Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Saya tahu adalah lebih senang untuk solat fardhu sahaja dan bergegas keluar dari masjid.
Namun,
jika kita menyedari ganjaran yang kita terlepas akibat tidak
melaksanakan solat sunat, kita pasti tidak akan meninggalkannya.
Selama
bertahun-tahun ini, saya telah mempelajari bahawa hanya SATU cara untuk
memastikan kita sentiasa solat sunat; Jadikan ia tabiat!
Ia akan menjadi sebahagian daripada solat wajib kita dan terasa solat kita tidak akan lengkap tanpa solat sunat ini.
2. Mengingati Allah Selepas Solat
Sekali lagi, sangatlah senang untuk bergegas keluar selepas solat dek kerana kehidupan kita yang sibuk.
Namun jika kita jujur, tanyakan soalan, berapa lama masa yang diambil untuk membaca zikir selepas solat?
(jawapannya hanya 5 hingga 7 minit sahaja)
Jadikan berzikir sebagai tabiat harian dan kayakan pengalaman solat kita.
3. Zikir Pagi dan Petang
Langkah 2 juga terdapat dalam tabiat ini.
Terdapat
suatu rangkaian doa dalam sunnah Rasulullah SAW dimana baginda selalu
lakukan sebelum terbit dan selepas terbenamnya matahari.
Zikir-zikir
ini menjadi suatu kelegaan daripada tekanan dan menjadi perangsang
tenaga yang tidak pernah gagal melengkapkan hari saya.
Dan menjadikan saya terasa diberkati.
4. Solat Malam
Alhamdulillah, kita ada solat terawikh untuk dihadiri ketika bulan Ramadhan.
Namun, terdapat banyak peluang untuk mendapatkan ganjaran solat malam diluar bulan ini.
Jika
kita baru belajar solat malam atau kita tidak solat malam sepanjang
tahun, cuba kita buat solat pada setiap malam secara berjemaah di masjid
(terutamanya para lelaki), dan jangan berikan diri kita sebarang
alasan.
Seterusnya, bina tabiat solat tahajud dan teruskan solat selama 30 hari.
Ia akan mengukuhkan ‘kaki’ kita untuk terus melakukannya sepanjang tahun, insyaaAllah.
5. Solat Dhuha
Ini satu rahsia terbesar seorang muslim produktif untuk suatu hari yang produktif.
Dua
rakaat yang dikenali sebagai solat dhuha yang boleh kita laksanakan
pada sebarang waktu selepas matahari terbit dan sebelum matahari sampai
ke kemuncaknya (sekitar 30 minit sebelum waktu Zuhur).
Ganjaran
solat ini sama seperti membuat kebajikan kepada setiap tulang dalam
tubuh kita dan tenaga yang akan kita rasakan hari itu adalah sangat
mengagumkan.
Saya biasanya melakukan solat ini pada waktu
spesifik, contohnya 10.00 pagi atau sebelum pergi bermesyuarat pada
pertengahan pagi.
6. Doa Sebelum Tidur
kita telah melalui hari yang panjang dan kita amat letih.
Kita panjat katil.. tapi tunggu!
Sebelum kita berbuat sedemikian, mungkin kita boleh berikan masa 10 minit lagi kepada diri kita untuk membaca doa sebelum melelapkan mata? Itu sahaja
Cubalah dan kita akan mendapat tidur yang baik dan kita akan senang untuk bangun solat Subuh, InsyaaAllah.
7. Baca 30 minit al-Quran Setiap Hari
Perhatikan saya tidak mengatakan satu juzuk atau surah.
Jumlah ayat al-Quran yang kita baca tidak sepenting kualiti pemahaman kita terhadap al-Quran.
Jika
kita meluangkan masa 30 minit membaca satu ayat dan memahami
sepenuhnya, ia lebih bermanfaat daripada membaca banyak ayat al-Quran
dengan laju tetapi tidak memahami satu apa pun.
Membaca Al Quran tidak akan mengurangi waktu Anda. Justru sebaliknya, ia akan menambah waktu Anda
Secara hitungan matematika dunia, membaca Al Quran tampak seakan-akan
mengurangi waktu. Dari total 24 jam dalam sehari, seolah-olah berkurang
sekian detik, sekian menit atau sekian jam jika digunakan untuk membaca
Al Quran.
Tapi, tahukah Anda bahwa waktu yang Anda gunakan untuk membaca Al Quran
itu sebenarnya tidak hilang begitu saja. Ia akan diganti oleh Allah
dengan keberkahan yang berlipat ganda.
Sebagai umat muslim kita bersaudara hendaknya kita saling berbagi
ilmu pengetahuan yang baik untuk mencontoh di zaman Nabi kepada
sahabatnya mereka saling berbagi tukar pikiran, saling membantu tanpa
meminta imbalan apapun.
Apakah kalian bimbang atau bingung mana
yang lebih utama dulu “melunasi hutang orang tua atau menikah”, pasti
orang bingung melihat ini artikel dilihat dari segi judulnya saja orang
sudah penasaran dan ingin membaca artikel ini, Nah ini dia isi artikel yang menyangkut dari tema diatas :
Hukum menikah tergantung Kondisi seseorang, inilah yang masyhur di kalangan para ulama mahzab malikiyah, syafi’iyah dan hambali.
(lihat al Bada’i 2/228,al Qowanin Fiqhiyyah 193,Mughni al Muhtaj 3/135 dan Fathul Bari 9/110)
Mereka mengatakan hukum menikah, bisa terjadi pada 4 hukum (kondisi) :
1. Hukumnya menikah itu adalah Wajib
yaitu
seseorang yang memiliki hasrat untuk berjima’, yang mana ia khawatir
terjatuh pada perbuatan fahisyah (zina), karena demi menjaga kehormatan
dirinya dan menjaga dari perbuatan yang haram, maka solusinya adalah
menikah. 2. Hukumnya menikah itu adalah Sunnah
yaitu
seseorang yang memiliki hasrat untuk berjima’, namun ia tidak khawatir
terjatuh pada perbuatan fahisyah(zina), maka jika ia menikah itu lebih
utama baginya. 3. Hukumnya menikah itu adalah Haram
yaitu
seseorang yang tidak mampu (menikah) memberikan nafkah lahir dan batin,
dan tidak adanya kemampuan dan keinginan malaksanakan pernikahan
tersebut. 4. Hukumnya menikah itu adalah Makruh
yaitu
seseorang yang tidak dapat menafkahi istrinya dan ia tidak memiliki
hasrat untuk menikah, maka disibukkan dengan ketaatan, beribadah atau
disibukkan dengan ilmu, Hal itu lebih utama baginya. (Shahih Fiqhus Sunnah 3/46-47)
Kalau
anda merasa belum darurat (hukumnya wajib) untuk menikah, maka
hendaknya anda dahulukan melunasi hutang orang tua anda terlebih dahulu,
karena perbuatan tersebut merupakan bentuk berbakti kepada orang tua.
Allah ta’la berfirman :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (Qs.al-Maida: 2)
Dan berbakti kepada kedua orang tua, termasuk amalan yang di cintai Allah,
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu– ia berkata,
أَيُّ
الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ
ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ
الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Aku pernah bertanya kepada Nabi ﷺ ,
“Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab: “Shalat
pada waktunya.” ‘Abdullah bertanya lagi, “Kemudian apa kagi?” Beliau
menjawab: “Kemudian berbakti kepada kedua orangtua.” ‘Abdullah bertanya
lagi, “Kemudian apa kagi?” Beliau menjawab: “Jihad fi sabilillah.”
(HR.Bukhari 527)
Dan memberikan nafkah kepada orang tua kita, lebih utama, Allah ta’la berfirman :
يَسْأَلُونَكَ
مَاذَا يُنْفِقُونَ ۖ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ
فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ
وَابْنِ السَّبِيلِ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ
عَلِيمٌ
Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan.
Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada
ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Dan apa saja kebaikan yang
kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.
(Qs. al – Baqarah: 215)
Saat ini banyak sekali kita jumpai di lingkungan sekitar kita para
wanita keluar rumah dengan tidak mengenakan jilbab atau bahkan,
berpakaian tidak sewajarnya dengan memperlihatkan aurat atau bentuk
tubuh mereka.
Akan tetapi keadaan yang seperti itu sangat
diremehkan oleh mereka, seolah-olah memperlihatkan aurat didepan umum
itu dianggap bukan suatu kemaksiatan bagi mereka.
Menurut
pandangan Islam pengertian aurat adalah segala sesuatu yang dapat
menjadikan seseorang malu atau mendapatkan aib, entah itu perkataan,
sikap, ataupun tindakan.
Aurat sebagai bentuk dari suatu kekurangan maka sudah seharusnya ditutupi bukan untuk dibuka atau diperlihatkan didepan umum.
Islam juga mengajarkan bahwa pakaian adalah sebagai penutup aurat, bukan sekedar sebagai perhiasan.
Islam juga mewajibkan setiap wanita dan pria untuk menutupi anggota tubuhnya yang menarik perhatian lawan jenisnya.
Bertelanjang adalah suatu perbuatan yang tidak beradab dan tidak sewajarnya.
Langkah
pertama yang diambil Islam dalam usaha mengokohkan bangunan masyarakat
adalah melarang membuka aurat dan menentukan aurat laki-laki dan
perempuan.
Inilah mengapa fiqh mengartikan bahwa aurat adalah
bagian tubuh seseorang yang wajib ditutupi atau dilindungi dari
pandangan umum.
Lalu, apa Batasan aurat wanita?
Aurat wanita dihadapan laki-laki yang bukan mahramnya
Diantara sebab mulianya seorang wanita adalah dengan menjaga auratnya dari pandangan lelaki yang bukan mahramnya.
Oleh kerena itu agama Islam memberikan rambu-rambu batasan aurat wanita yang harus di tutup dan tidak boleh ditampakkan.
Para
Ulama sepakat bahwa seluruh anggota tubuh wanita adalah aurat yang
harus di tutup, kecuali wajah dan telapak tangan yang masih
diperselisihkan oleh para Ulama tentang kewajiban menutupnya.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur’an Surah Al Ahzab : 59
Wahai
Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mukmin “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang “
Dalam ayat ini
Rasulullah diperintahkan untuk menyampaikan kepada seluruh wanita muslim
agar wanita muslim tersebut menutup auratnya dan memanjangkan
jilbabnya.
Hal ini dilakukan agar menjadi pengenal atau pembeda wanita mukmin dengan wanita non mukmin.
Hikmah
lain yang dapat diambil wanita yang menutup auratnya tidak akan
diganggu begitupun sebaliknya wanita yang memperlihatkan auratnya akan
mudah diganggu.
Aurat Wanita dihadapan mahramnya
Mahram
adalah seseorang yang haram di nikahi kerena adanya hubungan nasab,
kekerabatan dan persusuan. Seorang mahram di perbolehkan melihat anggota
tubuh wanita yang biasa nampak ketika dia berada di dalam rumahnya
seperti kepala, wajah, leher, lengan, kaki, betis.
Aurat Wanita dihadapan sesama wanita
Ada perbedaan pendapat dalam hal ini
Ada yang berpendapat bahwa Batasan aurat wanita dengan sesama wanita itu mulai dari bawah pusar hingga lutut.
Ada
juga yang berpendapat bahwa Batasan aurat wanita dengan wanita lain
bisa disebut sama dengan Batasan aurat wanita dengan mahramnya yaitu
diperbolehkan menampakkan kepala, bagian tubuh yang menjadi tempat
perhiasan, leher, lengan tangan, betis dan kaki. (QS. An Nur : 31)
“
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah
suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung “
Diantara
2 pendapat tersebut pendapat yang paling kuat ialah “ Batasan aurat
wanita dengan wanita lain itu sama dengan Batasan aurat wanita dihadapan
mahramnya karna ada dalil yg memperkuat hal tersebut.
Wallahu a’lam.
Cerpen Miranda Seftiana (Kompas, 08 April 2018) Tungku Perkawinan ilustrasi Indra Gunadharma/KompasFaisal kawin lagi!
Macua sampai menurunkan bulang hingga menutup separuh daun telinga.
Ia sedang berupaya tuli dari gunjingan yang tak kunjung sunyi. Sejak
ketupat masih penuh dalam keranjang sampai ikan gabus hanya menyisakan
tulang, kabar anaknya yang poligami masih membahana seantero kampung
Sungai Paring. Orang-orang berkicau bagai sekawanan burung pipit di
pematang pada musim padi kuning keemasan.
“Jadi benar Faisal kawin lagi dengan janda beranak satu, Macua?” usut
Angah Samsuri usai menyambut sepiring ketupat berkuah santan dengan
lauk jeroan ikan.
Kali ini bukan hanya Angah Samsuri yang menanti jawaban, melainkan
pelanggan lain yang sejak tadi belum jua beranjak pergi. Macua
mengembuskan napas. Kabut tipis meluncur dari ujung bibir merah darah
hasil disepuh gambir bertahun-tahun. Diludahkannya sisa sirih ke tanah.
Ditatapnya wajah orang-orang penasaran.
“Kau dengar kabar dari siapa, Samsuri?”
“Tuan Kadi. Katanya beliau sendiri yang menikahkan malam Jumat lalu.”
Perempuan renta itu membisu. Serapah bergemuruh di dada ringkihnya.
Istri kepala kantor urusan agama itu lagi. Tidak jera kali Faisal
mengkelindankan hati pada wanita yang pemah membuatnya nelangsa?
Seketika angan Macua langlang ke masa silam. Segalanya bagai masih di
depan pelupuk mata. Lara anaknya, duka dirinya. Perasaan terhina.
Perasaan tiada berdaya.
***
Sabut kelapa baru menyala kala ketukan pintu terdengar mendesak
beranjak. Macua melirik jam dinding, pukul tiga pagi. Siapa gerangan
yang bertamu sebuta hari begini?
Setibanya di ambang pintu Macua nyaris memekik sebab mendapati Faisal
datang sempoyongan. Urat di matanya merah bertonjolan. Rambutnya
kusut-masai. Dari mulut Faisal mengudara aroma malaga. Tanpa bertanya
dipapah Macua anaknya ke kursi dekat jendela.
“Anak Tuan Kadi, Macua, pinanganku ditolaknya dengan undangan
perkawinan. Dua tahun kami berkelindan diputusnya dengan menerima Guru
Agama.” racau Faisal nelangsa.
“Alahai, Macua, jangankan bersepakat mahar, belum mengetuk pintu saja telah ditatak batang—diputusnya pertalian—kita. Nasib orang tak berpunya.”
Faisal bermonolog tak habis-habis. Sesekali tertawa getir, selebihnya
tersedu bagai bayi kehabisan susu. Ia kecewa setengah mati pada
keputusan Anak Tuan Kadi, guru yang mengajar di sekolah dasar dekat
warung Macua. Pertemuan saban pagi memulakan kisah keduanya. Berawal
jelingan mata, lama-lama Faisal berani juga menunggu di depan gerbang
dengan sepeda. Sesudahnya perempuan itu akan duduk di sadel belakang,
sesekali terpaksa memegang pinggang Faisal jika roda sepeda menghantam
lubang. Sebuah kesengajaan yang Faisal buat agar perjalanan tak terasa
menjemukan. Sekaligus ajang curi-curi pegangan.
“Maaf, Dik, baru tahu ada lubang dekat rumahmu. Mungkin hasil hujan
kemarin lalu,” kilah Faisal usai menurunkan anak Tuan Kadi sepuluh meter
sebelum benar-benar sampai.
Anak Tuan Kadi akan tersipu-sipu, lalu pamit dengan lambaian samar.
Jika sudah begitu, perjalanan delapan kilometer pulang pergi dengan
tanjakan jembatan bukanlah sesuatu yang melelahkan. Kayuhan sepeda
Faisal akan terasa amat ringan sebab hatinya riang bukan kepalang.
Sepanjang jalan ia akan bersenandung. Terik menjadi kawan, mendung bukan
cobaan. Saban hari musim terasa cerah saja bagi orang jatuh cinta.
Namun kini Faisal dirundung nelangsa. Hatinya remuk. Hidup hanyalah
rangkaian gulita bagi orang berduka. Binar harapan padam seketika. Mata
merahnya memandang Macua. Air masih menyisa di sudut-sudutnya.
“Esok aku ke Banjarmasin, Ma. Mencuci klise yang pernah diberikan Anak Tuan Kadi.” beritahu Faisal.
“Jangan macam-macam, Faisal, dia akan jadi bini orang.”
Lelaki berjambang sekitar rahang itu menggeleng kuat. Ia pegangi
lengan Macua erat-erat. Tatapan linglung berusaha ia buang. Macua harus
tahu, ia tak pemah bercanda perkara hati. Tekad Faisal telah bulat,
tidak dapat dicegat.
“Macua, utang harta dibayar harta, utang nyawa dilunas nyawa, utang
hati berbalas hati. Andaikata tak dapat kuperistri Anak Tuan Kadi,
mestilah ia diberitahu arti nelangsa. Tolong buatkan air yang telah
dibacakan yasin 41 kali. Nanti akan kutanak fotonya dengan air itu.”
“Jangan kau tenggelamkan diri ke kubangan dosa, Faisal!” peringat Macua.
Ia paham sekali bahwasanya tanakan tiga lembar foto dengan air yasin
empat puluh satu adalah usaha mengirimkan bala. Macam-macam tujuannya,
dari membuat sakit fisik nyata sampai jiwa. Empat puluh hari empat puluh
malam api tungku tak boleh padam. Sedetik pun jua. Sebab sekali padam,
tulahnya akan menimpa diri sendiri. Rambut halus Macua meremang ngeri.
“Kalau yang kuperbuat adalah dosa, lantas ulahnya yang menyakitiku sedemikian rupa apa?” kejar Faisal tak bersahut.
***
“Kalau Macua sampai hati, bunuhlah Ananda dengan belati. Bulan syawal
hidup sehari. Anak Tuan Kadi akan diperistri. Siapa yang sanggup makan
hati berulam jantung?” desak Faisal frustrasi sebab belum jua berhasil
membujuk Macua.
Lekat-lekat ditatap Macua putranya. Bagai atang—tungku
tanah—telah lama tak disentuh api; wajah rupawan bersalin jelaga
kepedihan penuh debu putus asa. Sebagai ibu tentu saja tak tega.
Terangguk jua kepala Macua akhirnya.
Seminggu setelahnya Faisal berangkat menuju tepi Sungai Paring.
Daun-daun rumbia ia sibak dengan sebilah parang. Di ujung perjalanan,
sebatang pisang yang jantungnya telah menjelma buah matang ia tebang.
Lapis demi lapis dikuliti dengan hati-hati. Hanya bagian berwarna putih
berseri yang boleh ia bawa ke rumah.
“Tungku gadang sudah siap, Ma,” lapor Faisal pada Macua yang
baru saja menyumbat mulut tempayan. Bulir-bulir air berjatuhan dari
wajah yang penuh lipatan.
Selepas Magrib, Macua turun ke kolong rumah panggung. Pematik
dinyalakan untuk memancing bara sabut kelapa. Api membalur buritan teko
berisi air yasin. Sesekali perempuan itu meniup seruas bambu untuk
menjaga perapiannya. Sedari malam ini Macua dan Faisal berbagi jaga. Di
usia menuju senja perempuan itu mesti bertaruh nyawa; nyawa putranya
atau nyawa perempuan yang dicintai putranya. Malang nian nasib Macua
kiranya.
“Faisal, empat puluh hari setelah ini, pinanglah perempuan lain yang
dapat menyenangkan hatimu. Usah kau kenang lagi Anak Tuan Kadi.
Perpisahan ini barangkali pertanda takdir kalian tak saling bertalian.”
Faisal melepas napas. Pandangnya berpindah dari air yang
meletup-letup. “Hari keempat puluh satu akan kusambangi rumah Tuan Kadi.
Bilamana anaknya telah menerima bala akan kupinang perempuan lain
sebagai ganti.”
***
Setahun selepas pemikahan Faisal dengan seorang gadis asal hilir
sungai Barito, pintu reot kediaman Macua kembali diketuk paksa. Begitu
terbuka, nampak Angah Samsuri berdiri doyong sebab kepayahan memapah
Faisal yang lebih besar dan tinggi darinya.
“Badan Faisal panas sekali. Tadi ditemukan orang-orang meringkuk di
warung Macua,” adu Angah Samsuri usai merebahkan Faisal. “Katanya tidak
berani pulang, terlanjur ketahuan bininya menikah lagi,” tambahnya lagi.
Di atas tilam Faisal meringkuk bagai bayi lahir kemarin. Bibirnya
bergetar, matanya terpejam. Sekalipun selimut membalut sekujur badan
hingga peluh bergelantungan, Faisal tetap kedinginan.
“Samsuri,” cegat Macua membuat Samsuri membalikkan diri. Ia angsurkan
pandangan penuh tanya. “Apa esok ada padi orang yang mesti kau giling?”
“Tidak ada, Macua. Kami hanya mengarungkan abu dan sekam untuk dijual ke pasar.”
“Kalau begitu, bawakan beberapa karung abu. Esok pagi buatkanlah sebuah atang lagi,” peri ntah Macua disepakati Angah Samsuri.
Menjelang tengah hari, Faisal terbatuk tanpa henti. Asap mengembara
ke seantero kamarnya yang terletak paling dekat dengan dapur. Susah
payah ia rambati dinding papan. Kepalanya masih terasa berkunang-kunang,
tetapi bertalian dalam kepungan asap jelas bukan pilihan menyenangkan.
Lalu satu demi satu ia turuni anak tangga, kemudian didapatinya punggung
bengkok Macua sedang meniupi bambu di depan tungku. Alis Faisal naik
satu. Sejak kapan Macua punya dua tungku? Barangkali sepanci ketupat tak
lagi cukup memuaskan pelanggan sehingga mesti ditambah lagi porsi yang
tersaji. Demikian pikirnya.
“Ma, apa selama kita menanak foto Anak Tuan Kadi, api pernah mati?” telisiknya usai memeram berhari-hari.
“Rasanya tidak pernah sekalipun. Bahkan sebelum jadi arang, kayu dan sabut sudah kusisipkan lagi.”
“Aneh sekali. Andaikata api tak pernah mati, mengapa sakit ini malah menimpaku bukan Anak Tuan Kadi?”
“Bukankah dahulu kau melihat Anak Tuan Kadi dipapah menaiki becak dengan raut pucat pasi?” sambut Macua atas tanya sang putra.
“Dahulu bukan sakit rupanya, Macua. Malam Jumat lalu, sebelum
kucumbu, ia bercerita jikalau saat hamil muda badannya tidak berdaya.
Itu sebabnya ia belum bersedia menambah cucu dari kami berdua.”
Selepas menandas kata, Faisal terbatuk lagi. Kali ini lebih sesak dari sebelumnya, seakan-akan asap dari atang
Macua telah meremas paru-parunya. Retina Faisal menjelma merah tua.
Rintik air mengairi sudut matanya. Sebelah tangan Faisal memegang dada,
sedang sebelah lagi tergenggam di depan mulut.
“Macua, apa tidak bisa menanak ketupat dengan satu atang saja? Asapnya menyesakkan sekali,” keluh Faisal lirih.
“Bisa saja. Bahkan akan kusuruh Samsuri merubuhkan atang asal kau juga mau merubuhkan atang lain dalam hatimu,” pancing Macua sambil mencipratkan air dari tempayan hingga bara padam.
“Maksud, Macua?”
“Istri itu ibarat atang, Faisal. Kalau asap dari satu
perapian saja sudah membuatmu sesak, lalu darimana kau yakin dadamu
lapang untuk menampung keluh kesah dua perempuan dalam satu hiduk
perkawinan?”
Faisal membisu. Dua perempuan membayang bersamaan. Anak Tuan Kadi
yang baru ia nikahi dan bininya yang kini mengandung buah hatinya
sendiri. Macua benar, salah satu atang mesti dirubuhkan. tetapi yang mana?
“Kupikir, Faisal, dengan mengurangi bilangan bacaan yasin tiada bala
yang akan menghampiri siapa pun jua. Nyatanya aku keliru. Bala bukan
dari api yang padam, namun nafsu yang menyala-nyala. Sambangi Anak Tuan
Kadi, antarkan ia kepada Bapaknya, kembalilah pada atang-mu yang pertama.”
Miranda Seftiana, lahir di
Hulu Sungai Selatan, 16 September 1996. Menempuh pendidikan di Fakultas
Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat. Novelnya bersama Avesina
Soebli berjudul Jendela Seribu Sungai diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, 2018. Cerpennya berjudul “Sebatang Lengkeng yang Bercerita” terhimpun dalam buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2015.
Indra Gunadharma, lahir di Bandung, 1963, lulusan Desain Grafis FSRD ITB 1988, salah satu Mahasiswa Teladan FSRD ITB 1987. Pengalaman kerja di creative periklanan selama 21 tahun di 6 multinational advertising agency. Kini menjadi pelukis, desainer grafis, dan desainer artwork
untuk interior di studio Indrartwork. Penghargaan: Desain Tipografi
Terbaik pameran tahunan FSRD ITB 1987, puluhan penghargaan Citra
Pariwara 1996-2005.
Cerpen Benny Arnas (Jawa Pos, 08 April 2018) Lubuk-Lubuk Itu, di Lubuklinggau, Tuan Raudal ilustrasi Budiono/Jawa PosBANYAK sekali aliran sungai yang membelah kotaku ini, Raudal.
Memang, cerita-cerita yang kau tulis—tentang kota, kota di dalam
kota, dan nama-nama kota, atau juga kenangan-kenangan yang rimbun di
kota-kota yang kau singgahi atau sekadar lintasi atau kau tinggali
beberapa waktu—telah membakarku untuk membalasnya, walaupun tentu saja
aku sebenar sadar kalau cerita-ceritamu itu tak kau persembahkan
kepadaku.
Namun, dalam beberapa ceritamu, ada sekali-dua atau bahkan tiga atau
empat kau sebut nama kotaku. Bahkan dalam sebuah ceritamu yang kubaca
beberapa tahun yang lalu, kau menceritakan kotaku dalam ruang khusus
kenanganmu meski hanya dalam beberapa paragraf.
Tapi Raudal, Lubuklinggau bukan sekadar jalan lurus yang bisa
membawamu ke dalam mimpi tanpa kelambu. Ia juga tentang lubuk-lubuk yang
dimulai dari permukaan sungai dan tembus ke ulu hikayat-hikayat lama
yang melingkupinya. Baiklah, Raudal, relakanlah dirimu diisap
lubuk-lubuk itu…
Lubuk Kasie
Embun Semibar dan Dayang Torek adalah dua lakon cerita rakyat yang
sangat terkenal di kampung kami. Meskipun begitu, aku yakin, kau tak
tahu, kalau sekitar 200 meter di seberang Sungai Kasie, aliran air di
sebelah utara Bukit Sulap, makam Embun Semibar ditandai dengan beberapa
menhir. Pun tak banyak yang kau tahu, kalau dulunya, saban fajar dan
senja, Dayang Torek kerap membersihkan diri di dekat lubuk yang terletak
tak jauh dari batu raksasa di tengah-tengah Sungai Kasie.
Daerah sekitar pusaran air itu tak terlalu gelap seperti lubuk
kebanyakan karena tak ada pohon besar yang tumbuh di daratan tempat
lubuk itu bersandar. Hanya ada semak buah pena, sipokak, pakis haji, dan
anggrek hutan yang menumpang hidup di tunggul pohon melinjo,
satu-satunya pohon besar yang pernah tumbuh di sana. Namun begitu, lubuk
itu menyimpan daya tarik yang luar biasa bagi para pendatang (biasanya
peneliti dari kampus di Palembang atau Jambi) yang penasaran dengan
kesahihan cerita Embun Semibar dan Dayang Torek.
Sekitar 500 meter ke hulu lubuk, terdapat benteng-benteng yang tak
lagi berbentuk. Di sekitar reruntuhan tembok pertahanan itu, pecahan
keramik Tiongkok berserakan, seolah tak ada yang tertarik untuk
memuseumkannya, seolah keberadaannya tak ubahnya sampah-sampah yang
terlalu merepotkan untuk dibereskan.
Benteng itu dibangun sebagai pertahanan terakhir Rio Cinde dan Rio
Cili, dua raja yang pernah berkuasa di karasidenan, dari gempuran
senapan dan meriam Belanda ketika Perang Pagarbesi pecah di Musi Rawas.
Syahdan, kedua Rio itu pun sempat beradu kesaktian dengan Embun Semibar
dan terlibat pertarungan hebat satu sama lain demi memperebutkan Dayang
Torek (kata orang-orang tua dulu, kecantikan Dayang Torek menyerupai
bidadari dari Mesir).
Penduduk setempat abai pada cerita-cerita yang penuh tantangan untuk
terus digali itu. Yang mereka tahu, Sungai Kasie adalah sungai dangkal
dengan batu-batu besar yang menyerakinya. Sungai yang masih memanjakan
mata dengan pemandangan para perempuan yang mandi dan mencuci saban pagi
dan petang hari. Sungai dengan jembatan gantung yang sangat panjang,
hampir 100 meter, di atasnya.
Bukan sungai yang menyimpan kepingan sejarah.
Bukan sungai yang mengandung lubuk, Raudal!
Lubuk Nio
Dalam bahasa Lubuklinggau, Nio berarti kelapa. Lubuk Nio adalah lubuk
yang terdapat di salah satu sungai yang mengalir di sebelah selatan
lereng Bukit Sulap. Di sepanjang tepi sungai itu, pohon-pohon kelapa
berpelepah panjang dengan daun-daun lurus dan rimbun di kirikanannya
tumbuh menjulang. Bila angin sedang ribut, bukan daunnya saja yang
melambai, pohonnya pun limbung, seperti para raksasa mabuk yang berusaha
menegapkan diri.
Ketika kecil, aku dan kawan-kawan sepermainan kerap nyebur dan
memasang tajur di aliran sungai di sekitar lubuk. Ya, kami tak pernah
khawatir terseret oleh pusaran air yang berada tak jauh dari daerah
pemandian kami. Pengalaman memberi tahu kami bahwa lubuk bukan sekadar
pusaran air yang mengisap benda apa pun yang berada di sekitarnya,
melainkan tempat terselubung yang memiliki semacam perasaan dan indera
penciuman yang tak terjelaskan bagi calon mangsanya.
Hingga kelas dua SMP—yang merupakan waktu terakhir aku mandi di
sungai—, aku dan kawan-kawan tak pernah diseret arus lubuk, sebagaimana
ditakutkan oleh sebagian besar penduduk (apalagi orang-orang kota yang
hanya tahu “pusaran adalah lubang kematian di bawah sungai”) itu.
Namun, dua kawan kami, Mursal dan Badri (putranya Wak Samin dan Bi
Juhai), mati dipintal arus lubuk. Mereka memang terkenal sebagai anak
bengal. Mursal yang satu kelas denganku hingga kelas 5 SD, gemar sekali
bertaruh uang ketika main karombol, bor, lari cengkot, atau pantak lele.
Bila tidak ada yang menyambut taruhannya, dia akan berang. Perangainya
yang kasar, membuat banyak kawan sebayanya tak berkutik bila berhadapan
dengannya, termasuk aku.
Sementara Badri adalah anak yang tak bisa mendengarkan larangan atau
nasihat dari siapa pun, termasuk orang tua. Ia kerap nonton video film
dewasa yang diputar di salah satu rumah keluarga China Bangka yang
tinggal di Kampung Kandis.
Hingga… hujan yang turun di siang September yang terik tahun 1996,
menjadi waktu yang mustajab bagi Mursal dan Badri untuk bertemu. Mursal
mengajak Badri taruhan: siapa yang menyelam ke sungai paling lama, maka
dialah yang menang. Kami pikir, mereka sangat nekat. Mandi di dekat
lubuk ketika hujan panas. Aku sampai-sampai melaporkan hal itu kepada
Wak Samin dan Bi Juhai yang sedang mengangkat jemuran di pekarangan.
Tapi ternyata kami telat. Sesampai di sana, mereka sudah nyebur.
Bi Juhai tak henti meneriaki Badri yang menahan napas di dalam sungai
untuk segera ke daratan. Sementara Wak Samin merampas uang taruhan yang
dipegang Tanjung, kawan kami yang paling sering dipalak Mursal. Tak
lama kemudian, kawan-kawan berteriak. Bukan karena kepala Mursal dan
Badri sudah tampak di permukaan air, melainkan karena mereka berdua
terseret hingga ke Lubuk Nio.
Sejak itu, aku tak berani lagi mandi di dekat Lubuk Nio. Sedangkan
beberapa kawan yang lain hanya sempat mencobanya beberapa kali sebelum
beralih tempat mandi ke utara sungai, yang lebih deras, berbatu, dan
asyik untuk beranyotan dengan menunggangi batang pisang.
Kejadian itu bukan saja membuat kami tak ingin menjadi anak yang
nakal dan melawan orang tua, tapi juga membuat kami tahu kalau lubuk
dapat menjadi sebegitu mematikannya, sebagaimana mereka mempermainkan
tubuh kedua kawan kami.
Ya, tubuh Mursal dan Badri yang sudah kembung dan biru, baru
ditemukan keesokan harinya di Sungai Kelingi. Dan cerita kematian Mursal
dan Badri ini masyhur hingga kini. Cerita yang memerudukkan sekaligus
memopulerkan Lubuk Nio.
Ah, mengapa kematian kedua kawan kami itu harus menjadi hulu kemasyhuran lubuk yang sebenar indah, sejuk, dan menenangkan itu?
Lubuk Naga
Sekitar 10 kilometer ke selatan dari Lubuk Nio, jembatan kayu yang
berukuran 60 x 7 meter membelah Sungai Kelingi. Jembatan yang berada di
antara perbatasan Dusun Linggau dan Kampung Kandis ini merupakan
jembatan tua yang dibangun 2 tahun setelah kemerdekaan republik ini
diproklamasikan.
Di samping jembatan ini terdapat jembatan papan gantung yang lebarnya
hanya satu meter dan bolong di sana-sini. Kami tak pernah melintasi
jembatan itu karena kondisinya yang mengenaskan itu. Sampai sebuah
peristiwa mengenaskan, membangkitkan cerita mistik yang lama tersimpan
itu hingga… kami pun terpaksa melewati titian penuh bahaya itu!
Pagi April yang sejuk, tahun 1994. Sekitar pukul 7 pagi ketika aku
baru tiba di SD untuk melaksanakan ujian kenaikan kelas tiga hari kedua,
kabar itu menggemparkan seisi sekolah. Aku yakin, kegemparan juga
terjadi di tempat lain.
Jembatan Sungai Kelingi ambruk!
Empat belas anak-anak dan lebih dari sebelas orang dewasa menjadi
korban. Belakangan tersiar kabar kalau itu belum termasuk korban yang
tewas karena hanyut atau tertimpa kayu jembatan dan korban-korban yang
tak ditemukan alias hilang yang jumlahnya sebelas orang. Perkara yang
terakhir inilah yang membangkitkan cerita mistik itu.
Malam sebelum peristiwa nahas itu, orang-orang Dusun Linggau dan
Kampung Kandis yang tinggal berseberangan di bantaran sungai mengatakan
ada suara riuh yang berasal dari lubuk. Kata mereka lagi, mereka memang
biasa mendengarkan suara itu kalau ada orang yang mati hanyut di sungai
sehari sebelumnya. Tapi hari itu memang tak ada kabar hanyutnya
penduduk. Maka, keriuhan “penghuni” lubuk itu adalah pertanda bahwa
mereka akan “panen” korban keesokan harinya.
Entah, benar-tidaknya cerita itu, namun bagian lain yang lebih seksi
adalah: Lubuk Kelingi dihuni oleh naga yang meminta banyak korban setiap
35 tahun. Bila dirunut lagi, jembatan kayu itu memang pernah ambruk
pada 1959 sejak dibangun 12 tahun sebelumnya. Namun, bisa saja angka 35
itu hanya cocok-cocokan penduduk yang gemar menyelimuti kampung dengan
kabar burung yang penuh dengan bau alam lain.
O, Raudal, kau tentu penasaran perihal naga yang bersemayam di dalam lubuk itu, bukan?
Dua minggu setelah peristiwa nahas itu, para penyelam dari Palembang
dan Jakarta akhirnya “terprovokasi” oleh cerita penduduk perihal
korban-korban yang disedot ke dalam lubuk. Ya, tidak seperti aku yang
sangat penasaran tentang cerita naga itu, mereka seperti mengabaikannya.
Hal itu tampak dari keberanian para penyelam—yang jumlahnya 10 orang
itu—menyusuri kedalaman lubuk.
Lima jam berselang, para penyelam itu muncul di permukaan. Tapi hanya
7 orang, 3 yang lain hilang di dalam lubuk. Dua bulan kemudian, ketiga
penyelam yang hilang itu muncul di Sungai Musi, 2 kilometer dari
Jembatan Ampera. Kabar yang berembus, ketiga mayat yang membusuk dalam
balutan pakaian selam itu digiring naga penunggu Lubuk Kelingi hingga ke
Sungai Musi.
Nah, Raudal, bila benar begitu, alangkah dalam, meliuk, dan
panjangnya Lubuk Kelingi di bawah tanah tu? Bayangkan saja, jarak darat
antara Lubuklinggau-Palembang adalah 314 km, yang biasa ditempuh 7 jam
dengan mobil atau 9 jam dengan kereta api.
Sejak itu, Lubuk Kelingi berganti nama menjadi Lubuk Naga.
Sejak itu, orang-orang menyeberangi Sungai Kelingi dengan dua cara.
Membayar jasa rakit atau berjalan di atas jembatan papan gantung. Aku
dan kawan-kawan kerap memakai cara yang kedua. Kami tak ingin uang jajan
diberikan kepada tukang rakit!
Dan… Lubuk Naga masih diam dan bisu di sana.
Kabar gembiranya, daerah sekitar Lubuk Naga masih sejuk dan rimbun
oleh pohon-pohon sungkai, petai cina, dan semak karimunting. Tak ada
sampah-sampah yang menggenang di sana. Entah karena penduduk masih
percaya pada cerita naga di dalam lubuk atau sadar akan kebersihan,
kenyataan itu membuat aku selalu nyaman untuk memperkenalkan lubuk itu
kepada kawan-kawan yang (kelak) datang.
***
BILA hingga hari ini kau masih belum pula menyambangi Lubuklinggau
dalam hajat yang disengaja, maka lubuk-lubuk yang kuceritakan tadi
rasanya bisa menyaru menjadi alasan yang lebih dari cukup untuk
menggiringmu bertandang ke tanah kelahiranku, Raudal.
Meskipun, ya, meskipun ada beberapa lubuk lain yang belum bisa
kubentangkan di sini hikayatnya. Koran sudah tak sebebas dahulu. Cerita
perihal lubuk tentu kalah bertuah dari gosip artis, video tak berisi
yang viral di internet, atau manuver politik menjelang pilpres.
Datanglah…
Lubuk-lubuk itu siap menyambutmu, membawamu bertualang, menyusuri
pusaran yang panjang, paling tidak kuasa membuatmu melupai hiruk-pikuk
akhir zaman, hingga kau tersesat, meskipun sesaat.
Lubuklinggau, Oktober 2013–Maret 2018 buat Raudal Tanjung Banua
Benny Arnas. Pengarang, tinggal di Lubuklinggau. Dua bukunya yang siap terbit tahun ini, Cinta Menggerakkan Segala (novel, Republika) dan Hujan Turun dari Bawah (buku puisi, Grasindo)
Cerpen Chandra Buana (Suara Merdeka, 08 April 2018) Taraji, Oh Taraji ilustrasi Suara Merdeka
Tak mudah memang menjadi lelaki idealis. Setelah terusir dari
keluarga lima tahun lalu, kini Taraji kerap memikirkan perkara yang
realistis. Misalnya, pulang ke rumah.
Namun egonya terlalu besar, sehingga Taraji memutuskan bertahan.
Pulang? Tidak. “Aku hanya akan jadi bahan olokan Bapak jika pulang.
Lebih baik aku mati kelaparan di sini,” gumam Taraji.
Lima tahun lalu, Taraji berdebat dengan sang bapak. Taraji ingin
meneruskan sekolah di kota, sedangkan Bapak ingin Taraji membantu di
sawah.
“Dasar bocah gendeng! Buat apa sekolah tinggi-tinggi jika akhirnya kamu kembali ke sawah?”
“Bapak gak ngerti. Sekolah penting, Pak.”
“Persetan! Sekolah hanya menghabiskan uang, Taraji. Tak menghasilkan uang. Lebih baik kamu bantu Bapak garap sawah.”
“Tidak, Pak, aku mau sekolah di kota.”
“Uang dari mana? Kamu sanggup membiayai hidupmu di kota?”
Taraji terdiam. Ibunya di dapur pun diam. Namun ada air menetes dari
mata sang ibu. Cuma sang ibu tak bisa berbuat apa-apa. Jika mereka sudah
berdebat macam itu, tak ada yang bisa dia lakukan. Hanya pasrah pada
Tuhan.
“Pokoknya aku mau sekolah. Titik!”
“Kamu mau melawan orang tua? Siapa mengajarimu seperti ini?”
Taraji kembali bungkam. Bapak masuk ke kamar. Taraji tetap diam di meja makan, lalu pergi keluar rumah.
Malam hari Taraji baru pulang. Dia berdiam diri melihat sang ibu
menunggu di beranda. Dia masuk tanpa salam. Mulut Taraji bungkam. Dia
buka tudung saji. Hanya ada nasi, sekerat tempe, dan secolek sambal
terasi. Dia tutup kembali tudung saji, lalu masuk kamar.
“Aku harus pergi dari rumah ini,” batin Taraji.
***
“Astaghfirullah, mau ke mana kamu?”
“Pergi, Mak. Tak guna terus bertengkar dengan Bapak. Bapak tak mengizinkan aku sekolah.”
“Istighfar, Nak, istighfar.”
“Sudahlah, Mak, tekadku sudah bulat.” Bayangan itulah yang selalu
menghantui pikiran Taraji. Dulu di rumah, ketika lapar setidaknya masih
ada nasi. Sekarang? Untuk minum pun, dia harus ke masjid. Mengendapendap
ke kamar mandi, lalu minum air untuk wudu.
”Nasi sudah jadi bubur. Masa aku menjilat ludahku? Tidak, tak akan kulakukan.”
Pernah suatu kali dia benar-benar ingin pulang. Dia berjalan
berjam-jam dari kota. Namun ketika sudah setengah perjalanan, dia
urungkan niat itu.
“Apa kata Bapak melihat aku balik ke rumah? Mana bajuku compang-camping begini. Sudahlah, biar aku mati kelaparan di kota.”
Kini, sudah tiga hari Taraji belum makan. Tiga hari dia hanya minum
air. Badannya kurus-kering. Mukanya kucal, baju compangcamping. Dia
tinggal di pasar. Pagi hari dia bangun, melipat kardus alas tidur, lalu
pergi. Malam tiba, kembali ke pasar.
Siang itu, ketika berjalan kian-kemari tak keruan juntrungan, dia
melihat kebun singkong. Karena sudah berhari-hari tak makan, dia
memutuskan mencuri. Akal sehat Taraji sudah terbungkus lapar. Taraji pun
mengendap-endap. Ketika sudah berada di tengah kebun, dia mencabut
sebatang pohon singkong.
“Sebonggol sudah cukup,” pikir dia.
Dia mematahkan batang pohon singkong, lalu mengambil umbinya. Batang
itu dia tanam kembali. Sial, baru saja menancapkan batang singkong ke
tanah, sang pemilik kebun datang. Taraji tertangkap.
Pemilik kebun meneriaki dia maling. Beberapa orang datang dan
menghajar Taraji tanpa ampun. Mereka membawa dia ke kantor polisi.
Taraji dipenjara dua bulan.
Selama di penjara, Taraji amat senang. Dia bisa makan, meski hanya
sekali sehari. Jatah makan di penjara hanya dua kali. Jika ambil porsi
nasi standar, kau boleh mengambil lauk. Namun jika mengambil nasi
terlalu banyak, tak ada lauk.
Saat waktu makan, Taraji mengambil nasi sebanyak-banyaknya. Lalu dia
meminta garam dan menaburkan di atas nasi. Taraji sungguh senang, bisa
makan tanpa bekerja. Namun di penjara, semua serbamembayar. Untuk
memperoleh air satu setengah liter harus membayar 10.000 rupiah.
Namun itu bukan masalah besar bagi Taraji. Dia memilih tak mandi.
Buang air besar bisa dia lakukan di sembarang tempat. Kadang di taman,
selokan, kamar mandi sipir, atau di mana saja. Semua dia lakukan
diam-diam. Tak ada yang tahu, itu kotoran siapa. Hanya Taraji dan Tuhan
yang tahu.
Sekeluar dari penjara, Taraji kembali hidup seperti semula. Dia
kembali tak bisa makan dan minum. Berhari-hari dia mencari makan dan
minum, tetapi sia-sia. Tak seorang pun memberi sesuap nasi.
Muncul kembali niat mencuri agar bisa masuk penjara lagi. Namun jika
hanya maling singkong, pasti hanya beberapa bulan di penjara. Akhirnya
dia berencana membobol rumah seorang saudagar.
Begitulah, setelah merencanakan secara matang, akhirnya Taraji
membobol rumah saudagar itu. Malam hari, dia mengendap-endap, mencungkil
pintu, dan masuk. Dia mengambil radio dan kipas angin. Aksinya berjalan
mulus. Taraji pun kembali ke pasar dan tidur.
Keesokan hari, Taraji bangun pagi-pagi sekali. Dia tak sabar menunggu
ditangkap karena telah mencuri. Dia mondarmandir di sekitar pasar. Dia
gelisah karena polisi tak kunjung datang. Sementara itu, para pedagang
sudah bersiap berjualan. Taraji pun terusir dari pasar.
Siang terik. Taraji kehausan. Dia mengempit radio dan kipas angin
jarahan. Dia memutuskan menjual salah satu barang itu untuk mengisi
perut. Akhirnya dia melepas kipas angin seharga 50.000 rupiah.
“Lumayan, bisa buat makan seminggu,” gumam dia.
Namun setelah seminggu, polisi tak kunjung datang. Dia heran, mengapa
polisi tak datang dan menangkap. Uang 50.000 rupiah sudah habis tiga
hari lalu. Kini, sudah tiga hari dia tak makan. Dia kelaparan. Mau tak
mau dia harus menjual radio curian. Tak perlu lama, radio itu terjual
30.000 rupiah. Tiga hari perutnya aman.
Ketika uang habis, Taraji kembali kelaparan. Sampai seminggu
kemudian, dia hanya bisa mengisi perut dengan air. Taraji tak kuat.
Akhirnya dia menyerahkan diri ke kantor polisi.
Di kantor polisi, dia mengakui segala perbuatan; mencuri radio dan
kipas angin dari rumah seorang saudagar. Namun polisi tak percaya karena
tak ada barang bukti.
Taraji gusar sekaligus bingung. Dia memohon- mohon dimasukkan ke penjara.
“Kenapa kamu ingin sekali masuk penjara?” tanya polisi.
Dengan tubuh lemas, Taraji menjawab, “Cuma di penjara, aku bisa makan tanpa kerja.” (44)
Semarang, 21 Maret 2018: 20.55
Chandra Buanakelahiran Lampung, mahasiswa Jurusan Manajemen Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.
Cerpen Iksaka Banu (Koran Tempo, 07-08 April 2018) Teh dan Penghianat ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
Begitu daun jendela terbuka, asap pipa tembakau yang semula
terperangkap di ruang kerjaku berebutan ke luar, diganti udara sejuk.
Kuhela napas panjang, seolah ingin mengisi paru-paru dengan kemurnian
udara kaki Gunung Burangrang. Berharap hal itu bisa mengurangi rasa
pening lantaran dua hari penuh menggelar rapat komandan lapangan.
Kantorku di lantai dua. Setiap hari sebelum mulai bekerja, aku memang
selalu menyempatkan diri berdiri menghadap ke luar seperti ini. Di
musim tanam, bila pandangan diarahkan ke kiri, kita bisa melihat para
petani membajak sawah dengan kerbau mereka. Sementara di sisi kanan,
tampak kesibukan pagi sebagian penghuni Loji Kembang Kuning, pos militer
yang baru empat bulan kutempati ini.
Dibanding kantor sebelumnya yang kering di Batavia, loji ini jauh
lebih menyegarkan. Sepanjang sapuan mata: alam pegunungan yang permai.
Aku bahkan tidak keberatan seminggu tiga kali ikut berpatroli bersama
pasukan, menjelajahi desa demi desa. Sambutan penduduk selalu ramah.
Tentunya pada hari-hari normal. Bukan seperti saat ini.
Ya, kami sudah mendengar kerusuhan berdarah di perkebunan teh dua
hari lalu. Tetapi tidak mengira perkembangannya begini cepat dan buruk.
Apakah peristiwa ini akan memicu perang besar lagi? Semoga tidak. Kami
sudah muak mengangkat senjata. Belum dua tahun mengenyam kehidupan
tenteram setelah Perang Jawa berakhir.
“Masuk!” kujawab ketukan di pintu. Letnan Jacob Staplichten mendekat
bersama seorang pria berpakaian putih, khas pejabat perkebunan. Lengan
kanan orang itu dibebat perban. Di pundak kiri tergantung tas kulit
besar.
“Kapten Simon Vastgebonden.” Letnan Staplichten memberi hormat. “Ini
Tuan Karel Wijnand, deputi direktur perkebunan Wanayasa yang mengalami
kejadian tragis kemarin. Ia ingin menanyakan kemungkinan menyewa
tentara, mengawal perjalanannya ke Batavia.”
“Duduklah dulu, Tuan-tuan. Silakan tuang kopi di meja itu. Bagaimana
tanganmu, Tuan Wijnand?” kusapa pria berkulit kemerahan itu. Ia memiliki
dagu tegas, yang ditopang leher dan sepasang bahu kukuh.
“Jauh lebih baik. Sudah dijahit oleh Dokter Van Rossum,” Karel Wijnand menggerakkan tangannya.
“Syukurlah,” jawabku. “Dan bagaimana keadaan Raden Adipati Suriawinata pagi ini, Letnan?”
“Sedikit terguncang,” jawab Letnan Staplichten. “Bisa dipahami. Siapa
sangka para buruh Cina itu berani bertindak di luar akal sehat seperti
kemarin.”
“Di luar akal sehat? Mereka sering terlambat menerima upah, Letnan,”
kataku. “Bahkan konon tidak dibayar sesuai kesepakatan kontrak kerja.
Demikian yang kudengar. Mengapa hal memalukan semacam itu terjadi?
Mungkinkah ada yang bermain di belakang dana perkebunan teh ini, Tuan
Wijnand?”
“Aku tidak tahu-menahu soal upah, Kapten.” Air muka Karel Wijnand
berubah. “Sudah ditentukan pemerintah. Tugasku menjaga ketertiban serta
kelancaran produksi. Percayalah, itu bukan pekerjaan mudah dibandingkan
gaji yang kuterima.” Karel Wijnand mengangkat bahu. “Selain itu, semua
berlangsung cepat. Awalnya kukira mereka bergerak sendiri dan spontan.
Ternyata ini sebuah komplotan besar.”
“Kemarin sudah kami petakan persoalannya. Aku yakin sedikitnya Tuan
juga sudah tahu. Mari kita lihat sekali lagi.” Kuteguk kopi pagiku yang
mulai mendingin. “Ada dua kelompok Cina yang memberontak. Pertama, Cina
asal Makau yang membuka lahan perkebunan teh milik pemerintah di
Wanayasa. Mereka merasa kecewa oleh dua hal pokok: gaji yang jauh dari
kesepakatan, dan kekejaman pemilik perkebunan yang kerap menghukum
berlebihan, sehingga…”
“Wanayasa di bawah pengawasanku. Dan Tuan Sheper Leau bukan orang
kejam,” potong Karel Wijnand. “Kapten harus membedakan antara ‘kejam’
dengan ‘tegas’ di sini.”
“Tuan Wijnand, aku sedang menyampaikan fakta yang kuketahui. Jangan
menyela!” Aku tersulut. “Nah, kelompok kedua adalah Cina asal Makau di
Purwakarta. Partikelir. Mereka kecewa karena dilarang membuka lahan baru
di sana.”
“Mustahil menyerahkan lahan luas kepada partikelir, apalagi bukan
orang Belanda. Apa yang tidak kita berikan selama ini kepada orang-orang
Cina itu? Tanah, pekerjaan, perlindungan? Dan ini balasan mereka?
Pengkhianat tak tahu diuntung!” Karel Wijnand mendengus.
“Mereka menyewa tanah, bukan memiliki,” sahutku.
“Sebaiknya kita membicarakan masalah yang baru saja terjadi. Dua
kelompok ini terbukti menggalang kekuatan untuk melakukan perlawanan.
Entah siapa yang memulai. Mereka sangat berbahaya. Itu sebabnya aku
minta pengawalan ke Batavia.” Karel Wijnand mengambil kotak cerutu dari
tasnya, lalu mengangsurkannya kepada Letnan Staplichten dan kepadaku.
Aku menggeleng. Letnan Staplichten tampak ragu menatap cerutu mahal itu,
tetapi kemudian mengambil sebatang setelah Karel Wijnand memaksanya.
“Yang pertama bergerak adalah Cina di Purwakarta. Mereka membakar
gudang-gudang Pelabuhan Cikao. Beruntunglah Raden Adipati sempat bertemu
patroli kami, sehingga ia dan keluarganya bisa dilarikan ke sini,”
Letnan Staplichten angkat bicara.
“Aku bisa merasakan kengerian Raden Adipati. Aku mengalaminya
sendiri,” kata Karel Wijnand. “Kelompok Cina Wanayasa bergerak tanggal
10 Mei kemarin, melintasi perkebunan teh menuju Purwakarta dari arah
Selatan. Aku baru usai sarapan bersama Tuan Sheper Leau ketika mereka
datang merangsek kantor kami.” Karel Wijnand berhenti sebentar,
menghirup cerutunya.
“Aku lari ke istal. Seorang dari mereka mengayunkan parang. Kutangkis
dengan tangan.” Karel Wijnand menunjuk lengannya yang dibebat. “Syukur
aku bisa memacu kudaku lari dari neraka itu. Tuan Sheper Leau tidak
beruntung. Dari mandor bumiputra kudapat kabar Tuan Leau terjatuh, lalu
dipenggal kepalanya. Mayatnya dibuang ke tengah hutan. Biadab!”
“Kita semua berduka untuk nasib malang Tuan Leau. Tetapi untuk
memadamkan api pemberontakan, kita perlu mengetahui duduk perkara
sesungguhnya, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Sejak dulu
orang Cina gigih dan rajin. Membuat mereka sering berada dalam posisi
kurang menguntungkan,” kataku.
“Bila Tuan membaca catatan tentang Perang Cina seratus tahun lalu,
akan Tuan temukan bahwa penyebabnya mirip dengan yang terjadi hari ini.
Kecemburuan sosial yang berujung pada pembantaian besar warga Cina di
sepanjang Kali Angke. Sebagai balasan, mereka meletupkan perang yang
merepotkan kita. Bahkan mengakibatkan Kerajaan Mataram terbagi dua.
Padahal awalnya mereka hanya mencari keadilan. Dan sebetulnya kita juga
membutuhkan mereka.”
“Maaf, apakah Tuan punya keluarga dari etnis Cina?” Karel Wijnand mencondongkan badan ke arahku.
“Tidak. Mengapa Tuan bertanya demikian?”
“Karena, kalau Tuan bertemu mereka setiap hari, Tuan akan melihat
bahwa mereka tak lebih dari––sekali lagi––pengkhianat licik yang tak
bisa dipercaya. Beri sedikit peluang, mereka akan berulah! Jangan lupa,
mereka baru saja membantai Tuan Sheper Leau seperti seekor anjing!”
“Dan menurut Tuan, orang Belanda tak ada yang licik?” tanyaku.
“Aku malas berdebat untuk masalah yang sudah sangat kupahami,” Karel
Wijnand memalingkan wajah. “Aku ke sini ingin menyewa tentara. Bukan
minta dikuliahi atau diinterogasi.”
“Aku juga tak ingin berdebat. Pun tidak memihak kepada para
pemberontak. Tugasku sekarang memadamkan api ini sedini mungkin. Aku
hanya ingin mengatakan, cukup sering kekacauan bermula dari kita
sendiri. Seandainya kita lebih bijaksana, hal seperti ini tidak akan
terjadi,” kataku.
“Kemarin sore Tuan Heinrich Christian Macklot pergi ke Purwakarta
membawa tiga meriam berikut pasukan gabungan dari Cianjur, Sumedang,
serta Bandung. Semoga ia berhasil membendung kerusuhan ini.” Letnan
Staplichten mengalihkan topik.
“Heinrich Christian Macklot? Bukankah ia seorang botanikus?” Karel
Wijnand menautkan alis. “Tahun lalu ia datang ke Wanayasa, mengambil
spesimen teh untuk bahan penelitian Natuurkundige Kommissie.”
“Ia memang belum lama menjadi komandan artileri. Pria sederhana dan
banyak bakat,” sahutku. “Mengenai pengawalan ke Batavia, Tuan Wijnand,
dengan segala hormat, karena seluruh tentara disiagakan menumpas
kerusuhan, aku khawatir tak bisa mengabulkan permintaanmu. Semoga Tuan
bisa mengerti. Tinggallah di sini barang sepekan, sampai keadaan lebih
aman.”
“Sepekan terlalu lama.” Karel Wijnand bangkit dari bangku. “Soal
keluarga, aku bisa menunggu. Tetapi laporan penting harus kubawa sendiri
ke Batavia. Tidak bisa diwakilkan. Biar kutunggu dua hari ke depan.
Terima kasih, Kapten!” Karel Wijnand menjabat tanganku sebelum melangkah
ke luar diantar Letnan Staplichten. Birokrat teh keparat. Mengira mereka orang penting! Aku
memaki dalam hati. Perlahan kutarik dokumen dari laci. Sejarah Teh.
Salinan ringkas yang kuperoleh dari perpustakaan botani di s’Lands
Plantentuin Buitenzorg beberapa hari sebelum aku pindah ke kantor baruku
di daerah perkebunan teh ini. Kusalin atas nasihat pimpinanku di
Batavia, agar aku mengenal daerah kerjaku. Teh berasal dari Negeri Cina. Tahun 1595 dibawa ke Eropa oleh Jan
Huijghen van Linschoten. Masuk ke Hindia Belanda tahun 1684 dalam
bentuk biji teh dari Jepang. Saat itu teh digunakan sebagai tanaman hias
saja. Setelah diketahui manfaat dan kenikmatannya, tahun 1826 teh
dikembangkan di s’Lands Plantentuin Buitenzorg. Tak lama kemudian,
Jacobus Isidorus Loudewijk Levian Jacobson, menanam teh secara
besar-besaran di Banyuwangi dan di Wanayasa. Kebun teh Wanayasa dianggap
berhasil, sekaligus membuka jalan bagi usaha perkebunan teh di Pulau
Jawa. Untuk meningkatkan mutu produksi, Jacobson mengambil buruh Cina
dari Karawang dan Batavia. Ia juga mendatangkan 15 buruh langsung dari
Negeri Cina. Tujuh di antaranya pakar teh. Mereka semua disebut Cina
Makau, karena memang berasal dari daerah itu. Mereka ditempatkan di
sekitar kaki Gunung Burangrang.
Terdengar ketukan pada pintu kamar. Aku berhenti membaca. Letnan
Staplichten lagi. Sepucuk surat tergulung rapi dalam genggamannya.
“Dari Purwakarta.” Tangannya terulur.
Kubaca surat itu dengan cepat. Lalu kutatap lesu Letnan Staplichten.
“Buruk?” tanya Letnan Staplichten.
“Para pemberontak sudah mencapai Subang. Diduga akan masuk Batavia
dari Tanjung Pura. Tentara Tuan Macklot telah tiba di Desa Dawuan,
menunggu di situ. Kita diminta memperkuat bala bantuan dari Batavia,
memukul para pemberontak agar mundur ke Dawuan, lalu menjepit mereka di
sana,” sahutku.
“Butuh dua hari ke tempat itu dengan artileri,” Letnan Staplichten menatap peta di dinding.
“Tidak perlu.” Aku menggeleng. “Kita akan melambung mendahului
mereka, lalu bergabung dengan pasukan Batavia. Di bagian inilah aku
merasa kurang nyaman.”
“Mengapa?”
“Pasukan kavaleri Batavia itu dipimpin seseorang yang pernah menjadi
musuh besarku empat tahun lalu dalam pertempuran di Jawa Tengah. Ia
pernah dengan gemilang menghancurkan pasukan Mayor Buschkens. Namanya,
Alibasah Sentot Prawirodirjo.” Kuulurkan surat tadi kepada Letnan
Staplichten. “Bacalah.”
“Alibasah?”
“Itu salah satu gelar kepangkatan pasukan Diponegoro saat berlangsung
Perang Jawa.” Aku mengaitkan tangan ke punggung. “Alibasah. Diambil
dari istilah kemiliteran Ottoman, Pasha. Jabatan setingkat jenderal.”
“Apa yang kaukhawatirkan dari orang ini?”
“Di mana engkau saat Perang Jawa berkecamuk, Letnan?” Aku menoleh
tergesa kepada Letnan Staplichten. “Ia tangan kanan Diponegoro.
Kemampuan tempur dan penguasaan strategi lapangannya sangat tinggi.
Dibutuhkan mental kuat bagi pasukan kita untuk tidak terbirit-birit
mendengar namanya disebut di medan perang.”
“Bukan begitu. Maksudku, ia toh kini sudah berada di pihak kita,” Letnan Staplichten mengembalikan tatapanku.
“Memang. Akibat kondisi keuangan yang memburuk, ditambah para petani
yang sudah bosan diajak perang, dan pajak pasar yang tidak bisa lagi
dikutip pasukannya, Sentot bersama 500 orang tentara andalannya
mendatangi markas kami. Jenderal De Kock sendiri yang menyambutnya. Ia
diberi pangkat letnan kolonel, diberi gaji tetap, dan diperbolehkan
memimpin pasukannya sendiri. Ini penugasan pertama mereka. Masalahnya,
percayakah engkau kepada pengkhianat yang meninggalkan junjungannya demi
uang? Bagaimana bila pasukan Cina Makau yang kuat ini memberi ilham
kepadanya untuk berbalik lagi melawan kita? Pengkhianat tetaplah
pengkhianat.”
“Apakah ini tidak berlebihan?” Letnan Staplichten tampak ragu.
“Aku tidak mau mengambil risiko. Bentuklah satu detasemen khusus.
Amati gerak-gerik Sentot dan pasukannya,” kataku. “Kalau terlihat
mencurigakan, hantam mereka saat itu juga.”
Letnan Staplichten bergegas ke luar ruangan.
Sore harinya, di bawah pimpinanku, pasukan kavaleri pemukul
berkekuatan 300 orang bertolak menuju Tanjung Pura. Hampir tak ada
halangan besar. Jalanan berlumpur yang sulit dilalui pada musim
penghujan telah berubah menjadi sekeras batu terpapar terik matahari
bulan Mei.
Pukul satu siang keesokan harinya, kami memasuki wilayah Tanjung
Pura. Di tugu tapal batas sudah menanti pasukan bumiputra dalam
kemah-kemah darurat. Wajah mereka gelap dan berurat. Bahkan sorot mata
mereka, sejujurnya, mengingatkanku pada rombongan begal yang sering
mengganggu desa.
Aku melompat turun dari kuda. Seorang pria dengan kumis tipis,
sorban, gamis putih, dan jubah berwarna hijau mendekat. Alibasah Sentot
Prawirodirjo, kueja nama itu dalam hati. Kami bertukar tatap tanpa
suara. Tampaknya ia berusaha keras mengais potongan wajahku dari
tumpukan ingatan di benaknya. Membuat sepasang matanya tampil lebih
buas.
Tak berapa lama, tarikan wajahnya mengendur. Mungkin ia tidak
menemukan satu pun ingatan tentang diriku, dan memutuskan tidak terlalu
menganggap penting jati diriku. Ia memberi sedikit senyum. Dari jarak
sedekat ini aku semakin paham mengapa dulu pasukan kami segan berurusan
dengannya. Tetapi aku tidak boleh kalah wibawa.
“Ini rencana kita,” kataku dalam bahasa Melayu. Kusorongkan denah
penyerangan kepadanya. Ia lekas menangkap maksudku, dan sepakat dengan
semua yang kukatakan.
Tanpa membuang waktu, kami segera bergerak. Pasukan Sentot secara bertahap membentuk formasi huruf U lebar. Sepit Urang. Capit Udang. Jurus ampuh yang dahulu menggentarkan kami di Perang Jawa.
Beberapa jam kemudian, kami beradu muka dengan rombongan pasukan yang kami buru itu: para pria berkulit kuning dengan rambut taucang, tombak, dan golok panjang. Sebagian di atas kuda, sisanya berjalan kaki sembari mengawal pedati yang dihela dua ekor lembu.
Mereka berusaha memancing kami menuju celah sempit di antara dua
bukit di depan sana. Jebakan usang. Sudah kami duga sebelumnya. Sesuai
rencana, pasukan Sentot menyibak, memberi jalan kepada kami untuk maju.
Sekejap kemudian, senapan Beaumont kami menyalak bergantian, menyapu
bersih para penembak jitu yang sejak tadi telah menunggu di kedua sisi
bukit.
Mendadak pasukan tombak mereka muncul dari balik gerobak, dan dengan
nekat berlari ke arah kami. Beberapa anak buahku terpelanting dari kuda
memegang dada atau perut. Namun barisan tombak tadi tidak berusia
panjang. Dari jarak sangat dekat, pistol kami menghentikan serangan
brutal itu.
Ketika mereka mulai bergerak mundur, giliran bala tentara Sentot
berderap maju, menebas kiri-kanan dengan pedang. Membawa ingatanku
melayang jauh ke masa lalu: Pertempuran sengit antara laskar Diponegoro
dengan pasukan gabungan pimpinan Kolonel Cochius, Letkol Le Bron De
Vexela, dan Mayor Sollewijn di daerah Siluk. Namun itu masa yang
berbeda. Kali ini Sentot dan anak buahnya yang menggiriskan hati itu
berada di pihak kami.
Kurang dari satu jam, pasukan Cina Makau luluh-lantak. Mayat
bergelimpangan. Sebagian yang selamat berbalik arah, kembali menuju
Subang. Gerobak berhasil kami rebut. Selain berisi makanan, ternyata
alat angkut itu dijejali senapan dan amunisi. Sentot menahan laju
pasukannya setelah mencoba mengejar cukup jauh, kemudian memutar arah,
menghampiri pasukanku.
Aku melirik Letnan Staplichten dan anak buahnya yang sejak tadi
berjaga di sayap kiri. Senapan mereka satu per satu terangkat, mengikuti
gerak kuda Sentot. Jantungku mulai bertalu kencang. Sangat perlahan,
jari kananku merayap ke arah ujung pelatuk senapanku. Pengkhianat
tetaplah pengkhianat, aku mengulang perkataanku kepada Letnan
Staplichten kemarin dalam hati.
Sentot terus mendekat. Sekitar tiga langkah di depanku, ia menarik
kekang. Lalu mengangkat tangan kanan. Senyum lebar terbit di wajahnya.
“Tugas kami selesai!” teriaknya.
“Kerja bagus, Tuan Sentot!” sahutku sambil mengendurkan tekanan pada
pelatuk senapan. “Gerombolan itu akan berhadapan dengan pasukan artileri
Tuan Macklot di Dawuan. Kami akan beristirahat sebentar sebelum
menyusul ke sana.”
“Kalau begitu, kami pamit!” Sentot memberi aba-aba. Pasukannya menjauh.
“Tugas lagi?” tanyaku.
“Sumatra Barat!” Sentot menoleh. “Memadamkan perang di sana!”
Aku mengangguk. Sentot balas mengangguk lantas menyentak tali
kendali. Kudanya melonjak, melesat menyusul rombongan. Debu tipis
beterbangan di belakangnya. Kuamati jubah hijau yang berkibar di atas
punggung kuda itu sampai mengecil dan lenyap ditelan tikungan.
Jatiwaringin, Maret 2018
– Natuurkundige Kommissie: Komisi Ilmu Pengetahuan Alam
– Taucang: Kucir
Iksaka Banu. Penulis dan praktisi periklanan. Tinggal di Jakarta.
Cerpen Fina Lanahdiana (Media Indonesia, 08 April 2018) Apakah Ia Harus Mengunci Pintu? ilustrasi Media Indonesia
LELAKI itu berdiri di depan pintu, menciptakan bayang-bayang dari
cahaya yang demikian panjang. Seperti waktu. Lama ia merenung. Ragu
antara berkata ya atau tidak kepada dirinya sendiri. Apakah aku harus
menutup pintu?
***
Dalam suatu masa yang pernah Trojan yakini bahwa ia pernah
melampauinya, di tahun yang pernah lewat, ia pernah menuliskan mimpi
menjadi seorang pelukis. Namun yang terjadi justru ia terus menerus
menangis.
Usianya ketika itu 8 tahun dan ia sering jadi olokan teman-temannya, “Dasar bodoh! Kau tak tahu cara membedakan warna!”
Kalimat itu tidak pernah mati di dalam rumah kecil di sudut
kepalanya, kalimat yang terus tumbuh dari waktu ke waktu seolah raksasa
penghancur seluruh kota.
“Apa itu warna, Rana?”
Seorang gadis di hadapannya hanya menggeleng. “Tidak tahu. Tapi kamu
jangan menangis lagi, meskipun aku tidak punya balon warna-warni.”
“Apa itu warna, Rana?”
“Kamu tidak perlu banyak bertanya.”
Rana, gadis itu tentu tidak benar-benar tidak tahu tentang warna. Ia
hanya tidak ingin membuat Trojan terluka. Ia tidak ingin temannya
semakin ingin menangis jika mengetahui definisi warna.
“Apa itu warna, Rana?”
Kalimat itu kembali meluncur, dari masa depan. Baik Trojan atau pun
Rana, tentu sebenarnya sudah tahu tentang pertanyaan yang terkunci di
masa lalu, sementara penghuninya pindah rumah dan lama tak menjenguk
ruang berdebu dan penuh sarang laba-laba itu.
Seorang pria duduk khusyuk di hadapan cahaya warna-warni dari
mesin-mesin pengumpul dokumen. Orang-orang menyebutnya sebagai
Perpustakaan Cahaya. Matanya menyipit mencermati huruf-huruf yang tak
jauh berbeda dari masa lalu.
“Warna adalah sekumpulan aku, kau, dan seluruh semesta dengan komponen penggerak di dalamnya.”
“Terlalu teknis.”
“Warna adalah masa depan.”
“Bagaimana bisa?”
“Diamlah, Tro. Aku membawakanmu secangkir kopi. Sedikit gula. Pekat, seperti masa lalu.”
Trojan melirik, mencopot mata palsunya, dan segera meraih secangkir
kopi di meja. Menyesapnya pelan-pelan. Menghasilkan nada-nada aneh yang
tak siapa pun mengerti kecuali dirinya.
“Melankolia …”
Rana, perempuan itu hanya menggeleng. Meletakkan tas, lantas mencopot sepatu. Menyalakan tv, dan tertidur.
Setelah lulus SMP dan hendak melanjutkan SMK, Trojan mengetahui
persoalan buta warna yang dialaminya. Di sepasang matanya, warna
hanyalah hitam dan putih. Tidak ada merah, kuning, hijau, biru, nila,
ungu ….
Suatu kali ia pernah menyebut dirinya sebagai pembawa bayang-bayang. Di hadapan Rana.
“Aku lelaki pembawa bayang-bayang dan kau cahaya, Rana.”
Wanita itu tertawa lucu. “Kau sudah seperti penyair saja.”
Mereka bukanlah sepasang lelaki dan perempuan yang suka menyematkan
tanda pada diri pasangan masing-masing. Tapi mereka memang adalah
sepasang kekasih. Dan saling mencintai. Sesuatu yang sangat klise untuk
kemudian dibahas. Memunculkan pertanyaan-pertanyaan: 1. Apa itu cinta?
2. Bagaimana berjuang untuk cinta? 3. Menurutmu, bagaimana tentang
melakukan sesuatu demi orang lain?
Jam dinding seolah roda yang terus diam, sementara bumi berputar membawanya melintasi semesta.
Teknologi memang sudah demikian canggih, sehingga pada akhirnya
Trojan memperoleh sepasang mata palsu yang membuatnya mengenal warna. Ia
tak perlu risau mewujudkan mimpinya menjadi seorang pelukis, meskipun
sebenarnya pun, tanpa sepasang mata palsu yang bisa dicopot
sewaktu-waktu itu, ia tetap bisa melukis warna-warna monokrom. Tidak
masalah, kan? Hal itu justru akan membuatnya memiliki identitas. Tapi
kini ia tak lagi memimpikannya.
“Kenapa?” Kata seorang bocah yang sering berteduh di bawah pohon di halaman rumahnya untuk membaca.
“Karena setiap manusia pandai menggambar. Dan kau harus tahu, apa pun
yang bisa dilakukan setiap orang, tidak lagi memiliki kekuatan. Apa
hebatnya sesuatu yang bisa dilakukan setiap orang?”
Bocah itu hanya mengangguk. Entah memang paham, atau hanya sekadar pura-pura. Pandangannya seperti takut mendapat kemarahan.
“Kau juga tak ingin pergi ke danau Vynu untuk memancing?”
“Mengapa kau bertanya begitu?”
“Ibu mengatakan bahwa ikan-ikan di sana semuanya sama. Teknologi telah mampu menciptakan mereka.”
“Mungkin itu memang tidak lagi menarik untuk diangkat ke permukaan.
Ikan-ikan itu seperti robot. Dan robot sudah semakin sampah karena ke
depan, mesin-mesin akan menciptakan yang melebihi manusia. Mungkin
tuhan.”
“Seperti uang.”
“Hei, bocah. Siapa yang mengajarimu begitu?”
“Setiap pagi Ayah ribut, berteriak bahwa uang sudah seperti Tuhan.”
“Tak sepantasnya orang tuamu mengatakan hal bodoh seperti itu di hadapanmu, bocah.”
“Tapi kau baru saja mengatakannya, Paman.”
Keduanya tertawa terpingkal-pingkal. Lalu sepersekian menit berikutnya, yang tersisa hanya keheningan.
“Kau mau susu?”
“Tidak.”
“Es krim?”
“Tidak juga.”
“Pie apel?”
Bocah itu hanya menggeleng. “Aku mau anjing.”
“Merepotkan sekali, ya. Dititipi keponakan yang banyak mau dan aneh sepertimu.”
“Aku akan mengatakannya kepada Ayah dan Ibu.”
“Hei, diamlah.”
“Lalu kau ingin jadi apa?”
“Galaksi.”
“Dasar kau aneh, Paman.”
Keduanya kembali tertawa.
Sebuah pesan masuk.
Dari: Rana
Kau di mana?
Kepada: Rana
Di depan, bersama Boma. Kemarilah, sayang.
***
Rana tidak menyusul Trojan, tetapi yang terjadi sebaliknya.
Bomantara, bocah itu merengek ingin bertemu Rana dan meminta dongeng
agar ia tak merasa bosan saat menunggu kedua orang tuanya.
Selanjutnya, Rana memang bercerita. Tentang seorang lelaki dengan
bayang-bayang yang sangat panjang. Ia terus menerus membelakangi cahaya.
Laki-laki itu juga tidak banyak mengenal warna.
“Itu sangat mirip dengan Paman Trojan.”
“Mungkin pamanmu adalah benar-benar seorang tokoh cerita yang melarikan diri dari dongeng.”
“Hem. Aku tidak bisa membayangkannya.”
Laki-laki itu punya sebuah rumah kecil di sudut kepalanya, yang tidak
seorang pun ketahui. Kadang-kadang ketika ia sedang sendirian atau
gagal merencanakan tidur, sementara seisi rumah telah sepi, ia
memutuskan berkunjung.
Laki-laki itu tidak memutuskan masuk. Ia hanya berdiri di tengah
pintu. Menciptakan sebuah perayaan. Memandang. Ya, hanya memandang. Ia
seorang pengamat, juga perekam yang baik. Oleh sebab itu ia tak pernah
lupa perihal rumah kecil di sudut kepalanya. Meskipun terkadang ia
benar-benar tidak ingin menjenguk, bahkan untuk mengingat. Jika ia telah
membuka kunci dan mengamati, ia akan buru-buru pergi begitu saja. Tanpa
berniat benar-benar ingin menutup pintu. Ia tahu rumah itu aman dari
apa pun dan siapa pun. Ia tak pernah berpikir seseorang akan mencuri
atau diam-diam jadi penghuni.
Rumah itu hanya berisi sekumpulan benda-benda lama, surat, telepon
rumah, ayunan, layang-layang, jam dinding, dan sebagainya. Seluruhnya
mengenakan warna monokrom. Warna tua selain sepia.
Ada yang lain ketika terakhir kali lelaki itu berkunjung. Ia tidak
hanya berdiri, melainkan duduk. Menggores warna-warna pada lembar-lembar
kertas, juga dinding dan isinya. Benda-benda itu dibiarkan berwarna
sama. Monokrom. Warna-warna itu ia beri judul: Setiap Manusia Pandai
Menggambar, Mengenal atau Tidak Mengenal Warna.
Ia keluar dan mengunci pintu.
“Warna itu apa, Rana?”
“Imajinasi. Ya, imajinasi.”
***
Fina Lanahdiana, lahir dan tinggal di Kendal. Kesehariannya ia menulis sejumlah cerpen.
Cerpen Ozik Ole-olang (Radar Surabaya, 08 April 2018) Perempuan yang Menjajakan Bunga ilustrasi Radar Surabaya
Kira-kira sudah dua kali aku bertemu dengannya. Ah, maksudku dengan
perempuan itu. Ketika musim hujan tahun lalu dan dua tahun sebelumnya.
Perempuan yang kuingat dengan kedatangannya setelah hujan reda dan
menyisakan aroma kesunyian di udara, sembari perlahan kota sudah mulai
dirayapi kesibukan masing-masing penduduk dan deru kendaraan bermotor.
Kalau saja aku tidak bertemu dengannya, barangkali kerinduan pasti
akan melepasku begitu saja layaknya hewan buruan yang dibuang. Ah,
maksudku entah kenapa tiba-tiba di setiap musim hujan seolah ada yang
aku tunggu. Perempuan itu seolah menyisakan hujan abadi. Bila kemudian
di kotaku sedang musim kemarau seperti sekarang, maka akupun akan
membuat hujan sendiri dalam hatiku, dan mengkhayalkan seolah dalam salah
satu hujan yang kubayangkan tadi, perempuan itu hadir dan menungguku di
sela-sela keramaian seusai hujan reda.
Setidaknya ada dua hal yang bisa kuingat setelah kedua kali
pertemuanku dengannya, baju merah dan bunga melati. Jika kau bertanya
kenapa bukan mukanya saja? Lha, barangkali itulah yang mungkin perlu aku ceritakan padamu.
***
Tepatnya, pada awal Juli tiga tahun lalu ketika kotaku diguyur hujan
bertubi-tubi, berkepanjangan, dan semua warga kota yang belum beristri
terpaksa harus membayangkan dirinya seolah ditemani oleh kekasih,
bagaimanapun caranya. Termasuk juga diriku.
Berhari-hari hujan tiada ampun. Kantor-kantor yang pada mulanya
memaksa pekerja tetap masuk meski sedang hujan, akhirnya kewalahan dan
banyak dihiraukan oleh para karyawannya. Mereka hanya akan masuk kalau
ada hal yang sangatlah penting. Hanya toko-toko dan kios-kios bunga yang
masih tetap buka sampai malam. Itu pun hanya pada jam tertentu. Sebab
penghuni kota juga butuh belanja dan memandangi bunga-bunga.
Aku baru saja tiba dari kunjungan luar kota. Setelah berbulan-bulan
tidak pulang, akhirnya bos memberiku waktu cuti sejenak untuk sesekali
memandang kota tempat tinggalku. Sebenarnya aku bukan penghuni kota yang
setia. Ah, maksudku karena seringnya melakukan perjalanan dan kunjungan
yang memakan waktu berbulan-bulan, akhirnya aku sendiri belum pernah
lama tinggal di rumah sendiri. Paling lama setidaknya satu minggu.
Setelah kedatanganku di rumah dan meletakkan semua barang bawaan di kamar, aku melihat bunga di ruang tamu ternyata sudah layu. Yah wajar
sajalah, sudah lima bulan kutinggalkan tanpa perawatan. Akhirnya akupun
berniat untuk membeli bunga di kios terdekat yang berjarak lima blok
dari rumah.
Di luar masih hujan. Kudengar ini sudah hari ke tiga hujan belum juga
reda. Setelah kupikirkan lagi beberapa lama, akhirnya kuputuskan untuk
tetap berangkat. Aku berjalan di bawah naungan payung dan balutan
mantel. Menerjang trotoar di antara keriuhan jalan raya, lalu sampailah
pada tujuan.
Ah, tidak biasanya toko itu tutup. Terpaksa aku harus menambah
langkah lagi beberapa blok ke arah timur menuju kios berikutnya. Lumayan
melelahkan juga ternyata setelah perjalanan dari luar kota dan harus
langsung berangkat membeli bunga. Akhirnya sejenak aku duduk di halte
yang pada waktu itu tanpa sengaja kulewati. Ada tiga orang, total empat
dengan diriku.
Cuaca serasa tidak terlalu dingin. Kulipat payung dan mengambil
sebatang rokok. Setelah satu batang habis dan tanpa kusadari orang-orang
yang duduk di sebelahku sudah tinggal satu orang. Kemudian kuputuskan
untuk kembali berjalan dengan tujuan tetap seperti tadi, membeli bunga.
Tak sempat melangkahkan kaki, orang yang duduk di sebelahku terdengar
sedang berteriak. “Bunga!” Seolah dia meneriaki pedagang asongan yang
sedang mendorong gerobaknya. Padahal tak kulihat seorang pun.
Setelah tolah-toleh sejenak mencari siapa yang orang itu panggil,
ternyata ada seorang perempuan berkerudung dan berbaju merah di seberang
jalan sedang memanggul sesuatu di seberang jalan mencoba menghalau
beberapa kendaraan. Terlihat seperti akan menuju ke arahku berdiri.
Benar saja, perempuan itu menyeberang jalan kemudian berhenti tepat di
hadapan orang yang tadi berteriak, “Bunga!” Langsung ia turunkan benda
yang dipanggulnya tadi.
Kukira namanya Bunga, namun ternyata dalam benda yang dia panggul
berisi setumpukan bunga. Bermacam-macam, bahkan beberapa sudah disulam
rapi. Karena penasaran dengan perempuan itu, lantas kuurungkan niat
berjalanku untuk mencari bunga dan lebih-lebih sudah ada yang menjajakan
bunga di dekatku.
Aneh juga, belum pernah kutemui pedagang bunga asongan yang setiap
malam berkeliling menjajakan bunga di kotaku ini, apalagi seorang
wanita. Padahal sudah banyak kios bunga berjejeran dan penjual via
online pun saya rasa pasti tidak akan kekurangan. Mencoba berprasangka
baik, akupun berpikir bahwa barangkali perempuan itu orang yang
tergolong kurang mampu. Tapi tetap saja aku merasa aneh, baru kali ini
kutemukan penjaja bunga di kotaku.
Untuk ke dua kalinya aku mencoba berprasangka baik. Paling-paling
juga karena sudah lama aku tidak pulang, dan ketinggalan informasi bahwa
sudah ada orang-orang yang mulai berjualan bunga dengan cara
menjajakannya ke mana-mana.
***
Aku sudah sampai rumah dengan membawa bunga yang tadi kubeli dari
perempuan berbaju merah itu. Langsung setelah menggantung payung di
tempatnya, kuletakkan bunga tadi dalam vas yang sudah kuisi dengan air.
Orang-orang di kotaku memang sangat menyukai bunga-bunga, seolah
mereka mencintainya dengan segenap jiwa raga. Terbukti setiap aku
berkunjung ke rumah teman-teman, di sana pasti selalu ada bunga yang
terpajang yang diletakkan pada vas berisikan air. Ditambah dengan
banyaknya kios bunga di setiap tikungan seperti semakin memperjelas
seolah kota ini adalah kota bunga. Karyawan yang bekerja di kios itu
kesemuanya adalah perempuan. Jadi sangat cocok untuk orang-orang seperti
saya agar sering berkunjung ke sana.
Sambil bersandaran di depan perapian, kunikmati oleh-oleh khas kota
yang baru saja kukunjungi sembari menunggu air mendidih dan akan kuseduh
segelas teh hangat. Tak lama, seseorang mengetok pintu. Ternyata Amin,
teman sekelasku waktu SMP.
“Kebetulan sekali Min saya baru selesai keluar kota, banyak
oleh-oleh. Kebetulan lagi air sudah hampir mendidih. Mari duduk akan
kubuatkan teh hangat.” Sambil mempersilahkannya duduk, akupun pergi ke
dapur untuk menyiapkan teh.
“Tidak sia-sia juga nih mendidihkan air.” Benakku.
Aku dan Amin memang sering menghabiskan waktu bersama sudah sejak
lama, bahkan sampai besar seperti sekarang. Jika dilihat lagi, aku dan
Amin memiliki nasib sama perihal asmara. Kami sama-sama belum menikah.
“Tahu dari mana kalau aku ada di rumah?” Tanyaku sambil menyajikan teh ke hadapannya.
“Ah, rumahmu kan biasanya padaman, gak ada orang. Eh, pas lewat kok malah hidup lampunya, sekalian aja mampir.” Jawabnya.
Memang selama aku meninggalkan rumah, semua listrik kumatikan. Benar
kata Amin tadi, mati dan hidupnya lampu menjadi pertanda bahwasanya aku
sedang atau tidak sedang di rumah.
“Dapet dari mana bunga, kok lewat tengah malam begini sudah seger?” Celetuknya sambil meminum teh.
Hah? Lewat tengah malam? Aku terheran-heran dalam benakku. Tapi benar
juga, sampai sekarang diriku ternyata tidak menyadari dan setelah
kulirik jam tangan memang sudah lewat tengah malam. Aku bilang saja pada
Amin bahwa bunga itu kubeli dari seorang wanita penjaja bunga yang
kebetulan lewat dan kutemui sehabis sampai di rumah.
Dari model mukanya, agaknya Amin sedikit terheran-heran dan
kebingungan. Baru kali ini dia mendengar bahwa ada perempuan yang
menjajakan bunga pada malam hari. Sebagai orang yang memang saya tahu
lama tinggal di kota—maksudnya tidak sering keluyuran seperti saya—saya
pun akan lebih mempercayainya bila terkait informasi perihal keadaan
kota.
Kalau memang begitu, keherananku dari awal membeli bunga tadi boleh
dikatakan benar. Sampai kemudian Amin pulang dan jarum jam menunjukkan
pukul 3 pagi, aku tidur dengan segenap keanehan dan rasa penasaran yang
menghantui. Aku merasa aneh. Tidak biasanya ada perempuan yang
mengganjal di otakku, lebih-lebih seorang pedagang bunga asongan.
***
Sekarang tahun musim kemarau dan terpaksa aku harus membuat hujan
sendiri di hatiku agar dapat terus kubayangkan perempuan penjaja bunga
itu. Baju dan kerudungnya yang merah, serasi dan sedikit basah terkena
percikan air hujan membuatku terus terbayang. Ah, bukan bermaksud mau
beralay-alay, tapi kenyataannya memang begitu.
Aku sedang berada di luar kota. Sampai pertemuan keduaku, belum bisa
kulihat seperti apakah mukanya. Tapi aku yakin di setiap pertemuan,
aroma dan suasana yang terasa adalah milik perempuan itu. Baju dan
kerudungnya pun selalu sama, merah. Aku yakin bunga-bunga akan memberiku
ingatan. Oleh karena itu, penduduk kotaku juga termasuk diriku sangat
mencintai bunga-bunga.
Kali ini bos menugaskanku di kota dengan penduduk yang kurang
bersahabat dengan kebiasaanku. Mereka kurang mencintai bunga-bunga.
Bahkan sangat jarang ditemui kios-kios yang menjual bunga, bahkan hampir
tidak ada. Andai kata perempuan itu ada di sini, niscaya aku tidak akan
mempunyai pengalaman berkejaran dengan petugas keamanan karena tepergok
sedang mencabuti bunga-bunga yang ada di pinggir pagar-pagar milik
orang.
Bunga yang kubawa dari rumah sudah layu, tapi masih tetap kusimpan.
Sebab bunga tersebut kubeli dari perempuan pengasong bunga yang kutemui
tempo hari. Waktu itu, seperti biasa dia muncul secara tiba-tiba dan
menghampiri orang-orang yang berkerumun ingin membeli bunga.
