
Kopi Sebelum Kau Lupa
kekasih, akulah serbuk yang sabar dalam luka menyamar
setiap pagi runtuh, cintamu tak utuh
di gelas cawan
bulan bertengger, kopi mendingin
comberan meluap, drainase penuh
kenangan melibas, keinginan berpiuh
menyiram kepedihan
menimbun luka penguasa, kopi tersedu sebelum berkubur
di balik marka merekam kelu bohemian
memadatkan percumbuan, berita tergagap
TV tak pernah berjanji
kebun tempat kopi
adalah lapangan tempat anak-anak bermain bola
kecemasan para demonstran
merayap mencuri jadwal
di sela percintaan para pemangsa
lupa cara menyeruput kopi
adalah setiap pagi belajar kesetiaan
Padang, Desember 2016
Luka Kata
malam menyelusup ke ceruk terdalam jantungmu
ingin jadi burung yang terbang ke lembah diriku
kutolak, menukarnya dengan puntung kelu
lantas laron pun paham, kenapa setiap perhentian
adalah jurang yang menitipkan gelombang awan
tak henti bergerombol dalam topan
membiarkan jalan terentang ke gebalau arah, tanpa alarm
meski kau pancang demarkasi perpisahan
terus menggerus humus bagai lampion merawan
merasa hampa bersua, di jalan tanpa udara
luka tertambat di kapal lama
tempat seluruh jantung berhenti
menulis alamat kata
Padang, Desember 2016
Sangkar Bibir
kenapa tak pernah kau peluk aku dalam rekah bibirmu
bukankah sudah kuperkenalkan tempat orang tak henti mengaum
memamah ransum
di mana-mana kamera manusia memungut recehan
bagai mengepung murung
berpesta dalam warna tak berujung
tak secuil pun lisptikmu terseka
dalam terowongan waktu tak berjarum
kita tarikan penuh khidmat etalase majnun
dan orang-orang dari surga hinggap mengipaskan hawa
esok harus tetap terjaga, duduk menukar huruf
karena malam semakin cepat, pagi selamanya ada
terpenjara dalam sangkar bibir sesiapa
yang selalu punya jawab seluruh mimpi penguasa
melempangkan karpet merah kepura-puraan yang kau sulap jadi tembaga
Padang, Desember 2016
Burung-burung Pantai (2)
seseorang merasa burung dalam dadanya telah terbang
mengitari pantai paling sunyi
padahal belum sempat dilukisnya matahari yang menangis
ditinggal percakapan Nabi
yang mengajak manusia gemar
menulis riwayat kebaikan
seseorang merasa kebaikan-kebaikan telah meleleh
menjadi sumpah serapah yang bertebaran dalam gawai
karena gawai yang terbeli kala kerusuhan
menjanjikan surga paling berkilauan
Nabi-nabi tak pernah merasa bahwa burung-burung telah
bersua dengan kesedihan para gawai
karena gawai-gawai itu tercipta bukan dari benih-benih
luka yang sembunyi di rusuk air mata para Nabi
Batusangkar, Juni 2017
Bukan Karena Darah
ini bukan karena darah yang kusimpan
adalah bait-bait yang tertulis di musim lampau
melainkan karena kecambah yang kau rawat di pori hitam
meriap bau tanahnya, hinggap di musim sengau
lalu waktu membentangkan persimpangan pertemuan
bagai ular meranggas di balik bisa kata
terluka menatap jantung dengan rupa drakula
bersemi dalam rumah penuh badai lama
ini bukan berarti mataku berhenti menjilat wajahmu tirus
tapi sajak mesti selesai di nada tak berbentuk
suatu waktu kau tak butuh lagi kalimat berawalan ‘harus’
karena siapa pun selalu butuh terantuk
mencungkil seluruh lembah yang pernah terhampar
bukan untuk menerka seberapa dangkal kau lempar kepurapuraan
dunia akan terus berputar dengan banyak dentuman
Tuhan pun kadang tak ingin membuatmu temukan jawaban
Padang, September 2017
Mohammad Isa Gautama, kelahiran
Padang, 1976, adalah penyair yang kini berkhidmat sebagai pengajar di
Universitas Negeri Padang. Sajak-sajaknya dimuat di Republika, Media Indonesia, Majalah Sastra Horison, Bali Pos, Indo Pos, Lampung Post, serta 20-an antologi bersama, di antaranya Slonding (Yayasan Selakunda, Bali, 1998), Dari Bumi Lada (Dewan Kesenian Lampung, 2000) dan Origins (Ubud Writers and Readers Festival 2017).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar