Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Cerpen Anas F Malo (Kedaulatan Rakyat, 28 Agustus 2017) Haji Kusman ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
Hampir beberapa hari ini, Haji Kusman tak bisa tidur, karena
memikirkan keberangkatannya ke tanah suci, setelah menunggu
bertahun-tahun. Keberangkatan ini bukan pertama kalinya, tetapi sudah
yang ke tiga kalinya. Ia berharap, ini bukan yang terakhir kalinya ia
berangkat ke tanah suci.
Entah, merasa senang ataupun sedih yang jelas dari raut wajahnya
tersimpan wajah gelisah. Memang setiap kali berangkat ke tanah suci,
jantungnya terasa deg-degan. Untuk hal semacam itu, ia butuh berkunjung
ke rumah orang pintar untuk mendapat mencerahan. Biasanya, ia akan
mendapat jimat atau doa-doa tertentu. Tetapi, untuk kali ini ia datang
ke rumah Pak Yai Suli. Entah mengapa, ia punya pikiran untuk datang ke
rumah orang alim.
Sekitar pukul 14.00, Haji Kusman dan istrinya berkunjung ke rumah Pak
Yai Suli dengan membawa beberapa bawaan seperti gula, kopi dan amplop
putih berisi uang, entah berapa. Mereka dipersilakan duduk oleh putri
Pak Yai Suli.
Dari pukul 14.00 sampai 14.30 Haji Kusman dan istrinya masih menunggu
untuk menemui Pak Yai Suli. Selang beberapa waktu, suara pintu terbuka
dari ruang belakang. Sementara ia dan istrinya berdiri seperti sedang
menanti apa yang ditunggu-tunggu. Mereka saling beradu pandang.
“Apa yang harus kukatakan kepada Pak Yai Suli?” tanyanya pada istrinya.
“Katakan saja kalau kita akan berangkat haji Minggu depan. Kita hanya ingin mendapat doa atau jimat darinya,” jawab istrinya.
Putri Pak Yai Suli muncul dari ruang belakang melangkah menuju ke ruang tamu. Wajah gadis itu tertunduk, seperti kebingungan.
“Mohon maaf Pak Haji, Abah sedang tidak ingin menemui tamu. Kata
abah, Njenengan disuruh pulang saja. Sekali lagi saya minta maaf atas
perlakuan Abah.” Gadis itu terus menundukkan kepalanya ke arah lantai.
Ia takut jika membuat tersinggung Haji Kusman dan istrinya.
“Tapi kenapa, apa salah saya?” tanya Haji Kusman bernada membentak.
“Saya juga tidak tahu Pak. Setahu saya kalau Abah tidak mau menemui
tamunya pasti ada sesuatu hal yang tidak bisa diterimanya. Abah sedang
marah, entah karena apa. Abah mengatakan, jika beliau tidak mau menemui
haji pengabdi setan,” jawab putrinya gemetar.
Seperti yang ditakutkan gadis itu, Haji Kusman melototi gadis itu
lekat-lekat, dahinya mengernyit, nafasnya naik turun, seperti pompa
minyak yang akan menyembur. Matanya semakin tajam menatap gadis itu yang
hanya bisa tertunduk. Gadis itu semakin takut dengan apa yang
ditunjukkan Haji Kusman.
“Katakan pada Abahmu, ini sebuah penghinaan. Bilang saja kalau beliau
iri dengan saya yang sudah berangkat ke tanah suci dua kali dan akan
berangkat untuk ketiga kalinya Minggu depan.” Pak Kusman menggandeng
istrinya beranjak keluar dari rumah Pak Yai Suli tanpa salam.
Umpatan-umpatan yang tak pantas terus terucap. Gadis itu tetap tak
bergeser dari tempatnya. Ia mendengar umpatan-umpatan itu, seperti
ribuan pisau yang menyayat hatinya. Beberapa kali Haji Kusman menyebut
nama-nama binatang sebelum ia naik mobil.
Sesampainya di rumah, sebuah guci menjadi sasaran atas kekesalan
hatinya, demikian dengan vas bunga milik istrinya yang menjadi
berkeping-keping. Ia masih terngiang-ngiang oleh ucapan putri Pak Yai
Suli. Sementara musim kemarau telah membuat rumahnya terasa pengap.
Barangkali hawa panas telah menyuburkan amarahnya. Pohon-pohon di dekat
rumahnya menjadi gundul, karena daun-daunnya digugurkan oleh musim.
Musim kemarau telah mengeringkan beberapa irigasi sawah para warga.
