
***
Siang itu Sarmin turun dari peron stasiun Gambir, tujuannya mencari
informasi semua hal tentang Kantil. Tapi suasana Jakarta tidak seperti
ia lihat, lebih buruk dari terakhir kali Sarmin tinggalkan. Dimana-mana
ban dibakar, suara-suara saling beradu, spanduk hujatan rezim terpampang
dipojok-pojok kota dan toko-toko luluh lantak.Bulan Mei itu Sarmin berkeliaran di area Slipi, Grogol dan Senayan menanyakan sesama gelandangan keberadaan Kantil. Dari kenalan pengamen jalanan Si Sarmin mendapatkan info bahwa Kantil ada di Kalijodo. Bergegas Sarmin dengan sedikit berlari tapi saat berhenti dekat Harmoni, dari ujung gang muncul gerombolan beringas tak tahu dari mana asalnya. Sekejab show-room mobil dan toko sekitar jadi ladang api, Sarmin ada di dalam para penjarah itu, suara-suara teriakan dan asap memenuhi rongga paru-parunya.
Tiba-tiba Sarmin tidak sadarkan diri, sebuah popor senapan menghujan tengkuknya. Gerombolan penjarah itu kalah kabut akan datangnya polisi, Sarmin jadi korban pertama. Tersungkur di atas kerasnya aspal, matanya sayup-sayup melihat serbuan maut polisi menghantam penjarah kocar-kacir ke segala penjuru. Sebelum pingsan, Sarmin sempat meraih sesuatu yang jatuh dari hura-hara itu.
***
Remang-remang lampu kafe di lorong lokalisasi terpadat di Ibukota tak
menyurutkan keasyikan syahwat dengan hura-haru di luar sana. Tak peduli
akan kondisi kota yang mulai membusuk karena di sini asal mula
kebusukan bermula. Sarmin terus merangsek dengan kepala masih pening
berdarah, dalam tempurung hanya untuk bertemu Kantil.Bertanya kesana kemari ternyata Kantil primadona di Kalijodo, seorang tukang ojek menunjukkan wisma di ujung gang bahwa Kantil bekerja. Sarmin masuki wisma tanpa hiraukan bodyguard seperti mengenalnya tidak mencegah hanya memencet tuts hape usangnya menghubungi seseorang di ujung sana, Sarmin terus teriak nama Kantil seantero wisma.
“Hei bocah, apa mau kamu. Teriak-teriak ditempatku,” seorang wanita gembrot menghardik Sarmin.
“Mana Kantil? Mana Kantil?” Sarmin bertanya berulang-ulang dengan nada keras.
“Mau apa kau dengan Kantil? Dia primadona di sini, lagi melayani pelanggan.”
Sarmin mendorong wanita tambun itu sampai jatuh sambil mengancam akan mencongkel matanya. Wanita itu ketakutan hanya mengarah telunjuk jarinya ke kamar ujung lorong, bergegas menuju kamar yang ditunjuk.
Tapi kunci kamar terkunci, Sarmin hanya bisa melihat dari lubang kunci. Melihat seorang anak perempuan seumurnya sedang dilucuti pria hidung belang. Pintu kamar didobrak Sarmin hingga mengeluarkan suara gaduh.
“Keparat!! Jangan kau sentuh Kantil,” Sarmin menghantam botol miras di meja ke kepala pria hidung belang sampai mengaduh-ngaduh berdarah-darah di sudut kamar mengerang kesakitan.
“Sarmin.. apakah kau itu Sarmin?” anak perempuan itu memandang si Sarmin.
“Kau datang untuk menempati janjimu kepadaku. Kau kembali untukku,” lelehan airmata menetes di matanya.
Sarmin hanya mengulurkan tangannya ke anak perempuan yang belepotan dandanan menor tapi di arah pintu terdengar suara serak yang ia kenal.
“Oh Sarmin. Sarmin mau kau bawa kemana gadis kesayanganku itu..sudah kubilang dulu Kantil aset masa dapan dan mesin uangku.”
Suara itu dan wajah tak asing bagi Sarmin, hanya terlihat beda ada codet pada mata kiri terlihat sedikit buta.
“Bekas luka ini oleh-oleh dari kamu dulu, tak akan aku lupakan kejadian kemarin.” Dulmatin mengelus wajahnya sekejab mata kanan memerah menahan amarah purba yang dibendungnya.
“Lama kau kucari tapi kau datang sendiri demi gadis tengil ini,” kekehnya sambil mengeluarkan kelewang parang di balik bajunya siap menebas Sarmin.
Sarmin bukan anak kecil kemarin sore ketakutan, dia sudah melawan rasa takut dengan kebencian terhadap Dulmatin. Dia mengeluarkan sesuatu yang diambil waktu kerusuhan tadi, sebuah piston revolver standar polisi.
“Hei Sarmin. Jangan main-main kau Sarmin, itu benda berbahaya.” Dulmatin bergetar di bawah todongan revolver itu dan tahu akan kenekatan Sarmin jika itu meletus di kepalanya
“Berlutut kau!!” teriak Sarmin sambil mengokang ujung pelatuk pistol revolver itu.
“Sarmin… tenang… kita bisa bicarakan masalah ini. Anggap masa lalu kita lupakan, hapus yang lalu memulai yang baru,” sodor Dulmatin sambil berlutut meletakkan parangnya perlahan.
“Tak akan lupa? Hah… maaf, Dulmatin kamu yang harus melupakan semua ini. Bukan aku.”
“Duaaarrr..!!!”
Revolver itu menyalak keras, peluru menghajar kepala Dulmatin hingga tersungkur di lantai bersimbah darah
Secepat kilat Sarmin menarik tangan Kantil dan keluar dari tempat busuk itu. Berlari sejauh mungkin. q-g
Duri, Agustus 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar