jumlah masjid di pulau tersebut memang nyaris tak terhitung, meskipun pada perkembangannya jumlah tersebut tampaknya akan bersaing dengan jumlah minimarket dan kafe. Tetap saja, menjadi muazin bukan cita-cita yang mudah buatnya. Karena itu, ketika ia menyampaikan cita-citanya, dalam satu sesi tanya-jawab di sekolah dasar, gurunya senyum-senyum saja, dan teman-temannya terbahak-bahak.
Pada saat itu ia tidak paham maksud senyum guru dan bahak teman-temannya. Orang tuanya juga tidak menjadikan itu masalah, lantaran mereka mengira itu hanyalah cita-cita seorang bocah yang belum tahu apa-apa. Tetapi ketika ia ternyata demikian kukuh dengan cita-citanya, orang tuanya mulai khawatir. Tidak, mereka tidak membawanya ke seorang psikolog atau mencoba berkonsultasi dengan pakar. Mereka justru mendatangi seorang alim-ulama dan bertanya dengan hati-hati perihal perkara tersebut. Kesimpulannya, cita-cita tersebut terbilang mustahil.
Seperti juga kemustahilan cita-cita itu, tampaknya mustahil pula baginya untuk surut. Semakin ia tumbuh besar, semakin besar pula keinginannya untuk mewujudkannya. Apalagi ketika ia melihat sendiri saat sepupunya lahir, seseorang mengumandangkan azan di telinga bayi merah itu. Memang, selama itu tidak banyak usaha yang dilakukannya, karena ia tidak tahu bagaimana harus memulai. Paling-paling, dengan suara lirih, ia mengumandangkan azan di dalam kamarnya. Setiap kali melakukan itu, matanya berlinang dan terasa seperti ada tetesan air yang demikian sejuk membasahi kedalaman dadanya. Sekali-dua ibunya akan mengetuk pintu dan menengok ke dalam, ia pura-pura tidak sedang melakukan apa-apa. Ibunya selalu tampak curiga seakan menduga-duga hal ganjil apa yang sedang dilakukannya. Ia tahu orang tuanya paham apa yang dilakukannya. Dan di mata keduanya, tindakan azan dalam kamar tergolong ganjil.
Tetapi sampai kuliah ia terus melakukan kebiasaan itu.
“Kedua orang tuaku taat beragama. Tentu mereka senang kalau anak satu-satunya ini juga taat beragama, rajin ibadah dan selalu menyebut nama tuhan. Tapi yang aku lakukan itu sepertinya meresahkan mereka. Padahal aku hanya azan, sendirian pula,” katanya pada suatu ketika kepada seorang kawan.
“Bagaimana tidak resah, kamu azannya di kamar. Azan itu di masjid atau ikut lomba.”
“Tapi kan tidak bisa. Memangnya kamu bisa mengupayakan supaya aku jadi muazin?”
“Itu masalahnya. Lagi pula kenapa sih kamu suka sekali azan?”
Pada saat itulah ia menyampaikan pikirannya tentang azan. Ia juga sudah coba mencari tahu perihal kemungkinan ia menjadi muazin. Sesungguhnya cita-cita itu tidak semustahil yang dibayangkan. Tapi syaratnya memang sulit, dan syarat itulah yang tampaknya mustahil. Ketika ia membaca satu artikel bahwa sepanjang waktu di dunia ini azan tidak pernah berhenti dikumandangkan, keinginannya semakin kuat untuk menjadi muazin. Setiap hari ia memutar rekaman azan di kamarnya, menjadikan lantunan azan sebagai nada dering telepon genggamnya. Meski begitu, tetap saja tidak banyak usaha yang dilakukannya untuk menjadi muazin. Memangnya apa yang bisa dilakukan? Tak mungkin tiba-tiba ia datang ke suatu masjid, berbicara dengan pengurusnya, dan melamar menjadi muazin. Bisa-bisa pengurus masjid itu senyum-senyum saja, dan bila ada orang lain dalam pembicaraan itu bisa dipastikan mereka akan terbahak-bahak, seperti teman-teman sekolahnya dulu. Sementara ia termasuk orang yang tidak begitu suka bergaul, lantaran kecintaannya pada azan sering membuat ia merasa kawan-kawannya tidak nyaman. Apabila azan berkumandang ketika mereka sedang berbincang-bincang, ia akan berhenti bicara (apabila ia sedang bicara) atau berhenti mendengar (apabila ia sedang mendengar). Seketika ia akan memejamkan mata, menghirup udara dalam-dalam, seakan-akan azan itulah udara. Mungkin, sesungguhnya, teman-temannya tidak terganggu. Buktinya hal semacam itu kerap terjadi di antara mereka. Paling sering karena telepon genggam. Meskipun telepon genggam mereka tidak berbunyi tiap saat, mereka tampaknya selalu sibuk dengan benda itu. Dan, sepertinya, tidak ada yang terganggu. Tapi itu wajar saja, pikirnya, sebab semua kawan-kawannya melakukan hal yang sama, sementara perkara azan ini, hanya ia sendiri yang melakukannya.
Sadar tidak ada yang bisa dilaksanakan untuk mencapai cita-citanya, selesai kuliah, ia memutuskan untuk berhenti berandai-andai. Itu pekerjaan yang lebih berat lagi, sebab artinya ia harus menghindar dari azan supaya godaan untuk memikirkan cita-cita itu tak timbul kembali. Sementara azan tak pernah berhenti dikumandangkan. Bahkan seandainya ia punya kesempatan untuk pergi ke negara-negara tertentu, di mana tidak banyak masjid dan karenanya azan jarang terdengar, ia pastikan akan mendengar suara azan pada waktu-waktu biasanya. Azan sudah mengejawantah menjadi petunjuk waktu. Ia akan mendengar azan di pagi buta, ketika matahari tepat di atas kepala, ketika matahari yang sama mulai melembut sinarnya, ketika datang senja dan warna magenta mengembang di angkasa, dan ketika kegelapan turun bagai kelir tua. Tidak ada tempat, tidak ada waktu, di mana ia bisa terlepas dari azan.
Suatu ketika, setelah lama tak jumpa, kawannya bertanya perihal cita-citanya, ia menjawab, “Mungkin aku memang tak bisa menjadi muazin di bumi ini. Tapi aku kira aku bisa menjadi muazin di luar angkasa, siapa yang tahu? Lagi pula, di atas sana waktu tidak linear, tapi terlipat-lipat, jadi aku bisa azan kapan saja.”
Tidak. Kawannya tidak menganggap ia sudah kehilangan akal sehat. Sebab ia menjalani hidupnya sebagaimana kebanyakan orang. Ia menyelesaikan pendidikan, bekerja, menikah, memiliki seorang anak perempuan, dan menjalani hari-harinya dengan normal. Memang ia masih terdiam dan memejamkan mata ketika mendengar azan, tetapi setiap orang pasti punya hal-hal semacam itu; misalnya menggoyang-goyangkan kaki, atau mengangguk-angguk saja meski tidak ada yang berbicara. Maka ketika ia menjelaskan bahwa ia merasa suara azan dari masjid atau dari mana saja seperti berasal dari luar angkasa, kawannya menanggapi dengan biasa-biasa saja.
Ia memang menjalani kehidupan sebagaimana umumnya orang. Dan semua keluarganya menganggap kegemarannya yang kemudian, yakni mengumpulkan rekaman suara azan dari berbagai tempat, adalah hobi belaka sebagaimana orang gemar mengumpulkan tutup botol atau gantungan kunci. Jadi bisa dikatakan ia hidup bahagia.
Sayang sekali, ia tak berumur panjang. Sesungguhnya kematian akan selalu membuat sebuah cerita terasa klise. Tapi mau bagaimana lagi, ia memang benar-benar mati oleh sebab-sebab yang tidak bisa diceritakan di sini lantaran khawatir cerita akan menjadi kian klise.