Pun juga sungai-sungai yang ada di kampung itu telah menjadi lahan
kering. Upaya untuk bertahan dengan kondisi yang memprihatinkan itu
telah berlangsung sebulan yang lalu, saat hujan tak lagi mau turun.
Untuk bisa mencuci dan minum pemerintah telah menyediakan bantuan PDAM
tetapi dalam jumlah terbatas. Biasanya petugas PDAM datang ketika sore
hari, dengan puluhan warga telah mengantre sejak jam dua siang.
Musim kemarau memang menakutkan.
***
Lelaki itu terus berjalan, seolah-olah ia telah menemukan tujuan
pasti. Sesampainya di pertigaan jalan, ia menutup kepalanya dengan
sebuah topeng hitam, lalu melangkah mengendap-endap di depan rumah
besar. Ia memanjat pagar rumah itu.
“Rasakan Haji sialan, akan kukeruk hartamu biar tidak bisa berangkat
haji lagi. Dasar haji sombong, suka pamer. Orang-orang pada kesulitan
untuk bertahan hidup, dia malah enak-enakan berangkat haji, apalagi
sampai tiga kali. Dasar orang tidak punya perasaan. Dasar orang pelit,”
umpat lelaki itu dalam hati. Ia mengeluarkan sebuah obeng dari saku
jaketnya untuk mencungkil jendela. Ia akan masuk lewat ruang depan.
Dengan hati-hati, lelaki itupun masuk dalam rumah. Baru pertama kali
ia melakukan pencurian. Sebelum ia masuk ke dalam ia sempat memanjatkan
doa. “Ya Allah, berikanlah kelancaran melakukan dosa ini.”
Dengan penuh hati-hati, ia memasukkan tumpukan uang dan perhiasan ke
kantong yang dibawanya dari rumah. Ia juga membuka kulkas lalu mengambil
beberapa makanan. Ia beranjak pergi, tetapi apesnya ia kepergok setelah
ia menyenggol guci, sehingga pecah memunculkan suara nyaring.
“Maling!!! Maling!!!” teriak Haji Kusman sambil berusaha mengejar.
Mendengar suara teriakan itu, para warga yang ada di pos ronda
langsung segera mengejar maling itu. Lelaki itu terus berlari menjauh
dari kejaran warga. Ia melempar hasil curiannya ke semak-semak agar ia
dapat mengambilnya di lain waktu.
Dipikirannya hanya ada lari dan terus lari. Tetapi malangnya ia tersungkur, karena tersandung batu. Ia tertanggap warga.
“Bakar saja dia!”suara itu berasal dari arah belakang kerumunan
warga. Haji Kusman muncul dari arah belakang yang dari tadi berusaha
mengejar maling di rumahnya dengan membawa minyak tanah dan korek api.
“Maling bangsat, seharusnya kau dibunuh saja,” ujar Haji Kusman
sambil menampar wajah maling yang tertangkap. Kemudian ia membuka
penutup kepalanya.
“Ternyata kau, Rustam. Kurang ajar. Kau seharusnya dibakar
hidup-hidup.” Berkali-kali ia memukul, menendang, menjambak rambut
Rustam sampai-sampai warga merasa kasihan dengan Rustam. Salah satu dari
warga ada yang mencoba untuk menahan amarahnya tetapi warga yang
melerai malah dibentak-bentak.
Haji Kusman terus berkoar-koar. Para warga semakin geram, tak tahan
dengan sikapnya. Rustam bangkit, lalu menyiramkan minyak tanah ke
badannya. Ia menyulut api ke badan Haji Kusman. Api menjalar cepat.
Dalam sekejab rambut Haji Kusman habis dilahab api, kemudian api
menjalar memanggang ke seluruh tubuhnya. Ia berguling-guling di tanah,
berusaha memadamkan api. Ia terus menjerit, tetapi tak ada satupun warga
yang berusaha menolongnya.
“Biarkan saja ia mati, biar tak ada lagi rentenir di kampung ini,” ucap dari salah satu warga.
“Tetapi jika ia mati, pasti kita semua akan masuk penjara,” sambung warga yang ada di kejadian itu.
“Nah, itu yang aku tunggu-tunggu. Kalau dipenjarakan, kita bisa
makan, minum gratis tidak usah capek-cepek kerja. Hahaha,” kelakar warga
lain.q-g
*) Anas S. Malo, lahir di Bojonegoro. Cerpennya terhimpun dalam antologi “Doa Dalam Cinta”, Sayembara Cerpen Nasional.
Cerpen Fathia Sya (Republika, 27 Agustus 2017) Sirene Candi ilustrasi Rendra Purnama/Republika“Aku gagal Candi.”
Seorang gadis, masih dengan isakan membalas pesan singkat yang
dikirim oleh sahabatnya. Kabar yang baru saja ia dapat tidak sesuai
dengan harapan. Bagaimana bisa? Usaha yang sudah ia lakukan dengan
mengorbankan banyak hal tidak membuahkan hasil sesuai apa yang ia
inginkan. Hanya tetesan air mata membasahi pipi. Tidak tahu apa lagi
yang bisa ia lakukan.
Di tempat lain, remaja tanggung bernama Candi menatap nanar layar
HP-nya. Ia mengerti sekali apa yang sedang terjadi. Sudah terbayang
wajah sahabatnya itu menangis tersedu, Qyara tidak pernah bisa menahan
perasaannya. Ia sedang memikirkan apa yang harus dilakukan untuk
temannya itu.
Candi dan Qyara menjalin pertemanan di sekolah menengah atas (SMA)
terpadu al- Hikmah, Karawang, Jawa Barat. Keduanya kerap bertukar
pikiran seputar pelajaran dan masalah yang dihadapi. Ketika itu, Qyara
terpaksa menunda kuliah, karena keterbatasan ekonomi.
“Jangan berkata gagal. Kau sudah lupa ya? Sirene semangatku tidak akan pernah padam untukmu,” kata Candi.
Layar ponsel mengeluarkan pop up chat, muncul nama Candi di
sana. Ah Candi, justru ketika berusaha menghibur, memberi semangat tak
pernah absen, membuat Qyara semakin merasa bersalah. Bagaimana bisa ia
setega itu membalas semangat dan doa dari sahabatnya dengan kata gagal.
Gadis itu semakin terisak.
“Kau tidak kuliah tahun ini juga bukan kiamat bagimu kan? Kau sudah
melakukan yang terbaik untuk mimpi-mimpimu. Sekarang, bangkit dari
kesedihan dan sambut kembali donatur bahagiamu. Mereka tidak sekecewa
itu dan akan memahami keadaan yang terjadi.”
Qyara hanya sanggup membacanya, lalu tenggelam kembali dalam tangisan
yang membasahi bantal tidurnya. Donatur bahagia yang Candi maksud
adalah kedua orang tuanya, teman-temannya, guru-gurunya. Mereka adalah
orang-orang yang selama ini memerhatikan kehidupannya.
Candi bingung harus melakukan apa. Upaya apa yang harus dilakukan
agar sahabatnya mengerti tidak ada yang harus terlalu dikhawatirkan.
Qyara sudah hebat sejauh ini. Ia menjadi pelajar berprestasi dengan
sejuta capaian. Hanya sekarang, Allah menentukan bukan tahun ini ia
berkuliah, meskipun orang tuanya mengalami keterbatasan ekonomi. Mungkin
tahun depan. Dan Candi yakin sekali, yang akan ia hadapi besok adalah
yang terbaik untuk sahabat itu.
“Kau ingat cerita Nabi Ibrahim AS yang diminta Allah untuk menyembelih putra tercintanya?”
Qyara menatap lama pesan kesekian yang sedari tadi hanya ia baca. Ia mengambil ponselnya, memencet layar touch screen-nya lalu membalas singkat, “Apa hubungannya?”
Candi yang membacanya tertawa pelan di sisi lain. Ia berharap, Qyara
bisa mengambil hikmah yang baik dari kisah pengorbanan yang mulia. Ia
tiba-tiba teringat akan cerita ini karena melihat boneka domba milik
adiknya tertinggal di kasur. Mereka baru selesai bermain bersama tadi.
“Kau tahu persis bukan ceritanya? Ketika Allah menurunkan wahyu lewat
mimpi Ibrahim berkali-kali. Bapak para nabi itu bermimpi Allah
memerintahkan ia untuk menyembelih Ismail. Bagaimana mungkin seorang
bapak tega menyembelih putranya sendiri? Tapi kita semua tahu akhir
ceritanya, bahwa Ismail dengan secepat kilat Allah ganti dengan seekor
hewan kurban. Kisah ini menjadi rujukan budaya berkurban di agama kita.”
Qyara terus membaca. Ia belum mengerti apa maksud dari cerita Candi
kali ini. Ia hanya menunggu Candi melanjutkan ceritanya. Melanjutkan
hikmah yang terkandung dalam cerita hebat itu. Hatinya mulai sedikit
tenang dibanding sebelumnya. Lama-lama ia berpikir, untuk apa menangis
terlalu lama? Untuk apa meratapi terlalu lama? Toh, tidak ada yang berubah.
Pesan Candi masuk. “Dari kisah itu, kita belajar apapun yang terjadi
sudah diatur Allah. Jangan sampai kita tidak percaya adanya qadha dan
qadar hanya karena kekecewaan yang sementara. Nabi Ibrahim saja tidak
mengetahui apa rencana Allah ketika beliau dengan ikhlas menjalankan
perintah untuk menyembelih putra tercinta. Namun pada akhirnya, ketika
berserah kepada-Nya, kita akan mengetahui apa rahasia atau skenario
terbaik untuk kita.”
Membaca pesan Candi membuat gadis itu terisak kembali. Hampir saja ia
menyalahkan kehendak Tuhannya atas ke gagalan yang ia alami. Ia lupa
akan kalimat sederhana itu. Ia lupa bahwa Allah akan mengganti yang
lebih baik, dan itu mutlak. Pasti Allah akan berikan yang terbaik
untuknya.
“Nah, Qyara, sekarang tugas kita hanya taat dan tawakal. Pasrah dan
ikhlas. Tidak ada usaha yang sia-sia. Percaya pada-Nya. Ia Sang
Mahamengetahui apa-apa yang terbaik bagi hambanya.”
Napas Qyara mulai tenang. Jiwanya mulai lapang. Ia mulai mengerti dan
paham arti di balik semua ini. Kisah nabi Ibrahim dan nabi Ismail
memberi secercah harapan baru dalam perjalanan hidup yang singkat ini.
“Apa kau masih menangis? Astaga. Cengeng sekali kau ini Qyara.”
Candi hampir menyerah. Dari tadi pesannya hanya dibaca tanpa dibalas
satu katapun. Pikirannya penuh dengan omelan, neuron otaknya keheranan
dengan sikap Qyara. Apalagi yang harus ia lakukan?
Qyara membaca pesan itu sambil tertawa kecil sekaligus mendengus
sebal. Apa-apaan Candi ini. Barusan berusaha menghiburku, sekarang malah
meledek cengeng. Ia mengambil ponselnya dan mengetikkan beberapa
kalimat.
“Aku sudah lebih baik kok. Jangan depresi gitu. Jangan marah-marah. Terima kasih untuk kisah Nabi Ibrahimnya.”
Sesaat setelah nada notifikasi berbunyi, Candi langsung mengambil
ponselnya. Sambil membaca, ia makin heran, siapa yang sebenarnya emosi.
“Kau ini ya. Siapa juga yang marah-marah? Nah sekarang, apa rencanamu
ke depan? Apa yang ingin kau lakukan selama satu tahun penuh? Kau tidak
akan menyia-nyiakan begitu saja kan?”
Wah, Candi ini. Di saat seperti ini, kenapa ia tidak membiarkan gadis
yang baru tamat sekolah menengah atas itu tenang dulu meski sebentar.
Gadis berambut hitam itu tiba-tiba berpikir harus melakukan apa.
“Apa tujuanmu hidup? Apa misi yang Allah berikan untukmu? Kenapa kamu hidup?”
Seakan bisa membaca pikiran Qyara, Candi mengingatkan lagi, sekaligus
membantu apa yang harus Qyara lakukan selanjutnya. Candi selalu percaya
bahwa tidak ada yang Allah ciptakan sia-sia, tanpa memiliki fungsi dan
manfaat apapun di bumi ini. Ia percaya bahwa setiap manusia tidak ada
yang pantas disebut sampah masyarakat. Mereka hanya bingung, sebenarnya
apa yang harus mereka lakukan sebagai manusia di bumi-Nya?
Qyara di sisi layar yang lain berpikir tentang mimpi besar. Ia ingin
menjadi orang yang membahagiakan orang lain. Maka ketika ia bahagia,
maka orang-orang di sekitarnya turut berbahagia. Visi hidupnya adalah
menjadi manusia yang bermanfaat bagi dunia, mengindahkan Islam di alam
yang mendukungnya. Qyara ingin menjadi manusia yang berkualitas.
“Candi, aku mau jadi manusia yang berkualitas. Sebelum aku menularkan kebaikan kepada dunia. Aku harus baik dulu kan?”
“Tentu saja Qyara.”
“Lalu?”
“Beri aku saran. Teladanku dalam memutuskan hal ini adalah Muhammad Al- Fatih.”
Candi menunggu kalimat selanjutnya.