***
Kali ini musim penghujan dan aku sedang berada di kotaku. Tapi belum
sama sekali kutemui perempuan itu lagi. Ingin rasanya membeli bunga
darinya yang menyisakan aroma rindu sampai bermusim-musim lamanya.
Sampai pada suatu ketika aku bertemu dengan orang yang sempat aku lihat
juga pernah membeli bunga pada perempuan itu. Ketika kutanya, dia seolah
tidak pernah mengingat kalau saja dia pernah membeli bunga pada
perempuan berbaju dan berkerudung merah yang sedang menjajakan
bunga-bunga. Padahal aku sangat yakin kalau orang itu memang pernah
kutemui membeli bunga padanya.
***
Sudah hampir musim kemarau, dan kau belum juga kutemui. Setidaknya
ada bekal sekuntum bunga yang bisa kubawa ke kota lain yang akan
kukunjungi setelah ini. Sayang, aku sudah berada sangat lama di kota dan
sekarang masih musim hujan, tapi serasa musim kemarau di hati.
Barangkali jika memang sampai mati aku belum pernah bertemu denganmu
barang sekejap, setidaknya datanglah ke makamku dan letakkanlah seikat
bunga yang akan terus membuat musim hujan di kotaku tetap membahagiakan.
Sekali lagi sayang, bunga-bunga darimu akan terus hidup dalam dadaku,
merah dan membara.
***
Musim hujan tahun 2017 ketika banyak kios bunga di kotaku bangkrut
dan gulung tikar, tepat di sekitar nisan bertuliskan namaku, terlihat
seorang perempuan berbaju dan berkerudung sama merah berjalan sambil
memanggul sesuatu. Berjalan ke luar dari gerbang pemakaman. Semerbak
aroma melati menyebar di seluruh area pemakaman. Semerbak, sangat
semerbak …. (*)
Penulis adalah mahasiswa rantau asal Madura yang mukim di kota Malang.
Cerpen A. Warits Rovi (Tribun Jabar, 01 April 2018) Orang Gila di Bawah Papan Iklan ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar
AZAN subuh baru saja berlalu, seolah lenyap bersembunyi ke setiap
tetes embun yang mengeramasi tanah. Aku masih dengan doa purba, di
tempat yang sama dengan yang sebelum-sebelumnya, di sebuah pasar
tradisional, duduk bersimpuh menengadah, angin lesap di sepasang tangan
yang tertangkup sunyi, air mataku jatuh, hatiku luluh, kenangan masa
lalu menusuk-nusuk dalam dada. Tangisku semakin pekik, dan sepuluh
malaikat yang semalaman menemaniku mengelus-elus rambutku, lantas pamit
karena matahari segera terbit. Sepuluh malaikat itu mengepakkan sayap,
lalu terbang jauh, menembus langit yang temaram. Aku memandangnya dengan
mata yang lengang, tanpa tangan melambai. Ketika matahari sudah terbit,
aku kembali ke asal mula, menjadi orang gila, seperti kata mereka,
walau sebenarnya keadaanku tak seburuk yang mereka duga. Aku tidak gila.
Matahari kian meninggi, melumati pepucuk waru yang masih bersanggul
titik-titik embun, di pohon yang condong ke barat, di sisi papan iklan.
Orang-orang sudah mulai ramai berdatangan. Kuselipkan selembar foto
kenangan ke dalam saku. Foto itu tak boleh hilang karena foto itu adalah
kekuatan bagi hidupku, kekuatan untuk tersenyum sekaligus kekuatan
untuk menangis. Dan siapa pun tak boleh tahu foto itu, kecuali kelak
bila perempuan di foto itu datang kembali, menyelamatkanku dari
kesunyian ini.
***
JIKA orang Sumenep mendengar nama Mahmud, pasti ia akan ingat
kepadaku; orang gila yang biasa mangkal di pojok tenggara Pasar Gapura,
tepat di bangku beton di bawah papan iklan. Karena orang menganggapku
gila, maka aku sering diledek, padahal hari ini orang gila itu
bermacam-macam. Banyak di antara mereka yang mengaku waras sebenarnya
juga gila, hanya saja mereka mendapat takdir yang baik sehingga
baik-baik saja di tengah masyarakat, tanpa dipasung, meski kenyataannya
mereka mengamuk secara diam-diam. Mereka gila.
Orang-orang hanya memandang fisikku yang tak pernah mandi, berkuku
panjang berdaki hitam, berambut gimbal apek penuh kutu, tanpa kukenakan
baju, sandal, dan peci, kecuali hanya sarung lusuh yang lekat di
tubuhku, motif batik liris dengan sisa tetes getah di sana-sini.
Ciri-ciri fisik semacam itu sangat cukup syarat bagi seseorang untuk
disebut gila. Padahal kalau orang-orang mau melihat hatiku, mereka pasti
malu menyebutku gila. Setiap hari aku memungut sampah, menyapu dan
membersihkan sekawanan rayap di Pasar Gapura, tentu tanpa kuabai salat
lima waktu beserta seluruh amalan sunahnya. Tapi kelakuan waras yang
menempel pada fisik yang nyeleneh tetaplah disebut kelakuan gila. Ah,
sebenarnya yang menilaiku juga gila.
Satu hal yang tak gampang kulupa, pada suatu malam yang disorot kilau
rembulan, ketika kunang-kunang mengitari tiang-tiang listrik, angin
lirih menyapu plastik transparan hingga beterbangan ke emperan toko.
Pada saat itu seorang lelaki memarkir mobil di depan sebuah toko,
setelah tak terdengar bunyi mesin mobilnya, lelaki berdasi dan bersepatu
itu membuka pintu, ia turun pelan seperti ragu dan berdiri agak lama di
samping mobilnya seraya tak kedip menatapku. Aku yang kebetulan sedang
duduk bersila hanya diam melihat kedatangannya. Seketika keadaan pasar
disekap sunyi, minus suara, kecuali hanya kucing betina yang mengeong,
memberi makan anak-anaknya di pojok warung tukang cukur.
Setelah menoleh ke sana-kemari, barulah ia melangkah pelan ke arahku.
Jantungku berdetak agak kencang, dengan kekhawatiran dan dugaan-dugaan
buruk tentang kedatangan lelaki itu. Beruntung kehawatiranku sirna,
setelah tahu lelaki itu menyapa dengan lembut, bibir ranumnya yang
disorot bulan tak henti tersenyum. Ia berbicara begitu santun, seraya
tak banyak mengubah posisi duduknya yang bersila di paving, sekitar
setengah meter di bawah ketinggian bangku beton yang yang kududuki.
Lantas kami bercakap banyak hal, dan beberapa kali lelaki itu
menyodorkan rokok, roti, dan minuman ke hadapanku, tapi semuanya kutolak
dengan sopan karena aku memang kenyang.
“Maukah sampean membantu saya, Mas?” ucap lelaki itu menunduk muram.
“Apa yang bisa diandalkan dari orang gila sepertiku?”
“Saya yakin, Mas bisa membantu masalah ini.”
“Apa itu?”
“Saya ingin Mas bisa menyebut angka apa saja yang akan keluar minggu ini. Saya suka berjudi, Mas.”
“Kenapa suka judi?”
“Karena saya banyak utang dan tahun depan ingin mencalonkan diri di
bursa caleg. Untuk dua hal itu tentu saya harus banyak uang.”
“Kenapa banyak utang?”
“Entahlah, Mas. Padahal saya sering korupsi dan menyunat banyak proyek, tapi utangku malah bertambah. Saya pusing.”
Aku tak merespons permintaan lelaki itu meski dia menangis sambil
memeluk betisku, ia terus membujukku agar membantunya menyebut nomor.
Aku lebih banyak diam meniru bulan, hingga lelaki itu pulang dengan
kecewa, setelah menendang keras sebuah botol bekas. Ia adalah satu di
antara sekian banyak orang waras yang justru meminta saran atau nasihat
kepadaku. Aku heran, kenapa di saat zaman semakin maju dan sebagian
besar orang memuja rasionalitas justru masih banyak yang memimpikan
nasihat dari dunia sunyi yang jauh dari jangkauan akal sehat. Mereka
menyebutku gila dan menganggap diri waras, tapi percaya kepada
kata-kataku, meminta pendapat dan doa kepadaku. Aku jadi berkesimpulan
bahwa kegilaan masa kini hanya disekat oleh tampilan fisik, sementara
inti jiwa setiap orang hampir semuanya pernah gila.
Malam itu, aku tertawa bersama sepuluh malaikat yang menjagaku,
sambil kuamati selembar foto rahasia milikku, kuelus kertasnya, seiring
air mata jatuh dan sepuluh malaikat menatapku tanpa kata-kata.
Bulan mematung di balik rimbun dan waru.
***
SETIAP hari, aku berjalan dari lokasi pasar ke beberapa tempat yang
tak lebih dari satu kilometer untuk meminta makanan kepada warga. Jika
sudah lelah, aku akan balik ke lokasi pasar, kembali ke bangku beton,
menyandarkan tubuh ke tiang papan iklan, atau tiduran sambil mengamati
tampilan iklan yang ada di atasku. Kali ini ada iklan sabun mandi.
Tampak gambar seorang model tersenyum sembari memegang sabun, sedang di
bawahnya tertera kalimat-kalimat sanjungan terhadap sabun itu, dan di
bagian pojok kanan, pada sebuah lingkaran hijau tertera tulisan diskon
15%. Banyak orang-orang membaca iklan itu dengan mata yang melotot.
“Wah! Model cantik itu memakai sabun itu juga,” ujar salah seorang kepada temannya.
“Iya. Ada diskonnya lagi,” jawab temannya sembari menunjuk lingkaran hijau.
Mereka berdua rela berlama-lama di depan papan iklan meski keduanya
menjinjing barang belanjaan yang agak berat. Lalu keduanya sepakat untuk
membeli sabun itu. Aku tertawa mendengar keputusan mereka. Mereka
adalah di antara orang-orang yang mudah dijebak oleh iklan. Dari
beberapa iklan produk yang dipampang di papan ini, semuanya memakai dua
alat jebak bagi konsumen. Pertama, dijebak dengan kehadiran tokoh artis.
Kedua, dijebak dengan janji diskon. Padahal belum tentu artis di iklan
itu memakai produk yang diiklankan dan diskon yang ditawarkan tentu
sudah dikalkulasi dengan laba. Ah, tapi ini pikiranku, pikiran orang
gila dan mereka menganggap dirinya waras meski cara berpikirnya kadang
gila.
Di akhir tahun, ketika memasuki masa kampanye caleg, papan iklan di
atasku dipasangi baliho salah seorang caleg. Fotonya tersenyum wibawa
dengan jas hitam, diapit dua tokoh masyarakat dengan lilitan serban agak
tebal, di bawahnya ada tulisan tercetak warna biru “Pembela Hak-Hak
Rakyat”. Aku hanya tersenyum, sebab aku tahu caleg itu selama ini sering
menyunat dana proyek dan menggelapkan dana bantuan rakyat.
“Dua tokoh yang mengapitnya belum tentu memilih dia. Tulisan yang
dicetak tebal itu hanyalah bahasa iklan, semuanya serba iklan,” gumamku
kecut sembari kuelus dada.
“Lihat! Dia orang gila,” teriakku tiba-tiba sambil menunjuk foto
caleg itu, dan orang-orang menoleh ke arahku. Beberapa di antara mereka
berkata, “Kau yang gila.”
“Kalian juga gila, percaya sama caleg seperti dia,” suaraku meninggi,
dan aku beranggapan bahwa hampir semua orang di dunia ini pikirannya
pernah gila.
Keesokan harinya, saat loper koran melepas lelah di sampingku, secara
tak sengaja kulihat di halaman utama sebuah koran lokal, caleg bangsat
yang sok merakyat itu berfoto dengan istrinya. Melihatnya, hatiku jadi
teriris. Wanita yang ia nikahi ternyata wanita yang sama dengan wanita
di fotoku. Kukeluarkan selembar foto dari saku celana kumal dengan
sangat hati-hati, tanganku gemetar, jantungku berdebar dan mataku nanar.
Air mataku tak henti memancar.
“Sayang! Sejak kau dipisah oleh ayahmu dariku, sejak saat itu aku
jadi begini. Aku berharap kaulah suatu saat yang bisa menangkisku dari
duniaku yang sunyi ini. Tapi nyatanya…,” air mataku semakin deras,
merambahi lengkung dagu.
“Orang gila biasanya cenderung tertawa, tapi orang gila ini kok malah
menangis. Hei! Sebenarnya kamu gila atau pura-pura gila?” tanya loper
koran, membuatku terperanjat, dan aku tak tahu harus menjawab apa.
***
Gapura, 01.18
A. Warits Rovi, lahir di Sumenep, Madura, 20 Juli 1988. Karya-karyanya dimuat di berbagai media nasional dan lokal: Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, Suara Merdeka, dll. Ia juga guru Bahasa Indonesia di MTs Al-Huda II Gapura.