Menjelang wafat, ada permintaannya yang membuat keluarga ragu-ragu untuk melaksanakan; ia meminta agar anak perempuannya membisikkan azan di telinganya. Pihak keluarga sempat berdebat soal itu, bahkan sampai mengundang seorang alim-ulama. Tapi perdebatan tidak berlangsung lama—mungkin karena disimpulkan bahwa hal tersebut tak melanggar apa-apa, atau karena pihak keluarga mengingat cita-cita lama yang tak kesampaian itu, dan lantas merasa kasihan padanya—ia meninggal dengan tenang di rumahnya yang asri, dan putrinya melaksanakan permintaan terakhirnya itu.
“Mungkin saat aku lahir Ibu ingin sekali membisikkan azan di telingaku, tapi itu tidak mungkin. Jadi pasti Ayah yang melakukannya. Tahu kan, sepanjang hidupnya Ibu hanya ingin menjadi muazin. Dia bahkan ingin menjadi muazin di luar angkasa,” kata Sirin kepadaku sambil senyum-senyum waktu peringatan seribu hari meninggalnya kakak sepupuku itu. Aku terbahak-bahak, “Kira-kira apa dia berhasil jadi muazin di atas sana?”
“Aku yakin dia berhasil. Bahkan ia sudah mengumandangkan azan di sana jauh sebelum ia lahir. Tahu waktu Neil Armstrong menjejakkan kakinya di bulan? Konon, pada saat itu ia mendengar suara azan. Ibulah yang mengumandangkan azan itu.” kata Sirin.

Kekalik, 2017
KIKI SULISTYO lahir di Kota Ampenan, Lombok. Menulis puisi dan cerita pendek untuk pelbagai media cetak maupun online. Buku puisinya Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? (2017) meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa.

Lorong Sunyi

Cerpen Makanudin (Republika, 28 Januari 2018)
Lorong Sunyi ilustrasi Rendra Purnama - Republika
Lorong Sunyi ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Ia menjatuhkan wajahnya di atas lutut laki-laki lima puluhan. Meski laki-laki itu berusaha melepasnya, wajahnya masih jatuh lekat dengan posisi duduk di bawah kursi. Lama sekali. Seolah ia mempertahankan posisinya sampai laki-laki itu menerima keinginannya untuk tetap menjaga hubungan dengan Suhaili.
Ibunya yang tepat di kursi sebelah laki-laki itu hanya diam. Tak berkata apa pun. Apa lagi memintanya untuk kembali ke rumah tempat tinggalnya sampai dewasa. Bahkan tempatnya dilahirkan. Sebagaimana permintaan si laki-laki itu, ia juga tidak menghiraukannya.
Masih dalam posisi duduk di lantai di hadapan si laki-laki. Pikirannya goyah tak tentu. Bagaimana ia harus menerima keinginan laki-laki itu. Ia juga tidak pernah mendengar tanggapan ibunya sama sekali. Ibu tidak menyinggung hubungannya dengan Suhaili, entah menerima atau menolak keinginan si laki-laki.
Baginya, sungguh seolah ia mendapati gunung tinggi pikirannya yang sulit untuk ia lintasi itu. Maka, begitu mendapatinya duduk bersebelahan dengan ibu, dan ia ingin tetap menjaga hubungan dengan Suhaili, ia segera menyurukkan wajahnya di lutut bapaknya, berharap tidak lagi mengusik kondisi suaminya.
Hidupnya memang serupa lorong sunyi. Hanya bayang-bayang panjang tanpa batas. Tanpa harapan yang jelas. Ia mengingat kerasnya usaha Suhaili untuk memenuhi kebutuhan rumah. “Kau terlalu berat bekerja, Bang. Kau akan lelah,” tegurnya ketika Suhaili harus pulang malam menjajakan makanan di terminal.
“Yang penting kamu menerima keuntungan yang kudapatkan.”
“Tapi, Abang harus istirahat.” Ia menaruh kasih bila pulang di malam hari dalam lelah yang sangat. Dengan banjir keringat yang sebagiannya sudah mengering.
“Aku tidak lelah.”
Suhaili hanya ingin menghapus kecemasannya. Ia tetap harus mengasong. Ia pernah cerita kepadanya, terjatuh ketika akan turun dari mobil di siang yang panas. Kakinya terpeleset di tumpukan sampah licin yang teronggok di depan terminal. Badannya kotor limbah pasar itu.
