Daftar Blog Saya

Selasa, 27 Maret 2018

Pencatat Kematian

Cerpen Mustafa Ismail (Jawa Pos, 25 Maret 2018)
Pencatat Kematian ilustrasi Budiono - Jawa Pos.jpg
Pencatat Kematian ilustrasi Budiono/Jawa Pos
LELAKI itu membawa sebuah buku tulis ke mana-mana. Bukan buku tulis istimewa, tapi buku tulis seperti yang biasa digunakan anak sekolah. Sampul depannya berwarna merah dengan gambar burung garuda. Sampul bagian belakang ada rumus perkalian. Buku itu dulu dibeli untuk anaknya, tapi belum dipakai. Puteh, nama lelaki itu, mencomot begitu saja buku tulis tersebut dari tas anaknya enam bulan lalu ketika sang anak meninggal ditembak orang tak dikenal.
Puteh mencatat kisah anaknya, sejak lahir hingga ia tertembak malam itu. Kala itu, Agam pulang malam sehabis belajar bersama teman SMP-nya di kampung dekat kota kecamatan. Bocah berusia lima belas tahun itu tadinya ingin menginap, tapi entah mengapa memutuskan pulang. Pagi-pagi, ia bersama seorang temannya ditemukan telungkup di pinggir jalan berjarak sekitar setengah kilometer dari kota kecamatan. Sepeda motor yang mereka naiki teronggok beberapa meter dari tubuh mereka.
Agam terkena tembakan di kepala, adapun temannya tertembak di dada tembus ke belakang. Mendengar kabar itu, Puteh langsung pingsan. Tapi hanya beberapa menit ia sadar dan memacu sepeda motor sekencang-kencangnya menuju tempat Agam tertembak. Di sana sudah ramai orang, tapi tak satu pun yang berani mengurus jenazahnya. Kampungnya memang sedang gonjang-ganjing. Orang mati adalah biasa. Orang tertembak dan ditemukan di jalanan menjadi lazim.
Maka itu, menemukan sesosok atau bersosok-sosok mayat di jalanan adalah hal biasa. Sebab, tiap pagi bisa ada belasan sosok mayat tergeletak di pinggir-pinggir jalan kampung berjejer. Memang, ada dua kelompok yang bertikai, tapi sebagian dari mayat-mayat itu bukanlah orang-orang dari kedua kelompok tersebut. Agam dan temannya salah satu contoh. Mereka adalah siswa sebuah sekolah menengah pertama, yang tak tahu apa-apa dengan pertikaian kedua kelompok orang dewasa tersebut.
Maka itu, Puteh sangat sedih, sangat marah, sangat kecewa. Ia kecewa dengan keadaan tak normal di kampung itu. Keadaan tak normal itu telah berlangsung bertahun-tahun. Seolah tak ada yang bisa menyelesaikannya. Sehingga ia sempat berpikir: jangan-jangan kondisi itu memang dipelihara? Mungkin ini adalah pikiran yang konyol. Tapi ia sungguh-sungguh tak tahan dengan kondisi itu. Ia menyaksikan kematian demi kematian tiap hari. Seolah nyawa menjadi begitu murah. Orang-orang pun hidup dalam ketakutan. Mereka terperosok dalam kemuraman. Kampung seperti daerah mati. Sunyi.
Dan, pagi itu ia menyaksikan kematian orang yang sangat disayanginya, yakni Agam. Tapi Puteh tidak menangis. Benar ia sempat pingsan mendengar kabar itu, tapi ia bertekad tak akan menangis. Air mata tidak akan mengubah keadaan. Air mata hanya memperlihatkan kelemahan. Hidup keras harus dihadapi dengan keras juga. Setidaknya tidak boleh menyerah. Siapa yang menyerah ia akan tergilas dan hilang. Menyerah serupa kematian sebelum waktunya.
Puteh memang sempat merasa kehilangan harapan ketika anak laki-laki satu-satunya itu tewas. Tapi, sekali lagi, ia tidak boleh menyerah. Bahkan, ia sempat berpikir untuk datang ke markas kedua kelompok yang berseteru itu dan melabraknya. Sebab, gara-gara merekalah semua hal menjadi tak normal. Tapi, ia kembali menimbang-nimbang, jika itu dilakukan sama saja dengan menyetor nyawa. Serupa menyiram bensin ke dalam api yang sedang berkobar, ia akan terbakar.
Bermalam-malam Puteh tidak tidur memikirkan apa yang bisa dilakukannya. Sementara kematian demi kematian terus berulang. Ada yang mati ditembak di depan rumah, di kebun kosong, pinggir pantai, hingga di tepi jalan. Tentu saja paling banyak ditemukan orang mati di pinggir jalan. Entah apa maksudnya. Boleh jadi itu semacam ketakutan yang diciptakan oleh salah satu dari kelompok yang bertikai itu. Tapi itu tidak menyurutkan kelompok satunya untuk melakukan perlawanan. Mereka sering menghadang kelompok seterunya di jalan-jalan yang jauh dari perkampungan.
Setiap ada kejadian penghadangan, bisa dipastikan bakal ada orang-orang yang tak berdosa jadi korban. Bahkan, kerbau dan sapi pun bisa jadi korban. Terkadang, mereka yang bertikai itu melepas tembakan sembarangan, bahkan hingga menembak hewan ternak. Rumah-rumah di sekitarnya pun—jika ada—bisa terbakar dengan dalih untuk mencari kelompok yang meng hadang. Sementara kelompok satu nya memprovokasi dengan membakar bangungan-bangunan yang ada kaitannya dengan kelompok lawan.
Setiap malam, ada saja orang yang dijemput oleh kelompok satunya yang diduga anggota kelompok lawan, atau setidak-tidaknya mendukung atau simpatisan kelompok lawan. Puteh terus berpikir apa yang bisa dilakukan dalam kondisi seperti itu. Ia tak punya kuasa untuk membungkam amarah dan dendam di hati kedua kelompok itu. Siang malam ia berpikir apa yang harus dilakukan. Tapi ia tidak menemukan jawaban. Lalu, pada ma lam ketujuh kematian anaknya, setelah semua prosesi tahlilan selesai, ia tak lagi bisa menahan kantuk hingga tertidur di bangku panjang di teras rumah.
Puteh tertidur tujuh hari tujuh malam.
Bangun dari tidur itulah, seperti ada yang menuntun untuk masuk ke dalam rumah lalu mengambil buku tulis di tumpukan buku-buku anaknya. Ia mencomot begitu saja salah satu buku kosong yang belum digunakan. Lalu, mulailah ia menulis riwayat anaknya, seperti menulis catatan diary. Ia juga menyelipkan perasaan-perasaannya, termasuk kemarahannya pada Agam ketika ia tidak menuruti perkataannya dan kegembiraannya ketika Agam dapat ranking terbaik di sekolah. Lengkap. Detail.
Itulah kematian pertama yang ia tulis. Selanjutnya, seperti ada yang menuntun pula, ia mendatangi satu per satu keluarga orang yang mati karena tertembak. Ia datangi semuanya. Ia berangkat pagi-pagi dan pulang menjelang senja turun. Ia melakukannya dengan tekun dan penuh tanggung jawab, seperti melakukan pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Demi itu, ia pun mengundurkan diri sebagai guru honorer pada sebuah sekolah dasar.
Sejak itulah ia dikenal sebagai pencatat kematian. Begitu mendengar ada orang mati, ia langsung bertandang. Bahkan, terkadang, pihak keluarga atau ahli waris orang mati yang mencarinya. Mereka ingin kematian keluarga atau familinya dicatat.
Dan, Puteh tak pernah meminta upah atau apa pun. Juga tak ada yang mengupahinya. Ia melakukannya dengan rela. Ia tidak tega melihat kematian demi kematian lewat begitu saja. Kematian adalah sebuah peristiwa yang sama pentingnya dengan kelahiran. Kalau kelahiran perlu dicatat, mengapa kematian tidak. Tetapi ia kerap tidak mengerti, mengapa tidak ada orang yang secara sungguh-sungguh mencatat kematian. Seolah kematian hadir untuk dilupakan. Bahkan, di nisan pun tak dicatat. Lebih bikin miris lagi, nisan pun tak ada.
Ia sering sekali menemukan orang-orang mati tanpa nisan. Kuburan terkadang hanya sebuah lubang besar yang dijejali tubuh-tubuh yang tak berdaya. Tak jarang pula tubuh-tubuh itu sebetulnya belum mati, tapi sudah dikuburkan. Ia tidak mengerti. Memang tak ada yang bisa mengerti, mengapa kematian datang bertubi-tubi.
“Memang tak ada yang tak mungkin di negerimu,” kata seseorang entah siapa. “Terutama di kampungmu ini,” tambah suara itu entah datangnya dari mana, “Kematian seperti sebuah karnaval yang semarak dan panjang.”
Lelaki itu tercengang mendengarnya. Ia hanya menjawab singkat: “Ya, di sini kematian dirayakan.”
Karena itulah, sambung lelaki itu, aku ingin berbeda dengan mereka, orang-orang merayakan kematian orang-orang. Buatku, kematian adalah sebuah kenangan. Kenangan duka. Ketika melihat orang-orang mati, segera saja segala peristiwa tentang mereka muncul tanpa bisa dibendung: seperti siaran televisi yang bertubi-tubi. Mereka lebih berhak hidup daripada para lelaki pencabut nyawa itu sendiri.
Puteh tak sanggup lagi menghitung sudah berapa orang mati yang sudah dicatat. Ia tidak sanggup menghitung. Buku tulis setebal 40 halaman itu nyaris habis lembarannya. Nyaris semua terisi. Bahkan, saking banyaknya kematian, ia tidak kuat lagi untuk mendatangi satu per satu keluarga orang yang mati. Ia cukup mendengar berita dari orang-orang atau berita koran dan televisi. Tetapi kalau bisa dijangkau, ia tetap datang sendiri, melihat sendiri jasad orang mati, dan turut berbaur dengan pelayat lainnya untuk menyampaikan duka cita.
Orang-orang pun kemudian pelan-pelan makin merasa penting untuk mencatat kematian. Orang-orang menjadi sadar bahwa sebuah catatan itu sangat penting. Mereka sangat sadar catatan itu pada suatu saat akan diperlukan dan dicari orang. Catatan itu akan menjadi bukti sejarah, sekaligus bagian dari sejarah itu sendiri. Catatan itulah yang akan bicara kepada dunia tentang berbagai peristiwa kematian, tentang kegelisahan dan kedukaan orang-orang.
Itulah yang terus mendorong lelaki itu untuk terus menekuni profesinya, meskipun tak digaji. Ia tidak pernah memikirkan lagi hidupnya. Ia percaya apa yang dia lakukan mendapat tempat di hati Tuhan. Selagi berbuat baik, Tuhan selalu memberi rezeki dan pendapatan. Terbukti, ada saja yang menyumbang untuk lelaki itu. Bukan dari keluarga orang yang mati, tetapi dari orang-orang yang tak pernah dikenalnya.
Ia terus membawa catatan itu ke mana pun dia pergi. Ia tidak pernah meninggalkannya. Dan makin hari kesibukannya makin bertambah. Belakangan, ia bahkan tidak bisa lagi tidur. Karena malam pun ia kerap dijemput untuk datang ke rumah orang-orang yang anggota keluarganya meninggal. Ia tidak pernah menolak datang.
Seiring kesibukan, waktu istirahatnya pun menjadi sedikit. Pelan-pelan, tubuhnya makin aus. Istrinya sempat memperingatkan agar ia menjaga kesehatan, tetapi lelaki itu tidak peduli. Ia langsung pergi begitu tahu ada orang mati. Lama-lama tubuhnya makin kurus dan wajahnya menjadi pucat. Kumisnya makin tebal dan jambangnya makin panjang. Ia mirip lelaki tak terurus.
Kali ini bukan hanya istrinya yang merasa tak nyaman dengan ketidakpedulian lelaki itu pada dirinya sendiri maupun keluarga. Diam-diam ada juga orang lain yang merasa tak aman dengan keberadaannya. Lelaki itu menyadari ada orang-orang yang tak suka padanya. Tetapi ia tidak peduli.
Pada suatu tengah malam, seseorang mengetuk pintunya. Lelaki itu segera bangun dan berlari ke pintu. Ia memastikan sang pengetuk pintu adalah orang yang menjemputnya untuk datang mencatatkan sebuah kematian. Ia sempat geleng-geleng kepala, mengapa ada saja orang mati di tengah malam begini?
Ketika pintu dibuka, ia melihat beberapa lelaki menyambutnya: “Kami mohon Bapak bisa ikut kami,” kata salah seorang di antara mereka. Suara yang berat, tegas seperti memerintah.
“Siapa lagi yang mati?” Begitulah pertanyaan pertama yang selalu ia lontarkan.
“Tidak ada yang mati.”
“Lalu?”
“Pokoknya ikut saja.”
Lelaki itu tercenung sejenak, menarik napas dan berkata: “Kalau begitu tunggu sebentar. Saya ganti pakaian dulu.”
Tanpa menunggu persetujuan, lelaki itu berbalik arah, masuk ke kamar. Ia memakai baju dan celana, lalu mengambil buku catatan kematian yang kerap dibawa ke mana-mana. Ia membuka halaman terakhir buku itu dan menulis sesuatu di dalamnya, yang tak lain namanya sendiri. ***

Mustafa Ismail. Lahir di Aceh, 1971. Buku puisinya Tarian Cermin (2007), Menggambar Pengantin (2013), dan Tuhan, Kunang-kunang & 45 Kesunyian (2016). Sedangkan buku kumpulan cerpennya, Cermin (2009) dan Lelaki yang Ditelan Gerimis (Mei 2017).

Amplop

Cerpen Abdul Karim (Fajar, 25 Maret 2018)
Amplop ilustrasi Issar - Fajar
Amplop ilustrasi Issar/Fajar
HIDUPNYA kini tak kurang sepuluh meter saja. Kamar dan teras depan. Di situ saja berputar saban hari. Itu pun kakinya tak menapak di lantai lagi. Di atas kursi roda, ia menghabisi hari-harinya.
Di rumah megah berlantai dua itu, pensiunan pejabat pemerintahan ini hidup bersama seorang pembantu setia. Istrinya, telah lama wafat akibat penyakit yang dideritanya. Tujuh orang anaknya telah berkeluarga dan tak tinggal lagi bersamanya.
Memasuki masa pensiun, berbagai penyakit menggerogotinya. Mula-mula rematik, asam urat, dan mag. Menyusul strok kemudian. Gangguan ginjal tak ketinggalan. Kolestrol dan diabetes tak absen.
Penanganan medis berulangkali ia tempuh untuk sembuh. Ia bahkan pernah berobat berkali-kali di Singapura. Namun, semua itu percuma, penyakit yang dideritanya tak kunjung sembuh. Hanya bubur dan air putih yang nyaman di tubuhnya. Sedikit saja ia menyantap makanan bergaram, bergula, lehernya terasa kaku.
Awalnya ia yakin pengobatan medis dapat mengusir sakit yang dideritanya. Tapi ternyata sakitnya tak kunjung sembuh. Tabungannya terkuras habis. Bahkan harta bendanya terjual. Dua buah mobil mewahnya melayang demi kesembuhannya. Tapi sembuh yang dinanti tak kunjung tiba.
Satu-satunya harta miliknya hanyalah rumah dua lantai yang kini ditempatinya mengisi hari-harinya dengan penyakitnya. Malangnya, tak satupun anaknya rela mengurusnya. Memang sekali-sekali anaknya datang, tetapi mereka datang untuk mendesak agar sang ayah menjual rumah itu lalu hasil penjualannya dibagi rata ke seluruh anaknya.
Untung saja pensiunan keriput ini masih memiliki pembantu setia. Mariani, sudah sepuluh tahun lebih bekerja dirumah itu. Ia bahkan sudah dianggap bagian dari keluarga itu. Bersama suami dan dua orang anaknya, Mariani menempati sebuah kamar jumbo dibagian samping di rumah itu. Kesetiaan dan kesabaran Mariani merawat pensiunan tua ini tak ternilai harganya.
***
Baru saja matahari memancarkan sinarnya pagi itu, di depan pagar terdengar suara pria memanggil Mariani. Rauf, suami Mariani bergegas ke depan membuka pagar. Di depan pagar, seorang pria berusia 45 tahun menyodorkan senyum pada Rauf. “Bapak ada?” Tanya Solihin, pria di depan pagar pagi itu.
Solihin bukan tamu asing di rumah ini. Sekali sebulan Solihin ke rumah ini menemui pensiunan tua itu. “Tunggu yah, bapak masih dikamar”, kata Mariani sambil menyuguhkan secangkir teh panas untuk Solihin.
Sebenarnya Solihin tak ada urusan dengan pensiunan tua ini. Rahmat, beranak empat, putra ketiganya yang berurusan dengan Solihin. Solihin adalah pedagang pakaian dan aksesoris impor, seperti; jam tangan, baju, celana dengan sistem kredit pada semua pelanggannya. Setiap Rahmat membeli barang pada Solihin, tagihannya diserahkan pada ayahnya.
Tak lama, pensiunan tua itu menghampiri Solihin dengan kursi rodanya. “Assalamu ‘alaikum, apa kabar?” sapa pensiunan tua ini dengan suara terpatah-patah, namun terasa akrab.
Seperti biasa, sebelum membayarkan utang kredit Rahmat, pensiunan tua ini bersenda gurau terlebih dahulu dengan Solihin. Tapi, pagi itu tema senda gurau pensiunan ini sangat pribadi. “Sakit yang kuderita ini bukan cobaan, tetapi hukuman dari Tuhan,” kata mantan pejabat ini. Raut wajahnya yang keriput tak bisa menutupi kesedihan yang dialaminya.
Solihin terdiam mendengar kalimat itu. Rasa penasarannya muncul. Tapi Solihin segan. Ingin bertanya apa sesungguhnya yang terjadi, tetapi khawatir kalau pensiunan tua ini tersinggung.
“Maksud bapak?” Solihin memberanikan diri bertanya.
“Yah, penyakitku ini hukuman dari Tuhan, saya sudah tak kuasa dengan hukuman ini. Setiap kali soalat hanya satu doaku; Tuhan, cabutlah nyawaku.”
Sesekali diselingi batuk kering, pensiunan tua ini menceritakan keadaannya pada Solihin. Ia menceritakan masa jayanya, ketika masih menjabat sebagai pimpinan Dinas dua puluh tahun lamanya. Ketika itu, uang begitu mudah diraihnya. Dalam hitungan menit saja ia bisa meraih uang jutaan rupiah setiap hari kerja. Setiap berkas yang disodorkan di atas mejanya, ia tolak menandatanganinya bila tak disertai amplop pelicin. Orang-orang yang memerlukan tanda tangannya mesti menyelipkan amplop berisi uang di dalam berkas. Belum lagi setoran dari proyek ini dan itu.
“Dengan uang begitu, saya kaya. Dan uang itulah kugunakan membesarkan anak-anakku hingga mereka berkeluarga. Istriku, apalagi,” cerita pensiunan tua ini dengan rona wajah sedih.
Solihin semakin khusyuk menyimak.
“Hasilnya, lihatlah anak-anakku, tak satupun peduli keadaanku. Memang mereka sering ke sini, tetapi bukan untuk merawatku, mereka datang malah bertengkar hendak menjual rumah ini,” lanjutnya sedih.
“Amplop telah merusak kehidupanku dan keluargaku. Penyakit dan segala derita yang kualami ini adalah hukuman dari Tuhan karena amplop-amplop itu. Saya tak kuasa menanggung derita ini”, ujarnya lagi. Sesekali pensiunan tua itu meneguk air putih digelas yang disiapkan Mariani.
Amplop telah membuat ia kehilangan segalanya. Istrinya, kasih sayang anak-anaknya, dan kesehatannya. Penderitaan itu kadangkala berlanjut di pembaringannya. Ia seringkali terbangun dari tidur lantaran bermimpi melihat dirinya dijepit oleh sebuah ampol.
“Ha..ha..ha…, kamu harus masuk di dalam sini. Tubuhmu yang ringkih itu harus kujepit. Jangan takut. Bukankah kamu akrab denganku?” kata amplop itu. Bila mimpi begitu, ia kesulitan bernafas. Badannya terasa remuk, dihimpit ampol sempit. Ia menjerit kesakitan. Ia lantas takut dengan amplop. Ia benci amplop.
Suatu siang, Mariani menaruh sebuah amplop permintaan sumbangan dari panti asuhan dimeja ruang tamu. Tak lama berselang, pensiunan tua itu menuju ruang tamu dengan kursi rodanya menanti dzuhur. Ia melihat amplop panti asuhan yang diletakkan Mariani tadi. Buru-buru ia meninggalkan ruang tamu, memacu kursi rodanya dengan kedua tangannya. Dan naas melanda, kursi rodanya menabrak pinggiran lemari besar diruang tamu. Ia terjatuh. Terkapar tak berdaya seorang diri.
Mariani yang datang kemudian bermaksud membawakan semangkuk bubur, histeris menyaksikan majikannya terkapar di lantai. Buru-buru ia menelepon ambulans.

Makassar, Maret 2018

Gadis yang Membungkus Hujan

Cerpen Alif Febriyantoro (Media Indonesia, 25 Maret 2018)
Gadis yang Membungkus Hujan ilustrasi Media Indonesia
Gadis yang Membungkus Hujan ilustrasi Media Indonesia
SETIAP kali kau melewati perbatasan antara Jember-Bondowoso ini, ketika hujan baru saja berhenti, kau akan menemukan seorang gadis kecil sedang memungut sisa hujan, lalu kau akan melihat gadis itu memasukkannya ke dalam sebuah kantong plastik bening. Ketika hujan itu sudah terbungkus, hujan itu masih saja bergerak seperti hujan pada umumnya yang jatuh beramai-ramai ke bumi. Maka seperti itulah, setiap kali turun hujan, gadis itu akan setia menunggu di lereng bukit, sampai hujan berhenti. Kemudian ia akan pulang, membawa kenangan tentang hujan.
Begitulah yang sering dikatakan orang-orang kawasan perbukitan ini. Tapi kisah itu sudah 15 tahun yang lalu. Sebelum akhirnya….
***
Tapi siapakah sebenarnya gadis itu? Apakah orangtuanya tak pernah melarang? Atau gadis itu tak memiliki orangtua? Atau, apakah gadis itu hantu? Atau ia hanyalah seorang gadis kecil yang mengalami kesedihan yang begitu mendalam, sehingga ia hanya bisa melampiaskannya kepada hujan? Atau….
Kenapa tak ada yang menghampirinya? Kenapa tak ada satu orang pun yang mengikutinya setelah ia selesai membungkus hujan? Tapi ke mana ia akan pulang? Apakah tak ada satu orang pun yang tahu tentang asal usulnya?
Percayalah, sudah banyak orang yang menanyakan semua tanda tanya itu. Tapi tetap saja, tak ada yang bisa menjawab. Dan tak ada yang berbuat sesuatu. Semua orang terdiam. Barangkali kagum. Atau bisa saja mereka ketakutan. Sebab gadis itu selalu memasang wajah yang pucat. Tapi tentu saja gadis itu bukan hantu. Sebab bayangannya sendiri itu selalu mendampinginya. Menjadikannya seorang gadis kecil yang tak pernah merasa sendirian.
Anehnya, ketika menjelang senja, dan walaupun masih tampak orang-orang yang menyaksikan caranya membungkus hujan, gadis itu akan berlari ke atas bukit, cepat sekali. Orang-orang bengong ketika melihatnya melesat, kemudian menghilang entah ke mana. Ketika sebagian orang mencarinya, tak ada satu pun jejak yang ditinggalkan oleh gadis itu. Ia benar-benar menghilang bersama senja. Tapi esoknya, ketika hujan turun lagi, gadis itu sudah duduk manis pada sebuah batu lonjong yang berada di lereng bukit. Tetap dengan baju putih bercorak bunga yang sama. Tetap dengan wajah pucat yang sama.
“Boleh, Kara main dengan dia, Bu?” tanya seorang anak laki-laki kepada ibunya. Dilihat dari ukuran tubuhnya, kira-kira anak laki-laki itu seumuran dengan gadis itu, sekitar 10 atau 11 tahun.
“Untuk apa? Jangan!”
“Sepertinya dia baik, Bu.”
“Dari mana kamu tahu?”
“Itu dari matanya yang biru.”
“Ah, mana ada mata biru, jelas-jelas hitam begitu. Kamu ini mengada-ada!”
Kara hanya diam. Sebab ia tahu, bahwa semua omongan anak kecil jarang diterima oleh orang dewasa.
Dan hari-hari pun berlalu. Hujan demi hujan berlalu. Dan peristiwa yang sedikit tidak masuk akal itu, akhirnya lambat laun telah menjadi sebuah rutinitas yang selalu ditonton oleh orang banyak. Barangkali begitu saja sudah cukup. Tak perlu tahu siapa gadis itu sebenarnya, atau dari mana asalnya.
Dua bulan kemudian, cerita tentang seorang gadis yang membungkus hujan itu secepatnya tersebar ke berbagai kota. Bahkan kota-kota yang berada di luar pulau Jawa. Ceritanya tetap sama. Tak ada yang diubah, ditambah, atau dikurangi. Sehingga di perbatasan kota Jember-Bondowoso itu telah menjadi tempat wisata yang baru. Warung-warung, kios-kios kecil, pusat oleh-oleh dan cendera mata, bahkan tempat-tempat penginapan tumbuh dengan cepat di kawasan perbukitan itu. Dan begitulah, keadaan ekonomi di kawasan itu semakin berkembang dengan pesat.
“Tapi bagaimana mungkin gadis kecil itu bukan makhluk halus?” tanya seorang wisatawan kepada salah satu warga lokal.
“Kami sudah tidak memikirkan tentang hal itu, Pak. Toh, akhirnya gadis itu terlihat luar biasa.”
“Tapi bagaimana ketika ada seseorang yang diam-diam merencanakan sesuatu, semisal menculik gadis itu?”
“O… itu tak akan terjadi.”
“Gadis itu akan menghilang dengan sendirinya ketika telah selesai membungkus hujan, atau setelah selesai senja,” lanjut warga itu.
“Agak serem juga saya mendengarnya.”
“Dulu kami juga berpikir seperti itu, tapi lambat laun kami sudah terbiasa.”
“Tapi sebenarnya, untuk apa gadis itu membungkus hujan?”
Tampaknya pertanyaan itu terdengar begitu asing bagi orang-orang yang tinggal di kawasan itu. Sebab tak pernah ada yang menanyakan tentang hal itu. Atau lebih tepatnya, untuk apa gadis itu mengumpulkan hujan?
“Saya juga tidak tahu. Kami semua tidak tahu.”
“Tapi biarlah… wajahnya yang cantik, dengan caranya ia memungut sisa-sisa hujan, lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik, sudah cukup untuk menghibur kami para pengunjung.”
Namun, sebenarnya, sudah ada yang pernah menemui gadis itu. Sekali. Bertanya dan menyapa. Siapa lagi kalau bukan Kara? Anak laki-laki itu begitu penasaran sehingga pada sebuah malam yang dingin, selepas hujan yang berangin-angin, ia diam-diam pergi keluar ketika kedua orangtuanya sudah tertidur. Ia percaya bahwa gadis itu akan menemuinya. Benar saja, ketika Kara mulai menaiki bukit dengan membawa senter milik ayahnya, tiba-tiba gadis itu muncul tepat di hadapannya. Awalnya Kara kaget. Tapi sejenak Kara terdiam ketika melihat gadis itu tersenyum kepadanya.
“Namamu Kara, kan?” Kara memasang wajah heran.
“Dari mana kamu tahu namaku?”
“Aku tahu semuanya.”
“Memangnya kamu siapa?”
“Aku Elena, datang dari Bulan.”
“Ha? Bulan?”
“Ya. Bulan.”
Lagi-lagi Kara tampak begitu heran. Namun kemudian ia melenturkan cara bicaranya. “Terus kenapa kamu datang ke sini dan mengambil hujan?”
Elena tiba-tiba menarik tangan Kara. “Ayo ikut aku,” pintanya tiba-tiba. Mereka berlari-lari kecil, menyusuri jalan setapak yang sedikit licin. Tak lama kemudian, mereka sudah tiba di sebuah gua yang samar dan jalan masuknya dipenuhi dengan berbagai macam tumbuhan. Mungkin orang-orang tak akan pernah ada yang tahu tentang keberadaan gua itu. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” tanya Kara lagi ketika mereka mulai memasuki gua tersebut.
Untuk ketiga kalinya Kara terheran-heran, karena di dalam gua tersebut, tampak hujan berjatuhan memenuhi seluruh gua. Dan di setiap sudut-sudutnya, hujan itu telah menghasilkan pelangi yang mungkin tampak lebih indah daripada aslinya, sebab pelangi itu terpampang jelas tepat di hadapannya. Sungguh begitu dekat.
“Semua ini akan aku bawa ke bulan,” ucap Elena. “Tapi jangan bilang siapa-siapa. Ini rahasia kita berdua.”
“Boleh aku menyentuh salah satu pelangi itu?”
“Kamu tidak akan bisa menyentuhnya.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Karena kamu manusia.” Kemudian Elena tertawa ringan. Tapi Kara seperti ingin menanyakan sesuatu.
“Kamu… kamu kapan kembali ke bulan?” Entah kenapa Kara menanyakan sebuah pertanyaan yang mengandung ketakutan akan perpisahan. Padahal ia masih anak-anak.
“Sebentar lagi, Kara.”
Sejenak Kara terdiam dengan raut wajah yang lesu.
“Apakah aku akan bertemu lagi dnganmu, Elena?”
Elena pelankan cara bicaranya, seakan-akan ia ingin memberitahukan kepada Kara bahwa sesuatu yang akan diucapkan selanjutnya itu begitu penting. “Jika suatu saat kamu lihat cahaya bulan mulai meredup, itu berarti aku akan kembali ke sini untuk mengambil hujan dan pelangi.”
“Bagus kalau begitu, aku harap bulan tak akan pernah mengeluarkan cahayanya lagi. Hehe….”
Elena juga tertawa. Sejenak mereka berdua tampak begitu akrab. Karena mungkin tingkat keakraban dan kepercayaan yang dimiliki anak-anak memang lebih tinggi daripada orang dewasa. Begitulah kenyataannya.
Tiba-tiba suara Elena menggema memenuhi gua itu. “Kara, aku haru….”
Dan akhirnya Elena benar-benar pergi, hilang begitu saja bersama hujan dan pelangi yang sejak tadi menemani mereka berdua. Dan Kara, tiba-tia saja ia menemukan dirinya terbaring di kasurnya yang empuk dengan menggenggam sebungkus hujan dalam kantong plastik. Tentu saja itu pemberian Elena.
“Semoga kita bisa bertemu kembali, Elena….” Akhirnya Kara pun terlelap. Matanya tertutup rapat-rapat. Dan bibirnya tampak sedikit tersenyum.
Tapi, selain kisah Kara yang bahagia karena telah mendapat sebuah kepastian bahwa suatu saat ia akan bertemu kembali dengan Elena, ada kisah lain yang justru sangat menyedihkan untuk kawasan perbukitan itu. Sejak hari itu, hari ketika gadis kecil itu menghilang, semua keadaan berubah drastis. Tak ada lagi wisata. Tak ada lagi pengunjung. Pendapatan orang-orang menurun. Hinaan demi hinaan dari luar terus bermunculan. Ada yang bilang bahwa gadis itu hanya rekaan belaka. Ada yang bilang semua orang terkena halusinasi yang sangat hebat. Dan pada akhirnya, kawasan perbukitan itu tampak sepi dan lebih mirip seperti kawasan yang telah mati.
***
Hingga 15 tahun kemudian, tepat malam ini, atau malam-malam selanjutnya, barangkali kawasan perbukitan itu akan kembali ramai oleh pengunjung. Sebab pada setiap malam, akan selalu ada seorang pemuda yang melakukan ritual untuk melemahkan kekuatan bulan, untuk meredupkan cahayanya. Agar kekasihnya kembali ke bumi, untuk membungkus hujan lagi. (*)

Jember, 2018
Alif Febriyantoro, kelahiran Situbondo, 23 Februari 1996. Menulis cerpen dan puisi. Kini berdomisili sementara di Jember, sebagai mahasiswa. 60 Detik sebelum Ajal Bergerak (Karyapedia Publisher, 2017) ialah buku kumpulan cerpen pertamanya.

Minggu, 25 Maret 2018

Peri Ayu Lembah Wilis


Cerpen Bre Redana (Kompas, 25 Maret 2018)
Peri Ayu Lembah Wilis ilustrasi Yudi Yudoyoko - Kompas.jpg
Peri Ayu Lembah Wilis ilustrasi Yudi Yudoyoko/Kompas
35 tahun empat bulan dua hari tiba saatnya Peri Ayu Lembah Wilis menagih janji kepada Lawrence Pasa—begitu ia menamakan dirinya. Sebelumnya, ia menamakan diri Lor Ing Pasar yang berarti “sebelah utara pasar”, sesuai tempat tinggalnya di masa kecil. Pada perkembangannya, ia internasionalisasikan nama tersebut mengikuti kaidah bunyi, atau dalam ilmu bahasa disebut diftong: Lor Ing Pasar menjadi Lawrence Pasa. Berkali-kali ia mengubah nama. Banyak orang tidak tahu nama dia sebenarnya, termasuk ia sendiri.
“Bangun,” kata Peri Ayu.
Ia perhatikan lelaki itu di tempat tidur. Tidurnya selalu begitu. Tampak nyenyak justru di pagi hari. Tangan bersedekap di dada. Kaki lurus. Seperti posisi orang mati. Dia tak memperdengarkan suara apa pun seperti misalnya mendengkur. Diam, lurus, napas teratur.
“Bangun, saatnya kamu kembali padaku,” Peri Ayu mengulang kata-kata.
Perlahan Lawrence Pasa membuka mata. Begitu mata terbuka, ia tergeragap kaget. Dia, benarkah ini dia, Lawrence terkejut luar biasa. Ia datang, dia tak memercayai apa yang tengah dilihatnya.
“Ya, ini aku,” Peri Ayu tersenyum.
Ketika dalam hitungannya persis 35 tahun tak ada kejadian apa-apa, Lawrence mengira perjanjiannya dengan Peri Ayu dulu memang sebenarnya tak bakal menuai akibat apa-apa. Mengikat perjanjian dengan peri hanya omong kosong. Ia sempat merasa lega. Ternyata tak ada konsekuensi atau implikasi apa pun.
Dugaannya keliru. Kini, tiba-tiba, 35 tahun lebih empat bulan dan dua hari, dia muncul di kamar di pinggir ranjangnya pada pagi hari. Lawrence Pasa sulit percaya pada apa yang tengah dialaminya. Mudah-mudahan ini cuma mimpi. Ia mengucak-ngucak mata. Tidak, ini bukan mimpi. Ini nyata.
Semua manusia yang melakukan perjanjian dengan peri banyak yang salah kira. Dulu Lawrence meminta waktu 35 tahun untuk lepas darinya. Dalam hitungannya, kalau usia dia saat itu ditambah 35 tahun berarti ia sudah tua, atau bisa saja sudah mati. Dengan demikian, ia tak perlu pusing dengan urusan membayar utang janji. Menurut pendapatnya, 35 tahun juga bukan waktu yang pendek. Siapa tahu peri lupa pada saatnya tiba nanti.
Yang tidak diketahui banyak manusia adalah perbedaan pengertian mengenai waktu antara dunia manusia dan dunia peri. Pada dunia manusia waktu bersifat linear, ada awal ada akhir. Di antara kedua titik itu terdapat kronologi.
Pada dunia peri, sebagai zat yang sifatnya immortal, dengan tidak adanya kematian atau akhir, dengan sendirinya awal juga tidak ada. Jelas sangat sulit manusia memahami ini. Karena tak ada awal tak ada akhir, waktu ya berhenti di situ saja. Yang dalam dunia manusia seperti pada kasus Lawrence Pasa adalah 35 tahun, pada Peri Ayu Lembah Wilis itu hanyalah satu kerjapan mata.
Makanya dulu Peri Ayu mengiyakan saja ketika Lawrence meminta waktu 35 tahun berpisah darinya, tak ingin diganggu, ingin kembali sebagai manusia, menginjak bumi, tak melayang-layang dalam kehidupan bersama peri. Ia memberikan waktu bukan karena kebaikan hati, melainkan memang itu tak ada arti apa-apa baginya. Dalam sekejap, lelaki ini akan berada lagi di pangkuannya.
***
Perjumpaan mereka dulu terjadi di Lembah Wilis. Pada Lembah Wilis terdapat air terjun cantik, di bawahnya telaga berair bening, sebelum air mengalir ke bawah mengarungi lembah menjadi sungai dan anak-anak sungai dengan air berkilatan menjadi sungai mutiara. Sebagai peri kahyangan, Peri Ayu bersama beberapa makhluk sejenisnya turun untuk mandi di telaga.
Cerita ini niscaya sudah didengar banyak orang. Ketika para peri di telaga, mengendap-endap perjaka tukang intip perempuan mandi. Dia adalah Lawrence Pasa, yang waktu itu bernama Lor Ing Pasar.
Ia perhatikan peri paling cantik dan ia sembunyikan pakaiannya. Si peri cantik tak bisa lagi pulang ke kahyangan. Dia ditinggal teman-teman sejenisnya.
Dengan senyum-senyum, Lor Ing Pasar muncul. Ia menawarkan pakaian ganti dengan syarat sang peri bersedia jadi istrinya. Apa boleh buat. Sang peri tidak punya banyak pilihan. Apalagi, pemuda ini meski kelihatan kurang ajar, tampaknya lumayan baik hati. Agak bego, sang peri membatin.
Lor Ing Pasar tak bisa memercayai apa yang dialaminya. Seorang peri, dalam penampakan perempuan paling cantik tanpa ada tandingannya sejagat raya, bersedia menjadi kekasihnya. Yang dulu hanya berwujud imajinasi, kini menjadi hal yang nyata. Dia, dengan perempuan ini: Peri Ayu Lembah Wilis.
Persetubuhan tak terhindarkan. Begitu persetubuhan terjadi, sekonyong-konyong Lor Ing Pasar merasa terjadi perubahan pada dirinya. Ia tidak lagi menginjak bumi.
Pertama-tama, ia tak memercayai keajaiban itu. Dia perhatikan dan rasa-rasakan tubuhnya. Benar, telapak kakinya ternyata mengambang beberapa sentimeter di atas permukaan tanah.
Hah, dia kaget. Mungkin memang begitu rasanya orang sehabis bersetubuh. Dia saja yang selama ini kurang informasi, kurang tanya sana-sini kepada orang yang telah berpengalaman. Ia perhatikan dan rasa-rasakan lagi tubuhnya. Ini aneh. Ia benar-benar mengambang.
Dia pandang Peri Ayu di sebelahnya. Peri Ayu tersenyum. Tenggelam Lor Ing Pasar dalam senyum dan tatapan Peri Ayu. Ia tak peduli lagi dirinya menginjak tanah atau tidak. Asmara bersama sang peri membuat dia lupa segala-galanya, termasuk terhadap hukum gravitasi alam semesta.
***
Problemnya, dikarenakan pengertian waktu seperti diuraikan tadi, lama-lama bosan juga Lor Ing Pasar dengan situasi yang dijalaninya. Meski peri itu cantiknya tak terkira, menang rupo menang dedeg orang Jawa bilang (menang di wajah menang di sosok), Lor Ing Pasar tak bisa mengabaikan apalagi menyingkirkan rasa bosannya.
Peri Ayu bukannya tak menangkap gejala tersebut. Ia paham sepaham-pahamnya. Pengertian waktu bagi manusia berbeda dengan makhluk sepertinya. Waktu bisa bermakna ujian kesetiaan bagi manusia, tetapi tidak bagi makhluk seperti dirinya. Seperti disebut tadi, yang 35 tahun bagi manusia adalah sekerjapan mata bagi peri.
“Aku ingin menginjak bumiku lagi,” kata Lor Ing Pasar.
“Silakan,” jawab Peri.
“Bukan berarti aku tak cinta lagi padamu,” Lor Ing Pasar mencoba menempatkan diri sebagai manusia bermartabat.
“Aku tahu.”
Dia terharu mendapati pengertian Peri Ayu.
“Aku adalah makhluk bumi. Biarkan aku menginjak bumiku, mengolah bumiku, bergaul dengan sesama manusia yang bergembira mengolah tanah, merayakan kerja, berada di tengah mereka. Aku akan tetap bersamamu, kembali padamu. Aku hanya meminta waktu 35 tahun,” kata Lor Ing Pasar mengucapkan janjinya sendiri tanpa ada yang meminta.
Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap. Seketika dengan terucapnya janji, jleg: kaki dia kembali menapak bumi. Peri Ayu hilang dari hadapannya. Lor Ing Pasar celingukan.
Di mana dia, tanyanya dalam hati. Semudah itu aku bisa kembali pada diriku, pikirnya. Kalau tahu sebegini mudah, kenapa tak kulakukan dulu-dulu, tanpa perlu menanggung keresahan didera perasaan bosan… ia berkata dalam hati.
“Busyet dah…,” kata Lor Ing Pasar senyum-senyum, merasa seperti baru bangun dari tidur panjang.
Lor Ing Pasar bukan hanya lega, tapi gembira luar biasa. Dia berlari menuruni lembah. Di punggungnya serasa tumbuh sayap. Cakrawala membentang. Langit warna lembayung, kadang agak kemerahan, kesana dia menuju.
Akan aku jelajahi desa demi desa, kota demi kota, samudra demi samudra, benua demi benua. Dunia terasa baru. Untuk menyesuaikan dunia baru yang ditemukannya kembali, ia ganti namanya jadi Lawrence Pasa.
Di balik langit warna lembayung, ia menemukan lapisan-lapisan langit yang lain, termasuk bintang-bintang, namanya semua perempuan. Lama-lama, ia pun lupa akan Peri Ayu.
***
“Sudah 35 tahun bahkan lebih empat bulan dua hari,” kata Peri Ayu yang duduk di pinggir ranjang. Suaranya datar tanpa emosi. Emosi hanya dimiliki manusia, bukan milik dunia peri. “Masih ingat, kan, dengan janji yang dulu…,” lanjut Peri Ayu. Tahi lalat di atas bibir.
“Ke mana saja kamu?” Lawrence Pasa mengeluarkan suara untuk memecahkan sunyinya sendiri.
“Aku selalu di sini, melihat dan mengetahui apa pun yang kamu perbuat,” jawab Peri Ayu.
Dia yang tidak ditaklukkan waktu, pikir Lawrence. Belum paham juga dia, bahwa ada pengertian waktu yang berbeda antara dunia manusia dan dunia peri. Bagi Lawrence, kedatangan Peri Ayu pagi ini adalah pemenuhan janji kesetiaan. Tak ada yang berubah pada Peri Ayu. Selalu ayu, seayu-ayunya, melampaui metafora dan hiperbola.
Bangkit hasrat bercinta Lawrence Pasa. Peri Ayu melayaninya. Pagi yang indah.
Seusai itu, ketika turun dari tempat tidur, dia mendapati telapak kakinya tak bisa ia selusupkan sandal jepit merek Havaianas yang baru saja ia beli kemarin. Sadarlah dia pada apa yang pernah dialaminya: ia menjadi manusia yang tak menginjak bumi, mengambang beberapa sentimeter di atas permukaan tanah.
Dia pernah mendengar cerita dari dunia pewayangan mengenai ksatria Pandawa bernama Yudhistira yang keretanya tidak menginjak tanah, mengambang beberapa sentimeter di atas tanah. Itu karena Yudhistira tak pernah berbohong. Tatkala kata bohong ia ucapkan, konon roda kereta seketika mengentak bumi. Dukk.
Ingat cerita itu, Lawrence mendapat ide. Siapa tahu dengan berkata bohong, aku bisa menginjak bumi. Dia mencobanya.
“Aku bukan Lawrence Pasa. Aku Lawrence Tjandra,” kata Lawrence.
“Apa?” Peri Ayu menyahut.
“Aku bukan Lawrence Pasa,” Lawrence mengulangi kata-katanya, siapa tahu berhasil.
Ternyata gagal. Kakinya tetap saja tidak menjejak bumi seperti kereta Yudhistira. Ia tetap mengambang di atas permukaan tanah.
Peri Ayu tersenyum.
“Bohong atau tidak bohong tidak akan mengubah keadaanmu,” ucap Peri Ayu. “Sekarang ini hanya semata-mata waktumu membayar janji padaku.”
Sadarlah Lawrence Pasa, bahwa ia tak akan sanggup lagi menginjak bumi. Sekarang dan kelihatannya selamanya. Ia pasrah.

Bre Redana, wartawan senior kelahiran Salatiga. Akhir tahun lalu meluncurkan novel Koran Kami, with Lucy in The Sky, bulan April 2018 mendatang ia akan meluncurkan buku terbarunya, Karmacinta: Biografi Sanjoto Senyatanya. Tahun 1990-1991 Bre mengikuti kuliah kajian media di Darlington College of Technology, Inggris.
Yudi Yudoyoko, perupa kelahiran Jakarta dan lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Jurusan Seni Lukis Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1989. Pernah jadi editor fashion Majalah Mode dan Jakarta-Jakarta. Yudi juga ilustrator majalah S/N New World Poetics, Texas, Amerika Serikat. Sejak 2003 menetap di Montevideo, Uruguay.

Orang Gila

Cerpen Imam Wahyudi (Republika, 25 Maret 2018)
Orang Gila ilustrasi Rendra Purnama - Republika.jpg
Orang Gila ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Kemunculan banyak orang gila di Desa Gunung Kelir membuat Gus Sujud bertanya-tanya. Apakah hal ini datang dengan sendirinya atau memang ada yang mengaturnya dengan tujuan-tujuan tertentu. Tetapi yang jelas, kemunculan mereka mulai membuat resah warga dan suasana desa menjadi tidak nyaman.
Ingatan tokoh muda itu surut ke belakang mengenang masa kecilnya di daerah pesisir dahulu. Kala itu, ia mengenal sosok Mbah Bono, orang gila yang dipercaya oleh banyak orang mempunyai ilmu linuwih. Konon, ia menjadi gila karena tidak sempurna menuntut ilmu tinggi. Banyak orang menafsirkan segala tingkah laku dan omongan yang keluar dari mulutnya, sekalipun itu tak jelas maksudnya. Mulai dari tanda-tanda peristiwa alam yang akan terjadi, sampai nomor judi buntut yang marak saat itu.
Gus Sujud masih ingat betul, ia dan kawan-kawan kecilnya suka mempermainkan Mbah Bono sewaktu pulang mengaji. Mbah Bono sering mangkal di sebuah ruko kosong dekat masjid setelah lelah berjalan mengitari kampung dengan langkah kakinya yang diseret sehingga menimbulkan bunyi khas. Semua orang sudah bisa menduga siapa yang sedang berjalan walaupun belum terlihat orangnya, bila mendengar langkah kaki seperti itu.
Ketika orang tua tersebut terlelap, anak-anak menimpukinya dengan kerikil. Ada pula yang menyodok-nyodoknya dengan ranting kering. Mbah Bono yang kaget dan terbangun langsung uring-uringan dan mengeluarkan kata-kata tak karuan sembari mengejar anak-anak yang lari terbirit-birit. Ada yang lolos dari kejaran Mbah Bono, tetapi ada juga yang terkejar dan kena gebuk tongkatnya. Kalau sudah begitu, anak itu hanya bisa menangis keras dan berujung keributan orang tua mereka dengan Mbah Bono.
Dan Gus Sujud, walaupun masih kecil selalu niteni, setelah Mbah Bono kena damprat para orang tua, petaka-petaka kecil senantiasa melingkupi daerah pesisir itu. Entah itu terjadi gelombang tinggi di lautan, gempa, ataupun juga puting beliung yang tiba-tiba datang.
Bila hal itu ia tanyakan kepada Kiai Jahro, bapaknya yang merupakan tokoh agama di daerah itu, lelaki paruh baya yang tak pernah lepas dari kepulan asap rokok tembakau linting dari bibirnya itu hanya terkekeh dan menepuk pundaknya, “Kelak waktu akan memberitahumu sendiri, Sujud.”
Tak puas dengan jawaban bapaknya, Gus Sujud bertanya pula kepada ibunya. Ibunya pun hanya tersenyum dan menasihatinya, “Mbah Bono itu sama seperti kita, manusia ciptaan Tuhan juga, bagaimana pun itu keadaannya. Kamu tidak boleh mempermainkannya, bahkan harus menghormatinya karena ia jauh lebih tua darimu. Bisa kualat nanti kamu kalau mengganggunya!”
Gus Sujud sebenarnya tak puas dengan jawaban-jawaban itu. Dan karena nasihat ibunya tersebut, Gus Sujud perlahan-lahan mulai mendekati Mbah Bono, berusaha menunjukkan kepadanya sebagai teman yang baik.
Mula-mula ia tak acuh. Tanpa diduga, kadang Mbah Bono malah menyerang Gus Sujud. Tetapi, lama kelamaan, akhirnya ia luluh juga. Mbah Bono mulai bisa diajak bercanda walau cuma sebatas tertawa-tawa, entah apa yang ia tertawakan sebenarnya. Melihat Mbah Bono gemar merokok dari tegesan yang ia ambil di jalanan, sesekali Gus Sujud membawakan tembakau linting milik ayahnya. Mbah Bono suka sekali barang tersebut. Mereka kemudian merokok sambil tertawa, melepaskan bersama-sama asap rokok itu dengan keras ke udara. Itulah awal mula Gus Sujud merokok tanpa diketahui oleh orang tuanya.
Hingga suatu ketika, Mbah Bono hilang entah ke mana, tak ada orang yang tahu. Gus Sujud pun kebingungan mencarinya, tanpa gelagat apa pun, ia pergi begitu saja. Gus Sujud berusaha menerka, apa yang akan terjadi kemudian.
Namun, tetap saja ia tak mampu membaca tanda-tanda hilangnya Mbah Bono, sampai kemudian gelombang besar meluluhlantakkan desa pesisir itu. Banyak jiwa yang hilang dan yang selamat pun tercerai-berai ke berbagai penjuru tempat. Untung bagi Gus Sujud, dapat selamat dan berkumpul dengan orang tua serta beberapa gelintir warga desa lainnya. Bersama-sama, mereka membuka permukiman baru nun jauh di utara, di sebuah lereng pegunungan yang hijau dan asri, hingga terkenal dengan nama Desa Gunung Kelir sekarang ini.
Cobaan yang begitu berat, membuat warga asal pesisir itu seperti tersadar atas tingkah laku mereka yang gemar merusak alam dan lama terlupa dari sang pencipta. Mereka membaur dengan penduduk asli, kembali religius dan mengolah alam dengan penuh rasa syukur. Di bawah bimbingan Kiai Jahro, yang kini telah tiada, desa itu berkembang menjadi daerah yang penuh dengan kedamaian dan kemakmuran.
Sampai kemunculan orang-orang gila itu membuat risau hati Gus Sujud. Setiap malam tak henti ia berdoa dan meminta petunjuk kepada Yang Mahakuasa, agar desanya dijauhkan dari segala marabahaya.
“Gus, orang-orang gila itu sudah keterlaluan. Mereka mulai menjamah rumah ibadah dan mendekati para pemuka agama.”
Suatu hari beberapa muridnya beserta warga desa melapor kepadanya. “Kita harus mengusir mereka, entah ke mana. Yang penting desa kita ini terbebas dari orang-orang kotor itu!”
“Tunggu dulu. Jangan gegabah bertindak sampai kita tahu ada apa dengan semua ini. Mereka juga makhluk Tuhan, perlakukan dengan baik dan selayaknya!” cegah Gus Sujud kepada orang-orang yang mulai terbakar emosi.
Untuk sementara waktu, keadaan masih dapat dikendalikan. Hingga malam itu, Gus Sujud mendapat petunjuk dari alam bawah sadarnya. Ia seperti bertemu kembali dengan sosok Mbah Bono, tapi kini sungguh lain, Mbah Bono memimpin shalat berjamaah di masjid utama desa. Di belakangnya, ia mengenal sosok-sosok yang menjadi makmumnya.
Ya, mereka adalah orang-orang gila yang banyak berkeliaran di jalanan desa. Di luar masjid pun, semua sudah bersalin rupa. Situasi dan keadaan dikendalikan oleh orang-orang yang dianggap tak waras itu. Lalu di manakah warga dan murid-muridnya?
“Hehe, kamu mencari warga dan murid-muridmu, Gus?” tiba-tiba Mbah Bono menghampirinya setelah selesai shalat. Gus Sujud terdiam tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Mereka sekarang terusir ke jalanan. Kami menjaga desa ini agar terhindar dari segala sesuatu yang tak diinginkan. Wargamu telah lupa dengan masa lalu, kembali ke zaman kegelapan. Mereka mengolah alam dengan rakus hingga bukit-bukit itu menjadi gundul dan melupakan tempat ibadah, padahal mulut mereka setiap waktu berkata tentang kebaikan dan kesucian….” kata-kata Mbah Bono berdengung di telinga Gus Sujud, hingga ia kembali ke alam sadar.
Namun, semuanya terlambat. Di luar, warga desa beramai-ramai mengusir, bahkan ada yang sampai membunuh orang-orang gila tersebut. Mereka tak sadar, bahaya mengancam dari atas. Tanah perbukitan itu mulai longsor ke bawah, meluncur deras seperti bah segera menerjang Desa Gunung Kelir.
Gus Sujud menangis. Untuk kedua kalinya ia melihat kuasa Tuhan tanpa bisa berbuat apa-apa.

Catatan istilah Bahasa Jawa:
1) niteni: memperhatikan, mengamati
2) tegesan: puntung rokok

(PGP 06, 19 Maret 2018)
Imam Wahyudi Lahir dan menetap di Kulon Progo, Yogyakarta. Cerpen-cerpennya dipublikasikan di beberapa media cetak, seperti Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Lampung Post, Jurnal Medan, Jurnal Nasional dan Magelang Ekspres. Buku antologi yang memuat karyanya, antara lain Kumcer Joglo 7 (Mengeja September), Tiga Peluru (Kumpulan Cerpen Pilihan Minggu Pagi), Kota Tanpa Wajah (Antologi Cerpen Bengkel Sastra Surakarta), Tepung (Antologi Cerkak Dinas Kebudayaan DIY).

Jiwa-jiwa Laut

Cerpen Livia Hilda (Bali Post, 18 Maret 2018)
Jiwa-jiwa Laut ilustrasi Citra Sasmitha - Bali Post.jpg
Jiwa-jiwa Laut ilustrasi Citra Sasmitha/Bali Post
Ibu duduk menghadap laut di depan rumah seperti biasa. Di dekat kakinya terdapat canang berisi bunga warna-warni dan dua batang dupa tertancap di pasir. Senja sore itu terlihat berbeda. Tak ada langit kemerahan, tak ada burung camar yang terbang di atas permukaan laut, bahkan matahari juga tak terlihat di langit. Gumpalan awan gelap menghiasi langit sore itu. Ombak liar dan besar mendekat, lalu dengan cepat menggulung canang dan dupa di dekat kaki ibu. Kaki ibu basah. Pasir hitam yang terbawa ombak menempel di kakinya. Namun ibu tetap duduk dengan tenang sambil memejamkan mata, seolah ia menikmati senja yang tak ramah sore itu.
“Ibu kok masih di sini? Anginnya kencang, Bu. Nanti masuk angin lho!” kataku dari balik punggung ibu. Matanya masih terpejam. Roknya basah. Ibu gemetar kedinginan. Kudekati ibu, lalu kutarik tangannya. Kuajak Ibu masuk ke rumah. Ibu malah menatapku tajam dan menarik kembali tangannya.
“Masuk yuk, Bu? Tuh lihat, rok ibu sudah basah!” kataku lagi.
“Ibu masih menunggu seseorang,” kata ibu akhirnya.
“Kakek, ya? Kan nenek bilang kakek sudah diambil laut, Bu?”
Dulu setiap malam kakek selalu pergi ke tengah laut. Saat senja, kakek mendorong sampannya ke lautan, menaiki sampan itu, dan kembali di tengah malam dengan sampan penuh ikan berbagai ukuran, udang, cumi, kepiting, sampai gurita. Namun pada suatu malam laut di depan rumahku menjadi liar. Ombak hampir masuk ke rumah. Angin keras merubuhkan pepohonan di belakang rumah dan membawa lari atap rumah warga. Pantai di depan rumahku jadi berantakan. Sampah berserakan di bibir pantai. Ranting pohon, dedaunan, atap rumah, dan sampan nelayan yang rusak akibat diterjang ombak juga tergeletak di mana-mana. Tetanggaku menangis karena rumah mereka rusak. Keluargaku juga menangis. Tetapi bukan menangisi rumah yang rusak, melainkan karena kakek tak kembali.
“Ombaknya makin besar! Ayo masuk, Bu!” Aku menarik tangan ibu lagi. Tapi ibu malah balas menarik tanganku sampai aku jatuh terduduk. “Kau tahu apa yang membuat ibu betah duduk di sini walau ombaknya besar?” tanya ibu.
Aku diam. Aku tak tahu.
“Ombak ini adalah jiwa-jiwa manusia yang sudah meninggal, Jet,” kata ibu seraya menyentuh ombak yang berdatangan ke kakinya.
“Tubuh orang yang sudah meninggal akan dikubur atau dikremasi, lalu jiwanya akan dibawa malaikat ke laut dan menjadi bagian laut. Kau tahu? Laut sebenarnya bukan berisi air. Setiap tetes air di laut adalah jiwa orang-orang yang sudah meninggal. Kita ditipu laut. Ia menutupi tubuhnya dengan jubah agar terlihat seperti air. Sengaja begitu, agar kita tak sedih ketika melihat jiwa orang yang kita sayang.
“Jiwa yang tinggal di tubuh laut berwarna putih seperti manekin di toko baju. Kulitnya tak berwarna coklat, kuning langsat, atau hitam seperti saat jiwa itu masih hidup di bumi. Malaikat kematian mengecat mereka menjadi putih bersih agar mereka lupa dari ras, etnis, atau golongan mana mereka berasal. Mereka menjadi seragam di sana.” Aku terperangah. Ombak datang silih berganti membasahi kakiku. Aku jadi membayangkan jiwa-jiwa laut itu membelai kakiku.
“Ombak besar itu adalah bentuk dari mereka yang berlomba mencapai pesisir, Jet. Mereka semua merindukan pasir karena pasir adalah batas antara laut, tempat mereka hidup, dan daratan, tempat manusia tinggal. Mereka berharap bisa bertemu dengan manusia yang mereka sayang di pasir itu. Jiwa-jiwa itu bergerak seperti perenang. Tangan kanannya dinaikkan ke atas, diturunkan, lalu ia memegang kepala jiwa yang ada di depannya dan mendorong badannya ke depan dengan kepala itu sebagai tumpuan. Begitu juga dengan tangan kirinya. Kedua tangan itu bergerak bergantian sampai ia berhasil mencapai pasir. Tetapi ketika jiwa itu sudah mencapai pasir, ia hanya bisa mengelus kaki orang yang ia rindukan untuk beberapa detik. Lalu ia akan kembali ke tengah laut dengan cepat karena kakinya ditarik jiwa-jiwa lain.
“Ibu mempersembahkan canang berisi bunga warna-warni untuk jiwa-jiwa itu, Jet. Bunga ini akan menjadi santapan mereka. Sedangkan dua batang dupa yang menyala ini sebagai petunjuk keberadaan ibu. Ibu akan menyebutkan nama jiwa yang ingin ibu panggil sebelum dupanya ibu tancapkan ke pasir. Dari tengah laut itu, jiwa yang ibu panggil akan melihat asap dupa dan mereka akan mengikuti asap itu untuk menuju ibu.”
“Trus kenapa dupanya ada dua batang, Bu? Bukannya satu saja cukup? Nenek biasanya ngajarin Ajet pakai satu dupa saja tiap sembahyang, Bu.”
“Ibu mengirim sinyal untuk dua jiwa, Jet.”
Aku tercengang. Ternyata tak hanya kakek yang ibu tunggu kehadirannya tiap senja. Siapa lagi yang ibu tunggu? Tibatiba ingatanku melompat pada sebuah peristiwa yang aku simpan sendiri dalam kepala.
Malam setelah kakek menghilang, kulihat ibu sendirian di teras rumah dengan sekantong kresek hitam. Di bawah pohon kelapa, diam-diam ibu mengeluarkan isi dari kantong itu. Betapa terkejutnya aku karena yang ibu keluarkan adalah tulang belulang dan tengkorak manusia. Entah tulang siapa itu aku tak tahu. Ibu menggali tanah dan menguburkan tulang-tulang itu di sana. Ibu lalu melihat keadaan sekitar dan berjingkat memasuki rumah. Mungkinkah jiwa orang itu yang ibu tunggu?
“Yang pertama pasti kakek. Yang kedua siapa, Bu?”
“Pembuat cerita ini.”
Bulan menggantung di langit. Di luar ombak mengganas. Deburan ombak terdengar sangat dekat. Suara angin berlarian di atap rumah seperti kucing berkejaran, suara gesekan dedaunan dari pepohonan di belakang rumah, suara dahan patah dan terbanting ke tanah, suara sampan menabrak tiang rumah, dan suara deburan ombak bercampur dalam telingaku. Ingatanku jadi terseret ke malam kakek menghilang. Aku tak bisa tidur. Aku takut keadaan laut akan lebih ganas dari malam itu. Pikiranku juga masih melayang pada cerita ibu tentang jiwa-jiwa laut, orang yang membuat cerita itu, juga kuburan tulang belulang di teras rumahku. Aku sangat penasaran. Kupaksa ibu bercerita lebih banyak, tapi ibu lebih memilih merahasiakannya.
Tengah malam kubangunkan nenek untuk menanyakan rahasia itu. Nenek pasti tahu. Nenek menggeliat, ia tak mau bangun. Ia malah memunggungiku.
“Nek, nenek tau cerita jiwa-jiwa laut?” tanyaku langsung. Kulihat mata nenek terbuka. Namun mata itu terpejam lagi. Nenek merapatkan selimutnya.
“Nek, ini penting! Dulu aku lihat ibu mengubur tulang dan tengkorak di teras rumah. Tadi sore ibu juga cerita tentang jiwa-jiwa laut. Ibu juga bilang kalau ibu menunggu seseorang selain kakek.” Mata nenek terbuka lagi. Ia langsung bangun dan duduk menghadapku.
“Tolong kau rahasiakan ini dari ayahmu. Kalau ayah tahu, ayah bisa marah.” Aku bingung. Kenapa harus dirahasiakan dari ayah? Tapi akhirnya aku mengangguk, menurut.
“Tulang yang dikubur di teras rumah dan orang yang ditunggu ibu tiap senja itu Teja,” ucap nenek. “Teja itu pacar ibumu saat SMA. Dia juga yang membuat cerita jiwa-jiwa laut. Tepat sebelum ia mati, ia berjanji pada ibumu, kalau ia akan datang sebagai jiwa laut saat senja. Itulah kenapa ibumu suka duduk sendiri di tepi pantai tiap senja. Lalu saat kakek menghilang, Ibumu sangat sedih. Ia sudah kehilangan dua lelaki yang ia sayang, Teja dan ayahnya. Ia jadi tak bisa berpikir waras. Ia pun memindahkan kubur Teja ke teras rumah agar ia bisa selalu merasa dekat dengannya. Oh ya, asal kau tahu, ibumu ngotot memberimu nama Ajet karena itu kebalikan dari nama Teja. Ayahmu tidak tahu ini. Kau juga sangat mirip dengan Teja. Caramu berjalan, tertawa, sampai makanan kesukaanmu betul-betul seperti Teja! Tak heran banyak yang berpikir kalau kau ini reinkarnasi dari Teja. Sekarang ayo tidur! Sudah malam!”
Teriakan ibu memenuhi rumah. Aku terbangun dari tidurku. Ibu berteriak lagi. Ia meraung, menangis. Lekas aku keluar untuk melihat apa yang terjadi. Kudapati ibu tersungkur di samping meja makan dan ayah berdiri di depannya dengan wajah geram.
“Dasar kau perempuan tak tahu diri! Rupanya kau mengubur tulang Teja di teras rumah kita, ya? Pantas saja dulu kubur Teja tiba-tiba kosong! Ternyata kau malingnya! Kalau tadi malam tak ada badai yang merusak kubur itu, mungkin sampai tua aku tak akan tahu kau menyimpan mayat Teja!” kata ayah geram. “Kau masih mencintai Teja kan? Pantas saja tiap senja kau selalu duduk di pinggir pantai. Pasti kau menunggu orang itu kan?”
“Tidak, Mas! Sungguh!”
“Aku tak percaya omonganmu, Nari! Kalau kau masih mencintai Teja, biar kubantu kau menyusul Teja!” Ayah mengayunkan tangannya hendak memukul ibu dengan tongkat yang ia genggam. Sontak aku berlari ke arah ibu dan menjadikan badanku sebagai tamengnya.
Aku melihat diriku terkapar di pelukan ibu. Kepalaku berdarah. Ibu menangis. Tongkat di tangan ayah terjatuh.
Di sampingku muncul seorang berjubah hitam. Ia menggandeng tanganku dan mengajakku menyelami lautan seperti ikan duyung. Aku dibawa masuk ke sebuah kerang raksasa. Ia mengambil kuas dan sekaleng cat putih, lalu mengoleskan cat itu ke seluruh tubuh dan setiap helai rambutku. Aku terlihat seperti manekin. Aku menjadi putih seluruhnya.
Kerang raksasa terbuka. Tiba-tiba saja penglihatanku terhadap laut berubah total. Laut bukan lagi air yang berisi ikan dan kawanannya. Laut berubah menjadi miliaran jiwa putih sepertiku yang berenang tak tentu arah. Saat tangannya diturunkan, mereka memegang kepalaku dan mendorongku ke belakang. Mereka menjadikanku tumpuan. Aku tenggelam di antara jiwa-jiwa itu. Aku berusaha menggerakkan tubuhku di tengah himpitan jiwa-jiwa yang terus bergerak. Aku bergerak seperti penyelam handal yang hendak naik ke permukaan. Tanganku menerobos jiwa-jiwa itu. Kakiku mendorong mereka. Hingga akhirnya kepalaku timbul di permukaan.
Asap dupa berbentuk namaku terlihat di permukaan. Di daratan sana, aku melihat seorang perempuan duduk menangis di sebelah dupa sambil memeluk tubuh bocah lelaki. Aku mengenalinya. Lantas aku bergerak seperti jiwa-jiwa lainnya. Aku menggerakkan tanganku ke atas dan ke bawah. Aku menekan kepala jiwa-jiwa sebagai tumpuan untuk maju. Aku bergerak mengikuti asap dupa untuk menuju perempuan yang sangat kukenali itu. Di laut ini aku tak lagi mengenalnya sebagai ibu. Melainkan sebagai kekasihku. Ternyata akulah Teja yang berjanji menemui Nari saat senja.

Hari Libur Kebinasaan

Cerpen Triyanto Triwikromo (Koran Tempo, 24-25 Maret 2018)
Hari Libur Kebinasaan ilustrasi Imam Yunni - Koran Tempo.jpg
Hari Libur Kebinasaan ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
SEPULUH tahun lalu Herolena yang beberapa kali disalahpahami sebagai keturunan para nabi, mengharapkan Tuhan menurunkan firman-firman baru tentang kematian. “Tidak adil Tuhan terus-menerus tidak memberi pekerjaan kepada malaikat pencabut nyawa. Tidak adil setiap saat kita menghadapi hari libur kebinasaan. Orang-orang Ranarene makin lama kian takut pada kehidupan. Mereka ingin merasakan kematian yang indah juga,” ujar Herolena kepada diri sendiri.
Saat itu ketika berjalan-jalan di perdesaan penuh rumah-rumah bertaman luas, ia melihat beberapa perempuan tua menggantung diri di pohon-pohon berdaun biru, tetapi tak ada seorang pun yang mati. Beberapa lelaki menusukkan pedang ke perut, tak seorang pun yang menjemput ajal. Kali lain dia melihat puluhan anak terjun bebas dari pohon tertinggi, tetapi mereka justru tertawa riang begitu kepala-kepala mungil itu menghujam ke tanah penuh batu-batu dan koral.
Setahun kemudian ada rombongan pedagang dari luar kota meminta izin Herolena, yang pada waktu itu dipercaya jadi Kepala Desa Ranarene, untuk tinggal di lapangan terluas di perdesaan. Mereka mendirikan tenda-tenda warna-warni.
Warga Ranarene tidak begitu tahu apa yang dilakukan para pedagang. Ketika melewati lapangan, pada saat-saat tertentu-paling tidak tujuh kali sehari-mereka hanya mendengar ada yang berteriak keras-keras melantunkan semacam aba-aba, lalu para pengembara itu berdiri menghadap ke arah selatan, membungkuk, menelungkup, menyungkurkan diri, menelungkup lagi, berdiri lagi, dan mengakhiri tindakan itu dengan menangis bersama.
Mereka baru tahu ada yang bernama Krosakbabikri ketika lelaki bercula lembut dan berjubah merah muda itu menawarkan aneka benda yang bakal menjadikan Ranarene sebagai perdesaan beradab. Menjadi tamu terhormat Herolena, Krosakbabikri memperkenalkan radio.
Tentu saja Herolena takjub mendengarkan aneka suara berupa bisikan lembut, percakapan sengau, teriakan-teriakan tak jelas, nyanyian-nyanyian keras, dan doa-doa serupa racauan yang terdengar dari kotak ajaib itu.
“Kau bisa mendengarkan apa pun yang berasal dari kawasan yang jauh dari benda yang ditemukan oleh para cendekiawan terkemuka ini,” kata Krosakbabikri.
“Apakah kami bisa mendengarkan suara Tuhan?”
“Kau bahkan bisa mendengarkan suara iblis.”
“Suara hewan-hewan di langit?”
“Tentu,” kata Krosakbabikri sambil memutar-mutar tombol, “Kau juga bisa mendengarkan suara orang-orang yang sedang menggali emas di dasar bumi.”
“Berapa harga benda ini?” tanya Herolena.
“Kau hanya perlu menukar radio ini dengan sebidang tanah dan beberapa pohon yang bisa kami gunakan untuk membangun rumah.”
Herolena menyetujui permintaan Krosakbabikri.
Beberapa hari kemudian, Krosakbabikri menawarkan topeng berbahan kulit tipis yang jika dikenakan akan membuat sang pemakai memiliki wajah yang berbeda. Pada saat sama Krosakbabikri juga menawarkan cermin seukuran wajah manusia.
“Semua benda yang kujual akan membawamu ke dunia lain. Apakah kau siap hidup dengan banyak kejutan?”
“Jangan memberiku kemustahilan,” kata Herolena.
“Justru hal-hal yang dianggap mustahil yang selalu akan kutawarkan kepadamu.”
“Kau akan memberi tahu bagaimana aku melihat segala apa pun yang akan dilakukan Tuhan?”
“Pada saatnya nanti kau akan tahu apa pun yang disembunyikan oleh pengetahuan. Kau akan tahu berapa jumlah malaikat dan apa pun yang mereka sembunyikan selama ini. Kau akan tahu berapa jumlah nabi dan apa yang tak boleh mereka lakukan di dunia.”
Herolena tampak masih hendak mendebat, tetapi Krosakbabikri lebih cepat meminta kepala desa itu segera mengenakan topeng dan menggunakan cermin. Herolena lalu memilih salah satu topeng. Dia memilih topeng pria berwajah garang. Dia kemudian bercermin.
“Ya, Tuhan!” Herolena melepaskan cermin, “Siapa dia?”
Krosakbabikri tak segera menjawab pertanyaan, tetapi lebih berjuang menyelamatkan cermin yang jatuh. Hup! Cermin itu terselamatkan.
“Siapa dia?” tanya Herolena.
“Itu kamu juga.”
“Dia lebih garang dari semua lelaki Ranarene.”
“Ya, tetapi dia bukan orang lain,” kata Krosakbabikri, “Tetapi sudahlah kau jangan terlalu kagum pada ilmu pengetahuan yang kuperkenalkan kepadamu. Pada akhirnya nanti semua hal menjadi biasa setelah kau ketahui rahasia-rahasianya. Yang penting sekarang, kau mau membeli topeng dan cermin atau tidak?”
“Berapa harganya?”
“Kau hanya perlu memberiku beberapa bukit dan sebatang sungai.”
Herolena tidak keberatan. Herolena akan keberatan jika para pedagang, meminta segala satwa di langit dan di sungai-sungai. Karena itu dia bilang kepada Krosakbabikri, “Kau boleh minta bukit, tetapi jangan kauminta kupu-kupu, burung-burung, segala satwa melata, dan hewan apa pun yang berkeliaran dan terbang di kawasan itu. Kau boleh minta sungai, tetapi jangan kau minta kepiting, ikan-ikan, belut atau apa pun hewan yang berada di tempat itu. Apakah kau setuju?”
Krosakbabikri mengangguk. Radio, cermin, dan topeng pun berpindah tangan.
***
SUDAH sebulan Herolena asyik masyuk dengan radio. Meskipun ada siaran tentang presiden-presiden dari negeri-negeri jauh yang tumbang akibat kudeta, ia tetap hanya terpaku pada siaran tentang danau-danau yang bisa menyedot orang-orang yang merindukan kematian cepat.
“Tempat mati yang indah ini bernama Danau Megattutek,” kata sang penyiar, “Berbondong-bondonglah menyongsong kematian dengan cara berdiri satu kilometer dari tepi danau. Tunggulah badai datang. Biarkan tubuhmu diterbangkan oleh badai itu hingga ke atas danau.”
“Setelah itu?” Herolena bertanya dalam hati.
Radio tidak menjawab. Tak lama kemudian muncul bunyi krusak-krusek. Herolena memutar tombol untuk mendapatkan sinyal. Hanya sebentar suara radio menjadi jernih kembali.
“Akan tetapi kehendak untuk mati itu racun,” kata penyiar itu, “Siapa pun sebaiknya mati secara wajar. Tidak perlu diburu-buru. Tidak perlu dinanti-nanti.”
“Enak saja bicara seperti itu,” Herolena membatin, “Kami sudah bertahun-tahun menunggu kematian tetapi Tuhan tak pernah berkenan memberikan kematian kepada kami. Tuhan mungkin sudah lupa pernah menciptakan kami. Atau Tuhan hanya memberikan kehidupan tetapi sama sekali tak memberikan kematian kepada kami. Kami takut menjadi abadi.”
Tentu saja penyiar tidak mendengarkan keluhan Herolena. Penyiar yang sepanjang waktu tidak pernah mendengarkan apa pun yang dikeluhkan oleh para pendengar itu dengan santai bilang, “Agama yang baik selalu menyediakan cara-cara menjemput kematian yang indah. Agama yang buruk selalu menganggap kematian hanyalah omong kosong.”
“Omong kosong?” Herolena membatin lagi, “Agama kami tak pernah menganggap kematian sebagai omong kosong. Kematian bagi agama kami ibarat zat asam. Ia ada meskipun kami tidak pernah melihat warga Ranarene menjemput ajal.”
“Tetapi,” kata penyiar, “Telah muncul agama baru yang disyiarkan oleh nabi baru. Agama ini khusus untuk para pemuja kematian. Siapa pun yang ingin segera mati segeralah memeluk agama yang ritualnya selalu dimulai dari berteriak keras-keras melantunkan semacam aba-aba, lalu berdiri menghadap ke arah selatan, membungkuk, menelungkup, menyungkurkan diri, menelungkup lagi, berdiri lagi, dan diakhiri dengan menangis bersama itu.”
Kali ini Herolena agak terkejut. Dia merasa telah mengenal agama itu. “Jangan-jangan ini agama yang dianut oleh Krosakbabikri. Jangan-jangan Krosakbabikri bukan sekadar pedagang. Jangan-jangan Krosakbabikri adalah nabi baru yang disebut-sebut oleh penyiar itu?” Herolena tak bisa menjawab pertanyaan itu. Dia yakin setelah bertemu dengan Krosakbabikri akan bisa menjawab pertanyaan itu.
***
SAYANG sekali justru ketika sangat dibutuhkan, Krosakbabikri tidak berada di Ranarene. Kata para pedagang lain, Krosakbabikri sedang berada di kota lain.
“Dia bersama para pedagang pengembara sedang menjemput para penemu Kitab Halali di Gua Raelling dekat Sungai Copottati.”
“Kitab Halali?” tanya Herolena sambil mengenang nama kitab yang dia dengar lima tahun lalu.
“Ya. Itu kitab untuk orang-orang yang ingin meninggalkan agama lama. Itu kitab baru yang selama 1.300 tahun menghilang dan dihalang-halangi untuk dibaca oleh siapa pun.”
“Apa keistimewaan kitab itu? Melebihi kitab berisi kisah-kisah para rasul? Berisi kisah-kisah pewahyuan?” tanya Herolena mencoba memancing pengetahuan sang pedagang agar segera menguar.
“Kitab itu mengajari siapa pun untuk mendapatkan cara mati yang indah.”
“Siapa nama nabi paling agung di kitab itu?”
“Aku belum paham benar siapa nabi atau Tuhan di kitab itu. Yang jelas, Krosakbabikri akan menjual kitab itu kepadamu.”
“Apakah Kitab Halali berbeda dari kitab-kitab lama?”
“Tidak terlalu berbeda. Namun ada rahasia-rahasia lain yang jika dibaca 1.300 tahun lalu akan membuat siapa pun tidak percaya pada Tuhan masa kini atau meledek nabi-nabi yang telah memberikan teladan-teladan indah.”
“Apa rahasia-rahasia lain itu?”
“Itu yang belum kubaca. Aku hanya mendengar dari Krosakbabikri semua agama yang kita anut hari ini salah. Diperlukan kitab baru agar orang benar-benar mendapatkan surga yang benar-benar surga.”
“Memang ada surga palsu?”
“Semua surga yang dipercayai orang-orang masa kini palsu.”
“Siapa yang bilang?”
“Krosakbabikri.”
“Dari mana Krosakbabikri tahu semua surga yang dipercayai oleh orang-orang masa kini palsu?”
“Dari Kitab Halali.”
Herolena tidak percaya pada jawaban semacam itu. Pengetahuan Herolena tentang Kitab Halali berbeda. Kata para pedagang barang antik, kitab itu sebenarnya lebih ingin menyatakan, dunia tidak diciptakan oleh satu tuhan. Karena tidak diciptakan oleh satu tuhan, tuhan lain bisa menjadikan kehidupan tanpa kematian atau kehidupan sehari dua-hari. Para tuhan juga tidak menciptakan satu surga dan satu neraka. Malah ada juga yang tidak menciptakan surga dan neraka. Adapun nabi utama kitab itu bernama Poo, saudara kembar Kain yang tidak pernah diceritakan di kitab-kitab lama.
Kitab Halali ditulis oleh Bahib Hozameh. Baib Hozameh adalah pria setinggi 2,9 meter yang mengaku mendapatkan wahyu rahasia dari Nabi Poo. Apa ajaran utama Nabi Poo? Ada 13. Pertama, semua manusia diciptakan oleh tuhan yang suka berperang. Tuhan yang meminta para umat bertikai sepanjang masa. Kedua, malaikat diciptakan dari kotoran kuda. Karena itulah derajat para malaikat tak pernah bisa setinggi manusia. Ketiga, musuh utama manusia bukan iblis. Manusia adalah raja-raja yang bertakhta di kerajaan iblis. Keempat, minta mati secepat mungkin kepada tuhan dan nabi adalah kebajikan tertinggi. Hidup sehari-dua hari merupakan tindakan suci. Kelima, Tuhan tak menghendaki manusia berkorban terus-menerus. Keenam, puncak pengkhianatan manusia terjadi jika mereka hanya percaya pada satu tuhan. Ketujuh, berdaganglah dengan orang-orang bodoh. Kedelapan, pilihlah pemimpin yang berani menista agama lama. Kesembilan, jika ingin mati cepat, matilah di bawah pohon pisang. Ke-10, teriakkan nama tuhan dan nabi keras-keras saat berperang. Ke-11, jangan bergurau ketika bercinta. Ke-12, membunuhlah sesuka hati jika agamamu dilecehkan. Ke-13, bakarlah kitabmu jika kau merasa tidak perlu beragama dan bertuhan lagi.
Selesai menulis Kitab Halali, Bahib Hozameh melarikan diri ke Negeri Gurun Muruah. Dia hendak dibunuh oleh para serdadu Kacrut Bokaah. Setelah itu Kitab Halali hilang. Bahib Hozameh juga tidak pernah kembali ke Kacrut Bokaah. Dia juga tidak pernah ke Ranarene, bagian tak penting dari Kacrut Bokaah itu.
Apakah orang-orang Kacrut Bokaah pernah membaca Kitab Halali? Sebagian ada yang membaca. Orang-orang yang tinggal di Gua Raelling dekat Sungai Copottati pernah bertemu dengan Bahib Hozameh. Mereka juga pernah membaca Kitab Halali. Kini, Krosakbabikri sedang menjemput penemuan Kitab Halali dan akan menjual aneka kisah rahasia yang termaktub di buku itu kepada Herolena.
Ada juga Kitab Halali versi Homaz Raceetha. Kitab itu ditulis oleh Raceetha dengan bahasa Hejo, bahasa kuno Kacrut Bokaah. Inti ajarannya: Pertama, tuhan hidup tetapi tidak pernah menciptakan apa pun. Apa pun yang berkait dengan dunia dikreasi oleh manusia. Kedua, kehancuran dunia tidak akibat tangan jahil tuhan melainkan oleh ulah manusia sendiri. Ketiga, manusia pada akhirnya hanya akan jadi budak dari apa pun yang diciptakan oleh manusia.
Yang mengejutkan pernah muncul Kitab Halali versi Huzum Ogreh. Huzum Ogreh menyatakan, “Semua tuhan telah mati. Semua agama telah hancur. Semua nabi hanyalah nonsens. Tuhan, agama, dan nabi bisa diciptakan siapa pun dan kapan pun.”
Hingga saat ini Herolena belum menjadi penganut agama yang disyiarkan oleh Kitab Halali.
***
SEBELUM bertemu dengan Krosakbabikri, Herolena membaca Kitab Halali versi Homaz Raceetha. Herolena heran mengapa di kitab itu tertulis, “Tuhan bersabda pada Nabi Poo: Tinggalkan agama yang sekarang ini. Aku akan memberimu rahasia-rahasia untuk mati secara cepat. Kau juga tidak perlu lagi percaya kepada surga dan neraka.”
Karena itulah begitu bertemu dengan Krosakbabikri, Herolena bertanya, “Apakah Kitab Halali berkisah tentang rahasia-rahasia untuk memperoleh kematian tercepat?”
Krosakbabikri mengangguk.
“Apakah Tuhan meniadakan dirinya sendiri di kitab itu?”
Krosakbabikri mengangguk.
“Apakah tak ada surga dan neraka di kitab itu?”
Krosakbabikri mengangguk.
“Apakah setiap orang bisa jadi nabi?”
Krosakbabikri mengangguk.
“Apakah kau akan menjual Kitab Halali versi Bahib Hozameh kepadaku?”
Krosakbabikri mengangguk.
“Berapa harganya?”
“Kau tidak perlu membayar sedikitpun untuk kitab ini. Kau hanya perlu menjadi penganut agama yang disyiarkan oleh Kitab Halali.”
“Menjadi penganut?”
“Ya, kau harus meninggalkan agama lama.”
“Kalau aku memberimu setengah Ranarene, apakah kau tetap akan memintaku menjadi penganut agama baru?”
“Kauberi satu desa pun, aku tak akan memberikan kitab itu kepadamu jika kau tidak menganut agama baru.”
“Apakah setelah membaca Kitab Halali dan menganut agama yang ditawarkan, orang-orang Ranarene akan bisa menjemput kematian dengan gampang?”
Krosakbabikri mengangguk.
Tak ada cara lain, demi kematian yang agung, Herolena menerima tawaran Krosakbabikri.
***
AKAN tetapi semua tindakan Herolena hanyalah taktik untuk mendapatkan pengetahuan tentang kematian. Meskipun demikian, Herolena tetap membaca prinsip-prinsip yang termaktub di dalam Kitab Halali. Menurut kitab itu para tuhan ada begitu saja di dunia. Para tuhan tak menciptakan apa pun karena alam semesta juga muncul begitu saja. Meskipun demikian, pada suatu masa, terjadi perang antar-tuhan. Banyak tuhan terbunuh dan muncul satu tuhan yang paling perkasa.
Tuhan yang paling perkasa itu kemudian bersabda kepada Nabi Poo. “Poo kau adalah juru selamat orang Yoalhude yang dikirim oleh Tuhan orang Yoalhude untuk menggenapi Kitab Halali. Kau dan umatmu dari belahan dunia mana pun harus beribadah sesuai yang dilakukan oleh orang Yoalhude. Tak patuh pada ayat-ayat di Kitab Halali akan membuat siapa pun tak bisa mendapatkan kematian yang indah.”
“Mengapa Tuhan orang-orang Yoalhude merupakan tuhan yang mengancam?” pikir Herolena.
Di Bab Horombale Pasal 1 Ayat 12 juga terdapat ancaman. “Aku (Poo, nabimu) tidak menyukai orang-orang yang lemah. Berperanglah demi agamamu. Berperanglah demi nabi dan tuhanmu.”
Herolena tak nyaman membaca ayat-ayat semacam itu. Karena itulah setelah mempelajari ayat-ayat yang berkait dengan cara cepat memperoleh kematian, dia punya gagasan menghilangkan pengaruh Kitab Halali. Pertama, dia tak akan mensyiarkan kitab itu di Ranarene. Kedua, dia akan membunuh Krosakbabikri. Dia tidak akan menusuk jantung Krosakbabikri tetapi hanya akan meracun lelaki bercula lembut itu dengan sorareh, yakni minuman keras khas Ranarene, sebanyak-banyaknya.
***
APAKAH Krosakbabikri bisa mati di Ranarene? Herolena yakin hari libur kebinasaan hanya berlaku untuk warga Ranarene. Karena itulah sebelum Krosakbabikri bertamu ke rumah, Herolena sudah mempersiapkan sorareh. Namun, di luar dugaan, Krosakbabikri datang ke rumah Herolena bersama 13 pedagang berobor yang kini lebih tampak sebagai serdadu itu.
“Aku tahu kau tak akan mensyiarkan Kitab Halali kepada warga Ranarene. Aku sejak dulu tahu kau lebih setia pada agama lama yang dianut oleh warga Ranarene. Tetapi ketahuilah, aku datang ke desa ini bukan untuk berdagang. Aku ke sini untuk menyebarkan agama baru. Aku akan membunuh siapa pun yang menghalangiku,” kata Krosakbabikri, “Aku sendirilah yang akan menyebarkan segala ayat yang termaktub di dalam Kitab Halali.”
Herolena kaget. Meskipun demikian, Herolena menantang Krosakbabikri. “Aku tak takut mati. Mati adalah kebajikan tertinggi warga Ranarene.”
“Kami akan membakarmu,” kata Krosakbabikri.
“Aku tak takut pada apimu. Aku tak takut pada apa pun yang akan kaulakukan kepadaku.”
Lalu, tak menunggu lama, tanpa disuruh oleh Krosakbabikri, sebagian pedagang memborgol tubuh Herolena di tiang dengan tali, sebagian lagi memukul kepala Herolena dengan linggis, sebagian lagi segera membakar kaki, tangan, dan seluruh tubuh Herolena.
Juga tidak perlu menunggu lama, Herolena mulai terbakar. Saat itu Herolena mulai tidak yakin apakah hari libur kebinasaan masih berlaku di Ranarene. Herolena hanya mendengar Krosakbabikri berteriak, “Bunuh tuhan lamamu! Bunuh Tuhan lamamu! Aku akan mengampunimu.”
Membunuh Tuhan? Herolena tidak yakin apakah dia bisa membunuh Tuhan. Meskipun demikian, Herolena masih punya hasrat. Mati atau tak mati, Herolena menentang apa pun yang akan dilakukan Krosakbabikri. Herolena sama sekali tidak takut meskipun dalam gemuruh 13 pedagang yang berteriak-teriak menyebut nama tuhan dan nabi mereka, api terus menjalar ke tubuhnya yang rapuh.
“Aku hanya takut pada keabadian, ya Tuhan. Aku hanya takut jika tak mati-mati sepanjang waktu yang Kauciptakan untukku.”

Triyanto Triwikromo adalah peraih Penghargaan Sastra 2009 Pusat Bahasa dan Tokoh Seni 2015 Pilihan Majalah Tempo. Ia antara lain menulis kumpulan cerita Ular di Mangkuk Nabi dan Surga Sungsang.

Rabu, 21 Maret 2018

Apakah Cinta Sepasrah Itu?

Cerpen Danang Cahya Firmansah (Pikiran Rakyat, 18 Maret 2018)
Surat Pagi ilustrasi Mariska Ratri Handayani - Pikiran Rakyat.jpg
Surat Pagi ilustrasi Mariska Ratri Handayani/Pikiran Rakyat
DYASS nama gadis itu. Gadis bertahi lalat di pipi kiri sebesar biji kacang tanah, wajah oval, rambut hitam mengilat itu selalu membuyarkan hari-hariku sejak kali pertama melihat dia dan kemudian berkenalan. Awalnya dalam beberapa diskusi buku di kampus, ia selalu hadir. Ia datang bersama kawan-kawan perempuan, dan aku datang bersama kawan-kawan laki-laki. Dia selalu memandangku, berkali-ulang dalam setiap acara diskusi buku.
Bermula dari gesekan mata kami, kemudian aku memberanikan diri berkenalan. Lalu kami tukar kontak nomor hape. Saat bertemu, kami tak banyak ngobrol, namun mata kami lebih banyak berkata.
Setelah mendapat nomor dia, aku langsung menyapa lewat SMS. Dia pun membalas, dan obrolan pun berlanjut. Obrolan yang membuat hari-hariku terisi lambungan harapan-harapan bahwa dia segera menjadi milikku.
Dyass pun membalas setiap pesan yang kukirim dengan hangat, seperti seseorang yang lama kenal. Kami berdua dengan mengandalkan sinyal, bercakap-cakap banyak hal, tentang perkuliahan, keluarga hingga menjurus soal cinta. Ya, soal cinta.
Obrolan lewat dunia maya terasa kurang mantap. Aku meminta bertemu Dyass keesokan hari. Dyass dengan antusias mengiyakan. Oh betapa indah dunia, aku merasa tak rugi telah membeli pulsa dan paketan internet. Usahaku di dunia maya kuubah ke dunia nyata. Aku ingin bertemu langsung sambil menatap mata, tahi lalat, dan rambut hitamnya.
Kami sepakat bertemu.
Saat bersama di sebuah kedai, aku memendam rasa gugup. Keringat dingin membasahi tubuh. Sesekali aku mencium aroma tubuhku, apakah minyak wangi yang kusemprot ke tubuhku kalah oleh bau keringatku? Aku salah tingkah.
Namun Dyass seperti tak merasa gugup. Dia bicara dengan mengalir diiringi tawa. Saat ia tertawa, aku pun tertawa. Meski tawaku bukan lantaran lucu. Aku tak enak hati pada orang yang tertawa di depanku. Sekaligus agar dia tak tahu kegugupanku.
Setelah berjam-jam di kedai, kami pun pulang ke kos masing-masing. Dan malam- malam berikutnya kami sering bertemu. Intensitas pertemuan itu membuat kegugupanku lenyap. Kini cinta bangkit di jiwaku.
***
PADA hari-hari berikutnya hubungan kami makin akrab, kian dekat mengikat erat. Aku tumbuh kangen jika tak bertemu, tumbuh gelisah jika tak ada kabar dari dia. Dyass menjadi candu yang kian hari membuatku tak bisa lepas. Seperti ada tali mengikat, bagai lem yang merekatkan.
Sebagai lelaki, aku sadar dalam membangun hubungan cinta, lelakilah yang sepantasnya memulai, mengutarakan, bukan malah memendam menimbun rasa yang kian menumpuk. Tergerak atas kesadaran itu, aku memberanikan diri mengungkapkan perasaanku, menyatakan cinta, sekaligus memintanya menerima menjadi pasanganku.
Malam itu juga aku memintanya bertemu. Seperti hari-hari biasa, ia pun mengiyakan. Ya, pada malam itu saat di perjalanan, keringatku keluar membasahi badan. Keringat yang keluar dari rasa gugup seperti kali pertama bertemu. Aku memikirkan rangkaian kata yang pas dari mulutku untuk membungkus ungkapan perasaan. Perasaan yang menggumpal, bermula dari sorot matanya yang tertuju padaku setiap acara diskusi buku.
Sesampai di kedai, dia justru telah datang lebih awal, menungguku. Dyass duduk dengan berpakaian serba merah, bibir berwarna merah darah. Lampu kedai yang remang membuat dia bagai meteor terbakar di langit malam. Bagiku dialah pusat perhatian.
Setelah memesan minum, kami ngobrol. Kegugupanku makin merunyak bangkit seperti kali pertama aku mengajaknya bertemu di kedai ini. Saat aku hendak mengutarakan isi hatiku, tiba-tiba lidahku kelu dan kaku. Kata-kata macet di tenggorokan. Dada sesak.
Dyass malah memegang tanganku yang bergerak-gerak karena salah tingkah. Ya. ketika tanganku di atas meja, dia segera meremas lembut sambil berkata. “Maukah kau jadi pasanganku?” Aku tercekat kaget. Hatiku berdebar-debar hebat, antara bahagia, malu, dan benci menyeruak di rongga dada.
Suka karena dia ternyata menyimpan perasaan sepertiku. Malu, sebagai lelaki sepantasnya aku mengutarakan lebih dulu. Benci karena kejantananku ternyata lebih kecil dari tahi lalat gadis di depanku. Sialan!
“Kenapa melamun? Keberatan ya atas permintaanku?”
Lamunanku buyar. Aku segera mengangguk keras. Dan, ganti meremas tangan Dyass. Dyass pun tersenyum, matanya berbinar-binar bagai bintang berkelipan di langit malam. Oh, betapa bahagia hatiku saat itu, meski masih memendam benci pada diri sendiri.
***
HARI-HARIKU kini tak menggigil lagi. Dyass mewarnai kain kanvas kosong di hatiku dengan lukisan-lukisan indah. Namun segera, lukisan itu tercoret oleh tinta hitam yang membuyarkan keindahan. Aku sebenarnya telah curiga, namun perasaan itu selalu kusingkirkan. Kecurigaanku itu tanpa sengaja menemui titik jelas. Curiga berubah menjadi percaya. Dyass ternyata memiliki pacar selain aku.
Aku sangat cemburu mengetahui perkara itu. Kejelasan itu berawal saat kubuka hape dia dan tanpa sengaja membuka pesan dari seseorang cowok di kontaknya. Kontak itu ia namai Honey. Kuperiksa nomornya dan ternyata bukan nomorku. Hampir saja hape itu kulemparkan ke muka Dyass. Sekuat hati aku mengendalikan amarah. Namun perlahan kubaca pesan itu kembali. Pesan berisi amarah seorang cowok. “Aku sangat cemburu mengetahui kau bersama cowok lain. Sudah lima tahun kita bersama, tapi kau….”
Aku tak melanjutkan membaca pesan itu. Aku justru membayangkan betapa lebih sakit hati si cowok itu ketimbang aku. Aku baru seminggu menjalin cinta dengan Dyass pun merasakan sakit seperti ini! Apalagi jika telah lima tahun? Amarahku pun surut. Meski belum lenyap tuntas.
Aku bertanya pelan dengan nada berat perihal statusnya. Dia pun mengakui. Cowok itu bernama Made, mahasiswa asal Pulau Dewata. Namun dia tak kuasa memilih aku atau Made. Dia tak kuasa. Dyass menangis sesenggukan. Tangisan itu meluluhkan perasaanku. Amarahku bertumpuk oleh belas kasihan.
Sejak kejadian itu aku pun bingung antara memilih melepaskan Dyass atau tetap menjaganya dengan status memiliki pacar selain aku. Setelah berhari-hari, aku menegaskan untuk menjaga Dyass, dengan alasan suatu saat Made tak betah dan menyingkir.
Aku selalu berbuat baik pada Dyass. Sering pula aku menanyakan kabar mengenai Made. Meski penuh kemarahan, namun aku tutupi sekuat hati.
Suatu ketika Dyass bercerita kalau Made sedang sakit. Ya, aku segera mencarikan obat dan memberikan pada Dyass. Dengan langkah semacam itu aku berharap Dyass lebih memilihku karena kebaikanku. Namun hingga berbulan-bulan, Made masih bertahan bersama Dyass.
Di kontak nomor hape Dyass, nama Honey ada dua. Honey 1 dan Honey 2. Honey 1 adalah Made dan Honey 2 itu aku. Hal ini, kata Dyass juga diketahui Made.
***
SAAT bulan memasuki musim pancaroba tepatnya pada Oktober, aku mengalami flu berat. Kukabarkan keadaanku pada Dyass. Ia pun segera datang ke kosku membawakan banyak buah dan beberapa tablet obat. Aku tersipu. Betapa perhatian dia padaku.
“Kaubeli di mana buah ini?”
“Aku nggak beli, Sayang.”
Aku kaget dan bangkit dari rebahan.
“Lantas?”
“Ini dibelikan Made. Dia bilang, ini buat kamu, Sayang.”
Oh betapa mulia hati dia. Lalu sampai kapan ini berakhir? Kataku dalam hati.
Dyass memegang dahiku. “Oh panas sekali suhu tubuhmu, Sayang.”
Tubuhku tetap panas, namun setelah dia mengusap dahiku, amarahku pun reda.
“Bagaimana kabar Made?” tanyaku kemudian sambil merebah lagi.
“Baik kok, Sayang,” katanya sambil mengupas jeruk untukku. ***

