Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Kadang kita begitu larut pada masa kini sehingga lupa dalam sekejap mata masa kini akan menjadi masa lalu. (hlm. 121)
Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
Ketika meminta pada semesta, bersiap-siaplah karena apa pun bisa saja terlaksana. (hlm. 33)
Bagaimana bisa menghargai rasa manis tanpa keberadaan rasa pahit?
Kadang kau kalah, kadang kau menang. Kadang kau sengsara, kadang kau
bahagia. (hlm. 35)
Kejujuran itu kadang menyenangkan, bukan? (hlm. 93)
Kehidupan sarat oleh pelajaran. Kadang kita harus gagal untuk menjadi lebih bijaksana. (hlm. 113)
Tidak semua tahu pertarungan yang kau hadapi dan pergulatan yang
kaualami. Semua orang berjuang dengan caranya masing-masing. (hlm. 135)
Selama masih bernapas, perjuangan masih belum usai. Kadang
pertempuran terbesar ada di dalam diri. Bersiaplah. Jangan sampai kalah.
(hlm. 151)
Dalam hidup, segalanya berlangsung begitu singkat. Segala peristiwa
berkelabat dengan cepat. Apa pun yang terjadi, kita sebaiknya siap
menghadapi. (hlm. 189)
Tanpa kenangan, kita mungkin akan tumbuh menjadi pribadi yang berbeda. (hlm. 203)
Orang akan berharap kamu melakukan sesuatu, yang barangkali nggak yakin bisa kamu lakukan. (hlm. 215)
Ketika kita tiada, apakah kesadaran kita akan tetap ada? (hlm. 272)
Ini belum usai. Selagi masih hidup, setiap harinya akan penuh oleh perjuangan. (hlm. 277)
Hidup kita mungkin hanya sebentar, aku ingin menjalaninya bersamamu. (hlm. 282)
Banyak juga selipan sindiran halusnya:
Kalau dia sebegitu hebatnya dalam berbahasa, kenapa sampai sekarang belum ada cewek yang jatuh cinta karena rayuannya? (hlm. 28)
Sebisa mungkin, pikirkan efek dari perbuatanmu. Gelenyar serapuh
kepakan sayap kupu-kupu bisa saja berdampak dahsyat bagi Semesta. (hlm.
47)
Kadang kita harus berpura-pura bahwa segalanya baik-baik saja. (hlm. 61)
Ketika benak sedang kusut, kalut, dan semrawut, ingatlah bahwa doa dan ikhtiar jangan sampai susut. (hlm. 71)
Uang bisa membeli banyak hal. Tapi mungkin ketentra man dan
kebahagiaan yang didapatkan dengan membeli tidak akan bertahan
selamanya. (hlm. 95)
Kalau naksir, langsung ngomong aja! Nggak usah melirik sampai sebegitunya, ngilernya kelihatan tuh! (hlm. 126)
Dunia sungguh singkat. Tapi kalau terlalu cepat mungkin bahagia yang didapat akan cacat. (hlm. 175)
Yang instan semu, pasti aka nada imbalannya. (hlm. 210)
Kadang tamparan bisa lebih menyadarkan daripada kata-kata manis penuh pujian. (hlm. 217)
Berkorbankah namanya, kalau dilakukan dengan senang hati demi mereka yang kita sayangi? (hlm. 243)
Ketika akhir menjelang, wajah orang-orang tersayang akan membayang seiring nyawamu melayang. (hlm. 251)
Kadang kebenaran di hadapan tak terlihat. Kita sering menyangkal hal
yang jelas. Karena kenyataan bisa jadi terlalu menyakitkan untuk
diterima. (hlm. 259)
Ketika kita tiada, apakah kesadaran kita akan tetap ada? (hlm. 273)
Cerpen Risen Dhawuh Abdullah (Suara Merdeka, 24 September 2017) Perempuan Hujan ilustrasi Suara Merdeka
Sepasang mata menggigil, memandang keluar menembus kaca jendela yang
dipenuhi percikan air hujan. Sepasang mata berharap hujan tak mereda.
Ia lelaki, ia mahasiswa, penyuka puisi, karena katanya puisi adalah
lukanya sepi. Selain menyukai puisi, ia juga menyukai hujan. Maka siang
ini alangkah senang hatinya, setelah sekian bulan dilanda kemarau,
akhirnya hujan turun. Ia begitu rindu, merindukan hujan.
Bukan berarti lelaki itu melankolis. Tidak, justru ia lelaki yang
tergolong garang. Di kampus ia terkenal pemberani. Begal pernah dia
habisi. Preman apalagi. Dan sekarang ini, lelaki itu sedang berada di
warung makan.
Lelaki itu belum menyentuh makanan pesanannya, meski ia tahu perutnya
sudah merengek-rengek. Lelaki itu masih memandang keluar. Ia tak
bergerak barang sedikit pun. Mungkin si pemilik warung heran, tetapi
nyatanya tak berani menegur.
Di luar sana, ada hujan, ada sebuah peristiwa yang membuat dadanya
bergetar hebat. Sebelumnya dadanya belum pernah bergetar sehebat ini.
Lelaki itu terus dan terus memperhatikan, tanpa peduli pada waktu yang
terus berpacu.
Apa sesungguhnya yang dia saksikan? Kau pasti penasaran. Penulis pun demikian.
Lelaki itu keluar, tak percaya apa yang baru saja dia saksikan. Hujan
telah membuat sebuah karya, bukan kenangan, bukan pula keromantisan.
Hujan telah melahirkan manusia. Lihatlah dengan mata utuh, di seberang
warung ada lapangan, di tengah sana ada seorang perempuan. Dia yang baru
saja diciptakan oleh hujan.
Perempuan itu mengenakan baju putih, rok putih. Tanpa alas kaki.
Sementara lelaki itu berkemeja putih, celananya berwarna hitam. Lelaki
itu berlari secara spontan. Pemilik warung tak keluar menyaksikan
pembeli yang aneh. Tadi pemilik warung menghilang di balik pintu di
dekat menu makanan. Mungkin ia sedang buang hajat di kamar mandi atau
menulis puisi.
Lelaki itu kini basah dengan air hujan.
“Hai?” Lelaki itu menyapa. Perempuan itu menoleh penuh kemanisan.
Seperti embun pagi yang tidak pernah ada yang tahu dari mana
muasalnya, tiba-tiba saja mereka begitu akrab di tengah-tengah hujan
yang begitu deras. Beberapa saat kemudian, lelaki itu mengajak perempuan
yang teramat cantik itu menepi, masuk ke warung makan.
“Kita belum berkenalan. Siapa namamu?”
“Namaku Hujan,” jawab perempuan itu.
“Namaku Senja.”
“Senja? Kok Senja? Terdengar picisan.”
“Juga kau. Kok Hujan?”
Namun nama tidak begitu penting. Senja segera memesankan satu piring
nasi untuk Hujan. Sementara makanannya telah mendingin. Senja menggigil,
udara dingin masuk ke dalam pori-pori. Ia tak berkutik. Hujan terus
nerocos. Ia bertanya ini-itu, sesekali menceritakan kenangan, sesekali
berkata-kata puitis. Dan Senja hanya menanggapi dengan ya atau kalau
tidak oh.
***
Perempuan itu mengusap bibir bagian kanan Senja dengan jempol. Penuh
ketulusan. Hujan masih menderas dan entah kapan akan berhenti. Mereka
berdua terus dipermainkan perasaan. Senja tampak salah tingkah.
“Ada apa sih?”
“Ada sisa kopi.”
“Oalah, kukira ada rindu.”
Senja tersenyum. Pun Hujan. Mereka sama-sama tersenyum.
“Bolehkah aku berkata-kata?” Senja bertanya dengan mimik serius, menangkap mata cerlang Hujan yang kering oleh air hujan.
“Kenapa tidak?”
“Kau tahu detik kan?”
“Iya. Ada apa dengan detik?”
“Dengarkan baik-baik. Detik adalah jantungku dan kau menit yang terdiri atas detik.”
Hujan tersipu, pipinya memerah jambu. Hujan menarik tangan Senja,
menuju ke tengah hujan. Senja tak menyadari, tas kuliahnya menjadi
basah. Rambut Hujan berkibar-kibar, meski hujan menghantam kepalanya.
Ajaib! Sungguh! Senja benar-benar terpana. Senja memeluk Hujan. Seketika
dada Senja sakit luar biasa, sakit yang membuat dia ketagihan.
“Hujan sebentar lagi selesai. Sebentar lagi aku pergi,” kata Hujan dengan suara pelan.
Tiba-tiba saja Senja murung. Ada perasaan menyelinap masuk ke sarung
hatinya, semacam perasaan tidak ingin kehilangan. Senja memeluk Hujan
makin erat.
“Tapi kau akan kembali kan?”
“Aku ini hujan, lambang kesetiaan. Aku tidak mungkin pergi dan tidak
kembali. Sekali lagi, hujan lambang kesetiaan. Kau tidak usah khawatir
ya?”
Senja bahagia mendengarkan kata-kata Hujan.
Tak terasa hujan benar-benar lenyap ditelan panas yang datang.
Matahari memancarkan sinar. Meski ada sekelumit awan menghalangi,
sinarnya cukup membuat silau mata. Senja tak sadar Hujan sudah tak ada
di pelukan.
“Hujan? Hujan?” Senja memanggil. Ia begitu panik.
Tidak ada siapa-siapa. Yang ada kendaraan berlalu lalang, yang selalu
menyembunyikan klakson saat melintas di dekatnya. Senja terbelalak. Ia
ternyata di tengah jalan. Cepat-cepat Senja berlari ke pinggir jalan.
Penglihatannya menjangkau segala penjuru. Perempuan yang baru saja dia
dekap tak ada.
“Hujan! Hujan!” Senja memanggil-manggil, menyedihkan.
Malam hari ia gelisah. Senja tak juga bisa tidur. Pikirannya melayang
keluar jendela, memikirkan Hujan. Kepalanya dipenuhi pertanyaan tentang
Hujan. Senja tak tahan juga dengan ketidaktenangannya. Ia beranjak dari
ranjang, membuka pintu kamar, mengayunkan kaki menuju pintu depan.
Senja duduk di teras rumah, menikmati malam yang menetes begitu deras.
Dalam hati ia berdoa, agar malam ini turun hujan. Namun doanya muspra.
Hingga pagi menyapa, tak ada sebutir pun air jatuh dari langit.
Senja terjaga. Baru saja tubuhnya digoyang-goyang.
“Mengapa kamu tidur di luar, Nak?” Seorang perempuan berumur lima puluh tahunan berkata penuh kelembutan. Begitu keibuan.
“Hujan! Hujan! Hujan!”
“Hus! Tidak hujan kok.”
“Hujan, di mana, Ma?”
“Sana masuk ke dalam. Mandi.”
Tanpa banyak bicara, Senja masuk. Ia masuk ke kamar, meraih ponsel.
Begitu banyak pesan dikirim seseorang bernama Hujaniawati, kekasihnya.
Senja membalas, meminta maaf baru bisa balas. Ia menambahkan baru saja
bangun.
“Tumben?” begitu kekasihnya membalas.
Senja tak membalas. Ia berlalu begitu saja. Kembali wajah Hujan menghantui dia.
***
“Hujan! Hujan!” Lelaki itu berteriak-teriak, meski ia terbaring di
atas kasur putih, di sebuah ruangan serbaputih. Ia masuk rumah sakit
tiga hari lalu karena merasakan pusing sangat luar biasa.
“Aku di sini,” seorang perempuan berkata lembut, pipinya dipenuhi air mata.
Mata lelaki itu tak tenang. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri.
“Hujan! Hujan!” Ia berteriak-teriak lagi.
Perempuan di sampingnya, yang tak lain kekasihnya, menangis, mengkhawatirkan sesuatu.
“Kau kenapa?”
“Hujan! Hujan! Hujan!”
Air mata perempuan itu makin tak terbendung. Lelakinya terus
menyebut-nyebut Hujan. Perempuan itu tidak atau belum tahu: lelakinya
telah gila. (44)
Bantul, 2017
– Risen Dhawuh Abdullah, lahir
di Sleman, 29 September 1998. Alumnus SMA Negeri 2 Banguntapan, Bantul,
Yogyakarta (2017), alumnus kelas cerpen Bengkel Bahasa dan Sastra
Bantul (2015), itu bergiat di Komunitas Pecinta Sastra Indonesia
(Kompensasi). Dia bermukim di Bantul.
Cernak Faris Al Faisal (Suara Merdeka, 24 September 2017) Anak Pantai Utara ilustrasi Suara Merdeka
Namaku Lain. Usia sembilan tahun. Kelas III sekolah dasar Waledan.
Rumahku di ujung semenanjung Indramayu yang tinggal belasan meter lagi
tergulung ombak lautan. Jarak sekolah dengan rumahku berjauhan. Jika
berjalan kaki perlu waktu satu jam perjalanan. Jika bersepeda lebih
cepat dari berjalan. Jika ditempuh dengan motor, akan mengalahkan
keduanya bersamaan.