Mendengarnya ia hanya diam. Iba.
Maka, bapak memintanya meninggalkan Suhaili. Kembali ke rumah kelahirannya. Tapi, tidak mungkin ia meninggalkannya begitu saja di saat suami kesulitan pekerjaan. Ia merasa bapak tidak membalas kebaikan Suhaili saat-saat ia menapaki kejayaan.
Ia memiliki beberapa toko sederhana yang dikelola keluarga. Semua dalam koordinatornya. Ia sebenarnya siap memegang satu toko untuk membantu. Tapi, suaminya itu tidak merestui. “Kau cukup mengurus rumah saja,” begitu sarannya. Sementara, lapak di pasar harus disewakan. Suhaili membantu bapak agar tidak lagi bekerja sebagai penjaga toko.
“Kita harus membantu kebutuhan orang tua, Dijah.” Suhaili memastikan ia akan membantu bapak. Khodijah hanya diam. Seolah membiarkan keinginan Suhaili. Sebagian keuntungan toko diserahkan ke bapak. Ia mendengar bapak meminta bantuannya mendirikan usaha sendiri. Bapak pun tidak harus kerja ke temannya. Setelah terbangun, ia terlihat lebih nyaman di toko miliknya.
Namun, tak ia duga, hanya beberapa tahun kejayaan itu, ladang usahanya bangkrut. Toko-toko miliknya tak berkembang. Satu demi satu tutup. Hingga kedua toko dan sebuah lapak harus ia jual. Tapi, Munawar, bapaknya, tidak menerima kegagalan yang dialami Suhaili. Seakan penyakit menular yang harus dijauhi.
“Rumah kita luas dan besar, Dijah. Bersama kedua anakmu juga cukup, tidak sesak,” jelas bapak. Tapi, ibu tak begitu menghiraukan perubahan kehidupannya. Dalam pikiran ibu, kegagalan adalah hal wajar. Tidak semua keinginan mereka tercapai.
Ibu mengerti itu. Sejak tokonya harus dijual untuk menutup kebutuhan, Dedeh, ibunya, diam. Sebagaimana ia, ibu pun tak menghiraukan kekecewaan bapak melihat kondisi hidupnya. Tapi, bapak bukan sekadar kecewa. Bapak ingin membawanya ke rumah. Pulang. Meski ia tidak mengatakan memutus tali pernikahannya dengan Suhaili. Tapi, ia tak menerima. Ia tak begitu menanggapi respons bapak terhadap kegagalan suami Dijah.
“Sudah, kamu tidak banyak merajuk, Khodijah.” Ibunya mengelus bahu anak gadis satu-satunya itu yang cantik. Ia mengerti, ibu tak bersikap sejak usahanya gulung tikar. Sejak bapaknya selalu mengeluhkan suaminya yang benar-benar bangkrut.
Malah, ibu sesekali meminta bapak menerima kondisinya. Lalu, ia mengangkat kepalanya begitu bapak lama diam. Seakan bapak masih tetap tidak menerima keinginannya.
“Kau menerima kondisi Suhaili, Dijah.” Ibunya berharap dengan jawaban yang tepat hingga bapak mendengar jelas. Tapi, ia diam. Bapak tetap memaksanya meninggalkan Suhaili bila ia tetap menjawabnya ‘menerima’. Tanpa berkata, ia kembali ke rumahnya.
Namun, Suhaili tidak ia temui sore itu yang ia ketahui biasanya selalu di rumah. Dia pulang menjelang siang. Hanya beberapa jam setelah keluar. Mungkin tidak mendapatkan pekerjaan serabutannya. Tapi, sore itu tidak ia dapati.
Hanya ia temui Minih, ibu rumah tangga sebelah rumahnya, duduk di bawah pohon jambu air depan gerbang rumahnya. Seolah sudah mengikat perjanjian, Ibu Wiwin datang. Disusul kemudian Ibu Sakem. Mereka perempuan-perempuan senasib. Selalu menerima kondisi kehidupan yang mereka alami. “Ingin bagaimana lagi, usaha untuk lebih baik lagi sudah kita lakoni,” kata mereka.
Hanya terkadang mereka selalu mencari celah usaha yang bisa dikerjakan suami. Dan, percakapan itu selalu mereka bangun. Saling menanggapi harapan-harapan mereka.
“Benarkah kita bisa mendapatkan yang kita harapkan?” Seakan Sakem tak percaya hidupnya bisa berubah lebih baik.
“Kalau Allah berkehendak bisa saja terjadi,” sambut Minih yang sesekali ikut pegajian ibu-ibu di Mushola Baitul Ilmi yang dikelola Ibu Yuyun di lingkungan sekolah di ujung kampung. Tetangganya yang juga staf pengajar itu sesekali mengajaknya hadir di Majlis Ta’lim Baitul Ilmi.
Ia hanya diam. Pandangannya hampa ke depan. Ke langit kemerahan di barat. Merasa sakit mengingat suaminya pernah mendapatkan kemajuan usaha. Tapi, ia menerima perkataan Minih. Allah berkehendak atas kehidupan masing-masing makhluk-Nya. Kepada Minih dan Sakem, ia mengerti kondisi ekonominya tidak jauh berbeda. Tapi, Wiwin?
Sungguh. Kehidupan ekonomi Wiwin tidak lebih baik darinya. Dan, melihatnya ia masih bersyukur. Tetangga dan teman-temannya sudah mengenalnya keluarga paling miskin di Sak Bakar, kampungnya.
Perempuan yang memang diselimuti kesulitan hidup sejak berumah tangga, bahkan sejak anak-anak ia tidak mendapati hidup senang. Bapaknya seorang kuli cangkul di sawah-sawah milik teman dan tetangganya. Sementara, ibunya hanya mengurus rumah dengan kebutuhan yang lebih banyak tak terpenuhi. Tapi, ia sabar dan kuat.
“Khodijah, kau memiliki kehidupan lebih baik dari kami, lebih beruntung,” kata Wiwin.
“Kau bisa lebih dahulu mendapatkan kesejahteraan ekonomi dari kami,” balas Sakem. Minih hanya diam sembari membayangkan kehidupannya bisa berubah.
“Kalau kau mendapatkan pekerjaan bagus bisa ajak-ajak kami.” Wiwin kembali meminta. Seolah mendorongnya untuk mengubah kondisi kehidupan rumahnya. Tapi, begitulah perempuan kekar itu meski kurus. Ia lebih semangat. Kehidupan pahit yang ia alami membuatnya terus berusaha lebih baik.
***
Ia mendengar pengunjung pasar menyebut-nyebut lapak milik Ibu Wiwin. Ia mengenal nama itu, tetangganya yang sudah pindah ke kampung dekat pasar. Perem puan yang sejak kecil tak mendapati hidup senang. Selalu kekurangan meski sekeluarga harus kuli. Setelah izin kepada nyonya lapak, ia meninggalkan menguliti bawang, pekerjaan yang ia geluti setelah suaminya kesulitan membangun usaha kembali, akan mencari kebenaran kalau Wiwin yang ia dengar itu adalah tetangganya.
Teriak pengunjung ‘Ibu Wiwin’ mengharuskannya lebih mendekati suara itu. Agak malu ia pelan melangkah setelah memastikannya benar-benar tetangganya di Sak Bakar. Ia mengingat ketika suaminya dengan pakaian rapih melayani para pelanggan.
Tapi, Wiwin terlihat lebih baik. Dibantu seorang ibu-ibu lebih tua, ia melayani pelanggan yang membeli beberapa macam bumbu masak dan sayuran di lapak miliknya yang cukup besar. Ia percaya kehendak Allah, tentu juga dengan usaha yang serius layak untuk seorang Wiwin.
“Khodijah! Sini.”
Ia segera mendekat begitu Wiwin menegurnya. Tersenyum bahagia atas keberhasilannya mendapatkan pekerjaan sebagai pedagang. Besar juga lapak dan barang jualannya.
“Duduk kau, Khodijah!”
Sembari penuh kehati-hatian melangkah di antara hamparan tampah yang masing-masing berisi bumbu dan sayuran, ia mencari tempat yang tepat.
“Di sini.”
Sembari menggeser badannya memberi tempat, ia menunjuk ke arah sebelahnya.
Khodijah duduk. Begitu Wiwin selesai melayani beberapa pelanggan, kembali ia meminta, “Kau bantu aku saja.”
Ia diam. Sementara pikirannya masih ke lapak tempatnya kuli menguliti bawang.

Cibitung, Januari 2018
MAKANUDIN. Selain menulis, sehari-hari ia aktif mengajar di lingkungan Bekasi Kabupaten. Alumni Pesantren Assa’adah Cikeusal, Serang, Banten.

Pemesan Batik

Cerpen Muna Masyari (Kompas, 28 Januari 2018)
Pemesan Batik ilustrasi Andreas Camelia - Kompas.jpg
Pemesan Batik ilustrasi Andreas Camelia/Kompas
Kali ini, untuk menggarap batik pesanan lelaki itu, ia memilih saat malam buta, di sebuah kamar berhias sarang laba-laba. Kamar penyimpan langut dan kemelut. Sebelumnya, hampir lima tahun pintu kamar itu dibiarkan terkatup serupa kebisuan mulut disumpal ujung selimut.
Ditemani kompor kecil bertindih wajan berisi cairan malam, perempuan itu menggores kain putih yang serupa kafan dan dihampar di pangkuan dengan cantingnya. Menggambar pola. Dituntun suara yang memantul dari palung paling rahasia. Setiap celupan canting pada cairan malam adalah detak jantung si pemesan yang memantul ke palung dadanya.
Di luar, jerit jangkrik beradu dengan desah gesekan daun pisang.
Sebagai pembatik yang biasa menerima pesanan khusus, bagi perempuan itu, corak, warna, dan motif batik buatannya merupakan kesatuan rasa dan jiwa pemesan. Salah satu cara untuk bisa menjiwai saat menggarap batik pesanan, perempuan yang baru menginjak kepala empat itu mengajukan beberapa pertanyaan laiknya penjaga warung makan menanyai pelanggan.
Terlebih dahulu, ia bertanya, kain batiknya untuk siapa? Akan dikenakan sendiri? Dalam rangka apa? Acara keluarga, pesta atau dinas?
Atau, akan dihadiahkan pada orang lain? Istri? Suami? Teman? Orangtua? Saudara? Sahabat dekat? Atasan? Anak buah?
Dalam rangka apa? Kado pernikahan? Ulang tahun? Kenaikan pangkat? Hadiah prestasi?
Tak hanya itu. Ketika mengajukan pertanyaan, ia mencuri pandang pada kedalaman matanya. Memancing rasa yang menjalar dari palung dada. Mengaktifkan sinyal di dadanya sendiri seperti tangan seorang ibu ketika menyentuh buah hati.
Tak jarang ia menerima pesanan dari seorang karyawan untuk dihadiahkan di ulang tahun atasannya, dengan harapan gaji dinaikkan karena bahan pangan melambung tak terjangkau. Ia membuatkan batik bermotif padih kepa’ (gabah kosong) bertabur di tanah, serupa beras tumpah. Ditambahi anak-anak burung dengan paruh menganga dan sayap mengepak rendah. Sementara corak warnanya mengambil warna gelap dan gunungan bermotif tanah retak.
Ketika ada seorang guru hendak menghadiahkan kain batik pada anak didiknya karena meraih juara lomba mata pelajaran menjelang hari kemerdekaan, ia membuatkan batik bermotif Tabur Bintang dengan latar biru langit. Dari goresan canting, polesan warna, tercurah harapan masa depan secerlang bintang di gelap malam. Saat menggarapnya, ia pun memilih nuansa pagi ceria di bawah rindang pohon lengkeng tua, tempat di mana sewaktu kecil ia disuapi ibunya sambil melihat anak ayam ribut berebut makanan.
Batik buatannya tidak berkutat pada motif dan corak yang sudah dipatenkan sebagai batik Madura, seperti batik Sagarah, Gentongan, Kembhang Saladri, Kerraban Sape, Mo’-ramo’ dan lainnya. Ia membatik dengan menyatukan imajinasi dan jiwa. Menggurat motif dan corak sesuai perasaan pemesan. Semakin kuat jiwa dan perasaan pemesan, semakin hanyut ia dengan cantingnya, semakin halus noktah dan guratan yang dihasilkan, semakin membutuhkan waktu panjang untuk menyelesaikan. Tak jarang ia melakukan tapapuasa demi menghasilkan karya yang sempurna.
Untuk pemesan batik kali ini, tak sekadar melakukan tapapuasa selama tujuh hari, ia pun terpaksa menyepuh kenangan demi merasakan kemarahan yang sama kentalnya dengan apa yang dirasakan si pemesan. Terpaksa menguak pintu kamar berkarat, penyimpan kisah laknat yang tak pernah lumat dan sempat menimbulkan kiamat.
Di hari ketiga tapapuasa, daun pintu itu dibuka dan menimbulkan denyit parau. Sarang laba-laba dan wang-sawang bersekutu. Ranjang dan seprai berlapis debu. Di kamar itu, langut dan kemelut saling pagut. Ia tak cukup memiliki kekuatan untuk membukanya, sepanjang lima tahun ini. Membiarkan pintunya rapat terkatup sama artinya berdamai dengan kenangan pada malam terkutuk.
Akan tetapi, pemesan batik itu datang suatu senja, ketika matahari tak lagi jelita. Kulitnya legam dan berkumis tebal. Dari mulutnya tercium anyir kemarahan yang begitu kental. Kepulan asap rokok yang disemburkan dengan pedas seolah satu-satunya jalan mengurangi sesak.
Ia memesan batik untuk seseorang yang telah menyulut sulur-sulur api di dadanya. Katanya, sungguh cara paling purna menghadiahkan susuatu yang bisa dijadikan penyampai pesan. Mewakili kemarahan. Bahkan ancaman. Tanpa perlu mengumbar serapah dan cercaan sampah lewat kata-kata yang sudah diracuni amarah.
“Kain batik itu bukan sekadar hadiah pernikahan. Ia berupa surat pesan, jadi harus selesai dalam sebulan! Jangan sampai terlambat!” tegas lelaki itu.
Semula ia menolak begitu mencium anyir kemarahan dan dendam dari mulutnya. Ia tidak mau campur tangan perkara dendam. Akan tetapi, anyir kemarahan kian pekat begitu mendengar dirinya menolak.
“Mungkin kau sama saja dengan perempuan senok itu!” sindir lelaki itu, pedas.
Ia terdiam. Tidak tersinggung. Perkataan yang menyembur dari kemarahan tak lebih dari celoteh anak ayam berebut makanan. Kata ibunya.
“Samua perempuan sama saja! Tidak tahu diuntung! Dia yang memaksaku bekerja ke Malaysia untuk beli gelang dan kalung. Sepergianku, di belakang malah main serong!” mendengus geram.
Perempuan itu menelan ludah. Sepat. Seperti ada lidah api menjilati sudut hati. Ia melihat kebodohan dan kemarahan yang sama pada wajah lelaki di depannya. Ia tahu bagaimana kerasnya banting tulang di negeri orang. Bekerja tak kenal malam. Dalam 24 jam, tak jarang hanya sempat memejam mata dua jam. Telat bangun, cacimaki majikan seperti semburan air didih dari mulut keran.
Ia pernah merasakan didihnya darah yang mengalir di sekujur tubuh begitu tahu bahwa kekasih yang selama ini dikirimi uang hasil memeras peluh justru berlabuh ke lain tubuh.
“Bajingan itu boleh mengawini biniku, tapi setelah melangkahi mayatku!” lelaki itu menepuk dada tiga kali, “aku menantangnya!”
Amarah berletupan.
“Buatkan batik pesan untuknya! Aku pulang untuk membuat perhitungan! Etembhang pote mata lebbi bhagus pote tolang!” pungkasnya.
Tanpa diundang, kejadian malam laknat itu terpampang serupa lembar-lembar foto tua dalam album hitam. Setiap lembar terbuka bergantian seperti dihempas angin kencang.
Di bawah langit kelam dan deru angin kencang, saat pulang dari rantau. Merayapi pertengahan malam baru menginjak kampung halaman. Seturun dari ojek, hujan deras yang memberingas ia tebas dengan langkah gegas sambil menjinjing kardus dan tas. Memburu teras demi segera berlindung dari hujan deras.
Rumah sepi bagai tak berpenghuni. Pintu terkunci. Sebentar ia mengintip ke dalam melalui celah jendela. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Ia pulang tanpa pemberitahuan. Hendak menghadiahkan kejutan.
Tanpa kunci cadangan, ia memilih masuk lewat pintu samping belakang, dekat kamar mandi. Ada pintu kayu yang bisa dibuka dari luar dengan mengulurkan tangan lewat celah lubang di bagian tepi. Dengan sedikit menggeser kunci kayu, pintu lorong penghubung antara kamar mandi dan rumah terkuak. Empat tahun ditinggal, rumah itu tidak ada perubahan, termasuk pintu samping belakang.
Langkahnya dipelankan agar tidak menimbulkan suara. Kardus dan tas besar setengah basah diletakkan hati-hati. Langkahnya terhenti di depan sebuah kamar, tempat menghabiskan malam-malam mesra selama 24 bulan, sebelum pergi meninggalkan kampung halaman.
Pintu didorong agak ragu. Tidak dikunci. Akan tetapi, begitu terbuka, petir di luar serasa menyambar tepat di atas kepala. Betapa sulit untuk percaya. Di atas ranjang, dua tubuh saling labuh.
Dengan kepala sarasa akan pecah ia berlari ke dapur, mencari sebilah pisau, namun hanya menemukan setumpuk cabai di lincak yang dipenuhi perabot kotor.
Sebelum dilipat, kain batik berlatar warna kunyit busuk itu dihampar. Masih hangat, karena baru saja diturunkan dari tali jemuran. Matanya nanar memerhatikan hasil batiknya dengan dada berdenyar.
Daun-daun waru bertebaran sebagaimana korban musim kemarau, sebagai simbol cinta yang tak sempurna. Daun-daun itu berwarna hijau layu. Bagian tepi daun bergiligir, bagai bekas dilahap ulat. Pada tepi bawah kain, sulur-sulur api saling jilat, semerah darah. Di atasnya, celurit-celurit berujung lancip saling silang.
Perempuan itu menamainya batik arek lancor.
Sebentar lagi, begitu pemesan batik itu datang sesuai perjanjian, ia akan melipat kain batiknya dengan rapi, dan memasukkan ke dalam peti mungil terbuat dari kayu jati. Ia akan mengajak pemesan batik itu ke pantai Jumiang, dan melarungkan peti kecil berisi segala dendam dan amarah itu ke lautan.
Biarlah pengkhianatan menjadi urusan semesta. Kelak, ia akan menemukan muaranya sendiri. Kembali pada yang memiliki.
Pun demikian yang dilakukan perempuan itu lima tahun silam. Sebuah ajaran yang ibu berikan, sebelum kemarahan yang lebih pitam melumatnya jadi arang.

Muna Masyari, lahir di Pamekasan, Madura, 26 Desember 1985. Menulis cerpen dan puisi. Salah satu puisinya menjadi nomine dalam Lomba Puisi Forum Tinta Dakwah FLP Riau, dan terkumpul dalam antologi Munajat Sesayat Doa. Salah satu cerpennya termuat dalam antologi Cerpen Pilihan Kompas 2016. Ia bisa dihubungi melalui e-mail: masyarimuna@gmail.com
Andreas Camelia, pelukis otodidak yang bersetia dengan pointilisme. Ia lahir di Bandung tahun 1958, pernah membuka kios antik cendera mata di Kings Shopping Centre Bandung. Andreas melukis dengan menerapkan disiplin pegawai kantoran untuk menghasilkan gambar dengan jutaan titik. Sehari-hari kini ia “berkantor” di NuArt Sculpture Bandung untuk melukis.