Daftar Blog Saya

Selasa, 31 Oktober 2017

Pohon Randu Wangi


Cerpen Teguh Afandi (Pikiran Rakyat, 29 Oktober 2017)
Perjalanan ilustrasi Fahrul Satria Nugraha - Pikiran Rakyat.jpg
Perjalanan ilustrasi Fahrul Satria Nugraha/Pikiran Rakyat
“AKU pasti pulang, Ibu.”
Tanpa harus kusampaikan, janji itu kutanam bersama dengan sebiji randu di pekarangan depan. Kuharapkan janji itu akan tumbuh bersama akar-akar randu. Menguat dan kokoh tidak goyah. Lalu pada masanya ketika dia pulang, pohon itu akan tumbang bersama rindu yang sudah lunas terbayar. Semacam dendang gembira Pak Tani mendorong luku di persawahan.
KUDEKAP erat potret sepia terbingkai figura. Beberapa bagian geripis digerus usia. Kuelus sebingkai foto, seperti mengelus pipinya yang gempil dan jerawat ranum yang tumbuh di sekitar hidung. Rindu sudah sedemikian menyerangku. Aku tak lagi bisa mengontrol jatuhnya air rnata. Hingga tanpa harus terisak-isak dan meraung-raung, air mataku menuruni tulang pipi hingga membasahi dagu. Aku benar-benar rindu.
Walaupun rabun, masih bisa kuamati saksama pohon randu yang sedemikian tua itu. Pohon randu alih wujud gundukan rinduku padanya. Akarnya mulai keropos dan berongga. Kadang kala kusaksikan dari rongga di pokok randu itu, muncul hewan melata. Mungkin sanca atau boa yang menyeret hasil buruan berupa tikus dan anak ayam. Kapuk-kapuk yang dahulu biasa kupanen dan kujual sebagai isian kasur bantal, kini sudah lama tidak muncul. Memang masih berbunga, tetapi usia tua seolah tak lagi kuasa menjaga karuk yang merimbuni dahan. Kini pohon randu hanya menyisakan ranting-ranting kering dan lelah menopang sisa daun. Hijau keabu-abuan.
“Lik Pasini, bagaimana boleh ditebang?”
Lamunanku buyar. Kuletakkan figura di meja hati- hati. Tanganku bergetar. Menik berdiri di depan pintu menunggu jawabanku. Tangannya disangkutkan di pinggang. Dia sudah berkali-kali menyampaikan, mau tidak mau, pohon randu itu akan ditebang. Apa gunanya menyimpan sebatang pohon randu yang untuk mempertahankan hidupnya saja sudah kembang kempis? Pohon randu itu juga sudah urung menghasilkan kapuk. Pohon tua tak berbuah tak elok dipertahankan lama-lama. Seperti memelihara babon ayam tanpa pernah menghasilkan telur. Tak menguntungkan. Justru bisa mencelakakan.
Menik berhasrat sekali merubuhkannya. Rumah Menik bersebelahan dengan rumahku. Hanya dibatasi pagar dari perdu beluntas yang menempel di toko kelontong dan gudang gas elpiji miliknya. Setiap hari Selasa, akan ada truk besar datang mengganti tabung kosong dengan tabung hijau-biru baru.
“Menik, anakku belum kembali.” Aku membela.
“Kalau nanti pulang, suruh dia menanam durian saja. Atau jati. Harganya jutaan bila dijual,” tukas Menik.
Kukulurn bibir bawah. Kurasakan kasar keriputnya. Dulu bibir ini biasa kupulas gincu. Banyak lelaki tertarik dengan ranum bibirku. Sekarang, tidak ada yang suka dengan bibir kering dan keriput meski dipulas dengan rona merah merona.
“Menik, kalau kamu butuh untuk kayu bakar, ambil saja. Suruh suamimu memotong dahan-dahan tua.”
“Lik Pasini, sekarang sudah nggak zaman pakai kayu bakar. Gas yang lebih bersih. Anti jelaga.”
“Kalau begitu, tunggu saja sampai anakku kembali. Biar dia yang menebangnya sendiri.”
“Pohon itu sudah tua, Lik Pasini.”
Tetapi kenangan dan sedompol rinduku masih ada di pohon randu itu. Kalimat itu berhenti di langit-langit mulut. Dan yang keluar justru, “lalu untuk apa harus ditebang buru-buru?”
“Apa membuat anak tertimpa sempalan batang dan harus dijahit kepalanya, atau jadi sarang sanca, tidak cukup untuk membuatmu rela merubuhkannya? Bisa jadi pohon randumu jadi istana genderuwo dan wewegombel.” Kalimat Menik terdengar sangat keras. Dadaku sesak mendengarnya, seperti ada ketam yang diam-diam mencungkili setiap bagiannya.
Aku mafhum sifat dan tujuan Menik menebang pohon randu. Wataknya tidak jauh berbeda dengan ibunya yang culas. Meskipun aku dan Menik tetangga berimpit, tetap saja aku jadi sasaran perilaku licik Menik. Dia selalu berusaha mengambil untung dariku yang meski lemah tetapi belum pikun ini. Aku memang sudah lemah untuk menjaga tanah dan merawat rumah. Menik memanfaatkan semua itu. Merasa berada di atas, ketika harus melawanku.
Dulu pernah beberapa petugas listrik dan telefon berseragam mendatangiku. Mereka meminta izin untuk menebang pohon nangka dan pakel di pekarangan sisi jalan besar. Akan didirikan tiang listrik dan telepon baru. Aku setuju saja. Kesempatan itu menguntungkan Menik. Kedatangan chain saw, dimanfaatkan Menik untuk menggunduli lima batang pohon jati di halaman belakang. Lalu tanpa meminta izin, menjualnya sebagai modal mendirikan warung. Aku lebih memilih diam. Buat apa beradu mulut dengan Menik yang sudah kupastikan akan menang bila melawanku? Aku lebih ingin legawa dengan tidak membebani perasaanku sendiri.
Maka keinginannya menebang pohon randu tentu memiliki motif yang menguntungkan baginya. Saat pohon randu besar yang tepat di pagar antara rumahku dengan Menik tumbang, dia tentu dengan leluasa menggeser patok tanahnya. Bisa kupastikan setelah pohon randu tua itu menghilang, luas tanah Menik akan bertambah luas.
“Pohon itu sudah membahayakan banyak orang,” Menik menguatkan. Kini nada bicaranya diperhalus. Tapi semakin direndahkan, nadanya menghunjam ke dadaku.
Seminggu lalu seorang tukang tambal panci mengomeliku. Batang randu yang melengkung di jalan tiba-tiba sempal dan jatuh tepat di depannya. Meski batang itu tidak sempat membuat kepalanya robek, tetapi ranting yang mencuat menjatuhkan topi dan membuatnya kaget dan memaki. Dia mengatakan kalau sudah tua dan tidak lagi bisa digunakan, sebaiknya ditebang. Buat apa memelihara pohon randu tua yang aku sendiri tak mampu menjaganya dan justru jadi petaka bagi orang lain. Aku hanya diam. Kalimat-kalimat cadasku sudah habis. Hanya tersisa kalimat maaf yang terus kuulang agar tukang tambal panci itu mengikhlaskan salahku.
“Menik, tunggulah. Sebentar lagi anakku pulang.”
“Kapan?”
Aku bisu.
“Lik Pasini, sebelum musim penghujan pohon itu harus ditebang. Kalau tidak, bisa membahayakan. Pohon tua itu bisa rubuh diterjang angin.”
***
ANAKKU tak ubahnya anak-anak muda di kampung ini. Beranggapan bahwa kota akan membuat mereka kaya. Sawah, ladang, dan kebun tak menjanjikan di mata mereka. Biarlah orang-orang tua, semacam aku, yang mengurus dan bila sudah tak mampu, tanah-tanah itu akan dijual pula oleh mereka yang mencintai kota melebihi kasur tempat darahnya tumpah pertama.
Aku sadar betul, meski dia lahir dari rahimku. Dia sejatinya anak alam dan nalurinya adalah mengembara. Apa yang bisa aku pertahankan, bila kemerdekaan baginya adalah muara kebahagiaan?
Janji untuk sesekali pulang, janji untuk sesekali mengirimi pesan, janji untuk kembali turun ke persawahan. Semua seperti gelembung sabun yang diembus angin. Dia yang kusayang-sayang, bahkan tak tampak membela saat Menik semakin merangsek memaksakan kehendak.
“Lik Pasini!” Menik teriak dari pekarangan.
Aku berjalan perlahan menahan kakiku yang gemetar. Aku berdiri bersandar di pintu.
“Ini lihat. Suamiku menangkap kobra dari rongga pohon randumu.”
Bangkai ular itu digenggamnya. Lalu dilempar persis di depan kakiku. Itu bukanlah ular yang kecil dan bisanya tentu cukup mengakhiri nyawa belasan orang.
“Lusa mereka akan datang. Mau tidak mau pohon randu itu harus ditebang. Aku tidak mau anakku dipatok ular atau kejatuhan cabang pohon.”
“Menik….” Belum rampung kalimatku, Menik sudah menimpali dengan kalimat-kalimat bernada tinggi.
Menik melengos balik, menuju rumahnya. Aku tidak enak hati menjawab semua perkataannya. Mata para tetangga seperti besi berani yang jeli dan teliti menangkap semua berita. Dengan tidak sabar lantas menyebarkannya ke semua penjuru.
Seharian aku duduk menatap pohon randu itu. Semakin lama waktu memaksa semuanya menjadi tua. Hanya sekantung rindu yang kutanam yang akan terus menunggu kapan dia pulang.
***
DI luar, suara mesin mobil berhenti. Itu pasti penebang sewaan dengan chain saw suruhan Menik. Puluhan tahun lalu ketika aku masih segar bugar saja, tidak bisa kutahan anakku pergi jauh. Dan tidak kembali. Apalagi sekarang. Mana mungkin aku bisa menghentikan semua keinginan Menik, ketika kakiku goyah tak mampu menopang badan.
Dengan tenaga yang tak seberapa, aku pergi keluar. Ingin kusaksikan pohon randu itu jatuh. Ingin kulihat bagaimana wujud rindu yang dahulu kutanam bersama biji randu.
Suara mesin gergaji menderu. Tambang-tambang dikaitkan agar pohon randu itu jatuh di pekarangan rumahku yang lapang. Jangan sampai merubuhi warung Menik atau melintang di jalan. Tak butuh berjam-jam, mesin chain saw berhasil membuat pokok randu goyang. Lalu sebentar sudah benar-benar jatuh berdebam di pekarangan. Ranting-ranting dipotong-potong. Menik dan suaminya mengumpulkan potongan-potongan itu dengan rupa bahagia. Dalam hati pasti mereka bahagia, karena semua berjalan sesuai rencana.
Air rnataku jatuh. Rindu itu sekarang sudah rubuh. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk menanti dia pulang dan menjaga rindu di tunggak randu. Dadaku penuh oleh kesedihan. Dari pokok rindu itu terlihat sayap-sayap kecil beterbangan.
“Kok randu ini beraroma wangi?” Menik sekilas mencium aroma itu. Namun dada Menik sudah kadung dibuncahi bahagia, hingga enggan memedulikan wangi itu terlalu lama menusuk indera penciuman. Bahkan Menik tak lagi mau melirik diriku.***

Catatan:
Luku: alat bajak.
Karuk: nama bunga pohon randu.

Pohon Belum Bersirkus


Oleh Udji Kayang Aditya Supriyanto (Koran Tempo, 07-08 Oktober 2017)
Sirkus Pohon ilustrasi Bentang.jpg
Sirkus Pohon ilustrasi Bentang
Nama Andrea Hirata masih menjanjikan. Novel terbarunya, Sirkus Pohon, sudah laris bahkan sejak novel tersebut belum berjudul. Novel itu diluncurkan pada 15 Agustus lalu dan pada tanggal itu juga judul novel Andrea baru diungkapkan.
Sebelumnya, novel itu sudah ramai dipromosikan meski memakai nama sementara: #KaryaKe10Andrea. Promosi novel Andrea meliputi agenda Berburu Karya Andrea dan Nyanyian untuk Pak Cik. Kendati khalayak sama sekali belum tahu novel seperti apa yang dikarang Andrea, mereka banyak yang tertarik dan memesan (pre-order) novel semata-mata karena “nama besar” pengarangnya!
Memang, Andrea mesti diakui sebagai pengarang penting di Indonesia, walau ia cenderung berjarak dari lingkungan sastra kita. Andrea menempuh pendidikan ekonomi, alih-alih sastra, bahasa, apalagi filsafat. Namun ia dianugerahi keberuntungan ilahiah, langsung dari Tuhan, yakni dilahirkan di Gantung, Belitung Timur. Dengan itu, ia tumbuh dalam konteks sosial yang menarik untuk dinarasikan melalui novel. Tak pelak, Laskar Pelangi (2005) yang ditulisnya meraih perhatian luar biasa di dalam dan luar negeri, entah oleh pembaca maupun penonton film yang diadaptasi dari novel itu. Kesuksesan Laskar Pelangi kemudian Andrea jinjing melulu, disematkan sebagai instrumen promosi novel-novel berikutnya, termasuk Sirkus Pohon.
Konon, menurut keterangan Andrea, Sirkus Pohon itu novel terbaik yang pernah dikarangnya. Ia mengakui, “Buku ini memberi saya kesan this is it, memberi saya kesan apa yang ingin saya sampaikan selama ini sebagai seorang penulis, memberi saya kesan sudah lama saya ingin menulis seperti ini.” Novel yang nantinya terbit sebagai trilogi itu dikerjakan dalam tempo relatif panjang. Andrea memerlukan riset selama empat tahun, sampai-sampai mesti berkunjung ke Tahiti untuk belajar tentang pohon delima. Proses penulisan sendiri berlangsung selama dua tahun. Enam tahun waktu pengerjaan itu pun dibayang-bayangi kesuksesan Laskar Pelangi. Novel-novel sebelum Sirkus Pohon terbukti gagal melampaui pencapaian novel perdananya itu.
Sirkus Pohon, sebagai “this is it” Andrea, menanggung beban berat untuk menjaga reputasinya yang bertaraf internasional. Hanya, tak banyak hal baru yang Andrea tawarkan dalam novel itu. Sirkus Pohon masih berlatar tempat di kampung Melayu pedalaman. Andrea lagi-lagi mengisahkan perjalanan menuju sukses dari bocah hingga dewasa. Bedanya, jika Laskar Pelangi bertokoh bocah-bocah yang dapat lanjut sekolah, Sirkus Pohon mengisahkan mereka yang putus sekolah. Dalam hal ini, rasionalitas menjadi tantangan besar Andrea. Sebab, ia telah memilih jalur realisme, yang dalam terminologi Andrea sendiri, “fiksi, cara terbaik menceritakan fakta.” Meski begitu, sekian peristiwa dalam Sirkus Pohon terasa picisan dan sulit diterima sebagai fakta sosial yang mungkin terjadi.
Kebaruan yang ditawarkan Andrea barangkali pretensinya berbicara politik, meski dalam lingkup kampung. Politik bukan semata-mata selipan atau selingan. Politik hadir di sekujur novel, sebagai pangkal peristiwa dalam Sirkus Pohon. Politik dimaknai Andrea secara praktis, yakni pemilihan kepala desa Kampung Ketumbi. Kendati begitu, peristiwa hidup Sobridin (tokoh utama novel) sendiri sebetulnya ditentukan oleh konspirasi politis Taripol Mafia dan Abdul Rapi. Andrea mempertemukan kita pada peristiwa yang mengesankan dan cukup memberikan efek kejut di akhir novel. Sayangnya, humor-humor yang bertaburan di sela-sela peristiwa tak begitu mengundang tawa. Andrea cenderung mengulang beberapa humor yang sama, Debuludin yang “berdebu-debu” misalnya.
Kebaruan lain yang Andrea tawarkan adalah teknik. Ia tidak menggunakan teknik komparasi dan analogi sebagaimana novel-novel sebelumnya, melainkan teknik yang ia sebut “sintesis”. Andrea memberi penjelasan, “Novel ini tidak bisa digambarkan dengan gamblang karena menulisnya dengan teknik ‘sintesis’. Maksud saya adalah, ini sudah membandingkan hal-hal yang tidak berhubungan.” Andrea menyajikan sekian peristiwa yang berlainan ruang dan waktu, masing-masing bertokoh Sobridin, Dinda, Tara beserta ibu dan sirkus keliling, Tegar, Gastori, dan Taripol. Sekian peristiwa bergantian tampil. Memang, dari peristiwa satu ke peristiwa dua dan seterusnya, terasa tidak berhubungan. Namun Andrea justru meruntuhkan ketakterhubungan itu sendiri di akhir novel untuk menunjukkan bahwa setiap peristiwa sebetulnya berhubungan.
Penentuan judul Sirkus Pohon sebetulnya problematis. Dalam novel itu memang ada pohon dan ada sirkus, bahkan menjelang akhir novel ditunjukkan pohon untuk berada di tengah-tengah sirkus. Namun penampilan pohon delima dalam novel itu kurang atraktif untuk mendefinisikan Sirkus Pohon. Sebetulnya, Andrea menyatakan, “Novel ini merupakan Laskar Pelangi dalam bentuk lain, bukan dalam karakter utama Ikal, Mahar, dan Lintang. Namun Laskar Pelangi dengan karakter utama sebatang pohon delima.”
Pernyataan Andrea bahwa tokoh utama Sirkus Pohon adalah sebatang pohon kurang bisa diterima. Pohon agak terlambat dihadirkan sebagai entitas penting. Pohon itu pun kurang berperan penting. Kalaupun berperan, pohon itu cuma dijadikan instrumen, bukan tokoh utama sebagaimana yang Andrea nyatakan.
Ada baiknya Andrea agak rendah hati dan mau belajar kepada novelis muda, semisal Faisal Oddang atau Ziggy Zezs yazeoviennazabrizkie, dalam menarasikan pohon. Meski tetap ada cela pada setiap novel mereka: Puya ke Puya (2015) dan Semua Ikan di Langit (2017), toh Faisal dan Ziggy relatif sukses menarasikan pohon sebagai tokoh dengan baik. Ziggy mengizinkan pohon dalam novelnya berdialog dengan tokoh-tokoh lain, sedangkan Faisal sanggup menempatkan pohon pada posisi sentral dalam kisah. Dua penulis muda itu menautkan pohon pada hal-ihwal religius, menarasikan proses kehidupan dan penciptaan. Andrea justru mengaitkan pohon dengan industri hiburan, dan risikonya adalah ketidaksanggupan mengagungkan pohon di semesta Sirkus Pohon. Jika benar nantinya Sirkus Pohon mewujud trilogi, kita doakan saja agar Andrea mampu menambal lubang-lubang Sirkus Pohon di novel berikutnya.

JUDUL: Sirkus Pohon
PENGARANG: Andrea Hirata
PENERBIT: Bentang
CETAKAN: Pertama, Agustus 2017
TEBAL: 410 halaman

Udji Kayang Aditya Supriyanto, pembaca sastra dan pengelola Bukulah!

Bedhol Desa

Cerpen Anton Erlangga Aditama (Kedaulatan Rakyat, 29 Oktober 2017)
Bedhol Desa ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat
Bedhol Desa ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
INI hari ‘bedhol desa’ alias pindahan serentak secara bersama-sama satu desa. Aku bukan main senangnya. Pagi-pagi sekali, dengan kecepatan seorang pelari, aku mengepak semua barang-barangku nyaris hanya dalam sekejap mata. Baju, komputer, buku-buku pelajaran, semuanya sudah terbungkus rapi di dalam kardus dan ditata sesuai ukuran.
Kulonprogo akan punya bandara baru. Aku dan keluargaku akan tinggal di rumah baru. Lahan di desa kami “terpaksa” kena gusur, tapi aku bersyukur sekali karenanya. Belum pernah aku sebahagia ini semenjak Ayah membelikanku sebuah kamera Canon Rebel yang sudah lama kuidamkan!
Aku tidak mengerti mengapa orang-orang di desaku begitu sedih dengan hal ini, sama halnya dengan seluruh anggota keluargaku. Baiklah, orang lain mungkin punya rumah yang keren, dengan garasi dan langit-langit. Tapi, siapa sih yang akan merindukan gubuk mereka ini?
Aku tahu Ibu, Ayah, dan kakakku berlama-lama mengepak barang-barang mereka, tapi sekarang sudah jam sepuluh. Acara bedhol desa akan dimulai setengah jam lagi, dan aku bahkan belum melihat satu kardus pun selain milikku di teras rumah. Ini sudah kelewatan.
“Kau ngapain sih?” Aku mendamprat kakak perempuanku, Trisna, yang bukannya melipat kaus kaki yang bertebaran di sekitarnya, malah duduk melamun menatap kosong pada jendela. “Kenapa belum selesai?” tuntutku.
“Hampir,” katanya, tapi ia masih bergeming. “Mau kubantu?” Aku mengusulkan, melangkah masuk. “Nggak, pergi sana.” Trisna tidak menatapku ketika mengatakannya. Ia sengaja berlambat-lambat saat memunguti kaus kaki.
“Cepatlah.” kataku tak sabar. Mungkin aku terdengar menyebalkan, tapi selama sepersekian detik aku benar-benar tidak peduli.
Lahan relokasi rumah kami berjarak kira-kira setengah jam perjalanan dari sini. Sementara itu aku menunggu di ruang tamu yang kosong, benar-benar tidak ada apa-apa di sana. Barang-barang lain yang lebih berat telah dipindahkan sehari sebelumnya.
Sepuluh menit berlalu dengan lambat ketika belum ada tanda-tanda bahwa orang tua atau kakakku akan segera selesai. Ada apa sih dengan orang-orang ini?
Aku memandang berkeliling ruangan, dan pandanganku jatuh pada sebuah celah selebar dua inci di bagian dinding yang retak. Dulu aku pernah menyembunyikan surat cinta untuk Trisna yang dititipkan padaku dari seorang pemuda yang tak bisa kuingat namanya. Ia marah besar ketika tahu, tapi sudah terlambat bertahun-tahun hingga tak mungkin untuk membalasnya
Dari dalam ruang tamu aku mengamati teras, di mana ibu biasa menunggu tukang sayur sementara ia menjahit. Satu kali dulu, tepat di keset itu, Trisna pernah menangis di pangkuan Ibu karena dia turun ke peringkat dua di kelas. Jika aku berpikir aku takkan merindukan rumah ini, ternyata aku keliru.
Ayah muncul dari ruang tengah, membawa sebuah kardus besar dan segepok kunci. Dengan menghela napas ia meletakkan kardusnya dan menatap kunci-kunci itu. Bandulnya di koleksi dari berbagai pasar malam yang dihadiri kami.
Sejenak Ayah kelihatan ragu-ragu, apakah mereka perlu mengunci rumah? Dan ekspresi yang tersirat di wajahnya membuatku tidak tahan.
“Kita akan tinggal di rumah yang lebih bagus,” kataku lirih, lebih kepada diri sendiri alih-alih untuk menghibur Ayah.
Ketika keluar lewat pintu depan rumah kami, aku menyadari bahwa itulah terakhir kalinya aku akan pernah melewatinya.
Aku takkan lagi berebut dengan Trisna untuk membukakan pintu ketika Ayah pulang di hari Sabtu membawa martabak. Pintu itu telah menjadi saksi pada banyak kesempatan di mana aku berpamitan dengan Ibu ke sekolah, dan anak cucuku nanti takkan menyadari betapa bersejarahnya bel pintu rumah kami karena besok pagi semua akan roboh, rata dengan tanah.
Aku duduk bersimpuh di antara kardus-kardusku dan menangis. Di teras ini, takkan ada lagi permainan catur satu lawan satu antara aku dan Ayah.
Aku takkan pernah lagi melihat Trisna pura-pura duduk memeluk buku, sementara ia menunggu pemuda anak tetangga sebelah yang ditaksirnya lewat. Ibu dan Ayah muncul dari dalam dan tersenyum penuh pengertian. Trisna ada di belakang mereka. Lalu sebuah pemahaman lain muncul di benakku.
Aku masih punya mereka, pikirku. Tak ada yang perlu disesali, rumah mereka nanti akan sama hangatnya dengan yang ini.
“Ya Tuhan,” Trisna geleng-geleng. Ia kelihatan puas sekali, seringainya benar-benar menyebalkan. “Kupikir kau senang kita akhirnya pindah?” Aku mengingatkan diriku untuk menggeplak kepalanya jika ada kesempatan.
Sambil memunguti harga diriku yang berserakan, aku menyeka airmataku dan mengangguk, “Memang,” kataku kaku. Aku bangkit dan berjalan menenteng kardus dengan angkuh, memimpin rombongan. q-e

Senin, 30 Oktober 2017

Apa Nama Baumu?


Cerpen Yetti A. KA (Jawa Pos, 29 Oktober 2017)
Apa Nama Baumu ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos
Apa Nama Baumu? ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
MESIN pemotong meraung-raung di belakang rumah. Tetangga sedang memotong rimbunan rumput liar. Bau rumput yang dipotong menguar. Aku tidak bisa menjelaskan baunya itu. Bukan wangi seperti bau parfum. Bukan busuk seperti bau bangkai.
Aku sering menemukan bau yang tak bernama. Bau hujan. Bau tanah kering. Bau kayu tua. Bau buku. Kau juga adalah sebuah bau. Kau mirip bau rumput yang dipotong itu. Bau yang membuatku mendadak sedih. Tidak. Bau rumput itu tidak mengirimkan sesuatu yang ngilu. Namun, aku tetap ingin menangis karena aku teringat kepada baumu.
Jadi apa nama baumu itu?
“Aku ingin mati,” katamu satu minggu sebelum kau ditemukan membeku dengan gaun tidur putih tipis berpola dedaunan—foto gaun tidur itu sempat kau pamerkan kepadaku ketika kau baru membelinya dari sebuah butik—di ranjangmu.
“Aku ingin mati,” katamu berulang kali. Dan kau memang akhirnya mati. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu saat berada di ranjang itu dan kau pelan-pelan membaringkan tubuhmu. Kau telentang, merapikan tangan di kedua sisi tubuhmu, perlahan memejamkan mata, hingga kau memasuki detik-detik kematianmu.
Aku sama sekali tidak tahu apa dadamu terlonjak keras pada saat malaikat mencabut rohmu. Tidakkah ia—malaikat itu—melakukannya terlalu keras? Apa kau menggumamkan sesuatu? Apa kau berteriak dan ketakutan? Apa kau masih berkata untuk terakhir kali, “Aku ingin mati.” Siapa yang kau ingat ketika itu? Apa kau menangis? Mungkin tidak. Aku tahu kau sudah lama berhenti menangis.
“Apa air mata bisa habis?” tanyaku saat kau bilang hidupmu terlalu kering dan kau bahkan tak lagi bisa mengeluarkan beberapa butir air mata.
Seingatku, dari kecil aku terlalu banyak menangis. Teman-temanku jahil semua. Mereka memecahkan balonku. Aku menangis. Mereka menarik rambutku. Aku menangis. “Kau ini punya air banyak sekali, jangan-jangan kau anak lautan ya?” tanya salah satu dari mereka sambil terkekeh-kekeh. Aku belum pernah melihat lautan. Aku mengangguk begitu saja. “Ya, aku anak lautan.”
“Kalau kau anak lautan berarti kau terbuat dari air. Ih, seram,” timpal yang lainnya. Aku kembali menangis karena aku tidak pernah menyangka kalau aku ini terbuat dari air dan itu menyeramkan. Dan air mataku tidak henti-henti mengalir. Ibuku yang sudah mati dan fotonya kutempel di dinding kamar, berkata, “Mereka hanya sekumpulan anak nakal. Jangan didengarkan. Mereka sengaja mau menyakitimu.”
Aku memang sering mengadu kepada ibuku pada waktu itu dan aku sangat percaya kepadanya. Orang yang sudah mati mana mungkin berbohong, karena hal itu tidak akan berguna baginya, pikirku.
Akan tetapi, kali itu, ibuku ternyata salah tentang mereka. Bertahun-tahun setelah itu, aku mencari lautan dan aku masuk ke dalamnya dan aku merasa menemukan diriku yang seutuhnya. Aku pun berubah menjadi lautan dengan ombak dan karangnya, pasir dan binatang-binatang laut, rumput dan ikan-ikan, perahu-perahu nelayan mengapung dan kapal-kapal besar berlayar menuju samudera luas. “Kau terus berpikir menjadi lautan?” tanyamu sebelum kau sampai pada hari-hari yang membuatmu ingin mati dan ingin mati saja.
“Ya,” jawabku malu karena mungkin kau menganggap aku ini anak kecil. Pipiku yang gelap mungkin bertambah gelap.
Kau tidak mengatakan apa pun. Kau memang tidak banyak bicara. Temanmu sedikit sekali. Mungkin hanya ada lima di dunia ini. Aku salah satunya. Saat pertama kali bertemu, kau berumur 35, aku 25. Kau bilang, “Waktu seusiamu, aku merasa bisa menjadi apa saja, termasuk mengubah diri menjadi bermacam-macam binatang atau benda-benda. Tapi kemudian aku memilih menjadi malam.”
“Kau memilih menjadi apa?” tanyaku kurang yakin.
“Malam. Malam yang gelap,” katamu.
Lalu kau mati. Lalu aku tak pernah lagi mendengar suaramu dan yang tertinggal hanya ingatan tentang baumu yang aku tidak tahu namanya itu.
***
IA tidak suka diberi nama Lonely. Rasanya, dunia ini bertambah sepi sejak ia mulai memikirkan namanya itu. Orang-orang dalam kehidupannya terlalu sibuk. Bapak harus segera ke kantor. Kakak ada rapat di komunitas. Adik ingin jalan-jalan. Ibu ada janji dengan teman di restoran untuk urusan bisnis. Papa pulang dan pergi ke kantor lagi. Adik mau makan nasi goreng di luar. Kakak mau sate di warung Y karena rasanya enak sekali. Adik ingin jalan-jalan ke pantai. Kakak mau nonton pertunjukan seni. Di akhir pekan Bapak dan Ibu mesti menghadiri pernikahan A, B, C. Ah, masih ada pernikahan D di luar kota.
“Lonely, cepatlah! Kau ikut tidak?”
Lonely tidak suka buru-buru. Ia sedang memperhatikan bercak putih di kukunya.
“Lonely, kita terlambat!”
Lonely melihat seekor kelelawar menggantung di cabang pohon seri dari jendela kamarnya. Kelelawar yang berwarna malam. Bagaimana kelelawar bisa tiba di tengah kota yang sesak oleh bangunan ini? Lonely tak habis pikir.
“Kau sedang apa sih, Lonely? Huh, kok, lama sekali!”
Lonely kembali memperhatikan kukunya. Bercak putih itu seperti sebuah noda yang lahir dari rasa sepi. Aku sepi sekali, desah Lonely murung. Suara-suara yang memanggil namanya hilang. Lonely bangkit, melongokkan kepalanya keluar. Ia tak menemukan dunia masa kanak-kanaknya yang riuh itu dan seketika ia telah berdiri dengan sepasang kaki yang panjang—kaki perempuan dewasa berumur 25 tahun.
Ia pikir kakinya itu akan mampu membawanya ke tempat yang ramai oleh suara lain, suara yang tak buru-buru, dan sangat banyak warna, yang tak memungkinkannya merasa sendirian, yang membuatnya melupakan keinginannya berubah menjadi malam. Aku akan menggenggam semuanya! Aku akan bergembira selamanya! Lonely tersenyum semringah. Ia memoles kukunya dengan cat warna merah. Kuku-kukunya seketika menjadi buah stroberi yang masak sempurna. Mata Lonely terbuka karena takjub. “Rasa sepi sama sekali tak boleh pergi bersamaku,” katanya saat tak lagi menemukan noda putih di kuku yang mengganggu perasaannya. Lonely menutup jendela cepat-cepat dan kelelawar itu masih menggantung di sana dengan warnanya yang makin hitam.
Lonely berjalan. Terus berjalan. Ia sudah melewati seluruh tempat keramaian di kota. Namun, tidak ada tempat yang tak membuatnya merasa sepi. Kenapa aku bernama Lonely? protesnya dalam hati. Malam begitu cepat tiba. Ia merasa tak ingin kembali. Ia berjalan lagi. Ia masuk ke dalam pub yang memutar musik ingar-bingar dan kebanyakan orang di dalamnya dilahirkan dengan hati sepi. Ia tak bisa bertahan lama. Ia meninggalkan pub itu dan berada di pesta sekelompok anak muda yang gagal membahagiakan diri sendiri dan berencana membuat keributan di kota menjelang pagi. Ia menelepon pacarnya, tapi cepat ditutupnya kembali, karena ia tahu lelaki itu bahkan mesti menelan berbutir-butir pil untuk berdiri di depan orang lain tanpa rasa hampa.
Ia tegak di tepi jalan. Orang-orang berlalu lalang, tapi tak seorang pun melihatnya. Di kota ini, mata tak lagi digunakan untuk melihat orang lain. Ia sudah lama tahu itu. Dari kecil ia sudah mengerti mata bapaknya lebih senang menekuri kertas-kertas tugas kantor yang dibawa pulang ke rumah ketimbang menatap ia yang berdiri dengan baju tidur dan sebuah bantal.
“Kembali ke kamar dan tidur lagi sana, Lonely,” kata bapaknya tanpa memandang kepadanya.
“Lonely, ini sudah malam, cepat tidur ya,” kata ibunya sambil membuat coretan-coretan pada bundalan kertas di depannya.
Lonely menghapus sebutir air mata terakhir yang jatuh di pipinya. Semua sama saja, pikir Lonely. Tak ada orang yang menyenangkan di kota ini. Tak ada tempat yang tak membuatnya merasa sepi. Ia duduk di trotoar dan mulai membayangkan apa saja yang bisa ia lakukan. Ia benar-benar ingin berubah menjadi malam saja. Ia tidak tahu apakah menjadi malam akan menyenangkan baginya. Ia sudah pernah pura-pura menjadi babi, lalu badak, lalu cacing, lalu burung, lalu semut, lalu meja, lalu bolpoin bapaknya, lalu panci di dapur, lalu ia ingat lagi kelelawar di batang pohon seri kecil di dekat kamarnya. Kelelawar yang sehitam malam. “Aku mau menjadi malam saja biar bisa sembunyi dalam warnanya yang gelap,” katanya pelan, merasa tenteram.
***
Aku datang ke rumahmu yang diselimuti rasa duka. Saat itu, aku belum mencium bau apa-apa. Suamimu meneleponku saat aku berada di lautan. Lelaki itu meninggalkan pesan dan aku segera membacanya saat aku selesai mencopot baju lautku yang selama ini memungkinkan aku menjelajahi duniaku yang maha dalam dan luas. Ia mati. Begitu isi pesan itu. Aku membacanya sekali lagi. Ia mati.
Aku mulai bertanya-tanya, dengan cara apa kau mengakhiri hidupmu? Apa kau minum puluhan pil atau sebotol cairan kimia seperti yang sering kau katakan kepadaku?
Ia mati. Kubaca sekali lagi.
Air mataku mulai menetes. Kau benar-benar mati. Aku tidak akan lagi melihatmu. Aku tidak akan lagi mendengar atau membaca pesanmu yang tiada henti itu: aku ingin mati.
Bagaimana rasanya mati? pikirku. Apa saat mati kau membayangkan dirimu segumpal malam yang terbang sangat perlahan ke ketinggian dan memilih tak kembali lagi? Apakah kau membawa serta perasaanmu yang selalu merasa sepi itu? Atau kau menjadi dirimu yang benar-benar berbeda? Kukemasi peralatan lautku dengan cepat. Aku tidak ingin ketinggalan. Aku ingin melihatmu terakhir kali sebelum kau diberangkatkan ke tempat tinggalmu yang baru. Kau akan dimasukkan ke dalam tanah. Apa kau sama sekali tidak cemas? Apa kau tidak keberatan bertetangga dengan begitu banyak cacing yang rakus dan berusaha keras berada sedekat mungkin denganmu? Di sana pasti saja tidak ada udara. Dadaku menjadi sesak memikirkanmu.
Lalu aku telah berdiri di dekat peti jenazahmu yang berwarna hitam dan tampak licin karena sentuhan pelitur. Kau tampak tenang sekali. Bibirmu terkatup kaku, tapi sama sekali tidak tampak murung. Kelopak matamu kelihatan lembut, serupa dua kelopak mawar yang tertelungkup.
Suamimu berkata di belakang telingaku, “Dia mati.”
Lelaki itu pasti saja terpukul. Ia tak percaya kau melakukannya. Kau menyimpan dengan sangat baik bagian tersepi dari hatimu. Kau tak pernah membiarkan orang lain benar-benar masuk ke dalam hidupmu selain aku. “Kenapa aku?” tanyaku waktu itu. “Karena kau anak lautan,” katamu, “dan aku adalah malam. Kita sama-sama orang yang aneh.”
“Dia mati,” kata lelaki itu lagi, dan kali ini lebih bergetar. “Ia begitu bahagia. Ia masih tertawa bersama anak-anak pada pagi hari. Ia singgah ke toko buku. Ia mau membuat pesta ulang tahunku bulan depan. Ia berencana membuka usaha baru. Ia orang yang sangat bersemangat selama aku mengenalnya.” Bahu lelaki itu terguncang-guncang dan ia berhenti bicara saat tangisnya terlepas.
Kau pernah bilang, “Suamiku lelaki baik.” Kini aku melihat air mata lelaki yang baik hati itu berjatuhan. Aku bisa mencium bau air matanya. Bau yang tidak aku tahu namanya. Pelan-pelan aku juga mencium baumu. Bukan bau peti jenazahmu, melainkan betul-betul baumu. Bau yang mungkin akan kuingat selamanya. Bau itu, hari ini, menguar dari batang-batang rumput yang dipotong di belakang rumah persinggahanku sebelum aku kembali ke lautan.
Apa nama baumu itu? Katakanlah sesuatu biar aku tak perlu lagi bertanya-tanya. Katakanlah sesuatu biar aku berhenti berpikir ingin mencopot baju lautku dan menenggelamkan diriku di lautan, sebab aku terlalu lelah memikirkan baumu, yang bisa muncul di mana-mana, di kapal, pasir, bunga, keong, daun, baju, sepatu, pindang ikan, bakso, minuman bersoda, kebun sayur, dan bau rumput yang dipotong itu, makin segar, makin aneh. Apa nama baumu? ***

Rumah Kinoli, 2017
YETTI A.KA, buku kumpulan cerpen terbarunya Pantai Jalan Terdekat ke Rumahmu (2017)

Suamiku Ingin Mati di Wawonii


Cerpen Arsyad Salam (Suara Merdeka, 29 Oktober 2017)
Suamiku Ingin Mati di Wawonii ilustrasi Suara Merdeka
Suamiku Ingin Mati di Wawonii ilustrasi Suara Merdeka
1/
Pukul satu siang.
Duduk menyandar pada tumpukan dos mi instan, perempuan itu tampaknya sedang asyik dengan diri sendiri. Pandangannya tak pernah lepas dari layar ponsel yang terkoneksi dengan headset di kupingnya. Namun saya yakin ia tidak bisa fokus mendengarkan lagu. Meskipun duduk di bagian paling atas Kapal Fajar Fadilah, ia pasti terganggu oleh suara mesin yang mulai menaikkan gas. Sebentar lagi kapal berangkat. Kembali mengarungi lautan Kendari-Wawonii. Suara percakapan para penumpang hilang tertelan suara mesin. Begitulah memang setiap kali kapal hendak berangkat.
Rasanya saya kenal perempuan itu. Entah di mana. Sepertinya saya pernah tahu siapa dia. Atau paling tidak pernah berbicara dengannya. Sayang, ingatan tak selamanya panjang.
Pasti ada di antara kalian bertanya, cantikkah perempuan itu? Berapa usianya? Bagaimana postur tubuhnya? Langsing? Kurus? Gemuk? Yang bertanya begitu bisanya laki-laki. Entah kenapa laki-laki di mana pun lebih mengutamakan detail fisik perempuan daripada soal lain. Apakah ia cerdas? Apa kelebihannya? Itu jarang ditanyakan.
Terus terang saya tak bisa menjawab pertanyaan kalian. Seperti sudah saya singgung, saya tak kenal dekat perempuan itu. Apakah ia cantik? Mungkin. Namun bukankah definisi cantik dan tampan sangat relatif? Artinya berbeda bagi setiap orang.
Ketika Pulau Hari di kanan dan Pulau Saponda di kiri telah terlewati, saya perhatikan tidak terjadi perubahan pada wajah perempuan itu. Biasa-biasa saja dan terus mengawasi laut dengan ekspresi sangat wajar. Mungkin kedua pulau itu sudah terlalu biasa bagi dia, tak lagi membawa kesan mendalam. Mungkin ia seperti saya juga, melewati pulau itu hampir tiap pekan. Bolak-balik Kendari-Wawonii. Rutinitas membosankan. Tapi mau apalagi. Saya memang harus menempuhnya demi tugas dan tanggung jawab sebagai aparat negara.
Perempuan itu masih juga memandang laut. Tiba-tiba ia berdiri, melangkah hati-hati mendekati tempat saya duduk di samping tumpukan jerigen solar. Saya berdebar oleh tingkah yang mendadak itu. Bajunya tersibak angin. Jilbabnya juga.
“Bapak masih ingat saya?”
Saya memandang cukup lama seraya mengumpulkan ingatan yang berserakan tentang sosok perempuan yang sekarang berdiri di hadapan saya.
“Saya Nining, Pak.”
“Nining?” saya membalas ragu. Dan ia tahu saya ragu. Ia meneruskan.
“Dulu kita sama-sama naik Kapal Wawonia ke Kendari.”
“Ah, kenapa sekarang sulit sekali mengingat orang?” batin saya. Namun yang keluar dari mulut saya hanya sahutan pendek, “Oh ya?”
Saya memang tidak dikaruniai kefasihan mengingat segala kejadian. Saya nyaris lupa semua kejadian yang telah lewat, meskipun baru sepekan lalu. Mungkin benar ia pernah sekapal dengan saya. Entahlah. Namun mungkin juga ia cuma mengarang-ngarang, mencari alasan bisa mengobrol dengan saya. Saya tak tahu.
Saya perhatikan perempuan itu lebih cermat. Ada sesuatu yang menarik dalam dirinya. Sesuatu yang saya tak tahu. Dan saya bingung tak bisa menunjukkan hal menarik itu. Saya pernah membaca sebuah buku filsafat. Saya lupa judulnya, tetapi ada yang tidak bisa saya lupakan dalam buku itu; bahwa saat kita melihat sebuah objek, sudah berbeda bila melihatnya waktu lain. Perbedaan waktu itulah yang membuat objek berubah.
Saya dan Nining terlibat percakapan. Ia bercerita dulu mengajar di sebuah sekolah dasar dekat Tumburano di Wawonii Utara. Namun sejak empat tahun lalu, ia menikah dan tinggal di Kendari.
“Baru hari ini saya kembali ke Wawonii setelah menikah dengan Rustam.”
“Empat tahun?” tanya saya agak heran.
Ia mengangguk mantap.
“Suami kamu sekarang di mana?”
“Di kapal ini.”
“Di kapal ini? Di mana?”
“Di kamar ABK.”
“Kenapa?”
“Ia sakit. Saya membawanya ke kampung untuk berobat.”
“Kenapa kamu di atas sini? Kenapa tidak menjaganya?”
“Ia sedang tidur sekarang. Biarlah ia istirahat.”
Sebenarnya banyak yang saya ingin tanyakan. Namun, entahlah, saya hanya mampu membisu seraya menatap ombak berkejaran.

2/
Tiga jam sebelumnya.
“Tahan sakitnya ya, Rus, sebentar lagi kita ke pelabuhan,” bujuk Nining.
Rustam diam, tak menyahut atau mengangguk. Di dalam taksi sepanjang perjalanan, Nining berusaha menghibur sang suami. Ia mengajak Rustam bicara dengan nada manis. Sesekali tangannya mengusap pelipis dan rambut Rustam yang acak-acakan. Sopir taksi yang mereka tumpangi, lelaki gemuk yang tampak baik hati, cuma sesekali melirik mereka lewat kaca spion.
“Sejak dulu kan aku sudah bilang, kita berobat ke Makassar saja, tapi kamu maunya ke kampung. Memang di kampung ada yang bisa mengobatimu?” Nining terus bicara sendirian. Rustam tergolek tanpa daya di jok belakang, di sampingnya.
Nining menyuruh sopir taksi mempercepat laju kendaraan, khawatir ketinggalan kapal. Ia tahu jadwal berangkat kapal kayu ke Pulau Wawonii tak pernah tepat. Kadang lebih cepat, kadang juga terlambat berjam-jam. Dalam hati ia berdoa semoga kapal belum berangkat. Kalau ia ketinggalan, pupuslah harapan membawa pulang Rustam ke kampung.
Memasuki pintu gerbang pelabuhan, Nining sedikit lega ketika dari jauh melihat Kapal Fajar Fadilah masih tertambat di dermaga. Orang ramai naik-turun kapal. Pedagang asongan di mana-mana, berteriak menjajakan nasi bungkus, jagung rebus, dan air mineral.
Nining minta tolong sopir taksi membantu membopong Rustam ke kapal. Dalam hati ia berharap semoga tidak ada yang tahu apa yang sesungguhnya ia lakukan. Sengaja ia menutup kepala Rustam dengan kain panjang supaya tak terkena sinar matahari. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu ramai membicarakan keadaan Rustam yang telah lama diketahui sakit dan tidak sembuh-sembuh sampai sekarang. Orang-orang di pelabuhan siang itu dan hari-hari lain kebanyakan orang Wawonii juga. Mereka kenal Nining. Juga Rustam tentu saja.
“Kasihan ya,” kata seseorang.
“Memang ia sakit apa?”
“Saya dengar ia sakit jantung.”
Rustam dimasukkan dalam kamar kosong, kamar seorang anak buah kapal. Nining lega. Kembali ia mengusap kepala suaminya penuh kasih sayang. Dalam hati ia berdoa kepada Tuhan agar perbuatan itu tidak diketahui penumpang lain di kapal. Apalagi sampai diketahui juru mudi. Bisa gawat urusan nanti. Tadi ia berdebar ketika seorang ABK berkata tubuh Rustam sudah pucat, mirip mayat.
“Jangan-jangan ia sudah mati,” kata orang itu.
Nining menyahut cepat, Rustam cuma tak sadarkan diri. Penyakitnya memang gawat. “Ia pernah pingsan dua hari,” ucap Nining untuk menenangkan diri sendiri.

3/
Dermaga Langara sudah tampak. Kami berhenti bercakap-cakap. Nining lekas berdiri dan minta diri untuk ke bawah, ke kamar sang suami berbaring. Ia menatap saya agak lama, membuat saya agak heran seraya berpikir pasti ada rahasia yang hendak ia katakan. Saya memberanikan diri bertanya.
“Ada apa?”
Ia mendekat lagi, mendekatkan mulut ke kuping saya. Suaranya halus dan dalam, meskipun agak gemetar.
“Suamiku ingin dikuburkan di Wawonii. Ia ingin mati di pulau itu.”
“Lantas apa masalahnya? Kan kamu membawanya pulang untuk berobat?”
“Ia sudah meninggal, sudah mati sejak dari rumah di Kendari.”
“Hah?”
“Jangan bilang-bilang ya,” bisiknya dengan wajah agak sedih.
“Soalnya kapal-kapal di sini dilarang membawa mayat. Pemali, kata mereka. Saya pun terpaksa melakukan ini untuk melaksanakan wasiat suami saya yang ingin dikuburkan di Wawonii.”
Saya belum mampu mencerna apa yang sesungguhnya terjadi ketika dari bawah terdengar teriakan seorang anak buah kapal. “Ada mayat dalam kapal ini! Siapa keluarganya? Siapa bertanggung jawab?” (44)

Arsyad Salam, menulis novel dan cerpen. Novel yang telah terbit Kidung dari Negeri Apung (2015), Jejak Manusia Langit (2016), dan Lintasan Menikung (2017). Kumpulan cerpennya Pasung Jiwa Merpati Putih (2016). Kini, dia tinggal di Kendari, Sulawesi Tenggara.

Mimpi Sekejap


Cernak Wahidatun Nisai Fauziyati (Suara Merdeka, 29 Oktober 2017)
Mimpi Sekejap ilustrasi Suara Merdeka.jpg
Mimpi Sekejap ilustrasi Suara Merdeka
Kamis malam Jumat, Akbar mengunjungi pengajian peringatan Isra Mikraj di mushala bersama Kak Yusuf. Tetangga rumah berbondong-bondong menuju mushala dengan membawa jajanan pasar. Bakda magrib acara dibuka dengan pembacaan surat Al-Fatihah. Akbar antusias mengikuti rangkaian acara meskipun didera kantuk.
“Kak, Kiai Hamzah kapan mulai ceritanya sih? Akbar mengantuk,” tanya Akbar ke Kak Yusuf.
“Sabar Akbar, kan baru saja dimulai,” jawab Kak Yusuf singkat.
Kiai Hamzah merupakan pemuka agama yang sangat disegani. Tausiyah yang disampaikan mudah dipahami dan mengena di hati. Akbar menantikan kisah-kisah yang biasa disampaikan ketika mengaji.
Akbar mengamati sekeliling ruang utama mushala. Orang-orang terlihat khusyuk merapalkan doa. Suasana yang khidmat membuat Akbar semakin mengantuk. Segera Kak Yusuf memintanya untuk mencuci muka. Akbar menuju tempat wudhu untuk mencuci muka dengan harapan kantuknya hilang.
Saat menuju ke tempat wudhu, tiba-tiba ada Raka yang mengajak Akbar untuk bergabung bermain gerobak sodor.
“Akbar main yuk. Gabung ke tim aku, kurang satu orang nih,” pinta Raka ke Akbar. Akbar pun tergiur untuk ikut bermain. Padahal Kak Yusuf sudah berpesan agar ia mengikuti pengajian hingga tuntas. Namun, untaian doa-doa yang mendayu serta suasana khidmat membuat kantuk semakin parah.
“Bosan menunggu lama, lebih baik ikut bermain saja,” bisik Akbar.
Akhirnya Akbar memutuskan untuk ikut bermain bergabung bersama tim Raka yang akan melawan tim Mario. Permainan dimulai, tim Raka yang akan berjaga dengan susunan Akbar-Rio-Arkhan-Raka.
Mudah saja bagi Akbar untuk mematikan lawan dengan menangkap si gembul, Naufal. Poin pertama untuk tim Raka disumbangkan oleh Akbar. Sementara kedudukan satu nol untuk kemenangan tim Raka atas tim Mario. Giliran tim Raka yang akan menjadi penyerang melewati penjaga untuk mencapai garis finish. Penyerang pertama adalah Akbar, ia dikenal sebagai pelari yang cepat. Tak heran lawan mewaspadai gerak-gerik Akbar. Tubuh mungilnya meliuk-liuk menghindari sergapan penjaga. Akbar pun mampu mencapai garis finis dan kembali menyumbangkan poin untuk tim Raka.
Sementara itu, Raka dan Rio masih terjebak dalam kepungan para penjaga. Gemuruh sorak anak-anak yang menonton membuat suasana menjadi tegang dan seru.
“Raka masuk ke kanan…kanan…kanan..awas ada Naufal…awas!” sorak salah satu penonton.
“Rio ayo ..cepat…cepat..cepat masuk… Awas..” teriak histeris para penonton.
Teriakan anak-anak ini terdengar hingga ke ruang utama mushala. Datanglah Pak Haji Salman di antara anak-anak tersebut. Mereka terkejut. Tatapan mata yang tajam, tangan berkacak pinggang serta kumis tebal melengkung ke atas menjadikan kesan garang. Seketika anak-anak tak berkutik. Mereka diam. Namun, rupanya Akbar tidak mengetahui kedatangan Pak Haji Salaman. Dengan semangat, ia masih terus berteriak, “Masuk kanan Ka..Raka ke kanan…kanan si Naufal…ayo masuk kanan…cepat…cepat!”
Arkhan segera memberi kode, tapi Akbar tak menghiraukannya hingga jeweran mengenai telinganya.
“Dasar anak-anak yang bandel. Sudah diperingatkan berkali-kali tetap saja teriak-teriak di mushala. Bermain boleh saja tapi nanti setelah pengajian. Mengganggu orang yang sedang beribadah itu tidak baik,” tegur Pak Haji Salman, Akbar pun terkejut dan mengerang kesakitan.
Dan… Jeweran Pak Haji Salman rupanya membangunkan Akbar dari mimpi buruk petang itu. Tidak ada Pak Haji Salman di sampingnya, tidak ada teman-teman di sekelilingnya.
Akbar terduduk di kursi tempat wudhu karena kantuk yang tak tertahan. Akbar lalu mengusap seluruh muka dengan air dan menutup keran air tersebut. Segera ia kembali ke ruang utama mushala karena suara merdu Kiai Hamzah mulai menggema di telinganya. Tidak akan ia lupakan mimpi sekejapnya itu. (58)

Minggu, 29 Oktober 2017

Kalau Kau Memandang dengan Mata Terpejam


Cerpen Hajriansyah (Kompas, 29 Oktober 2017)
Kalau Kau Memandang dengan Mata Terpejam ilustrasi Niluh Pangestu - Kompas.jpg
Kalau Kau Memandang dengan Mata Terpejam ilustrasi Niluh Pangestu/Kompas
Birin mengucek matanya yang merah darah. Semakin dikuceknya semakin perih. Jari-jarinya basah. Agak samar ia melihatnya berwarna darah. Sementara pecahan kaca semakin menempel, perih makin parah. Ibunya yang melihatnya terpekik. Hening sesaat, lalu ia berteriak, “Usuuup!” Rumah lanting berayun, tanda seseorang menjejak dengan kaki yang tergesa. Pamannya itu bereaksi cepat, ia tangkap tangan Birin yang masih mengucek, digendongnya anak kecil itu dan berlari membawanya ke mantri terdekat. Ibunya rebah di atas kaki bertelimpuh, hilang tenaga. Ibu-ibu tetangga datang menghiburnya.
Peristiwa hilangnya penglihatan Birin itu terjadi saat umurnya belum genap lima tahun. Menjelang usia sekolah. Kini ia telah memasuki usia remaja, waktu sepuluh tahun berlalu seperti air sungai mengalir menuju muara. Kadang terasa kadang tidak. Birin menjalaninya dengan tabah. Tapi tidak bagi ibunya. Orangtua yang malang itu sering menangis di malam hari. Suaranya samar-samar ditangkap telinga adiknya, Usup, yang tidur berbatas dinding tripleks kusam. “Ya Tuhan, ambillah mataku ini, penglihatanku ini, dan berikan untuk anakku….”
Doa-doa yang perih itu seiring isak tangis ditahan yang menyayat hati. Wanita separuh baya yang baru menikmati menimang anak di usianya yang menjelang 40 tahun itu kehilangan suaminya saat Birin baru berusia belum dua tahun. Buruh penggergajian kayu di tepi Sungai Jagabaya itu tewas di tempat kerja, saat balok kayu besar yang baru digergajinya separuh jatuh menumbuk kepalanya ketika ia sedang makan siang di sisi panggung penggergajian. Kesedihan wanita itu makin dalam saat menyaksikan anaknya tak dapat melihat seperti anak-anak kebanyakan, dan merelakannya tak dapat sekolah. Setahun lewat berjalan setelah Birin kehilangan penglihatan, wanita penuh kasih itu meninggalkan anaknya semata wayang. Usuplah yang kemudian menggantikannya, menjadi ibu-menjadi ayah bagi anak buta yang tak pernah menangis itu.
Usup sendiri bekerja serabutan. Keterampilannya melukis dan menulis puisi membantunya mendapatkan uang. Bila-bila ia jadi tukang cat dinding, di lain waktu membantu temannya yang pemborong membuat taman. Bila tak ada pekerjaan di luar ia membuat lukisan wajah pesanan, dan saat malam sendirian ia menulis puisi atau cerita pendek.
Suatu hari Birin menegurnya dari belakang. Kemenakannya yang buta itu tidur di kamar dulu ibunya tidur, di sebelah kamar Usup yang sama kecil.
“Paman sedang menulis puisi, ya?”
Usup berpaling memandang wajah kemenakannya yang polos itu. Ia menjawab dengan sepenuh kasih yang dapat diberikannya. “Iya. Kenapa semalam ini kau belum tidur?”
“Aku baru berbincang dengan Kakek Jibu.”
Dahi Usup mengernyit, tapi segera ia acuh. Bukan sekali ini Birin berkata ia baru bertemu atau berbincang dengan Kakek Jibu. Usup sudah terbiasa meski awal-awalnya ia heran juga, siapa Kakek Jibu. Pikirnya, Birin hanya berhalusinasi dan mengisi kekosongan waktunya dengan cerita-cerita yang tak mudah dicernanya itu. Konon, Kakek Jibu adalah jelmaan buaya penguasa Sungai Jagabaya.
“Paman, aku ingin menulis buku. Maukah paman membantu menuliskannya untukku?”
“Sangat mau, nak. Sini, duduk di samping paman,” kata Usup menarik tangan Birin. “Berceritalah, paman akan menuliskannya.”
Anak buta itu duduk perlahan di sisi pamannya. Ia menoleh ke arah pamannya yang telah siap meletakkan jemarinya di atas tombol-tombol huruf. Notebook hasil dari honor beberapa juara lomba menulis puisi itu mendongak ke atas, seperti menantang atap rumah mereka yang tak berplafon.
“Kasih ibu seperti sungai yang menampung deras aliran bawah sungai. Tahukah Kau, arus bawah itu sangatlah kencang? Aku tahu. Kakek Jibu yang mengatakannya padaku. Begitu pula yang kurasakan saat merendamkan kaki di sisi buaya tua itu. Bagaimana Paman, menarikkah kata-kata pembuka ini? Sudah kau tulis bukan.”
“Iya. Teruskanlah!”
“Ibuku adalah wanita yang teguh. Seperti sungai yang tebing-tebingnya luruh, ia tetap menjagaku sepenuh hatinya….”
Malam itu luruh bersama cerita Birin. Usup mengetik setiap kata dengan sabar. Air matanya merembes dari ujung kelopaknya. Perlahan, tangis tanpa suara, tanpa sengguk, tanpa jeda. Waktu sekian jam habis untuk satu bab cerita, enam halaman. Tertulis di sana tepat 2.100 kata.
“Mengapa paman menangis?”
“Ah, kata siapa paman menangis.”
“Aku merasakannya. Setiap tetes di pipi paman aroma asinnya sampai ke hidungku.”
“Ah, itu perasaanmu saja. Aku tak menangis.” Usup menyapu pipinya. Tiba-tiba tangan Birin juga menyeka air matanya, Usup terkejut, seketika itu langsung memeluk kemenakannya.
“Paman tak perlu malu untuk menangis. Setiap tetesnya membasuh luka di hati kita. Semua orang, tak besar tak kecil menangis, paman. Orang kaya menangis, yang miskin pun menangis. Yang berilmu menangis, yang bodoh begitu pula. Alasannya bisa berbeda, namun tangis menjadi obat bagi sesak di dada.”
“Bagaimana kau bisa tahu sebanyak itu, anakku?”
“Aku tak pernah berdusta.”
“Benarkah?” Usup menarik tubuhnya, tangannya tetap memegang pundak Birin. Ia mengambil jarak, benar-benar merasa heran. “Sekali pun kau tak pernah berdusta?”
“Ya, aku tak pernah berdusta. Juga tentang Kakek Jibu, meskipun paman tidak memercayainya.”
Kali ini Usup benar-benar kagum sekaligus penasaran. Kemenakannya ini seperti tahu isi hatinya.
“Paman ingin kukenalkan dengan Kakek Jibu? Kemarilah!”
Kali ini Usup yang dituntun Birin. Mereka membuka pintu rumah lanting yang menghadap ke sungai. Kaki Usup yang ragu terasa berat, namun tetap diikutinya langkah kecil di hadapannya. Setiap jejakan iramanya mengayun rumah kecil di atas sungai itu.
Dua beranak paman dan kemenakan itu duduk mencangkung di atas papan yang disangga bambu dan batangan pohon berlumut itu. Tangan Birin menepuk-tepuk permukaan sungai, mulutnya memanggil lirih, “Kakek Jibu, Kakek Jibu, datanglah. Pamanku ingin berkenalan denganmu.”
Waktu melambat bagi Usup. Pikiran dan perasaannya di antara percaya dan tidak percaya, tapi ia mau bersabar kali ini. Tak berselang lama, permukaan sungai bergelombang. Sebuah benda sebesar batang ulin berdiameter sehampir satu meter menyembul dari bawah sungai. Tepatnya, seekor binatang. Buaya! Warnanya persis batang taradam dengan lumut-lumut hijau tua.
Usup hampir terjatuh dari jongkoknya. Refleks tangannya menahan tubuhnya yang terasa berat. Ia benar-benar percaya, namun tak sepenuhnya ingin percaya. Matanya dikuceknya. Birin menahan posisi pamannya yang ingin berdiri. “Jangan takut, Paman. Kakek Jibu baik, ia tidak memakan manusia. Kitalah manusia, yang sering menakut-nakuti makhluk selain kita. Kemarikan tanganmu, belailah ia!”
Usup benar-benar percaya, meski tak ingin sepenuhnya percaya. Telapak tangannya membelai kepala sebesar ember itu. Binatang itu diam, matanya yang nyalang. Usup seperti mendengar suara yang menjalar lewat tangannya.
“Namaku Kakek Jibu. Kau mungkin sudah sering mendengarnya dari kemenakanmu. Aku pun tahu nama dan kebaikanmu darinya. Aku makhluk Tuhan Yang Esa, sepertimu. Kau mungkin heran, tapi percayalah kuasa Tuhan yang mengalir lewat kepolosan hati kemenakanmu. Aku adalah penjaga keluargamu. Datukmu yang bernama Harun, seorang Paaliran, yang pertama memeliharaku. Sampai ke generasi ayahmu, tak ada lagi yang mau bersahabat denganku. Kakak ayahmu yang tertua yang telah menalak persahabatanku dengan keluargamu. Tak mengapa bagiku.
Aku paham zaman telah berganti. Orang-orang tak perlu lagi persahabatan dan perlindungan makhluk semacamku. Tak mengapa bagiku. Cukuplah kasih dan pemberian keluargamu hingga kakekmu.
Karena kebaikan merekalah, kini aku menemani kemenakanmu. Sebenarnya aku tak benar-benar menjaganya. Aku hanyalah perantara, karena kasih dan kebaikan yang mengalir lewat tangan orang-orang yang baik hati, kasih dan kebaikan Tuhan Yang Esa menjaga keturunan mereka.”
Tangan Birin masih memegang tangan pamannya. Ia turut mendengar suara itu.
“Birin, ini mungkin akan menjadi pertemuan terakhir kita. Setelah ini, pamanmu yang akan sepenuhnya menjagamu sampai kau kembali ke pangkuan ibumu. Selesaikanlah ceritamu, sampaikan kisah tentang kasih dan cinta kepada manusia.”
Birin mengangguk-angguk, ia tampaknya paham maksud pembicaraan itu. Bibir pamannya hanya sanggup menyuarakan “iya”, meski ia tak tahu, “iya” untuk apa dan ke mana maksud tujuan pembicaraan dari suara yang menjalar di tangannya.
Sejak malam itu dua beranak paman dan kemenakan itu tenggelam dalam ketik kata dan suara lirih yang keluar dari mulut kecil penuh cinta itu.
Dari kata-kata yang seperti aliran sungai itu ia baru menyadari, ternyata banyak sekali yang ia tak dapat rasakan dan tahu sementara kemenakannya lebih memiliki kesadaran. Cerita tentang keluarga mereka yang pedih. Tentang ayahnya, Haji Isam, juragan kayu yang bangkrut bahkan jauh sebelum peraturan larangan illegal logging diterapkan pada masa Presiden SBY, karena ditipu. Ya, ia tahu ayahnya dulu orang kaya. Tapi ketika itu ia masih remaja dan tak mau ambil peduli keadaan mereka, mengapa mereka kemudian harus pindah ke rumah lanting yang dihibahkan rekan kerja ayahnya, persis di belakang rumah mereka yang besar di darat. Ia hanya tahu ayahnya meninggal tak lama setelah bangkrut. Ibu tirinya meninggalkan mereka, hingga Isah, kakaknya satu-satunya bersama suaminya, ayah Birin, yang menggantikan ayahnya.
Umar, ayah Birinlah yang bekerja sementara kakaknya membuat anyaman tanggui untuk membantu penghasilan suaminya yang tak seberapa dari memburuh di bekas penggergajian kayu milik ayah mereka. Usup terlalu asyik dengan teman-temannya yang seniman. Ia hanya merasa pedih sesaat dan kemudian tak mau ambil peduli lagi. Ia menjalani hidupnya seperti arus sungai mengalir di bawah rumah mereka.
Tepat pada malam ke-40 cerita Birin selesai. Pandangan anak kecil yang buta matanya itu ternyata lebih dewasa dibandingkan Usup sendiri. Setiap cerita yang didengarnya direkamnya begitu kuat, dan detail. Termasuk cerita ngalor-ngidul di warung tentang keadaan masyarakat dan politik negeri ini. Dan untuk itu semua, Birin hanya punya satu kata: Cinta. Sesederhana itu saja, meski tak sesederhana itu menurut Usup.
Malam-malam berikutnya adalah malam yang penuh panas demam bagi Birin. Keadaan itu tak juga membaik meski Usup telah mencoba membawanya ke mantri atau puskesmas terdekat. Obat telah diminum, tapi kesehatan Birin terus memburuk. Perlahan Usup mulai paham maksud pembicaraan Kakek Jibu. Mungkin, inilah kesudahannya. Birin meninggalkan Usup, untuk selamanya, di pangkuannya.
Orang-orang datang melayat dan membantu penguburannya. Remaja buta yang selalu membawa keceriaan di mana saja ia bersinggungan dengan tetangganya itu diantar orang banyak sekali. Usup bahkan tak menyangka akan sebanyak itu yang datang dan membantu. Ia baru tahu, ketika ditinggal bekerja, ternyata Birin sering keluar rumah beramah-tamah dan membantu orang-orang. Ia yang kecil dan seolah tak berdaya, bahkan lebih kuat dari Usup yang tua membujang itu.
Ketika membaca kembali tulisan Birin, yang dipikirkannya akan diusahakannya dicetak jadi buku ke temannya yang penerbit, Usup berhenti pada dua kalimat, dan benar-benar merenungkannya:
“Kalau kau memandang dengan mata terpejam, akan lebih banyak hal yang dapat kau lihat. Terutama kasih yang datang dari cinta kepada sesama, semuanya memenuhi semesta.”