Kami berasal dari keluarga nelayan miskin yang terbiasa hidup
pas-pasan. Ayahku pergi melaut pada waktu dini hari sebelum subuh dan
pulang saban petang membawa hasil tangkapan ikan dan dijual di
pelelangan. Ibuku buruh cucian juragan-juragan nelayan yang membayar
upah dengan asal-asalan. Jika laut sedang ribut di musim hujan, ayah tak
melaut dan mengisi waktunya dengan memperbaiki jaring ataupun membuat
perangkap ikan.
Sebenarnya di rumah masih ada dua adikku yang sering ditinggalkan
bila ayah dan ibu sibuk dengan pekerjaan. Mereka sebenarnya masih
ingusan. Lilin berusia lima tahun dan Lais berumur tiga tahun. Keduanya
perempuan, lucu, dan menggemaskan. Karena itu, sering kali setiap bel
istirahat berdentang dengan lintang pukang saya melarikan sepeda
menerabas jalan dan angin untuk pulang menengok mereka yang tiap kali
aku datang tengah bermain ayunan di bawah pohon asam di depan halaman.
“Kakak Lain datang.” Dengan wajah riang Lilin dan Lais turun dari ayunan menghambur berebut lenganku.
“Apa kalian sudah makan?” tanyaku memastikan kalau keduanya tidak terlambat makan untuk masa pertumbuhan dan perkembangannya.
“Sudah Kak, beberapa potong singkong rebus dan sedikit gula pasir,” jawab keduanya tanpa ada kesedihan yang perlu ditangiskan.
“Kalau begitu, kalian lanjutkan mainnya. Jangan jauh-jauh dari halaman. Mungkin ibu masih dalam perjalanan,” pesanku.
Setelah masuk ke dalam rumah dan meminum beberapa teguk air gentong
dari gayung yang terbuat dari tempurung kelapa yang diberi gagang kayu
di tangan, aku pun kembali ke sekolah agar tak ketinggalan saat lonceng
masuk dibunyikan. Dari kejauhan Lilin dan Lais melambai-lambaikan
tangan. Aku terharu menyaksikan. Dengan terpontal- pontal kupegang stang
sepeda onthel bututku kuat-kuat dan kukayuh pedalnya sambil terus
menekannya agar terus berjalan. Begitulah karena memang kakiku masih
terlalu pendek untuk menjangkaunya, sehingga sadel yang kunaiki goyang
ke kiri dan ke kanan untuk mempertahankan keseimbangan laju kecepatan.
Aku pun memanfaatkan gaya sentrifugal untuk menghindari gaya gravitasi
agar tak jatuh di jalan.
***
Sekolahku adalah sekolah orang miskin. Jumlah muridnya dari tahun ke
tahun semakin memprihatinkan. Saat kelas satu dan kelas dua jumlahnya
puluhan, di kelas tiga dan empat hitungannya menjadi belasan. Tetapi di
kelas lima dan enam bilangannya menjadi satuan. Ini tidak lain tidak
bukan karena anak-anak nelayan seringnya belum sampai ujian sudah diajak
membantu ayah-ayahnya untuk mencari ikan guna menambah tangkapan dan
penghasilan. Entah dengan nasibku, mungkin di kelas lima atau enam akan
ikutan dengan anak-anak yang lain. Putus sekolah lebih duluan.
Bila musim tangkapan sedang baik, biasanya ditandai dengan turunnya
awan sisik di langit di bulan-bulan di mana angin selatan bertiup pelan.
Petani padi mengetam hasil panen, orang-orang mulai hajatan, dari
khitan sampai pernikahan. Pasar malam sepekan tak putus-putus memanjang
di tepian jalan. Ayah dan ibu mengajak anak-anaknya untuk menikmati
berbagai hiburan masyarakat pantai utara. Menonton tarian, melihat
permainan catur tiga langkah mati dengan hadiah satu baskom telur asin,
membeli martabak, kembang gula, dan yang selalu dinanti adalah ketika
ayah dan ibu mengajak kami ke penjual baju di ujung tikungan itu.
Betapa gagahnya ayah, menggandeng adik-adikku sementara aku dan ibu
berjalan di belakangnya mengikuti dengan hati berdebaran. Di depan
gerobak yang berisi tumpukkan pakaian dan berpuluh-puluh lainnya di
gantung membuat mataku segera menjelajah bagian pakaian yang sesuai
usiaku.
Ibu menyentuh-nyentuhkan jemarinya di kerah bajunya dengan senyum,
kedua adikku menunjuk-nunjuk baju rok yang tergantung lebih rendah dari
yang lain, sedangkan aku hanya berdiri di bawah gantungan pakaian yang
sebenarnya di situlah pilihanku tertahan.
“Silakan Pak. dipilih, dipilih.” Dengan ramah pedagang itu mempersilakan kami.
Namun, tak satu pun terang-terangan mengungkapkannya kepada ayah.
Bukan tidak berani, melainkan kami semua tahu bahwa setiap keinginan
mestilah dikondisikan dengan keuangan.
“Ini baju daster untuk ibu, beberapa bulan lagi kita kondangan ke
paman Semang di Larangan,” ucap Ayah pelan tetapi disambut senang oleh
Ibu.
“Lilin dan Lais mau baju rok itu?” tunjuk Ayah kepada kedua anak perempuannya.
“Ya Ayah, mau, mau.”
Lantas pedagang baju itu mengambilkan pakaian yang ditunjukkan ayah
dengan hati senang karena beberapa menit yang lalu tak seorang pun yang
menyentuh barang dagangannya.
Tinggal aku yang belum mendapatkan bagian baju. Namun, mata Ayah
seperti mencari-cari sesuatu di antara tumpukkan baju di atas meja
panjang gerobak itu.
“Bukannya Lebaran sebentar lagi?”
Entah kepada siapa Ayah menanyakan itu. Kulihat Ayah tak memedulikan pertanyaannya dijawab atau tidak.
“Dan tahun pelajaran baru beberapa bulan lagi?”
Aku mulai tahu ke mana arah pembicaraan Ayah. Tangannya sudah
menjamah bungkusan baju dan celana yang dimasukkan ke dalam plastik yang
sama. Hatiku berdesir seperti angin laut membelai pesisir lautan.
“Bungkus pak!”
***
Lebaran membuat hati semua orang senang bukan buatan. Semua saling
bermaaf-maafan dan saling mendoakan. Dengan pakaian baru yang masih
tergantung mereknya aku memakai baju lebaranku dengan senang. Kau tahu
kawan, baju itu adalah yang dibeli ayah di pasar malam dua bulan yang
lalu. Baju seragam merah putih yang masih harum bau kainnya.
“Ayah mau kamu sekolah sampai ujian. Lulus dan melanjutkan sekolah sampai menjadi guru, dokter atau presiden.”
Betapa gembira aku mendengar kata-kata lelaki nelayan itu. Tak
menyia-nyiakan kesempatan, kupeluk tubuh ayahku dengan sepenuh hatiku.
“Lain akan lebih rajin belajar lagi agar keinginan ayah itu terwujudkan.”
Ayah membalas pelukanku dan mengelus-elus rambutku. Lalu dengan tanpa
bisa ditahan-tahan air mata bahagiaku menetes. Sejuk sekali menerpa
wajahku. (58)
Cerpen Sungging Raga (Kedaulatan Rakyat, 24 September 2017) Kedai Senja ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
INILAH Kedai Senja, sebuah tempat di mana engkau bisa melihat senja dengan begitu dekat dan sempurna.
Tempat ini tersembunyi di balik hutan yang berlainan arah dari rute
pendakian Gunung Semeru. Aku menemukannya secara tidak sengaja ketika
tertinggal dan terpisah dari kawan-kawan pendaki lain. Selama berjam-jam
aku menyusuri pepohonan, memanjat tanah-tanah terjal. Sampai menjelang
sore, terdengar hiruk-pikuk dari balik rimbun pepohonan.
Di balik celah dedaunan lebat itu, aku melihat sebuah bangunan yang
seluruhnya terbuat dari bambu. Papan di pintu depannya bertuliskan:
Kedai Senja.
Mengherankan. Bagaimana di tengah hutan pegunungan, tiba-tiba ada kedai semacam ini?
“Silakan masuk.” Seorang wanita tiba-tiba menyambutku. Aku baru sadar
bahwa semua yang berada di sini adalah wanita cantik. Barangkali mereka
ini bidadari, sebab mereka tidak berjalan, tapi melayang, melesat di
meja-meja. Hanya aku satu-satunya lelaki di tempat ini.
“Selamat datang di Kedai Senja. Kami baru saja buka. Anda telah terpilih untuk berkunjung kemari.”
Aku duduk di salah satu bangku.
“Mau pesan apa? Di sini segalanya ada.”
“Saya haus. Es teh saja…”
“Tidak makan? Anda tersesat seharian. Pasti lapar.”
“Hmm… Ada lotek?”
“Ada.”
“Kalau begitu lotek juga.”
Pelayan itu melesat ke arah dapur. Sesaat aku melihat pemandangan di
luar kedai. Tidak ada mendung sama sekali. Bahkan langit tampak sangat
dekat dan sedang diselimuti api raksasa yang menyebar ke seluruh
cakrawala.
“Mbak, itu apa?” tanyaku saat pelayan mengantar pesananku.
“Itu matahari. Sebentar lagi senja tiba.”
Senja? Aku melihat jam tangan. Ternyata memang pukul lima tiga puluh.
Apakah aku sedang melihat matahari dalam bentuk aslinya? Sekumpulan
lidah api yang saling mendesak. Lidah api itu menyambar ke arah kedai,
hingga menyentuh meja tempatku berada. Dan menyentuhku juga.
Namun api senja ternyata tidak membakar. Memang suhunya terasa
hangat, tapi tidak sampai membuat kulit mengelupas. Ketika api itu
mencapai bangunan kedai, tampak bambu-bambu kedai langsung berwarna
kuning keemasan. Pada akhirnya, api senja itu membuat seluruh kedai
berubah warna, termasuk warna seluruh pengunjungnya.
Sebagian bidadari itu kemudian berlari ke tengah senja, mereka tertawa-tawa, seakan api itu menggelitiki tubuh-tubuh mereka.
Aku melihat tubuhku seperti patung emas. Akankah warna senja ini
permanen? Sungguh menakutkan jika nanti aku pulang dengan keadaan tetap
seperti ini.
Eh? Pulang?
Tiba-tiba salah satu bidadari menarik tanganku.
“Ayo berdansa, Mas.”
Ya Tuhan… Betapa halusnya, melebihi bayanganku akan gadis-gadis dalam drama Korea.
Kami pun berdansa sambil diselimuti senja. Tapi sampai kapan semua
ini berlangsung? Bukankah aku sedang tersesat dan mencari jalan kembali?
“Kenapa Anda tampak cemas?” tanya bidadari yang berdansa denganku.
“Aku… Aku sedang berpikir caranya untuk pulang.”
“Pulang? Setelah melihat semua ini, Anda masih berpikir untuk pulang?
Tidak tahukah bahwa ada yang harus dibayar atas semua ini?”
“Dibayar? Dengan apa?”
“Anda sudah melihat keindahan yang tidak pernah dilihat oleh manusia
lain. Dan ini cuma bisa dibayar dengan nyawa. Agar tetap rahasia.”
“Nyawa? Jangan main-main.”
“Apa Anda pikir semua yang Anda alami saat ini cuma main-main? Cuma cerita pendek?”
“Aku tidak mau. Ini adalah penyanderaan, kalian memenjarakanku.”
Bidadari itu justru tertawa. “Lihatlah diri Anda, sudah tiga puluh
tahun, belum punya pekerjaan tetap, berkali-kali ditinggal menikah oleh
wanita-wanita yang Anda cintai. Tidakkah semua kegagalan hidup itu
membuat Anda seperti dipenjara?”
“Hah? Dari mana kamu tahu riwayat hidupku, Mbak? Aku kan tidak mengajukan biodata?”
“Di sini, setiap pengunjung sudah tercatat lengkap.”
“Aneh. Ini penyadapan. Aku akan suruh Satpol PP merazia tempat ini.”
“Terserah. Lagipula, sabarlah, bukankah sebentar lagi senja selesai?”
Aku terdiam sesaat. “Memangnya…, apa yang terjadi setelah senja selesai?”
Dan raut wajah wanita itu berubah murung seketika. “Kita semua…, akan
ditelan cahaya senja, menjadi bahan bakar untuk senja esok harinya. Dan
esok akan ada pelayan-pelayan baru di kedai ini, dengan pengunjung yang
baru juga.”
“Apa!?”
Bidadari itu kemudian memelukku dengan erat. Aku tidak tahu itu
berlangsung berapa lama, hingga tiba-tiba api senja yang menyelimuti
kami mulai terasa panas, suhunya makin naik. Para bidadari yang tadinya
masih berdansa riang, kini mulai lenyap satu demi satu. Gelak tawa riang
tadi berganti teriakan-teriakan yang tidak ada gunanya. Api senja mulai
melalap tubuh beserta kecantikan mereka, sedikit demi sedikit, hingga
tanpa sisa.