Daun yang Sombong, Bunga yang Bodoh, dan Rumput yang Pasrah

Cerpen Adi Zamzam (Tribun Jabar, 18 Maret 2018)
Daun yang Sombong, Bunga yang Bodoh, dan Rumput yang Pasrah ilustrasi M Nurhamzah - Tribun Jabar.jpg
Daun yang Sombong, Bunga yang Bodoh, dan Rumput yang Pasrah ilustrasi M Nurhamzah/Tribun Jabar
ANGIN berembus sepoi, namun cukup kuat untuk menguarkan harum semerbak bunga-bunga yang sedang bermekaran di pucuk pepohonan depan sekolah dasar itu.
“Karena harumku, kalian lihat saja nanti, kumbang-kumbang pasti akan berebut singgah ke sini. Karena kecantikanku, kalian perhatikan saja nanti, kupu-kupu pasti takkan mau kalah untuk mencicipi maduku.”
Aku, yang sering kesepian dalam deraan umur yang sudah sekian lama ini, hanya terdiam. Drama seperti ini sebenarnya sudah sangat aku hafal. Tentu aku sadar bahwa takdir semacam ini harus bisa kami terima dengan lapang dada jika tak ingin terus-menerus merana. Toh sakit telinga ini hanya semusim.
Tapi kalian tentu bisa membayangkan seberapa kadar penderitaan telinga kami ketika musim itu tiada henti mengirimkan angin panasnya.
“Karena kami tidaklah seperti makanan hama semata.”
“Karena kami bukanlah hanya penambah kesuburan tanah sebelum punah.”
Maka ketika musim yang memekakkan telinga itu hampir tiba, kami pun harus sudah mempersiapkan mental untuk mendengarkan kalimat-kalimat menyakitkan semacam itu.
***
KETIKA itu hujan mampir lama di beranda kami. Dengan sifat sejuk dan kebeningan menerjemahkan cahaya kepada mata, ia menitipkan sebuah sajak yang entah bagaimana langsung bisa menghunjam ke dalam kalbu kami.

Sebab kelopak mata
butuh sekian detik untuk terbuka
dan menemukan cahaya

“Persoalan akrobatik bahasa memang selalu menimbulkan kerancuan dalam penyampaian makna,” gumamku, di depan serpihan hujan itu.
“Ah, bias makna itu sebenarnya adalah masalah hatimu sendiri. Segala yang terlihat pada akhirnya menjadi bias lantaran tercampur aduk dengan masalah masing-masing individu.”
Seberkas cahaya yang memancar terang dari bulir tubuhnya membuatku kesilauan, tak mampu berujar apa-apa.
“Apa?” tanyanya.
“Aku tak mengerti. Kau masih saja seperti itu. Seolah kau adalah utusan langit yang butuh kebijaksanaan level tertentu jika ingin memahami bahasamu.”
“Sabarlah,” ujarnya, :kau pasti akan mengerti maknanya, saat waktunya tiba,: jawabnya dengan gaya filosofis lagi.
“Jadi aku harus menunggu, hanya untuk memahami celotehmu yang sok tahu itu? Duh, seolah-olah perkataanmu dapat berkecambah dalam pemahaman saja.”
“Memang,” tangkisnya. Dengan nada amat yakin.
Dan aku mulai mual. Toh ia hanyalah seorang pengembara yang setelah ini akan hilang entah ke mana.
***
KAMI masih menunggu ketika musim kemarau membawa bisikan-bisikan riuh nan jahat. Kami bersorak ketika gerumbul bunga-bunga sudah mulai berguguran, mengering, dan kemudian kembali menyatu dengan tanah. Diam-diam ada doa jahat yang mengendap-endap dalam gelap—semoga bunga-bunga nan sombong itu tak pernah muncul lagi!
Tapi tentu saja aku sadar bahwa doa itu takkan terwujud jika siklus kehidupan masih berjalan seperti biasanya. Mestinya memang ada kebiasaan yang harus diubah untuk mendapatkan perubahan yang pasti.
Ketika kubisikkan hal itu kepada teman-teman, kami sepakat menamainya Revolusi untuk Perubahan Masa Depan. Musim kemarau kali ini pun menjadi musim paling berat yang harus dilewati, hingga tubuh kami terlihat mengerut lantaran kekurangan bahan makanan.
“Apa kalian tak merasa sedang menyiksa diri sendiri?” akar-akarlah yang pertama kali memprotes tindakan kami. Itu wajar saja, sebab bahan makanan yang mereka setorkan sebagiannya kami tolak—hingga konon membuat mereka “hamil palsu”. Tapi bukannya senang dengan beban kerja yang bertambah ringan, mereka justru mengkhawatirkan stamina pohon yang mereka topang.
“Tanpa makanan dan gizi yang cukup, bagaimana ia bisa menopang kehidupannya dengan baik? Apa yang sebenarnya kalian rencanakan?”
“Kami masih menunaikan tugas kami,” kami pun berkeras dengan rencana itu. Tak peduli kepura-puraan itu telah diketahui.
***
KETIKA pertumbuhan sang pohon tersendat, angin yang lewat terdengar mengeluh sayu perihal bunga-bunga yang tak dapat lagi mereka jumpai. Kami juga bersorak tatkala mendengar lagu-lagu patah hati dari para kumbang yang terdera rindu dan rasa kehilangan.
“Andai saja mereka mau mengakui jasa kita, sedikit saja,” gumam salah seorang sejawatku.
Dan kesedihan yang mereka tanggung itu semakin kompleks tatkala beberapa manusia yang biasa memuji-muji kami (lebih tepatnya hanya memuji-muji bunga) mendadak menyatakan bahwa kami (satu pohon) hanyalah parasit lingkungan yang seharusnya disingkirkan demi kebaikan bersama. Kami baru menyadari bahwa musim ulat telah membawa sejumlah pasukan herbivora yang kembali mengingatkan kami dengan ejekan-ejekan yang amat menyakitkan itu.
Dasar makanan ulat!
Hanyalah daur ulang kotoran ulat!
Didih amarah akhirnya sempurna membakar kesabaran kami. Sampai di sini, ketika kami berhasil membuat bunga-bunga itu tak pernah lagi muncul ke dunia, kami benar-benar merasa senang dan puas. Apakah kalian masih bisa mendengar semua ejekan itu lagi, sekarang?
Seperti ada yang meletus-letus di udara, dan bingarnya memenuhi pendengaran. Diam-diam kami pun bersorak.
“Hidup, para kuli!!”
“Hidup, para budak!!”
Semacam teriakan sarkastis untuk merayakan kemenangan berhamburan tak karuan.
***
SEMUANYA berubah hampa tatkala pohon tempat kami bersemi rebah ke tanah dengan pasrah. Oksigen mulai menciut. Sekujur kulit terasa mengering dengan begitu cepatnya. Kami berlomba tersengal. Sungguh tak disangka jika akhirnya mereka benar-benar memutuskan menebang dan menghilangkan kami.
Dalam perjalanan menuju sekarat itu kami sempat mendengar alunan nyanyian merdu kaum rerumputan, yang persis berada di bawah tubuh kami yang telah tumbang.

Mengapa mesti risau dengan hidup
yang kembangnya hanya mekar satu pekan
Cukuplah dirimu menghirup udara segar
Dan setelah tuntas manfaat
Kematian adalah kado berbungkus biru

Nyanyian yang terdengar seperti ejekan. Tawaku tersulut ketika seekor kambing tiba-tiba datang melahap mereka dengan bahasa kerinduan tak terperi. Seolah nyanyian itulah yang justru memanggil para penguasa rantai makanan itu.
Hampa. Setelah itu aku benar- benar disergap perasaan hampa yang semesta. Aku merasa ada yang telah tersia-sia.
Kubayangkan, andai diriku adalah kaum rumput yang malang itu, pasti diriku sekarang akan menjalani sebuah perjalanan panjang seperti yang pernah dikatakan mereka, “Seharusnya kalian bisa melihat kebahagiaan dari sudut pandang lain. Bahwa kebahagiaan tak melulu bermuara dari pujian semu.”
Lagi-lagi kalimat itu terdengar seperti menyindir. Apalagi kemudian mereka meneruskan dengan…
“Mempersembahkan sekuntum bunga seharusnya adalah kebahagiaan paling besar bagi kita,” sembari menari bersama angin yang sependapat dengan kalimatnya. Bunga nan halus yang baru saja mekar di ujung tubuhnya terlihat seperti mahkota yang menambah keelokannya.
“Bagaimana jika bunga itu justru membuat hidupmu terasa buruk dan tak berarti?” protesku.
“Itu lantaran lagi-lagi kalian tak mau memandang segala sesuatu dari sudut pandang kedua.”
Percakapan itu menghilang seiring dengan perginya seekor kambing yang masih saja mengembik kelaparan.
Sementara dalam detik-detik menjelang padamnya penglihatanku, sebuah doa telah melesat sedemikian cepatnya ke udara. Semoga saja di kehidupan selanjutnya aku dikaruniai bunga-bunga yang tahu berterima kasih dan sadar akan asal-usulnya.

Banyuputih – Kalinyamatan, Jepara, 2017
Adi Zamzam lahir di Jepara, Jateng, 1 Januari 1982. Cerpennya tersebar di Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, dan lain-lain. Bukunya antara lain Menunggu Musim Kupu-kupu-Kumpulan cerpen (Basabasi/DIVA Press Grup, 2018).