Catatan:
  • Paaliran: Pawang buaya
  • Batang tarandam: Kayu gelondongan yang terendam di sungai
  • Tanggui: Caping khas Banjar yang biasa digunakan para pengayuh perahu

Hajriansyah, menulis puisi dan cerpen, tinggal di Banjarmasin. Karya cerpennya sudah dibukukan dalam Angin Besar Menggerus Ladang-ladang Kami (Frame Publishing, 2009) dan Kisah-kisah yang Menyelamatkan (Tahura Media, 2016). Ia mengikuti program Kelas Cerpen Kompas 2017.

Surga di Formosa

 
 
 
 
 
 
1 Votes

Cerpen Kaka Clearny (Republika, 29 Oktober 2017)
Surga di Formosa ilustrasi Rendra Purnama - Republika.jpg
Surga di Formosa ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Embusan sapu-sapu angin November membawaku terbang kembali memunguti serpihan asa yang pernah terberai. Tergoda oleh iming-iming gaji tinggi yang ditawarkan seorang calo TKI, aku memilih Negeri Formosa, Taiwan, untuk mengadu nasib, menggantungkan harapan-harapan pada koin-koin NT. Dengan semangat super meluber-luber, jiwa dan ragaku lesap menuju negeri empat musim bersama maskapai Eva Air, meliuk di birunya angkasa, menyelinap di antara gumpalan putihnya mega.
Kedua mataku berbinar. Aku merasakan angin daratan Cina menyapa lembut wajah, mencumbu tengkuk, menyibakkan rambut yang luruh di dagu, saat aku tertunduk. Kupijakkan kaki di pelataran parkir Rumah Sakit Buddist Tzu Chi di Xindian sesaat setelah oto berpelat nomor aksara Han Zi itu memboyongku untuk menemui majikan. Aku tidak sendiri, ada Mr Chen yang notabene sebagai agenku.
Ada sesuatu yang membuncah isi kepalaku, hatiku membelungsing. “Bukankah aku sudah medical check-up, mengapa harus ke rumah sakit lagi?” gumamku dalam hati.
Meski begitu, aku tetap mengekor mengikuti jejak Mr Chen menuju lantai 7, ruangan nomor 23. Aroma pekat obat begitu kuat di dalam ruangan itu. Terdapat tiga ranjang pasien. Langkah kami lurus menuju ranjang yang memangku jendela.
Sontak perhatianku mengarah pada sosok pria yang tergolek pulas di atas ranjang. Terlihat kedua tangannya dalam keadaan terbungkus dan terikat pada masing-masing sisi ranjang. Separuh batok kepalanya terbalut perban dengan bercak darah. Di hidungnya terpasang selang makan. Di lehernya terdapat lubang sebagai saluran sedot dahak. Di dadanya terpasang alat pendeteksi detak jantung. Dan di bagian bawah ranjang terdapat kantong kencing.
Kondisi pria itu sungguh memprihatinkan. Ini pemandangan pertama yang mengerikan sepanjang hidupku. Terdapat dua wanita yang berdiri di masing-masing sisi ranjang. “Selamat petang, Nyonya Ma,” suara Mr Chen menyapa wanita di depannya memecahkan lamunanku akan sosok pria yang tergolek di atas ranjang.
“Petang, Mr Chen.” Salah satu wanita menjawab sapaan agen perekrutku. Wanita paruh baya, bertubuh kurus. Tingginya kurang lebih sama denganku 150 cm kurang sesenti. Tergambar jelas guratan-guratan penuh beban di wajahnya, kusam. Matanya terlihat lelah.
“Namanya Nana, baru datang dari Indonesia pagi ini,” tambah Mr Chen.
“Nana, ini nyonyamu,” ungkap Mr Chen padaku.
“Selamat petang, Nyonya,” sapaku padanya sambil menganggukkan kepala. Ada sedikit rasa gugup meski ini bukan kali pertamanya aku bekerja menjadi pembantu.
“Selamat datang,” jawab Nyonya, diikuti seraut senyuman hambar dari wajahnya.
“Nana, tugas utamamu menjaga Tuan Ma.”
“Beliau baru saja operasi di bagian kepala akibat kecelakaan.” Mr Chen memberi penjelasan singkat padaku.
Perkenalan dilanjutkan dengan penjelasan tugas dan kewajibanku yang Nyonya paparkan panjang lebar. Aku sedikit tergemap. Keadaan seperti ini bagai membeli kucing dalam karung. Aku tidak membaca dengan seksama isi lembar hijau yang telah terbubuh oleh tanda tanganku itu.
Tepatnya, semasa pelatihan di asrama perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI), sebelum terbang ke Taiwan. Yang ada di benakku saat itu hanya ingin segera bekerja di Taiwan, tanpa memilah-milah bagaimana kondisi kerjanya. Pekerjaan kali ini sungguh berbeda dengan sewaktu di Singapura yang kukira berkutat dalam urusan dapur dan kebersihan rumah. Tapi, berurusan dengan pesakit dan rumah sakit.
Meski begitu, aku harus tetap konsisten, semua sudah telanjur. Terikat perjanjian utang bank selama sembilan bulan, aku harus melunasinya. Aku harus tetap bekerja demi pulang membawa uang. Mr Chen pamit undur diri, sepesan wejangan dia wariskan padaku.
“Kerja baik-baik ya.”
“Kalau ada apa-apa, hubungi aku,” pesannya sambil menepuk ringan pundakku.
“Terima kasih,” ungkapku sambil mengangguk.
Mr Chen berlalu meninggalkanku. Semen tara, sesosok wanita lain yang bersama Nyonya adalah yang merawat Tuan sebelum aku tiba. Namanya Ms Anggie. Perawakannya tinggi besar. Wajahnya sinis menatapku. Untuk sementara, dia juga yang akan mengajariku bagaimana merawat Tuan.
“Nyonya, kecil sekali dia!”
“Apa dia mampu menjaga Tuan?” ungkap wanita itu pada Nyonya sambil sesekali melirikku.
“Nana pernah bekerja di Singapura selama empat tahun.” Nyonya mencoba membela.
Maghrib menjelang, senja di ufuk barat menyemburatkan asa yang segera tenggelam dalam dekapan malam langit Negeri Formosa. Nyonya pun telah berpulang ke kediamannya dan memercayakanku merawat tuan di bawah pengawasan Anggie yang memang sudah berpengalaman.
“Kamu bisa sedot dahak kan?”
“Coba kamu praktikkan sekarang!” Suruh Anggie dengan nada agak tinggi. Entah apa yang terjadi, sejak awal kedatangan dia memperlakukanku dengan sinis. Aku cuaikan saja. Toh dia bukan majikan.
“Aku bisa, Nona Anggie,” jawabku lirih.
“Selamat malam, Tuan.”
“Namaku Nana.”
“Nantinya, aku yang akan merawatmu.”
“Permisi Tuan, aku akan membantumu sedot dahak.” Aku memperkenalkan diri pada tuan sebelum melakukannya.
Tuan tak bersuara karena di bagian leher ada semacam lubang napas dan itu dijadikan jalan saat sedot dahak, dia hanya mengangguk sebagai tanda setuju. Sesekali, dia melirik ke arah Anggi. Sorotan mata Tuan bak pisau tajam, penuh kebencian. Dahinya mengernyit, bibirnya komat-kamit menyumpah serapah, tapi tak terdengar suara.
Kulakukan dengan perlahan penuh kehati-hatian. Aku ingat pesan Nyonya yang menjelaskan mengapa kedua tangan Tuan terikat. Karena otak Tuan bagian pengendali saraf motorik belum benar-benar pulih, hal ini menimbulkan gerak refleks memukul, mencakar, mencabut apa saja yang ada didekatnya dan dia tidak sadar akan hal itu.
Saat aku sedang menyedot dahak pada sedotan ketiga, tiba-tiba pembungkus tangan Tuan sebelah kanan terlepas. Reflek tangan kanannya menampar wajahku sangat kuat, aku tersungkur menepi ranjang.
Tangannya tak terkendali mencabut selang makan, menarik alat yang terpasang pada lehernya. Seketika darah segar muncrat bak air mancur dari lubang sedot dahak itu, tangannya tak berhenti mencakar-cakar tubuhnya sendiri.
“Dokter!”
“Suster!”
“Tolong!” Terdengar teriakan Ms Anggie. Wajahnya menggambarkan ketakutan.
Aku dengan gegas memencet tombol darurat di tepi ranjang agar pertolongan segera datang. Kuraih tangan kanan tuan. Ada sembilan perawat, tiga dokter yang datang menanganinya. Sementara, aku lirik Anggie yang berdiri menepi, terlihat sedang berbicara di telepon.
Tak lama, Tuan dibawa masuk ke ruang ICU. Pada waktu yang bersamaan, Nyonya datang bersama kedua putrinya. Wajah mereka penuh kegelisahan berderai air mata. Tapi, reaksi Nyonya membuatku nanap terpatung. “Pergi kau, aku tak ingin melihatmu!” dengan suara yang begitu lantang hingga beberapa penghuni ruang lantai 7 keluar menyaksikan pengusiranku.
Dia melempar tas yang berisi baju-bajuku, berserakan di lantai. “Tapi, Nyonya…!” Aku berusaha menjelaskan, Nyonya berlalu tak pedulikanku.
“Tak punya pengalaman, jangan ke sini,” ejek Anggie yang mengikuti langkah Nyonya.
Aku punguti baju-bajuku. Beberapa pasang mata mengawasiku penuh iba, ada pula yang mencaci, menyumpah serapah. Selanjutnya, dalam lunglainya tubuh ini, wajahku bagai tersulut api. Dadaku terpanggang.
Rasanya, seperti ada hawa panas berdesak-desak, menggerapai kerongkongan, menggumpal di rongga hidung, berjalar pelan, lalu bermuara di balik kelopak mata. Kubiarkan saja air mataku merembes mengalir pelan di pipi. Mindaku seolah masuk dalam delusi dan berbisik agar aku tak perlu takut.
Tanganku merogoh ke dalam tas, kuraih telepon genggam yang hanya memiliki tiga fungsi, menelepon, mengirim SMS, dan mengajarkan keikhlasan. Kutekan beberapa nomor dan mulai berbicara.
“Selamat malam, Mr Chen!”
“Aku….” Dengan nada terbata-bata aku mengubungi agen, tapi belum selesai berucap dia sudah memotong pembicaraan.
“Ya, aku sudah tahu.”
“Bermalam saja di rumah sakit.”
“Besok aku jemput.” Mr Chen berkata dengan nada ketus. Sepertinya, dia sudah tahu apa yang terjadi. Dia tak memberiku kesempatan berbicara dan langsung mematikan telepon.
Bulir-bulir bening tak berhenti menetes. Isak tangis lirih memecah keheningan malam yang semakin larut. Bahkan, satu-satunya pelindung di negeri ini menelantarkanku. Aku ingat Ibu, ingin mengadu padanya. Tapi tidak, ini kecerobohan yang kubuat sendiri. Aku tidak boleh membebaninya. Aku tidak memahami isi kontrak kerjaku, ambisi untuk segera mengeruk NT mematahkan nalarku, itu kelalaianku.
“Ibu, aku sudah sampai di Taiwan, majikanku sangat baik. Ibu doakan anakmu ya?” Selayang SMS kukirim untuk Ibu, agar beliau tidak khawatir.
Dinginnya AC ruangan lobi rumah sakit membawa lamunku pada sebuah perenungan. Kejadian hari ini akan jadi pengalaman tak terlupakan seumur hidupku. Belajar, belajar, dan belajar dari setiap skenario hidup yang terjadi.
“Kamu pergi mandi dulu!” Seorang perawat tiba-tiba mendekatiku sambil mengulurkan sebungkus roti dan sekaleng susu.
“Malam ini, aku boleh bermalam di kursi ini?” izinku padanya.
Dia mengangguk tanda setuju. Kuhabiskan malam ini di bangku ruang tunggu rumah sakit menunggu pagi menanti agen datang menjemputku. Menjadi TKI itu bagai melempar dua sisi mata uang, mempertaruhkan nasib.
Entah, saat melemparkan mata uang, nasib akan jatuh di salah satu sisi mana, nasib baik atau buruk. Namun, yang paling utama adalah berharap kepada Sang Pencipta agar senantiasa memberikan hidayah dan jauh dari putus asa. Semangat harus tetap ada, meski permasalahan selalu berdatangan.

Hong Kong, 20 September 2016
Cerpen ini berhasil menjadi pemenang pertama Bilik Sastra VOI Award 2017 yang ditulis oleh pemilik nama asli Nila Noviana dengan nama akun Facebook sekaligus nama pena Kaka Clearny. Dara Blitar kelahiran 17 Desember 1986, saat ini, aktif sebagai pekerja migran di Negeri Beton. Pernah menjuarai lomba cerpen yang diadakan KPKers Hong Kong maupun KPKers pusat. Masuk dalam 250 penyair terbaik Indonesia versi Bebuku Publisher. Juara satu lomba menulis puisi tema janji Penerbit Harasi. Karya-karya lain dibukukan dalam antologi bersama baik cerpen maupun puisi. Alamat e-mail yang masih aktif nila00123@gmail.com.

Keinginan Angin


Cerpen Istafid Al Mubarok (Media Indonesia, 29 Oktober 2017)
Keinginan Angin ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia.jpg
Keinginan Angin ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
TERUS saja kupandangi perempuan itu. Rambutnya yang juntai bak jembatan bambu keropos membentang sungai obsesi seorang pemimpin sejati. Lalu, kerutan tipis-tipis di wajahnya yang terlalu dini menampak bagai gumpalan mendung yang mengusik pesona jingganya senja. Sesekali gigil mencuat dari gemetarnya bibir mungil yang mulai ungu dan jari-jemari tangannya mencengkeram mencari perlindungan dari rasa pahit yang membeku. Pandangannya kosong. Namun, tajam. Sejenak mata itu binar-binar. Meleleh butiran-butiran bening nan mutiara. Aku selalu menghormati perempuan itu, meski ia memutuskan untuk menangis.
Aku menyuruh Mega menggendong Jagad, lalu kuhisap dalam-dalam rokok yang tadi sore kupungut dari jalanan sepulang mulung. Sambil kupijat pelan kaki perempuan yang sepantasnya aku panggil kakak. Namun, hampir tiga bulan ini aku sapa dia dengan sebutan ibu. Aku temukan jejak-jejak perih di telapak kakinya. Hanya senyum yang sesekali terpaksa ia lemparkan untuk menutupi setiap tikungan pedih dalam menapaki kehidupan yang misteri. Karena bagi kami ketenteraman hidup dalam kehidupan adalah jauh lebih nikmat dari pada hidup dalam kemewahan hasil penjarahan.
***
HARI sudah mulai malam, Kudengar derap langkah-langkah tergegas waktu. Balik merehatkan tubuh. Ada juga yang bermula menanam mimpi-mimpi. Dari seberang jalan nampak, Banyu dan Bumi menuju ke kediaman kami yang remang-remang oleh biasan lampu jalan.
Kedua bocah yang kupanggil adik ini seperti ketakutan, wajahnya memerah, matanya elang yang siap menikam mangsa, jantungnya bersuara tanpa jeda. Nelungsep di pinggiran ketiak ibu.
“Banyu. Bumi, ada apa? Apa kalian dikejar-kejar segerombolan srigala!” Tanya ibu sambil memposisikan tubuhnya setengah duduk setengah tiduran, bersandar pada tembok kediaman kami.
“Tii…Tidak bu, kami menemukan dompet sewaktu mandi di MCK samping Masjid Gede, dan ini bu.” Kalimat Banyu mengalir tak lancar bagai kali hitam penuh limbah yang tersumbat segelintir pejabat tak punya adab, meraba untuk kelanjutan yang tidak terungkap.
Ibu membuka dompet yang berpenghuni, dua lembar ratusan ribu dan kartu identitas hak milik. Kurasa malam ini perut kami akan terisi makanan yang mengenyangkan dan nikmat. Bukan makanan yang lezat. Orang seperti kami memimpikan makan makanan yang lezat adalah suatu kedhoifan. Cukup, bisa makan kenyang dan bercanda sedikit sebelum nyenyak dalam tidur adalah surga yang terkirim lebih awal buat kami.
Oh…Ternyata persepsiku salah, setelah melihat dua lembar ratusan ribu, Ibu membagikan satu-satu kepada mereka yang menemukannya dan mengatakan besok mau dibelikan jaket di pasar loak agar kalau tidur tidak kedinginan.
Mereka semua sudah pada lelap. Desir sepoi menggerayangi kulit menerobos ke tulang kaki lalu naik ke seluruh tubuh kurusku. Sesekali kulirik perempuan itu dalam ketenangan tidurnya. Ada kejanggalan yang mengusik hati dan otak ini. Padahal kejanggalan semacam ini selalu muncul dan selalu pula aku bisa meredamnya. Entah, kenapa malam ini sesuatu yang mengusik isi batin serta otakku seakan-akan makin berpacu menyeruak bersama dinginnya malam. Napasku putus-putus, jantungku tak punya ritme. Aku coba untuk melangkah keluar, menepis gejolak yang menganga mengalihkan pandangan mata ke ruas jalan nan sunyi menggulita. Namun, beberapa jenak, derasnya hasrat tak lagi tertangkis. “Akankah risalah baru tumpah malam ini, bagai hujan yang dirindukan petani.” Perang dalam batinku bertalu-talu.
***
DENGAN jutaan rasa, aku belai pelan rambutnya mengumal, lalu jemari ini berenang di pipi dan mungil bibirnya, saat tangan ini ingin menyelam ke dasar gundukan salju. Tanganku tak bergerak, mukaku merah saat dingin kurasa meremas jemariku.
“Aak akk aku, aku,” mulutku tertutup jarinya. Kemudian ia duduk dan menawarkan air mineral setelah ia minum. Kugelengkan kepala tanpa kata, jutaan rasa masih memumpa jantung tak berirama.
“Surya, tak usah kau malu, apa yang kau rasakan sebenarnya juga sama selama ini saya pendam.”
Napasnya terasa hangat saat kalimatnya mengurai. Tapi, di setiap kali aku mau ngomong, mulutku selalu ditutup jemarinya. Ia meyakinkanku. Badannya sudah pulih, kuat dan segar, sesegar mukanya yang terbasuh air. Beberapa jenak kami tanpa kata, hanya pandangan mataku tak mau sekedip pun lepas dari apa yang ia lakukan. Sesaat, aku di buat nyinyir, ngeri olehnya. Kulit muka yang sengaja di kelupas tak membuat dia mengaduh.
“Lihat ini Surya!” sobekan kulit di tonjokkan di hatiku.
“Kenapa kau lakukan itu?”
“Tamati wajah saya dan pengang sobekan kulit ini,” pintanya sambil mengusap-usap basah wajahnya dengan kaos yang dipakainya.
“Kenapa saya lakukan hal demikian,” jelasnya dalam kepekatan malam yang mulai memuncak, pipinya basah lagi, kali ini bukan oleh air dalam botol minuman, tapi karena embun kepedihannya tak kuasa terbendung, dalam kalimatnya yang terbata-bata, ia mengurai kepedihan-kepedihannya: Pertama, kepedihan yang amat sangat perih saat ia didustai kekasihnya, mengorbankan harum kelopak bunganya hambar sebelum waktunya merekah. Kepedihan yang sengaja ia kelupas seperti kulit mukanya tadi adalah saat ia memutuskan untuk lari dari rumah memilih mengadu nasib di ibukota. Namun, Nahas, sepulang kerja di perkosa pemuda berandalan.
Ia berhenti sejenak, mukanya lebam memerah, hanya jeritan hatinya yang kudengar menyayat-nyayat saat ia mendekap penuh kasih di tubuhku.
“Apakah kau masih ingin tahu kepedihan saya, Surya?”
Aku hanya diam. Rambutnya pun basah oleh tangisku juga.
“Sakitnya sembilu menusuk jantung mungkin tak seberapa dari pada kepedihan saya saat pimpinan srigala berpura-pura baik membebaskan dari operasi orang-orang gelandangan semacam kita, malam ini pimpinannya, lalu malam berikutnya anak buahnya, hari selanjutnya temannya. Mereka, srigala-srigala itu menikmati saya semaunya, sebebas makhluk menghirup angin, maka itulah nama saya menjadi Angin dan saya tembel lem pada wajah ini seperti dalam peran para aktor atau aktris di televisi.” Tangisnya kembali tumpah, isyaknya yang tertahan memuncratkan darah dari seseguk batuk tekanan, malam menjadi merah.
***
IZINKAN malam ini saya nyaman di pangkuanmu. Angin meminta saat tangisnya reda, setelah menghabiskan minum dan membersihkan mulutnya.
“Inilah kediaman kita, mulai detik ini kau jangan panggil saya ibu, karena kita adalah serpian debu dunia yang berwujud manusia gelandangan yang kebetulan dipertemukan, kau dulunya bukan siapa-siapa saya, Bumi dan Banyu saya temukan saat ia merengek kelaparan di stasiun, Jagad adalah balita yang selalu digendong perempuan tua di bawah lampu merah. Perempuan itu menyerahkan kepada saya saat ia menemui ajalnya. Sedang Mega, kamu yang membawanya.”
“Oh ya, apa yang menyebabkanmu memilih kehidupan seperti ini, Angin?”
“Saya tak pernah memilih. Tapi aneh, di setiap saya mengiat-ingat masa kecil, kepala ini berat rasanya lalu pingsan, pernah saya coba mengingat siapa kedua orang tua saya, lagi-lagi pingsan. Dan anehnya lagi, saya ingat peristiwa yang menyakitkan itu, tapi alamatnya di mana, saya eror. Apa kamu masih ingat masa kecilmu, Surya?” Tanyanya balik.
“Masih, aku sering tidur di pasar-pasar, maling jajanan, bahkan pernah dipaksa….”
“Dipaksa apa, kok tidak dilanjut omongnya, Surya?”
“Emm…mm…dipaksa menindih mbak-mbak, tat, tt, tapi, tapi, waktu itu jika aku tidak melakukan aku dihajar Abang-abang gendeng itu.” Jelasku malu.
“Kok sama saya, kamu anteng. Kamu jijik ya dengan saya, kamu….” Angin memotong kalimatnya lalu membalikkan tubuhnya dan mendekapku, kemudian berbisik lirih dalam tangis yang kesekian kali, kalau dia tidak akan pernah bisa memberi keturan karena pernah aborsi yang mengakibatkan kefatalan di kandungannya yang harus disterilis tobektomi. Aku hanya diam lalu kualihkan perhatiannya. Jujur aku tak kuasa melawan kesedihannya yang secara perlahan membahur di otak dan meredam nafsu kelakianku.
“Tapi kita nyamankan di kediaman bawah jalan tol yang bertembok beton ini?”
“Nyaman. Saya cukup nyaman bersandar dalam dekapmu. Karena, tak akan pernah ada satu orang pun yang mau memedulikan kebahagiaan atau kepedihan dari orang-orang gelandangan semacam kita. Kalau tidak kita yang menciptakannya sendiri keindahan ini lantas siapa lagi, Tuhan pun rasanya lupa kepada kita. Betulkan Surya?”
Tanpa ku balas, aku seakan terhipnotis kalimat-kalimatnya. Di kejauhan kudengar kebisingan kendaraan mulai merangkak. Musik yang dari tadi samar-samar entah dari cafe atau diskotek yang sempat mampir di telinga, kini sudah redup tak terdengar.
“Kalau kamu, menginginkan apa, Angin?” Tanyaku.
“Hehe…Saya hanya ingin hidup layak seperti pada umumnya manusia.” Tawanya hampa. Suaranya pelan sekali. Saat kutanya, apakah mulai mengantuk, hanya gelengan kepala dan batuk-batuknya berkejaran dengan suara angkutan kota. Bolehkah saya memimpikan? Kita bertempat tinggal di rumah yang layak walau masih mengontrak, Surya. Tapi kapan?
Jujur, aku terenyuh dengan keinginan yang mulia itu. Aku mendongakkan kepala sambil melepas keras napas ini. Lama kupandangi langit yang hitam tanpa kerlip satu bintang pun.
Dingin kembali menampar muka, kurasakan genggaman Angin tak lagi sekencang tadi. Lunglai tanpa rasa, kepalanya tak lagi tegak di dadaku.
“Angin! Angiin..! Bangun Angiiin..!” Darah terus kelur dari mulutnya. Puluhan kali kugoncang-goncang tubuhnya, hanya darah dan darah yang tanpa henti mengalir.
“Angiiiiiiiiiin……!” Teriakku disusul jerit tangis adik-adikku. [*]