Aku sendiri tak bisa bergerak, api senja telah mengepungku dari
segala arah. Telapak tanganku mulai dilalap senja, terus sampai ke bahu.
Namun bidadari itu masih tetap memelukku, membuatku nyaris tak bisa
bernapas…
“Sabarlah, sebentar lagi senja selesai…”
Masih kudengar ia mengulangi kalimat itu. Hingga akhirnya kami pun
benar-benar lenyap dalam kobaran senja. Menjadi bahan bakar dari
keindahan yang sempurna. q-e
*) Sungging Raga, banyak menulis cerpen. Buku kumpulan cerpen terbarunya “Reruntuhan Musim Dingin” (2016).
Cerpen Yudhi Herwibowo (Koran Tempo, 23-24 September 2017) Terkutuk ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
DARI pertama kali melihatnya, aku tahu ada yang aneh di dinding
belakang rumah ini. Dinding yang mengarah ke gudang bawah tanah itu
adalah satu-satunya dinding yang tak disemen, hingga bata-batanya yang
menghitam dapat terlihat dengan jelas, bagai bata-bata yang telah sekian
lama terbakar api!
Dari situlah aku melihatnya tangan-tangan muncul: tangan-tangan
keriput berwarna gelap dengan kuku-kuku panjang yang dipenuhi darah
kering! Persis seperti tangan-tangan monster yang ada di film-film
horor. Mereka—jumlahnya mungkin 10 atau 12 tangan—seperti hendak
menggapai-gapai sesuatu, bagai tangan orang-orang yang meminta tolong
saat tengah tenggelam.
Dulu, saat pertama kali melihatnya, aku berteriak ketakutan.
Kuceritakan apa yang kulihat pada ayah. Tapi ia hanya tersenyum sinis,
“Anak gila! Kau persis seperti ibumu!”
Aku segera sadar kalau salah bertindak. Tak seharusnya aku
menceritakan pada monster ini. Ini akan selalu membuatnya
mengait-ngaitkan pada ibu. Padahal aku tahu, aku sama sekali tak persis
ibu. Badanku besar, persis seperti ayah. Wajahku juga bundar, persis
seperti ayah. Ibu begitu berbeda denganku. Ia kurus, dan tubuhnya hanya
seperti tinggal tulang dan kulit. Ia juga tak pernah bicara,
kesibukannya setiap hari hanyalah satu: menghitung garis-garis yang
memenuhi salah satu sisi kamarnya. Dulu, ia sendiri yang membuat
garis-garis itu dalam satu malam, entah untuk apa. Mungkin ia menganggap
hidupnya di sini sama seperti dalam penjara. Sekarang, ia tinggal
menghitungnya saja. Itu adalah satu pekerjaan yang tak pernah selesai.
Pada ibu, aku tak bisa berharap banyak. Tapi untunglah ada kakek.
Walau ia aneh, tapi setidaknya ia selalu menanggapi semua ceritaku.
Sayangnya, setahun lalu, ia meninggal. Tubuhnya kutemukan di atas
pembaringannya masih dengan mata terbuka. Entah apa penyebabnya. Namun
walau sudah meninggal setahun lalu, sampai sekarang tubuhnya masih bisa
kutemui terbaring di situ. Memang sedikit kaku dan berbau aneh. tapi
setidaknya aku masih bisa melihat wajahnya seperti dulu.
Aku tak tahu kenapa bisa begitu. Yang aku tahu, tubuh orang mati
seharusnya membusuk. Tapi tubuh kakek tidak. Mungkin ini karena ayah
telah menyiramkan 1 jeriken cairan kimia pada tubuhnya. Ya, selepas
kakek ditemukan tak bernyawa, ayah pergi sejenak dengan mobil
rombengnya. Tak lama kemudian ia pulang dan langsung menuju kamar kakek
untuk menyiramkan 1 jeriken cairan kimia—yang entah apa namanya—ke
seluruh tubuh kakek.
Tentu awalnya aku terganggu oleh aroma cairan kimia yang menusuk,
hingga kerap membuatku hampir muntah. Tapi lama-kelamaan aroma itu
lenyap. Aku pun bisa kembali mendekat pada kakek dan duduk di tepi
pembaringannya. Aku bisa bercerita padanya tentang apa saja, terutama
tentang tangan-tangan yang muncul di dinding belakang rumah ini. Tapi
kali ini, kakek hanya bisa diam.
Aku rindu kakek yang hidup. Kakek selalu punya ide cemerlang. Ia
humoris, walau sebenarnya sangat kejam. Dulu waktu aku mengeluhkan
perlakuan ayah yang sering memukulku dengan kursi, kakek berbisik, “Kau
mau agar bajingan itu tak lagi bertingkah?” matanya berkilat mengerikan,
“Saat ia tidur, kau tusuk saja ia dengan belati dapur. Lalu
gelindingkan tubuhnya ke jurang di belakang rumah, tapi jangan lupa
mengambil hatinya lebih dulu untuk anjing buduk yang sering kencing di
depan pintu rumah kita. Ia layak mendapat hati busuk itu, karena sudah 4
kali bajingan itu menembaknya…”
Aku hanya bisa ikut menyeringai dengan aneh. Tentu saja, aku tak akan
berani melakukan ide gila itu. Walau bentuk fisikku seperti ayah,
hatiku seperti ibu. Pendiam dan pasrah serta tak suka melawan. Aku tak
mungkin nekat melakukan apa pun pada ayah. Bisa kubayangkan, ayah pasti
dengan mudah akan membantingku, walau ia setengah tak sadar sekalipun.
Tak hanya itu, ia juga memiliki senapan panjang yang selalu ditentengnya
ke mana-mana. Memang hanya senapan angin untuk berburu tupai saja, tapi
aku tahu dengan senapan itulah, ia sudah menembak beberapa orang di
sekitar rumah ini.
BELAKANGAN ini aku merasa keadaan rumah semakin mengerikan.
Tangan-tangan di dinding itu semakin sering muncul. Tak hanya sesekali
seperti dulu, tapi kini hampir setiap malam. Suara samar yang selama ini
hanya kudengar lamat-lamat pun, kini mulai terdengar lebih jelas.
Seperti suara-suara orang yang merintih-rintih meminta tolong.
Ini membuatku ingin sekali pergi dari rumah. Tapi tentu aku tak bisa
melakukannya. Bagaimanapun ada ibu di sini. Ia tak bisa kutinggalkan.
Pernah dulu aku mengajaknya kabur. Tapi saat kutarik tangannya, ia malah
menepisnya dengan kuat, dan tetap melanjutkan menghitung garis-garis di
dinding kamarnya.
Aku sedih melihat ibu. Tapi tak bisa melakukan apa-apa. Setidaknya,
ayah tak berbuat jahat padanya. Kupikir ia mencintai ibu. Tapi aku tak
yakin. Tapi setidaknya ia membutuhkan ibu dalam hal-hal tertentu. Karena
beberapa hari sekali, aku tahu ia memandikan ibu, lalu memakaikan
pakaian yang bersih. Bisa kutebak, diam-diam ia akan bercinta dengan
ibu. Suara lenguhannya yang seperti babi ngorok bisa kudengar sampai
kamarku.
Selain soal tangan-tangan yang muncul di dinding belakang rumah,
masih ada masalah lain di rumah ini. Semua tentu karena ulah ayah yang
seenaknya. Kemarin seorang polisi sampai datang ke rumah untuk
menemuinya. Ia mendapat laporan, ayah baru saja menembak kaki seseorang
tetangga. Seketika ayah berubah menjadi begitu ramah. Ia menawari polisi
itu minum minuman kaleng dingin. Lalu saat polisi itu lengah, ia
memukulnya dengan kursi yang biasa digunakannya untuk memukulku. Setelah
itu, ia melemparkan tubuh polisi itu begitu saja ke jurang, yang ada di
belakang rumah.
Aku hanya bisa diam melihatnya. Semakin hari, ayah memang menjadi
monster yang semakin mengerikan. Aku tak pernah bisa menebak apa yang
dipikirkannya. Sama seperti selama ini, aku tak bisa menebak apa
pekerjaannya. Yang kutahu, setiap ia pergi, entah sebentar atau sampai
berhari-hari, ia akan pulang dengan membawa banyak uang. Ia bahkan
pernah membeli makanan sampai mobilnya penuh sesak. Selebihnya yang
kutahu, ayah akan tidur di depan jendela kamarnya melihat ke jalanan di
bawah sana.
Aku menebak, ayah telah merampok, atau mencuri. Kupikir orang dengan
tabiat sepertinya tak mungkin bekerja baik-baik. Apalagi yang didapat
bukan uang sedikit. Aku pernah melirik kamarnya, dan lembaran uang
berhambur di atas kasurnya, bagai daun-daun kering yang tak berharga.
Bila hatinya sedang baik, ia hanya akan menyeringai padaku, dan
menyuruhku mengambil beberapa lembar. Uang darinya sampai sekarang
kusimpan baik-baik. Kupikir bila tiba waktunya aku pergi nanti, uang itu
akan sangat bermanfaat. Jadi sedikit saja yang kupakai, paling hanya
untuk membeli pakaian dan membeli semen dan cat.
Ya, semen dan cat. Dinding di belakang rumah itu memang selalu masih
menggangguku. Kupikir bila disemen dan dicat, mungkin tangan-tangan dan
suara-suara mengerikan itu tak lagi muncul.
Maka dengan takut-takut, aku mendekat ke dinding itu di siang hari
bolong. Saat seperti itu biasanya tak terjadi apa-apa. Tangan-tangan itu
memang hanya muncul di malam hari. Aku segera mengambil adonan semen,
dan melemparkannya di dinding. Tapi adonan itu ternyata tak bisa
menempel di situ. Setiap aku melemparnya—dengan takaran berapa pun—ia
selalu jatuh ke lantai.
SEMAKIN lama aku seperti terjebak di rumah terkutuk ini. Aku
benar-benar merasa sendirian di sini. Bila sudah seperti ini, aku
memilih masuk ke kamar kakek, dan mengeluh padanya.
“Aku harus bagaimana? Aku semakin takut tinggal di sini?” kupegang
tangan kakek yang kaku. Aku ingat, dulu waktu pertama kali tangan-tangan
itu muncul, hanya kakek yang datang mengeceknya ke belakang, Waktu itu
sudah tengah malam, ia dengan berani menghampiri dinding itu. Masih
kuingat tubuhku yang beku saat itu, saat melihat kakek begitu dekatnya
dengan tangan-tangan di dinding itu.
Tapi kakek hanya diam di situ. Ia mengambil rokoknya yang masih
separuh terhisap, dan menyerahkan pada salah satu tangan yang terdekat.
Komentarnya padaku setelah itu, “Mereka tak suka rokok. Jadi jangan
terlalu kau pikirkan!”
Aku tak tahu apakah saat itu kakek mencoba menghiburku. Namun yang pasti, ulahnya sedikit-banyak membuat ketakutanku berkurang.
Sungguh, bila mengingat kejadian itu, air mataku pastilah menggenang. Namun, kini tentu saja kakek tak bisa apa-apa lagi.
Aku terus memikirkan untuk pergi. Keinginan itu tak bisa lagi kutahan
saat ayah tengah pergi dari rumah. Jadi hari ini kugunakan untuk
merawat ibu. Kumandikan ia dan kupotongi kukunya yang hitam. Aku tahu
ini pekerjaan yang percuma. Kuku-kuku itu akan selalu kembali hitam
sehari kemudian. Aku tak tahu apa yang dilakukannya hingga bisa seperti
itu.
Aku merasa sedih akan meninggalkannya. Tapi melihat perlakuan ayah padanya, aku bisa sedikit lebih tenang.
Di kamar, aku menghitung uang yang kusimpan. Kupikir uang ini cukup
untuk membeli tiket kereta menuju kota terjauh. Asal pergi dari kota
ini, aku yakin akan bertahan hidup. Aku bisa bekerja apa pun. Pekerjaan
kasar sekalipun.
Tapi sehari sebelum aku pergi, aku dikejutkan oleh teriakan ibu. Ibu
ternyata berjalan hingga ke bagian belakang rumah. Padahal selama ini,
ia tak pernah keluar dari kamarnya. Tangan-tangan yang muncul di dinding
itu pun dengan mudah menarik tubuhnya. Aku masih sempat melihat tangan
ibu menggapai-gapai lantai. Tapi kedatanganku terlambat.
Yang kulihat kemudian, dinding itu seperti berubah menjadi sebuah
lorong gelap. Dan tubuh ibu menghilang di sana, disusul lenyapnya
tangan-tangan yang meraihnya..
Aku seperti baru tersadar saat suasana kembali hening. Aku hanya bisa
menangis pilu. Kuambil linggis. Lalu kucoba memecahkan dinding. Tapi
linggis pun ternyata tak cukup bisa melakukan apa-apa pada dinding itu.
Sampai habis tenagaku, aku hanya bisa terpuruk.
AKU membatalkan kepergianku. Setidaknya aku harus mengatakan kejadian
ini pada ayah lebih dahulu. Baru setelah itulah aku akan pergi.
Tapi ayah pulang dalam kondisi mengerikan. Tubuhnya penuh darah.
Dapat kulihat jelas kalau dadanya tertembak. Dengan kekuatan dan
keberaniannya, ia mengeluarkan peluru di tubuhnya itu hanya dengan modal
sebotol alkohol dan sebuah penjepit.
Sementara, di luar rumah, mulai kudengar suara sirene mobil polisi
meraung-raung. Dari jendela, kulihat barisan massa juga tengah mendekati
rumah. Obor-obor mereka berderet panjang. Aku menebak, ayah pastilah
telah melakukan sesuatu hal yang membuat orang-orang itu begitu marah.
“Manusia-manusia terkutuk!” seru ayah sambil mengisi senapan anginnya.
“Kau bawalah ibumu ke belakang!” teriaknya.
Tapi aku hanya diam di ambang pintu. “Ibu sudah tak ada. Tangan-tangan yang keluar di dinding itu sudah menariknya ke sana!”
“Apaaa?” teriakan ayah terdengar melengking. “Dasar anak tak
berguna!” ia hendak menghantamkan kursi padaku, tapi aku dengan cepat
berkelit. Ia tentu tak menyangka kalau kini aku tak lagi pasrah dengan
perlakuannya.
Ayah setengah berlari ke belakang dan menatap dinding itu. Saat ia
melihat linggis yang tergeletak di situ, segera diayunkannya ke dinding
itu. Tapi yang dilakukannya tak jauh berbeda dengan apa yang kulakukan.
Semua sia-sia.
Sementara di luar sana, polisi sudah berkali-kali memintanya keluar.
Warga yang tampak marah sudah melemparkan obor ke rumah kami. Aku
melihat semuanya dengan kalut. Kulihat api mulai membesar di sisi
samping rumah.
Kulihat ayah menggeram marah. Ia mengambil senapannya dan mulai
menembak ke luar. Aku tak tahu apa tembakannya mengenai sasaran atau
tidak. Yang kutahu, api semakin membesar. Langit-langit kamar ibu sudah
dilalapnya.
Aku berlari ke ruang belakang. Tapi api seperti mengejarku. Suara
tembakan kudengar berkali-kali. Juga teriakan panjang ayah. Aku merasa
seseorang telah berhasil menembaknya, karena setelah itu aku tak lagi
mendengar suara tembakan dari kamar ayah. Saat itulah aku seperti
mendengar suara-suara samar di antara teriakan orang-orang di luar sana.
Mataku kemudian menatap ke arah dinding di belakang rumah.
Tangan-tangan itu rupanya telah kembali muncul di sana.
Sementara api makin membesar, mendekatiku. Rasa panas seperti mulai
membakarku. Dan tangan-tangan itu tak henti menggapai-gapai.
Suara-suaranya semakin keras. Api seperti membuatku terseret ke sana.
Lalu, di satu detik yang paling menakutkan, tangan-tangan itu merenggut
tubuhku dan menariknya ke dalam lorong yang gelap itu….
Yudhi Herwibowo. Aktif di buletin sastra Pawon, Solo. Novel karyanya Halaman Terakhir, sebuah novel tentang Jenderal Polisi Hoegeng (Noura); dan Cameo Revenge (Grasindo).
Cerpen Agus Noor (Jawa Pos, 24 September 2017) Anjing Berjubah Merah ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
ANJING itu dilaporkan ke polisi karena dianggap menyebarkan ajaran
komunis. Mungkin kau menganggap terlalu berlebihan, tetapi kau akan
memahami bila mengenal Pak Rais. Tapi, biar jelas duduk perkaranya, akan
kujelaskan dulu soal anjing berjubah merah itu.
Ia hanya anjing kampung buduk biasa. Suatu malam, anak-anak muda yang
biasa nongkrong di ujung gang mabuk-mabukan main gitar, melihat anjing
itu berjalan terpincang-pincang. Satu kaki belakangnya tertekuk
kesakitan—pastilah seseorang telah menyambitnya dengan pentungan—hingga
ia seperti berjalan menyeret-nyeret penderitaan, lalu sempoyongan dan
terjerembab ke dalam got.
Beberapa anak muda yang sedang nongkrong itu segera bangkit. Tentu
saja bukan karena ingin menolongnya, tetapi karena berpikir mereka bisa
menyembelih anjing itu. Dagingnya pastilah lumayan lezat buat teman
menenggak tuak oplosan. Anjing itu diangkat dan diikat, dimasukkan dalam
karung. Karena begitulah cara terbaik membunuh anjing agar dagingnya
lezat dan empuk ketika dimasak: masukkan anjing dalam karung, dan gebuki
hingga mati. Jangan sampai kepalanya pecah, cukup dibuat retak. Karung
akan meredam suara anjing yang melolong kesakitan. Dengan cara digebuki
seperti itu, darah akan tetap melekat dalam daging. Dan itulah yang
membuat dagingnya akan empuk ketika dibakar.
Pastilah bukan karena termasuk golongan penyayang binatang, ketika
seorang dari anak muda itu menghentikan sebelum pembantaian itu terjadi.
“Berhenti!” Semua menatapnya. “Bagaimana kalau anjing ini ternyata
malaikat?”
Ini, sudah pasti juga bukan karena dia termasuk golongan orang yang
baik pengetahuan agamanya, tapi karena sudah begitu mabuk. Pelupuk
matanya terlihat melorot menutupi matanya yang nyaris terbalik dan
tubuhnya bersandar hampir ambruk ketika mengingatkan kawan-kawannya. Dan
begitulah, anjing itu selamat. Tapi, barangkali juga saat itu memang
ada malaikat lewat dan mengetuk kepala anak-anak muda yang mabuk itu,
hingga melihat anjing itu seperti juru selamat yang akan membebaskan
mereka dari penderitaan hidup.
Gagasan bahwa anjing itu juru selamat yang akan menyelamatkan hidup
mereka rupanya menyenangkan para pemabuk itu. Mereka pun merawat anjing
itu. Anjing yang terlihat teramat sengsara itu seperti mengingatkan pada
nasib mereka. Ada perasaan kasih sayang yang membuat mereka merasa
tenteram ketika menatap mata anjing itu. Matanya seperti menyimpan
cahaya dari surga. Mungkin ia memang juru selamat yang sedang menyamar.
Tuhan seperti berdiam dalam mata anjing itu.
***
NAH, itulah yang mulai membuat Pak Kamir Rais jengkel. Baginya, sejak
anjing itu muncul di kampung ini, kelakuan anak-anak muda itu memang
semakin menjengkelkan. Kau pasti bisa memahami kejengkelannya. Sudah
sejak lama Pak Rais tak bosan-bosan mengajak anak-anak muda itu ikut
pengajian yang diadakan, daripada terus-menerus tiap malam
mabuk-mabukan.
Bayangkan, ketika azan berkumandang, anak-anak muda itu tetap saja
menyanyi keras atau tertawa cekakakan. Telinga mereka telah disumpal
setan. Tiap saat memalak siapa pun yang lewat agar mereka bisa membeli
tuak. Tak jarang mereka menggoda gadis-gadis dengan perkataan cabul. Pak
Rais telah menasihati mereka baik-baik, mengajak belajar mengaji, atau
mendengarkan ceramah ustad-ustad yang setiap hari Minggu diundang Pak
Rais untuk ceramah di rumahnya. Beberapa anak muda itu memang kadang
datang ke pengajian, tetapi selalu tertidur selama ceramah, dan baru
bangun ketika makanan dibagikan.
Sekarang tak seorang pun dari pemuda pemabuk itu yang mau datang ke
pengajian. Mungkin anak-anak muda itu memang sudah keterlaluan karena
menganggap duduk bergerombol memandangi anjing itu jauh lebih
menyenangkan ketimbang mendengarkan ceramah penuh nasihat yang
membosankan.
“Lihat mata anjing itu yang tulus, ia tidak pernah menyalahkan kita.
Anjing itu tidak pernah menakut-nakuti kita dengan neraka,” ujar seorang
pemuda.
Dan, entah kesambet pikiran gila dari mana, para pemabuk itu mulai
mempercayai bahwa setiap gerak-gerik anjing itu sebenarnya isyarat yang
harus mereka tafsirkan maknanya.
“Lihatlah, ia tak sering menggonggong, artinya ia tak mengajari kita
kemarahan dan kebencian. Perhatikan bagaimana ia selalu diam setiap
melihat sesuatu, artinya ia mengajari kita kesabaran. Anjing itu tak
pernah meminta apa pun, tak mencuri makanan meski kelaparan, bahkan ia
tak menghabiskan makanan yang kita berikan. Sepertinya ia ingin
mengatakan pada kita kalau hidup itu mestilah berbagi dalam kesusahan
dan penderitaan.”
Suatu malam anjing itu menggondol daging, entah dari mana, dan
meletakkan di dekat kaki para pemuda itu. Mereka menganggap daging itu
rezeki dari langit lalu memasaknya, dan ajaib, daging itu tak habis
meski terus-menerus mereka memakannya.
Dan Pak Rais begitu marah ketika melihat anjing itu berjubah.
***
SEBENARNYA itu hanyalah ide konyol dan main-main seorang dari
anak-anak muda berandalan itu yang ingin membuat lelucon dengan memberi
anjing itu pakaian. Ia memang pernah melihat para penggemar anjing
memberi anjing-anjing peliharaan mereka dengan pakaian yang lucu-lucu.
Ada yang mendandani anjingnya dengan gaun seperti putri raja, memakaikan
topi koboi hingga terlihat lebih gagah, berjas rapi ketika diajak ke
pesta, bahkan ada anjing yang memakai kostum superhero. Lalu anak-anak
muda itu sepakat, agar terlihat keren, mereka membalut anjing itu dengan
kain merah, yang ujungnya terlihat berkibaran hingga mirip jubah
Superman. “Kupikir ia tak hanya terlihat seperti Superman…” “Maksud lo?”
“Ia lebih mirip seperti Darwis.” Dan mereka tertawa. Pak Rais
menganggap itu sudah benar-benar kebablasan. Menyamakan anjing itu
layaknya seorang sufi sungguh-sungguh melukai hati. Anjing itu telah
membawa pengaruh buruk pada anak-anak muda di kampung ini. Kampung ini
tak akan mendapat berkah. Lalu Pak Rais mengingatkan, betapa dalam
sebulan ini banyak warga yang tiba-tiba terserang penyakit aneh dan
mati. Itu pasti akibat hawa buruk yang dibawa anjing itu. Malaikat tak
pernah akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada seekor anjing,
hingga penghuni rumah itu akan jauh dari kebaikan dan keselamatan.
Begitu pun dengan nasib kampung yang ada anjingnya, kata Pak Rais.
Kampung ini akan menjadi kampung najis, bila kita membiarkan anjing itu
terus berkeliaran. Para warga sepakat. Setidaknya, mereka memang risi
setiap melihat anjing itu berjalan melintasi rumah mereka, kadang
kencing di pagar, berjalan gontai dengan jubah merah berkibaran tertiup
angin. Belum lagi anjing itu suka berak sembarangan. Tapi, tentu saja,
mereka tak ingin berurusan dengan para pemabuk itu. Makanya mereka
menyerahkan urusan anjing itu pada Pak Rais, agar menegur.
Tapi kau tahu sendiri, menasihati orang gila jauh lebih mudah
ketimbang menasihati pemabuk. Bila kau menasihati orang gila, paling
orang gila itu senyam-senyum sendiri. Sedangkan dengan pemabuk, baru mau
ngasih nasihat, kau bisa keburu dibacok.
Berkali-kali menegur dan menasihati, Pak Rais tak hanya capek, tapi
juga semakin dongkol. Tentu saja ia tak mengungkapkan kedongkolannya
secara langsung kepada para pemuda itu. Di usianya yang 72 tahun ia
harus bisa lebih sabar menghadapi yang mungkar. Lagi pula, bagaimanapun
ia sering membutuhkan bantuan pemuda-pemuda itu, terutama pada masa
kampanye. Ia bisa berkali-kali terpilih menjadi anggota dewan juga tak
lepas dari bantuan anak-anak muda itu. Hanya dengan memberi mereka lima
ratus ribu, mereka akan penuh semangat memasang baliho dan poster
kampanye, menekan warga agar memilihnya atau menggertak
saingan-saingannya. Bila anak-anak muda itu menggunakan uang
pemberiannya untuk beli tuak, ia tak keberatan, selama itu demi
kebaikan. Kebaikannya tentu saja. Maka, satu-satunya yang mungkin
dijadikan pelampiasan kejengkelannya adalah anjing itu.
Diam-diam ia menyuruh orang untuk meringkus anjing itu dan membuang
jauh-jauh, kalau perlu membunuhnya. Tapi anjing itu selalu muncul
kembali. Dengan tenang berjalan melenggang dengan jubah merahnya yang
berkibaran. Pernah, seolah-olah meledek, anjing itu melintas di depan
rumah Pak Rais ketika ada pengajian, diikuti anak-anak muda yang
berbaris dengan takzim di belakang anjing itu. Seperti orang suci dengan
para pengikutnya.
Tak hanya itu alasan si anjing kemudian dilaporkan polisi. Anjing itu
dianggap menyebarkan pikiran buruk, meracuni pikiran para pemabuk itu
dengan ide-ide radikal berbahaya dan terlarang. “Pasti anjing itu
jelmaan hantu komunis,” tegas Pak Rais.
Hantu-hantu komunis memang selalu ingin bangkit kembali dengan
berbagai cara. Makanya jangan heran kalau hantu komunis itu pun menyamar
sebagai anjing. Agar keadaan tidak semakin membahayakan bagi bangsa dan
negara, maka Pak Rais meminta agar polisi segera menangkap dan
memenjarakan anjing itu.
Soal ini banyak yang tahu, sejak muda Pak Rais memang dikenal sangat
membenci hantu komunis. Dulu ia termasuk yang ikut menghabisi
orang-orang yang menjadi anggota dan simpatisan partai komunis. Itulah
yang membuatnya merasa berjasa menyelamatkan bangsa dari bahaya
hantu-hantu komunis. Dan itu selalu diceritakan dengan bangga.
Yang tidak diketahui orang-orang adalah kejadian saat tengah malam
ketika puluhan polisi mendatangi rumahnya. Sebelumnya orang-orang hanya
mendengar suara ribut dan teriakan ketakutan, lalu terdengar lolong
panjang anjing yang terus mengaing-aing, begitu gaduh, seperti tengah
berkelahi melawan sesuatu yang mengerikan. Suasana malam itu begitu
mencekam dan menakutkan hingga tak seorang pun berani mendekat. Lalu
muncul mobil patroli polisi. Dan anjing berjubah merah itu tak pernah
kelihatan lagi.
Kepada orang-orang Pak Rais hanya mengatakan kalau anjing itu sudah
diamankan. Ia tak pernah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi malam
itu: ketika dua orang pencuri menyatroni rumahnya. Ia pasti sudah mati
digorok kalau anjing itu tak muncul. Tiba-tiba saja anjing itu meloncat
dari balik kegelapan dan menyerang dan terus menggigit dua pencuri
bergolok itu, sampai keduanya kabur. Bacokan golok yang menghujam
berkali-kali membuat anjing itu terkapar. Lehernya koyak. Kepalanya
nyaris putus. Pak Rais gemetar menyaksikan itu. Jubah merah anjing itu
kian merah bersimbah darah. Dalam sekarat, mata anjing itu menatapnya
hampa.
Malam itu juga ia menyuruh membuang bangkai anjing itu ke kali. ***
AGUS NOOR, gaya penulisan dan
kisah-kisahnya kerap mengejutkan, liar dengan ledakan humor yang
surealistik. Dia termasuk penulis Indonesia yang produktif. Cerpen ini
termasuk yang akan disertakan di buku terbarunya: Lelucon Para Koruptor.
Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 24 September 2017) Nio ilustrasi Samuel Indratma/Kompas
Namaku Nio. Tapi aku lebih suka dipanggil Nia. Bukan karena mataku
tidak sipit. Bukan karena tulang pipiku tidak menonjol. Bukan karena
wajahku tidak bulat. Bukan karena lidahku tidak cadel. Bukan karena
keluargaku kere. Bukan karena kami hidup dalam gubuk miskin di sebuah
kampung, baur dengan pendatang dari Madura, Bugis, Padang, Medan, dan
Ambon. Bukan juga karena aku tidak mau dibilang keturunan China.
Kenapa harus tidak mau? Nenek moyangku totok dari China daratan.
Sanak saudaraku masih berserakan di sekitar jalanan Sutera. Aku tidak
pernah keberatan, malu, kecil hati atau tersinggung. Bahkan, aku bangga
betul berasal dari negeri leluhur yang menciptakan mesiu, percetakan,
dan mi yang sekarang menjadi kebudayaan dunia.
Bangsa yang pernah melahirkan orang-orang besar, seperti Kong Hu-Cu,
Lao Tze. Bangsa yang begitu hebat etos kerjanya sehingga di seluruh
dunia ada China Town.
Bangsa yang menguasai ekonomi di Indonesia. Satu-satunya bangsa kulit berwarna yang masih disegani oleh negara adi kuasa.
Dan aku tidak takut dianggap China.
Kenapa takut?
Memang banyak warga negara keturunan yang menjadi korban pemerasan,
kekerasan, perlakuan tidak adil, dan kekejian. Banyak orang masih
memperlakukan keturunan China sebagai warga negara kelas dua.
Seakan-akan kami tidak sepenuhnya dilindungi oleh hukum. Bahkan, banyak
para pejabat dan petugas negara yang memanfaatkan opini masyarakat itu
untuk memeras kami.
Tetapi itu memang nasib warga negara keturunan di mana-mana. Sekarang
perlahan-lahan semua itu sudah menantang kami warga keturunan menjadi
ulet sehingga berjuang dengan tenaga lebih. Karena itu banyak yang
berhasil, bahkan terlalu sukses.
Orangtuaku memang perkecualian. Walaupun aku kira mereka bekerja sama
uletnya dengan warga keturunan yang lain, lebih keras dan lebih lama,
nasibnya tak bergerak.
Sudah lebih dari 20 tahun kami tercampak di lingkungan kumuh ini.
Teman-teman Papa, banyak yang sudah jadi orang kaya. Mereka
kadang-kadang bertanya dengan heran, apa sebabnya Papa bertahan tinggal
di tempat yang tidak hoki ini.
Kami disuruh pindah ke dekat daerah huniannya untuk diberikan, dicarikan kesempatan hidup lebih enak. Tapi Papa menolak.
“Aku tidak mau mereka menolongku karena belas kasihan. Bukan salah
mereka menjadi kaya dan bukan dosa mereka kita ini miskin. Mereka tidak
perlu merasa berkewajiban membantu kita,” kata Papa.
Mama jengkel sekali oleh alasan Papa itu. Mereka lalu bertengkar.
Pertengkaran itu begitu kerasnya sehingga akhirnya keduanya terpaksa
mengambil jalan yang tidak menyenangkan. Mereka berpisah.
Aku pun jadi rebutan. Tetapi entah kenapa, Mama akhirnya melepaskan
aku ke tangan Papa. Itu sebabnya aku hidup bersama Papa sampai sekarang.
Baru belakangan ini aku tahu, mengapa Papa menolak pertolongan sahabatnya.
“Aku tidak menolak,” kata Papa dengan suara dingin, “aku tidak cukup
sombong untuk menolak tawaran yang dapat membuat hidup kita lebih baik.
Bahkan, aku sendiri yang sebelumnya meminta, mengimbau, bahkan memohon
kepada mereka. Aku bilang, kalau aku diberikan sedikit pinjaman modal
yang bisa aku kembalikan sekitar 10 tahun nanti, aku akan sangat
berterima kasih. Tapi dia menolak. Dia tidak mau meminjamkan. Dia ingin
memberikan, tapi meminta lebih banyak. Dia suruh aku bekerja untuk usaha
perjudiannya. Tentu saja aku menolak. Aku ini dagang tahu, bapakku,
kakek kamu, juga tukang tahu. Tapi tahu kami adalah tahu yang disukai
semua orang. Aku ingin menghidupi keluargaku dari tradisi membuat tahu
itu. Aku tidak mau jadi bandar judi, apalagi bandar narkoba. Itu yang
membuat dia marah sehingga aku dijauhi.”
“Tetapi kenapa Papa menceraikan Mama?”
“Jangan salah. Bukan aku yang menceraikan Mama, tapi Mamamu yang
menceraikan Papa. Dia tidak tahan hidup sebagai tukang tahu. Dia ingin
menikmati masa tuanya dengan enak. Lalu dia kawin dengan bekas temannya
di SD, tetapi sekarang sudah jadi orang kaya sekali. Mama kamu tidak
salah pilih. Suaminya tidak hanya berduit, tetapi juga baik. Dia
mencintai Mama kamu. Sekarang aku baru mengerti bahwa aku sudah
memperlakukan dia kurang semestinya, padahal aku sangat mencintai dan
menyayanginya. Mestinya aku mencukupi batinnya menurut ukuran
kebahagiaannya, bukan ukuranku sendiri. Ternyata aku sudah terlalu
egois. Seluruh penyesalanku itu lalu aku tumpahkan untuk membesarkan
kamu dengan kasih sayang.”
“Tapi kenapa Mama tidak pernah menjengukku kemari?”
“Karena dia tahu, itu akan bisa merusak ketenanganku. Dan mungkin juga mengubah perasaanmu.”
“Aku tidak akan berubah.”
“Kalau kamu lihat pakaiannya, rumahnya, mobilnya, kartu kreditnya,
anak-anaknya, adik tiri kamu, dan kebahagiaannya, kamu pasti akan goyah
dan berubah. Perubahan yang sesungguhnya wajar dan baik untuk kamu,
tetapi jelas tidak akan menguntungkan aku. Dari situlah aku belajar hal
yang lain lagi tentang ibu kamu. Setelah membenci dia sebagai istri yang
berkhianat selama puluhan tahun, kini aku sadar bahwa Mama kamu sangat
memperhatikan perasaanku, sangat menghiraukan kebahagiaanku. Bukan
kebahagiaan hari tuanya yang dia pikirkan, tetapi kebahagiaanku dan
kebahagiaanmu. Berarti sebenarnya dia benar-benar sangat mencintaiku
sampai ke sumsumnya. Harusnya dulu dia kupertahankan mati-matian.
Pastilah dia sangat kecewa, karena aku tidak sungguh-sungguh berusaha
untuk menghalang-halangi maksudnya untuk bercerai. Seandainya saja aku
tahu lebih dahulu ….”
Papa tidak bisa melanjutkan. Dia menangis. Untuk pertama kalinya aku
lihat orang yang kuhormati, kucintai, dan kupuja sebagai orang kuat itu,
menjadi lemah dan cengeng.
Aku ikut menangis karena terharu.
“Karena itulah, aku minta kamu jangan mengulangi kesalahan Papa,”
kata Papa selanjutnya, “maksudku, jangan hanya melihat segala sesuatu
dari sudut kepuasanmu sendiri. Dari semata-mata perasaan! Tapi pakai
otak. Lihat ke depan dengan obyektif. Hidup yang sebenarnya tidak hanya
perasaan, tapi juga memerlukan banyak hal. Tidak hanya sekadar cukup
sandang-pangan dan papan. Kita memerlukan rumah yang baik dengan isinya
yang juga bagus. Kita perlu telepon, mobil, dan simpanan uang di bank
supaya tidak kelabakan kalau ada resesi. Kita memerlukan kehormatan agar
orang menghargai kita. Dan itu hanya mungkin kalau kita punya uang.”
Lalu papa memandangku dengan tajam.
“Jadi Nio, semasa kamu masih muda dan kuat, apalagi cantik seperti
ini, jangan sia-siakan kesempatan. Cari uang sebanyak banyaknya!”
Aku kaget. Seperti mendengar suara aneh yang tidak pernah bisa aku
mengerti. Dan tiba-tiba saja aku kehilangan seseorang yang sebelumnya
begitu kuhargai, kukagumi, dan kucintai.
Papa berubah. Setelah mencapai usia senja, ia tidak lagi idealis. Ia menjadi orang biasa yang menyerah kepada kebutuhan materi.
Apalagi kemudian ia melarangku untuk menari.
“Tak ada orang bisa kaya karena menari, buat apa kamu capek-capek
menari, Nio?” katanya dengan ketus, “Hentikan kegiatan yang sudah
menghabiskan waktu dan uang itu. Cari pekerjaan di perusahaan-perusahaan
asing yang bisa menggaji dengan dollar, atau kerja di perbankan.
Balikkan hidup kita yang seperti kapal kandas ini. Tarik aku kepada
kehidupan yang terang-benderang supaya aku tidak malu kepada mamamu.
Buktikan bahwa bukan hanya dia saja yang bisa bergelimang uang, kita
juga mampu!”
Tak cukup dengan melarang menari, Papa juga kemudian mau menjodohkan aku dengan anak seorang importir mobil.
“Robert akan mewarisi semua kekayaan orangtuanya. Meskipun dia sudah
punya istri, tapi dia bersedia menceraikan istrinya, asal saja kamu mau
menjadi penggantinya. Dia sudah melihat foto kamu,” kata Papa dengan
gembira.
Lalu Papa memaksaku berkenalan dengan Robert. Kemudian memerintahkan
juga aku untuk bertindak genit di depan Robert supaya imannya gugur,
agar ia cepat-cepat menendang istrinya yang sudah punya lima anak.
Bahkan, pada suatu ketika, seperti barang, aku diserahkan bulat-bulat
kepada keluarga Robert untuk dijadikan apa saja, tanpa persetujuanku.
Di situ kesabaranku habis. Aku merasa terhina. Dengan hati hancur,
kutinggalkan rumah. Aku lari ke Jakarta. Bukan karena aku mau
mengingkari diriku sebagai anak tukang tahu, tapi karena aku tidak mau
membalas jasa orangtua dengan cara yang sekeji itu.
Akibat tindakanku itu, Papa sakit hati. Ia mengutuk dan menganggap aku berkhianat seperti Mama.
“Aku besarkan kamu dengan seluruh kasih-sayangku. Sekarang, nasihatku
yang semuanya untuk kebaikan kamu sendiri, kamu tolak. Anak yang tidak
tahu berterima kasih! Persis seperti Mama kamu! Betina liar! Pergi,
ikuti jejak Mama kamu dan jangan coba-coba kembali pulang! Jangan kamu
kira aku akan mencarimu. Bagiku kamu sudah mati. Sama dengan Mama kamu!”
Hancur seluruh batinku mendengar vonisnya. Aku bimbang.
Apakah aku harus pulang untuk menyelamatkan perasaannya, tetapi
menghancurkan diriku? Atau aku hancurkan Papaku sendiri yang tidak
memiliki apa-apa lagi selain diriku, hanya untuk mencapai kebahagiaanku
sendiri, seperti Mama dulu?
Apakah Papa akan punya waktu kelak untuk mengatakan bahwa segala yang
kulakukan ini adalah yang terbaik, seperti yang dilakukannya terhadap
Mama?
Aku selalu berharap dan berdoa agar satu ketika dia akan sadar bahwa
aku memiliki visi kehidupan yang berbeda dengannya. Bahwa ini riwayatku,
bukan riwayatnya lagi!
Aku menjadi penari bukan karena aku ingin kaya, tapi karena tubuhku
ingin menari. Jiwaku ingin menempuh irama. Bahkan, aku bersedia membayar
semua itu dengan melakukan pekerjaan lain. Tetapi bukan dengan cara
merebut suami orang lain. Bukan dengan cara membuat anak-anak itu
mengutukku sudah merampok kebahagiaan mereka.
Hampir tiga tahun aku hidup di Jakarta. Aku berusaha menjadi penari
dan hidup dari menari. Aku memberikan kursus dan menari kalau dipesan.
Tapi banyak sekali penari di Jakarta. Dan aku tidak hoki seperti juga
orangtuaku.
Hidupku sangat pas-pasan. Akhirnya untuk bertahan dan sedikit lega bernapas, aku mulai menari di kelab malam.
Hari pertama sangat menyiksa. Aku merasa hina. Seluruh diriku rasanya
diperkosa. Tetapi kemudian malam-malam berikutnya semuanya mulai
terbiasa. Apa salahnya menari di kelab? Aku hanya menjual tarian, bukan
menjual tubuh. Harga diri dan kehormatanku masih utuh.
Dengan pikiran seperti itu, aku jalan terus.
Rezeki mulai naik. Uang yang kukumpulkan sudah bisa dipakai untuk
mencicil mobil. Aku sekarang mengerti bahwa mobil bukanlah sebuah
kemewahan, tetapi hanya alat untuk bekerja. Dengan mobil itu, aku merasa
aman pulang dan pergi kerja sampai subuh.
Sementara para tetangga pun mulai sedikit menghargaiku meskipun
banyak yang menduga mobil itu hasil hidupku sebagai perempuan piaraan.
Ketika tabunganku membengkak, aku rencanakan akan meninggalkan hidup
sebagai penari kelab. Aku akan membuat studio dan meneruskan karierku
sebagai penari yang sebenarnya. Mungkin dikombinasikan dengan membuka
warung. Nanti setelah jalan baik, aku akan pulang dan minta maaf kepada
Papa.
Tapi sebelum semua itu terjadi, pecah kerusuhan. Lingkungan yang
kuhuni ikut serta jadi sasaran. Massa yang liar datang bagaikan air bah.
Dengan muka yang ganas, mereka menyerbu. Penduduk dipukuli. Rumah
dimasuki. Barang-barang dijarah. Mobilku dibakar. Dan aku sendiri yang
sedang berada di kamar mandi ditarik keluar, lalu diperkosa
beramai-ramai.
Tak ada yang menolongku. Aku bangkit sendiri dengan air mata dan
darah. Badanku yang pegal linu dan ringsek dengan susah-payah kuangkat.
Seorang tukang becak yang tua, baik hati, lalu mengantarkan aku ke
puskesmas. Dari sana aku dibawa ke rumah sakit. Dan di rumah sakit, aku
diselamatkan, tetapi diancam.
Tak boleh mengatakan apa pun yang terjadi kepada siapa-siapa.
Anak kecil yang tadi kau lihat menyanyi dan menari di depan televisi
itu adalah akibat dari peristiwa itu. Tidak seorang pun yang mengerti,
mengapa aku membiarkannya lahir. Aku pun tidak.
Mungkin anak itu sendiri yang sudah memaksaku untuk melahirkannya.
Untuk menjadi sebuah monumen, betapa biadabnya manusia kalau sudah
dimasuki setan.
Namaku Nio.
Tapi aku lebih suka dipanggil Nia.
Bukan karena aku menolak siapa diriku. Bukan karena aku benci kepada orangtuaku. Bukan karena aku ingin melupakan sejarahku.
Tetapi karena aku orang Indonesia. Pengakuan itu berhenti di situ.
Aku sudah menuliskannya semalam suntuk setelah mendengar pengakuan
Nio. Dengan perasaan penuh simpati, kubawa tulisan itu ke rumahnya. Ia
sedang berbaring sakit. Lalu kubacakan semuanya dengan suara yang penuh
haru.
Begitu selesai, aku memandang matanya. Berharap ia akan memberikan aku pujian, karena aku sudah mewakili dirinya.
Tetapi Nio menggeleng.
“Itu bukan aku. Kamu tidak mengerti …,” kata Nio lirih.
Putu Wijaya, lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali. Pernah menjadi wartawan Tempo, Zaman, dan Warisan Indonesia. Mendirikan Teater Mandiri, menyutradarai film dan sinetron, serta menulis cerpen, esai, novel, novel dan lakon.
Cerpen Dadang Ari Murtono (Media Indonesia, 24 September 2017) Hadiah Ulang Tahun ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
UNTUK ulang tahunnya yang ke-13, Srikanti mendapat sebuah lukisan
dengan pigura kayu jati yang diukir dengan cermat oleh seorang tukang
dari Jepara. Bapaknya, seorang pedagang barang pecah belah mendapat
lukisan itu dari kawan lamanya, seorang pemasok yang bangkrut bukan
karena insting bisnisnya buruk, melainkan lantaran kelakuan ugal-ugalan
tiga anaknya yang terlahir dengan satu-satunya bakat untuk menghabiskan
uang lebih cepat dari yang bisa didapat.
Beberapa waktu sebelumnya, seperti bersepakat, tak kurang dari
selusin penagih mendatangi rumah sang pemasok dengan setumpuk catatan
hutang dan ancaman. Tak ada yang bisa diperbuat oleh laki-laki usia
senja itu selain merelakan harta yang ia kumpulkan bertahun-tahun ludes
sekejap mata.
Salah satu dari sedikit barang yang berhasil selamat dari penyitaan
brutal-brutalan itu adalah lukisan matahari terbit di sebuah pantai,
dengan karang yang menjulang tinggi di sisi kanan, dan rimba raya hijau
di sebelah kiri. Pasir putih membentang di latar depan, dengan latar
belakang air biru dan sirip seekor paus raksasa, dan perahu yang oleng
yang menampung seorang anak kecil. Dan tentu saja, pusat dari semua itu
adalah mentari yang malu-malu menyemburkan sinarnya. Merah seperti
neraka.
“Harta turun temurun,” ujar si pemasok lesu.
“Catnya tampak pudar,” tukas bapak Srikanti dengan lagak seperti pecinta lukisan sejati.
“Tapi kau bisa merasakan energinya. Dan lebih dari itu, usia lukisan
begitu tua, bahkan lebih tua dari bapakku. Konon, lukisan ini tinggalan
tentara kolonial Belanda. Aku tak tahu persisnya bagaimana bisa lukisan
ini sampai ke keluarga besar kami. Ia seperti datang begitu saja.”
Dan begitulah lukisan itu berpindah tangan, dengan harga yang kebacut murahnya, tepat sehari sebelum hari ulang tahun Srikanti.
“Tapi aku ingin ponsel android baru,” teriak Srikanti.
Lukisan itu digantung di dinding kamar Srikanti yang didominasi warna
merah jambu sehingga menciptakan komposisi yang tak lazim, bersebelahan
dengan poster besar Lee Min Ho dan sejumlah artis Korea yang rawan
membuat lidah keseleo untuk mengeja nama mereka.
Srikanti, sebagai wujud protes atas hadiah yang merusak kedamaian
mata itu awalnya menolak memasuki kamarnya. Ia merengek. Namun
orangtuanya, yang insting pedagangnya membuat mereka kelewat cermat dan
hemat hingga lebih pantas disebut pelit, bergeming.
Menjelang pukul 10 malam, mereka lenggang kangkung memasuki kamar
tidur mereka yang besar dengan ranjang megah, meninggalkan Srikanti
sendirian di ruang tengah. Tak sampai setengah jam kemudian, merinding
oleh keheningan yang asing, Srikanti luluh dan beringsut ke kamarnya,
mencari kehangatan dari kasur dan selimutnya.
Kemarahan bercampur kekecewaannya kembali mengelunjak begitu matanya
menatap warna-warna kontras dalam lukisan tersebut. Srikanti mendekat,
mengusap permukaannya yang kasar, dan secara reflek menancapkan
kuku-kukunya yang tajam ke permukaan kanvas. Ia meringis ketika
mendapati secabik cat menelusup ke dalam kukunya.
Biru laut dan hitam sirip paus raksasa. Perahu di sana tampak
bergerak lembut dan ombak kecil menghempas. Srikanti mengira ia tengah
berhalusinasi. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia membeliak dan menatap
lebih cermat. Dan di sanalah, terlihat jelas, mulut si anak di atas
perahu komat-kamit, seakan hendak mengucap sesuatu kepada Srikanti.
Gadis menjelang akil baligh itu nyaris berteriak. Namun suaranya
tertelan begitu sampai di ujung lidah. Ia menutup mulutnya dengan kedua
telapak tangan. Tubuhnya undur ke belakang, lalu terantuk tepi ranjang
dan jatuh terduduk di atas kasur. Ia merasa angin beraroma garam
berembus pelan,membawa udara panas memenuhi kamar itu. Srikanti gerah.
Dan tiba-tiba, ia merasa tubuhnya begitu ringan. Bocah laki-laki
dalam perahu itu ternyata hanya mengenakan celana hijau selutut serta
kaus oblong tanpa gambar atau tulisan. Ia melongokkan kepala ke arah
Srikanti. Semakin lama semakin jelas kalau kepalanya menonjol di
permukaan kanvas, lalu lepas dari bidang dua dimensi tersebut. Dan pada
akhirnya, kepala itu benar-benar nongol, sejangkauan dari jarak yang
bisa dicapai dari juluran tangan Srikanti.
“Ke sinilah,” ujarnya dengan suara sehalus deru kipas angin. Srikanti
bangkit, seperti berada dalam kuasa lain yang tak terjelaskan. Lalu
mendekat dan menjulurkan tangan, meraih tangan bocah laki-laki yang
ternyata juga sudah terulur ke arahnya. Dengan gerakan anggun, ikan paus
dalam lukisan itu bergerak, menyembulkan kepalanya yang tak terkira
besarnya, menggoyang perahu dan mengakibatkan riak ombak dan menimbulkan
desir keras.
“Naiklah,” kata bocah laki-laki. Dan seperti tersihir, Srikanti
menurutinya. Ikan paus itu menyambutnya dengan menciptakan air mancur
dari lubang di atas tubuhnya, mengguyur Srikanti dengan kesejukan yang
belum pernah ia rasakan.
“Ia baik,” bocah laki-laki itu menambahkan. “Kau tak perlu takut. Tak ada bahaya di sini.”
Begitu Srikanti menginjak lantai perahu yang basah dan licin, ikan
paus tersebut, dengan gerakan akrobatik yang sukar dipercaya, melompat
ke atas, membentuk setengah lingkaran melewati perahu itu, dan mencebur
tepat di sisi seberang. Hempasan air yang sedemikian keras, anehnya, tak
membuat perahu itu terbalik. Perahu itu hanya bergoyang pelan. Lebih
disebabkan reflek dan bukan ketakutan, Srikanti menjerit.
“Jangan keras-keras, nanti orangtuamu bangun,” kata bocah laki-laki itu.
Jika orangtuanya bangun, pikir Srikanti, maka itu pasti karena suara
deburan air, dan bukan karena jeritannya. Namun ia tidak berkata
apa-apa. Ia terlalu terpesona dengan pengalaman ajaib yang ia alami.
Angin bertiup lebih keras di sana, menggerai rambut Srikanti, memberati
lembar-lembar hitam itu dengan garam dan cairan. Sinar mentari pagi yang
hangat mengikis kantuknya, dan sebentar kemudian, ia merasakan haus
serta lapar yang tak terkira meski beberapa jam sebelumnya ia telah
mengganyang semangkuk soto Lamongan berikut satu gelas besar es teh.
“Apa yang kau mau? Buah-buahan? Air kelapa?” bocah laki-laki itu
menunjuk sisi rimba raya. “Atau kepiting bakar? Dan ada sumber air tawar
segar juga di sana,” dan ia melemparkan pandangannya pada sisi karang
tinggi.
Malam itu, mereka melabuhkan perahu di tepi karang, berburu kepiting
dan membakarnya dan berpesta semalam suntuk. Kekenyangan dan kecapekan,
Srikanti jatuh tertidur dan ketika terbangun keesokan paginya, ia
mengira apa yang dialaminya adalah mimpi belaka. Srikanti mendapati
dirinya telah berganti baju dan baju yang ia kenakan semalam teronggok
di sudut kamar, basah dan asin. Dan lukisan itu sepersis ketika pertama
tiba.
Srikanti menghabiskan hari dalam kebingungan yang begitu besar hingga
ia membisu seribu bahasa; ragu-ragu antara menceritakan apa yang
dialaminya semalam atau tidak. Orangtuanya mengira kelinglungannya
bagian dari bentuk protesnya. Srikanti, pada akhirnya, memutuskan untuk
memastikan bahwa apa yang dialaminya bukanlah mimpi sebelum menceritakan
hal itu kepada orangtuanya.
Menjelang sore, ia masuk ke dalam kamarnya, memanggil-manggil bocah
laki-laki dalam lukisan. Namun bocah itu bergeming. Warna merah masih
menyemburat dari gambar mentari yang muncul malu-malu dari batas
cakrawala, dan rimba raya masih sehijau sebelumnya, dan karang juga
sekokoh kemarin.
Srikanti kembali memanggil. Dan ia masih tak mendapat jawaban.
“Barangkali itu memang mimpi,” gumamnya. Namun ia kembali ragu. Ia
hampir keluar kamar ketika memutuskan untuk kembali mencoba memanggil si
bocah. Ia beringsut lebih dekat ke lukisan tanpa tanda tangan
senimannya tersebut, hingga ujung hidungnya nyaris bersintuhan dengan
permukaan kanvas. Dari jarak yang begitu, ia bisa melihat bahwa sirip
ikan paus itu tampak boncel, bekas cabikannya kemarin. Dan segera,
gagasan itu menyergapnya. Bila kemarin si bocah nongol begitu ia
mencakar lukisan aneh itu, maka mungkin cara yang sama bisa ia terapkan
sekarang. Ia memeriksa kuku-kukunya dengan kecermatan seorang peneliti,
dan setelah yakin akan kualitas senjata bawaan itu, ia menempelkannya
pada permukaan kanvas, tepat pada warna biru laut. Kesepuluh kuku-kuku
jari tangannya sekaligus. Dan dengan satu gerakan kasar nan keras, ia
benamkan semuanya, lalu ia tarik ke bawah.
Srikanti menjerit kalut ketika tangannya basah dan air meluap ke
kamarnya. Perahu itu dengan segera terbawa arus dan turut terjun ke
lantai, diikuti paus raksasa yang menggeliat-geliat buas, memorak
porandakan meja dan ranjang, membentur dan meretakkan tembok. Ukuran
paus itu berubah-ubah secara ajaib dan acak, kadang membesar dan
mengecil sehingga—meski ketika masih bersemayam dalam lautan di dalam
lukisan ia seakan lebih besar dari lapangan bola—selalu ada ruang yang
tak terisi oleh tubuhnya di dalam kamar seluas 4 kali 5 meter itu. Si
bocah tersungkur begitu perahu terbentur keramik, dan gelagapan seolah
baru bangun dari tidur.
“Apa yang terjadi?” bocah itu berteriak seraya mengerjap-ngerjapkan mata, rambutnya semrawut dan basah.
Dan air semakin deras meluap, mengisi setiap ruang dalam kamar itu.
Srikanti, di sudut kamar, meringkuk seperti bayi tikus, berlindung dari
terpaan ekor paus dengan setengah tubuh tenggelam, menambah volume air
dengan air matanya yang tak terbendung. Dan tak lama kemudian, mentari
pagi beserta cakrawalanya, berikut karang dan rimba rayanya, turut
terseret ke kamar itu. Tak ketinggalan pantai berikut pasir putihnya.
Seperti ada semesta dari dimensi lain yang dipindahkan dengan cara yang
sama sekali tidak elegan, menimbulkan kegemparan mengerikan. Dari luar,
terdengar teriakan kedua orangtua Srikanti.
Dadang Ari Murtono merupakan penulis yang suka travelling. Sejumlah bukunya sudah diterbitkan berjudul Wisata Buang Cinta (2013) dan Adakah Bagian dari Cinta yang belum Pernah Menyakitimu (2015). Buku puisinya berjudul Ludruk Kedua (2016).
Cerpen Taufiq Affandi (Republika, 24 September 2017) Ramdhan ilustrasi Rendra Purnama/Republika(Bagian 2 dari 2)
“Bagus, Ramdhan. Kamu menyerahkannya tepat waktu. Utusan dari kantor
pusat akan mengambilnya sekitar lima menit lagi.” Kata atasan Ramdhan
dengan wajah semringah. Ramdhan berusaha tersenyum juga. Tapi, jelas dia
bukan aktor yang baik.
“Ini ada sedikit…” kata atasannya sembari menyodorkan amplop cokelat.
Ramdhan tampak kebingungan. Tangannya belum bergerak menyambut amplop itu.
“Sekadar ucapan terima kasih atas kinerja baik kamu di kantor.
Sebentar lagi kan Ramadhan. Mungkin ini bisa jadi bingkisan Ramadhan
untuk orang tua kamu.” Itu tentu hanya basa-basi.
Ramadhan terakhir baru saja berlalu. Meski sebenarnya, tidak pernah
terlalu jauh untuk bersiap-siap menghadapi Ramadhan. “Terima kasih,
Pak.”
Hati Ramdhan ngilu. Ngilu dengan keputusannya untuk membiarkan copet yang dilihatnya di bus tadi.
***
Ramdhan meletakkan amplop cokelat itu di meja kerja di rumahnya.
Sejenak, ia ingin menuliskan kisah tentang bagaimana hari ini ia
mendapat bonus di catatan hariannya.
Lalu, tiket bus Damri tampak lagi di sela-sela buku tersebut. Tiket
itu seperti memiliki wajah dengan mata tajam yang menatap ke arahnya.
Ramdhan melenguh napas panjang. Ia memarahi dirinya sendiri. Apakah
kecintaan terhadap dunia telah menjadikan hatinya lemah? Apakah dunia
telah melunturkan warna kebenaran?
Ramdhan menutup catatan hariannya dengan suara keras. Bhuggg.
Tangannya mengepal keras, menempel di sansak yang baru saja di hantamnya. Bhuggg. Sebuah pukulan lain di samsak, lalu….
***
Bhuggg. Pukulan Ramdhan remaja mendarat di perut Ustaz Fauzi, guru silatnya yang tidak tampak kesakitan.
“Lain kali, perbaiki kuda-kudamu sebelum belajar memukul. Tidak ada
bangunan kuat yang berdiri di atas fondasi yang rapuh,” kata Ustaz Fauzi
dalam bahasa Arab.
“Pukulan dan kuda-kuda saya sudah bagus, Ustaz,” kata Ramdhan.
Kata-kata itu membuat Ramdhan sendiri terkejut. Ia tidak biasa memuji
diri sendiri seperti itu. Tapi, ia sendiri sudah belajar bela diri sejak
sebelum masuk pondok dan ia merasa sedikit tersinggung dengan kata-kata
Ustaz Fauzi barusan.
Sang ustaz tersenyum. “Jangan membohongi dirimu sendiri,” Ramdhan. Ia
pergi berlalu dari Ramdhan dan berkata, “Baik, sekarang semuanya
berkumpul di sini.”
“Tenang aja, besok sore kita latihan di lantai 4,” kata Fakhri sembari menepuk pundak Ramdhan.
“Aku punya jurus yang bisa kamu pelajari juga,” sambung Falah. Ramdhan mengangguk.
Mereka lalu duduk melingkari Ustaz Fauzi.
“Kalian harus jujur pada kalian sendiri. Jangan membohongi orang
lain, apalagi membohongi diri sendiri. Jujurlah. Jujur dalam perkataan,
dalam perbuatan, dan termasuk jujur pada diri kalian sendiri. Jujur
dalam memenuhi apa yang kalian yakini.”
“Kalian tahu kan apa tanda orang munafik? Aayatul munafiqi tsalaasun. Idzaa haddatsa kadzdzaba, wa idzaa wa’ada akhlafa, wa idza ‘tumina khaana,” kata Ustaz Fauzi.
“Fahimta ya Ramdhan?” tanya Ustadz Fauzi.
Suasana hening. Bagaimana mungkin Ramdhan akan mengatakan bahwa ia
tidak paham bahwa tanda orang munafik ada tiga; jika berbicara,
berbohong; jika berjanji, ingkar; jika dipercaya, khianat.
Karena Ramdhan masih diam, Ustaz Fauzi mengulangi pertanyaannya barusan apakah Ramdhan paham dengan kata-katanya.
“Na’am, Ustaz.” Ramdhan mengiyakan. Mengiyakan hadis itu berat
konseuensinya dan ia tidak yakin sanggup mengamalkan hadis itu. Maka, ia
hanya menunduk.
***
Ramdhan dewasa kini mengangkat pandangannya. Suasana hiruk-pikuk.
Penumpang berjejalan masuk. Ia melangkah masuk ke dalam bus
Transjakarta. Di pemberhentian berikutnya, sebagaimana sudah dibaca oleh
Ramdhan, pencopet itu masuk.
Penjahat itu mendekati seorang lelaki setengah baya berpakaian bagus
yang tampak kikuk dan kebingungan. Sepertinya, baru hari ini penumpang
tersebut menumpangi Transjakarta karena sopir pribadinya tiba-tiba
sakit.
Dalam sekedipan mata, dompet target sudah berpindah tempat. Pencopet
itu semakin hari semakin mahir saja, pikir Ramdhan. Pemberhentian
selanjutnya sebentar lagi tiba. Pencopet itu akan turun.
Ramdhan bergeser mendekati bapak korban pencopetan.
Saat pintu terbuka, Ramdhan memberikan secarik kertas berisi nama dan
nomornya ke bapak itu dengan cepat sembari berkata, “Hubungi saya sejam
lagi, Pak.”
Bapak yang kebingungan itu semakin kebingungan. Pencopet turun.
Ramdhan berhasil menjadi orang terakhir yang turun di pemberhentian itu.
Pencopet berjalan ke sisi jalan. Ramdhan mengikutinya.
Pencopet melewati gang di sela gedung bertingkat. Ramdhan mengikuti
lelaki itu sembari hatinya berdoa, semoga ia bisa berbicara baik-baik
dengan pencopet ini. Mungkin pencopet itu akan berhenti di rumahnya yang
kumuh, lalu Ramdhan akan coba berbicara dari hati ke hati sembari
menawarkan bantuan apa yang bisa ia berikan.
Amplop yang diberi oleh atasannya mungkin bisa menjadi modal usaha
orang itu. Ramdhan yakin, orang tuanya takkan keberatan jika uang itu
tak jadi bingkisan Ramdhan. Kalian harus jujur pada diri kalian sendiri,
kata Ustaz Fauzi terngiang-ngiang lagi di telinga Ramdhan.
Jika harus jujur pada diri sendiri, ia akan berkata bahwa ia membenci
ketidakadilan. Tapi, ia juga membenci kekerasan. Jika ketidakadilan
bisa dihentikan tanpa kekerasan, itulah jalan yang akan ia ambil.
Gambaran saat Ayahnya menyelesaikan masalah dengan kondektur bus Damri
tanpa harus menggunakan kekerasan terpatri di hatinya. Itulah jalan yang
ingin ia tempuh. Itulah jalan yang ia berharap dapat ia tempuh.
Di belokan, pencopet itu berbelok ke gang lebih kecil. Ramdhan
mengikuti, lalu berbelok di belokan yang sama. Pencopet itu tidak
kelihatan lagi. Ramdhan memperlambat langkahnya.
Seluruh sensor sarafnya menyala dengan kekuatan penuh. Lalu…
Seseorang mengibaskan golok dari belakang. Ramdhan menahan dengan tasnya, terdengar suara benturan golok dan double stick-nya. Seorang datang lagi dari depan, Ramdhan melawannya dengan melemparkan tasnya ke tubuh orang itu, lalu menendangnya.
Tiga orang lagi datang. Salah satu di antaranya adalah pencopet yang
diikutinya tadi. Perkelahian sengit tak terelakkan. Ramdhan berusaha
melawan lima orang itu dengan semua kemampuan yang dimilikinya.
Ramdhan tersungkur oleh tendangan seorang penyerang. Ia berusaha meraih tasnya dan mengeluarkan double stick-nya. Tiba-tiba, tangannya menjadi dua kali lebih panjang; dua kali lebih keras; dan tangan itu kini melibas dua penyerang.
Ramdhan berada di atas angin, dua penyerang sudah tersungkur. Tapi,
ancaman datang, sebuah kayu balok mengayun cepat dari belakang. Komputer
biologis Ramdhan menghitung kecepatan ayunan itu. Tidak cukup waktu
untuk menghindar ataupun menangkis.
Namun, ada cukup waktu untuk menahan. Ramdhan mengencangkan urat
punggungnya. Dalam hitungan mikron detik ia memusatkan kekuatan di titik
yang akan berbenturan dengan kayu balok itu.
Lalu, terdengar suara benturan dan gemeretak sesuatu yang patah. Balok kayu itu patah terbelah dua.
Penyerang ternganga tidak percaya, tapi mulutnya segera terkatup saat sabetan double stick Ramdhan mengayun dari bawah menghantam rahangnya. Keseimbangannya hilang, penyerang ketiga tersungkur.
Dua penyerang terakhir semakin kalap. Perkelahian semakin
menjadi-jadi. Sebuah batu yang dilempar dari sebelah kanan Ramdhan
berhasil ditepis dengan sabetan double stick. Namun, terlambat baginya mengantisipasi lemparan batu dari kiri yang menghantam pipinya. Ramdhan tersungkur. Tapi, tidak lama.
Ramdhan bangkit, jatuh lagi, bangkit lagi, melawan lagi, terluka,
menyerang lagi. Dan akhirnya, dengan sebuah pukulan pamungkas, penyerang
terakhir pun mencium tanah. Napas Ramdhan tersengal-sengal. Ponsel
Ramdhan berdering. Sebuah nomor yang tak dikenal muncul di layar ponsel.
“Halo, Mas Ramdhan?” Suara dari seberang sana itu baru pertama kali
Ramdhan dengar. Tapi, sepertinya suara itu keluar dari seseorang yang
pernah ia lihat.
“Iya, Pak.”
“Mas, mohon maaf, belum sejam tapi sudah saya telepon. Lagi sibuk nggaknih, Mas?”
“Tidak, Pak.”
“Wah, kebetulan. Mas, saya lagi butuh sopir pribadi. Kira-kira, Mas bisa?”
TAUFIQ AFFANDI sehari-hari aktif mengajar
sebagai ustaz dan dosen di Pondok Modern Darussalam Gontor. Dia aktif
menulis cerpen dan artikel sejak menjadi santri di pondok tersebut.
Cerpen Taufiq Affandi (Republika, 17 September 2017) Ramdhan ilustrasi Rendra Purnama/Republika(Bagian 1 dari 2)
Ramdhan sedang berdiri di dalam sebuah bus Transjakarta saat ia
melihat seorang lelaki berkulit kelam memasukkan tangannya ke dalam tas
orang yang berdiri di dekatnya. Seketika detak jantung Ramdhan berdegup
kencang. Orang ini harus dihentikan. Bagaimanapun caranya.
Skenario pertama yang terlintas dalam benaknya adalah ia berteriak
“Copet!”, lalu semua orang akan beramai-ramai menangkap orang itu. Tapi
bagaimana jika semua orang tak mau berurusan dengan hal seperti ini?
Berarti skenario kedua adalah menghentikan copet itu dengan tangannya
sendiri.
Tapi ia lalu melihat jam. Waktu sebentar lagi menunjukkan pukul 8.00
WIB. Ia teringat bahwa ia harus datang ke kantor tepat waktu atau
atasannya akan marah;
lebih marah dari kemarin saat ia terlambat menyerahkan tugasnya.
Menolong orang yang kecopetan? Ah, tiba-tiba Ramdhan merasa itu
adalah ide yang sia-sia. Mungkin uang yang berada di dalam dompet itu
hanya 20 ribu, sungguh tidak sepadan dengan uang yang akan melayang jika
ia terlambat kantor, atau bahkan dipecat dari pekerjaannya.
Mungkin, orang itu benar-benar kelaparan atau mungkin dia punya anak
yang sedang sakit panas dengan suhu di atas rata-rata demam yang pernah
terjadi di dunia ini; atau mungkin ayahnya baru saja mengalami
kecelakaan parah dan harus segera dioperasi.
Dalam keadaan seperti itu, orang bisa hilang akal dan menempuh jalan
di luar nalar untuk menyelamatkan orang yang dicintainya. Ramdhan sedang
menyusun pembenaran. Bukan pembenaran bagi pencopet itu untuk melakukan
aksinya; tapi pembenaran bagi dirinya untuk diam. Untuk memaklumi.
Untuk menganggap tidak ada yang salah dengan apa yang dilihatnya.
Alasan-asalan itu berhasil menguasai logikanya. Jadi Ramdhan
membiarkan kejadian itu berlalu. Toh semua orang diam. Semua orang
bungkam. Untuk apa menjadi orang aneh yang sok pahlawan.
Pencopet itu turun dari bus. Ramdhan hanya sekilas melihat ke arah pencuri tersebut. Pandangan Ramdhan kembali lurus ke depan.
***
Ramdhan bekerja di depan komputer di kantornya yang tampak lengang.
Kepenatan tampaknya mulai menyusup ke tubuh lelaki muda itu. Seperti
kedip-kedip di komputernya yang serasa melambat. Ia berdiri, memutuskan
untuk pergi ke kantin kantor.
“Kopi ya, Bu,” kata dia.
Ibu penjaga kantin memberinya kopi yang biasa dipesan. Tiba-tiba Ramdhan kebingungan mencari sesuatu.
“Ada apa?” tanya Ibu kantin.
“Eh, anu… eh… mana ya dompetku?” Dada Ramdhan panas. Bagaimana mungkin bisa hilang? Apakah tadi…
“Lha itu?” Ibu kantin menunjuk tangan kiri Ramdhan yang sedari tadi memegang dompet.
“Astaghfirullah.” Ramdhan jadi salah tingkah, lalu cepat-cepat memberikan uang ke Ibu kantin.
Ramdhan tidak dapat membohongi dirinya sendiri. Ia bukan orang yang
mudah memaafkan kesalahan dirinya sendiri. Kesalahan karena membiarkan
orang lain melakukan kesalahan.
***
Tangan Ramdhan kecil memegang erat ayahnya. Usianya masih 6 tahun dan
dia tampak senang sekali diajak naik bus oleh ayahnya menyusuri
Surabaya, kota masa kecilnya. Mereka naik bus Damri yang tidak terlalu
ramai. Hanya satu dua orang yang berdiri di lorong bus. Sebagian besar
lainnya, seperti Ramdhan dan ayahnya, dapat tempat duduk.
Kondektur dengan santai menerima uang dari penumpang. Namun Ayah
Ramdhan tampak tidak senang dengan kondektur itu. Sang ayah
memperhatikan bahwa kondektur itu tidak pernah memberikan karcis bus
kepada penumpangnya. Sebuah trik lama yang digunakan kondektur untuk
mengorupsi pendapatan karcis.
Kondektur itu semakin mendekat. Ramdhan melihat dengan antusias saat
ayahnya mengeluarkan uang kertas untuk diberikan kepada kondektur.
Baginya uang adalah sesuatu yang ajaib. Sesuatu yang langka. Apalagi
uang kertas. Terkadang ia mendapat uang dari ayahnya untuk membeli
jajan. Tapi uang kertas adalah benda yang setara dengan barang antik
lainnya. “Aku aja, Yah, yang memberikan,” kata Ramdhan. Sebenarnya itu
alasannya saja supaya bisa memegang uang itu.
Ayah tersenyum kecil. Lalu memberikan uang ke Ramdhan. Ramdhan
langsung memberikan uang itu ke kondektur yang dari tadi berwajah datar.
Kondektur menyodorkan uang kembalian yang lalu diterima oleh ayah.
Lalu kondektur itu beranjak pergi. Senyum dari wajah Ayah pudar.
Berganti sebuah wajah tegas. Bukan seperti wajah orang yang dikuasai
emosi atau bara api. Sebuah wajah tegas yang memancarkan ketenangan dan
kematangan dalam berpikir dan bertindak. Ayah lalu memegang tangan
kondektur itu dengan tenang sembari berkata dengan santun, “Maaf, Pak.
Karcisnya?”
Kondektur itu tampak tidak senang dengan sikap Ayah Ramdhan. Tapi
sepertinya dia memilih untuk tidak menolak permintaan Ayah Ramdhan. Toh
dia sudah punya banyak karcis yang tidak dia berikan. Kehilangan 2
karcis saja tidak masalah baginya. Kondektur itu menyobek 2 karcis dan
menyodorkan ke Ayah. Dalam gerakan hampir bersamaan, Ayah akan mengambil
karcis itu ketika ternyata kondektur itu melepaskan karcis itu di
udara, lalu jatuh di pangkuan Ayah Ramdhan.
Bagi kepala keluarga itu, tujuan menghentikan ketidakjujuran
kondektur itu sudah tercapai. Jadi masalah etika kondektur itu bukan
prioritas utamanya.
Ramdhan tidak mengerti apa yang terjadi. Dia mengambil 2 karcis Damri
itu dari pangkuan ayahnya, lalu melihatnya dengan penuh kekaguman.
Sebagaimana uang kertas yang adalah barang langka baginya. Tiket bus
adalah barang langka yang patut disimpan.
Ramdhan kecil terus saja memandang tiket itu, lembaran kertas kecil yang tampak baru dan bernilai.
***
Tiket itu kini tampak tua, namun terlihat masih rapi, hanya sedikit
lipatan di sisinya. Kini Ramdhan dewasa melihat ke tiket itu dengan
berbagai perasaan di hatinya. Perasaan rindu pada ayahnya yang kini
memilih pindah untuk tinggal di desa semakin menguat. Tapi itu tak bisa
mengalahkan perasaan yang membuat hatinya berdegup kencang setiap
melihat ketidakadilan. Ayahnya telah mengajarkan untuk bertindak sesuai
prosedur dan aturan, dan menegakkan keadilan. Hal tersebut diajarkan
langsung dengan teladan, bukan hanya kata-kata.
Ramdhan menarik napas panjang. Jika pun ingin menghentikan kejahatan,
ia butuh persiapan. Ramdhan meletakkan tiket itu ke dalam buku catatan
harian yang kertasnya sudah menguning, lalu ia berdiri, mengambil double stick yang berada di dinding kamar. Lalu ia tenggelam dalam latihan. Berbagi jenis gerakan ia latih kembali.
Serpihan-serpihan kilas balik melintas dengan cepat di kepalanya,
kilasan tentang saat-saat ia pertama kali belajar bela diri di pondok
bersama Fakhri dan Falah, teman seperguruannya. Serta bersama Ustaz
Fauzi, guru silatnya. Ia teringat saat ia berpeluh melakukan push-up saat latihan di pondok. “Arba’ah wa sittin… khomsah wa sittin…” Ramdhan menghitung dalam bahasa Arab.
Ia pun saat ini sedang melakukan push- up. Enam puluh enam… enam puluh tujuh… Pull-up yang kerap dikerjakan saat di pondok kini juga dikerjakannya. Antara masa lalu dan masa kini berkait-kelindan.
Tempo latihan mulai mereda. Ramdhan sedang melakukan pendinginan saat tiba- tiba hp-nya berbunyi.
“Baik, Pak,” kata Ramdhan pada orang di seberang telepon. “Sudah saya kerjakan, Pak.”
Ramdhan mendengarkan sejenak, lalu, “Baik, Pak. Jam 8…. eh… baik, Pak. Jam 8 pagi bisa saya serahkan, Pak.”
***
Ramdhan duduk di halte. Ia meraba sejenak tasnya. Dari luar ia bisa meraba lekukan double stick yang berada di dalam tasnya. Tak lama kemudian bus datang.
Suasana bus Transjakarta pada jam itu sama saja seperti hari-hari
sebelumnya. Hal terburuk dari kejahatan adalah jika berhasil
melakukannya sekali maka penjahat pasti akan mengulangi hal sama. Jika
pencopet yang kemarin belum insaf, hari ini setan pasti menyokongnya
untuk mencuri lagi.
Lalu hal itu terjadi. Pencopet itu hanya sekitar dua meter di depan
Ramdhan. Dada Ramdhan bergemuruh. Tangan pencopet itu tampak sudah
memutuskan, dompet mana yang akan ia ambil. Insaflah, wahai pencopet.
Insaflah. Ingat Allah. Bisik Ramdhan dalam hati. Berharap pencopet itu
bisa mendengar bisikan dalam hatinya untuk menghentikan aksinya. Jika
pencopet itu mengurungkan niatnya maka tidak perlu ada keributan yang
terjadi.
Namun hati pencopet itu tampaknya tertutup. Tangannya mengambil
dengan cekatan dompet di sebuah tas cangklong. Ramdhan baru saja akan
meneriaki copet itu ketika tiba-tiba hp-nya berdering kencang. Suasana
kalut membuat dering itu seolah berteriak. Dari raut wajah Ramdhan,
jelas itu adalah orang yang meneleponnya semalam.
Bus berhenti, copet itu turun dengan langkah cepat. Ramdhan tahu ia
masih akan bisa turun untuk mengejarnya. Tapi hp yang masih berdering di
tangannya… dan janjinya semalam. Ramdhan harus mengambil keputusan. Dia
tidak punya banyak waktu… (bersambung)