Demak, 2017
Istafid Al Mubarok, lahir dari sastra Pesantren Mutakhorijein Ponpes Raudlotus-Salikin, Buko-Wedung-Demak.

Kamis, 26 Oktober 2017

Hujan


Cerpen Aminullah (Waspada, 22 Oktober 2017)
Hujan ilustrasi Denny Adil - Waspada.jpg
Hujan ilustrasi Denny Adil/Waspada
OKTOBER itu mengingatkanku pada tetesan hujan yang jatuh melalui dahan pohon rindang. Entah kenapa saat malam itu perasaanku sangat buyar, ditambah lagi apa yang terjadi pada diriku sebelumnya.
Aku mencari penghangat jalanan untuk melindungi ragaku yang sedang kedinginan. Ketika di perjalanan aku berhenti tepat di ujung lorong gelap, aku mendengar suara rintihan perempuan sedang menangis, aku mencari suara itu dengan keadaan saat itu sedang sunyi.
Ternyata benar sosok perempuan dengan keadaan compang-camping sedang bersandar di samping tong sampah, ia kedingingan sambil menangis, tapi aku takut untuk mendekat kepadanya, namun dengan hati penuh keberanian aku mendekatinya dengan rasa penasaran.
“Hei…” tanyaku kepadanya.
Namun saat aku bertanya, perempuan itu enggan menjawab pertanyaanku, entah apa yang terjadi aku tidak tau pasti, malam menunjukan pukul 23:30, di sekitar kami tiada orang lain kecuali aku dan perempuan itu. Aku masih bingung apa yang sebenarnya terjadi, aku memutuskan untuk tetap terjaga di sampingnya. Tidak lama berselang perempuan itu mulai berhenti dari tangisannya, aku mencoba untuk bertanya kembali, barangkali pertanyaan keduaku bisa terjawab olehnya.
“Hei…” Tanyaku kembali kepadanya.
Perempuan itu memandangku dengan raut wajah sedikit pucat, aku bertanya pada diri sendiri apakah perempuan itu seorang manusia apakah bukan. Namun aku langsung menepis prasangkaku terhadapnya. Aku sedikit terkejut ketika perempuan itu menjawab pertanyaanku barusan.
“Tolong aku.” jawabnya.
Jantungku bergetar seketika mendengar suaranya, aku ingin berbicara namun bibirku enggan terbuka ditambah lagi malam itu udara sangat menusuk hingga ketulang. Aku mulai mengatur diriku secara perlahan, dan saat itu aku mulai terbiasa dengannya.
“Namamu siapa? Kenapa menangis?” Tanyaku kepadanya.
“Tolong aku, tolong panggilkan Tuhanku ke sini.” Jawabnya.
Aku terkejut kenapa perempuan itu menyuruhku memanggil Tuhan untuknya.
“Kenapa kau menyuruhku memanggil Tuhan? Bukankah Tuhan ada di mana-mana, bahkan mungkin Tuhan ada di sampingmu.” jawab aku dengan sedikit lantang.
“Jika Tuhan ada saat ini, tidak mungkin aku menyuruhmu untuk memanggilkannya, sekarang hanya kita berdua setelah tiga pria telah memperkosaku,” jawabnya.
Perasaanku terpukul saat itu, saat mendengar apa yang barusan terjadi kepadanya. Aku mulai sedikit bingung bercampur sedih, namun bagaimanapun aku adalah laki-laki, aku harus bertindak untuk seorang perempuan apalagi yang sedang terkena musibah seperti ini.
“Lantas jika Tuhan ada di hadapanmu, apa yang kau lakukan?” Tanyaku.
“Aku tidak melakukan apa-apa kepadanya, biarkan Tuhan melihat kondisiku saat ini, dan aku ingin menyampaikan kepadanya,” jawabnya kepadaku.
“Apa yang ingin kau sampaikan?” Tanyaku kembali.
“Aku sangat berterima kasih kepadanya, hujan yang turun malam ini menenangkan hatiku, menyatukan air mataku dan membawanya ke hilir sungai, apa yang aku rasakan telah dirasakan oleh semesta,” jawabnya dengan raut wajah sedih.
Seketika aku mendekapnya, aku ikut merasakan apa yang dirasakan olehnya, aku teringat oleh almarhum ibuku, ia sangat mirip sepertinya, apalagi ia seorang perempuan yang suatu saat ia menjadi ibu dari anak-anaknya.
Malam itu hujan mulai reda, kini hanyalah suara jangkrik dari semak-semak yang terdengar, tirai cakrawala mulai membuka bajunya, rembulan mulai mengintip kami, bintang tampak bergandeng tangan di atas sana, apakah Tuhan telah menjawab semuanya.
Di saat tinggal air hujan yang membekas di jalanan, aku berniat membawa ke rumahku untuk sementara. Setibanya di rumahku aku memberikan ia sebuah handuk dan beberapa pakaianku untuk menggantikan pakaiannya yang basah dan lusuh. Aku melihatnya ia lebih tampak tenang ketimbang sebelumnya.
Seusai mandi, aku memberikan beberapa makanan dan segelas teh hangat untuk menghangatkan tubuhnya, ia sangat cantik malam itu, semoga apa yang terjadi pada dirinya tidak membuat patah semangat untuk kedepannya.
“Nama kamu siapa?” Tanyaku dengan lembut.
“Namaku Bunga Sari Mekar. Nama kamu siapa?” Tanyanya kembali padaku.
“Aku Arimbi, biasa orang memanggilku Abi.” Jawabku padanya.
“Dimana orang tuamu?” tanyanya kembali.
“Kedua orang tuaku sudah meninggal dua tahun yang lalu akibat kecelakaan,” jawabku dengan sedikit sedih.
“Oh, maaf ya,” ujarnya.
Tidak lama berselang aku memutuskan untuk ia segera istirahat, aku memberikan sebuah kamarku padanya, sedangkan aku cukup tidur di ruang tamu. Keesokaan hari, aku bersiap untuk membuatkan sarapan dan teh hangat untuknya, pagi ini cuaca sangat sejuk, burung-burung menari dan bernyanyi di sekitar rumahku. Aku masih saja ikut merasakan kesedihan yang dialaminya sejak tadi malam, namun bagaimanapun aku harus bisa membawa hati perempuan itu kembali bersemangat.
Kini ia terbangun, wajahnya sangat lucu ketika ia bangun tidur, aku memintanya untuk segera mandi dan sarapan. Seusai mandi, kami berdua duduk di kursi kayu tepat di teras rumahku, dengan beberapa pohon yang membuat suasana sejuk, dan beberapa nyanyian burung kala itu membuat ia menikmatinya.
Aku bertanya tanya kepadanya tentang asal tempat tinggalnya, ternyata ia tinggal bersama orangtuanya, orangtuanya berada di Padang, sedangkan ia di Medan hanya bekerja dan tidak memiliki sanak saudara.
Pagi ini aku berniat di rumah saja bersamanya, seharusnya pagi ini aku kuliah namun aku tidak mau membiarkan perempuan sendirian di rumahku, aku takut hal-hal yang tidak diinginkan terjadi kembali padanya.
Tiba-tiba ia berbicara kepadaku, bahwasannya ia ingin pulang esok hari ke rumah orangtuanya, ia tidak memiliki alat komunikasi untuk saling memberi kabar kepada orangtuanya. Mungkin orangtuanya sudah sangat rindu kepadanya. Tanpa memikir panjang aku menuruti yang diinginkan, dan niatnya aku ingin mengantarkannya hingga rumah orangtuanya, namun ia menolak tawaranku, ia takut merepotkanku. Tapi bagaimanapun keputusan darinya, aku sangat menerima.
Hari kemarin telah berlalu, hari ini di mana si Bunga akan berangkat untuk pulang ke kampung halamannya, setelah sarapan aku langsung mengantarkannya ke sebuah terminal, dan aku tidak segan memberi beberapa uangku sebagai ongkosnya. Ia sangat berterima kasih kepadaku, dan ia tidak tau apakah ia bakal kembali menjumpai aku. Yang pasti aku sangat sedih di saat melihat dirinya terakhir kali untukku. Ia tidak segan memelukku di keramaian orang, ia berbisik kepadaku.
“Jangan lupain aku ya, Bi,” ujarnya kepadaku.
Seketika perasaan aku sedih, ialah wanita yang buat aku merasa tidak kesepian selama orangtuaku meninggal, dan kini ia harus meninggalkanku seorang. Aku tidak kuat menahan kesedihan ketika aku melihat bis yang ia gunakan untuk pulang telah berangkat.
Malam-malam kulalui dengan kesendirian, aku masih mengingatnya, aku merindukan sosoknya saat ini. Dan kini, hanyalah sebuah kenangan, kenangan sisa bibirnya yang menempel digelas teh hangat buatanku.
Apakah ia merindukanku? Hujan, turunlah malam ini, datanglah malam ini bersamanya. Aku ingin mendekapnya kembali. ***