“Dalam setahun ini, aku mau mencoba menghafalkan Alquran. Dengan
begitu tingkat fokusku akan bertambah, plus mentadaburinya, itu menjadi
landasan langkah-langkah kakiku nanti. Lalu bahasa, aku mau menguasai
minimal 4 bahasa baru. Bahasa kunci dari semuanya. Lalu terakhir,
pendidikan harus tetap dijunjung tinggi. Al-Fatih memenangkan
peperangannya, menaklukkan Konstantinopel karena tarbiyah (pendidikan).”
Candi tersenyum lebar. Sahabatnya kini mulai melihat harapan. Sirene
semangatnya akan terus berbunyi untuk sahabatnya itu, sampai kapan pun.
Hilang sudah keterpurukan dan ketakutan tidak akan menjadi seperti
pemuda lainnya yang mulai ikut orientasi mahasiswa baru. Qyara sudah
tidak memikirkan apa tanggapan orang lain.
Hati dan pendiriannya semakin teguh. Dia meyakini akan mampu menjadi
manusia yang bermanfaat dengan sedikit bersabar dan tentu saja
bertawakkal kepada Ilahi Rabbi.
“Wah, Qyara sudah besar. Sudah tak nangis lagi dong ya? Oke.
Tidak ada yang perlu dikoreksi. Hanya perlu melangkah terus. Kalau
melihat kebelakang, kau akan terus melihat sireneku. Ia tidak akan
pernah berhenti berbunyi untukmu.
Qyara tersenyum lebar kali ini. Tidak ada yang harus ia takuti di
dunia ini. Meski terkadang dunia sangat kejam, ia tidak perlu takut.
Sebesar dan seberat apapun masalah yang dihadapi, ia punya Tuhan yang
jauh lebih besar. Tuhan adalah donatur kebahagiaan tidak pernah putus
memberinya semangat dan bantuan.
“Jadi, aku hanya perlu menjadi orang baik yang terus melangkah kan, Candi?”
“Tentu saja Qyara. Jadilah orang baik yang mengubah dunia menjadi
baik pula. Karena dunia merindukan orang-orang baik menyetirnya. Jangan
pernah berhenti dengan mimpi-mimpimu karena itu jalanmu. Jika bukan
sekarang waktunya ia terwujud. Maka, kau akan tahu ketika Tuhan kita,
mengatakan kun (jadilah)!”
Kedua insan itu sama-sama tersenyum. Mereka sama-sama bahagia melihat
dunianya, masa depan bangsanya. Meski mereka tahu melakukan mimpi besar
tidak semudah tersenyum membayangkannya. Yang mereka lakukan hanyalah
melangkah, biar Allah yang memberikan jalan yang spesial.
“Hey Qyara.”
“Iya, Candi?”
“Berjanjilah satu hal padaku.”
“Janji apa?”
“Jangan pernah berhenti meski dunia bahkan tidak memihakmu nanti.”
(Penulis sering mengisi acara diskusi dan
aktif dalam berbagai kegiatan sekolah. Belum lama ini, karya penulis
berjudul “Breaking The Limit” sudah dibaca oleh anak-anak muda. Penulis
sering meluangkan waktu dengan menulis cerita pendek)
Cerpen Raudal Tanjung Banua (Jawa Pos, 27 Agustus 2017) Kami Antar Barang sampai Kampung Terujung ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa PosZEN menyampirkan handuk kecil di leher, dan sambil
bersiul ia turun ke air. Takjub, ia terpaku sebentar, memandang arus
memutih seolah baru menemukan sungai susu yang disebut dalam kitab suci.
Tapi ketika membuka pakaian, ia sadar bukan orang pertama di tempat
itu: ia lihat bungkus sabun dan sampo berserakan di celah batu. Dan,
saat ia mulai berendam, sesuatu nyangkut di kakinya, ia angkat: o,
bungkus mi instan hanyut terseret arus!
Apakah ia merasa Luk Ulo, sungai kuno di bumi, telah ternodai? Dalam
hati, mungkin ia bilang iya. Tapi ah, bagaimanakah menjaga kemurnian di
dunia yang penuh serbuan benda-benda? Maka ia hanya nyengir kuda ketika
aku sentil, “Jadi, tetap ada plastik pabriknya, ya?”
“Iya, Mang, malah muncul dari hulu,” Zen masygul. Menebal raut kecewa
di wajahnya, seperti mendung di langit. “Ayo, Mang, mandi, mumpung
belum hujan!” ajaknya kemudian.
“Aku istirahat saja, sambil awasi Neng Eli. Mana tahu ada yang usil,”
aku menyulut rokok di atas batu. Dari situ aku bisa melihat Minareli
sedang sibuk mengecek ulang nota-nota, faktur dan kuitansi, menghitung
uang masuk dengan pulpen dan kalkulator di tangan.
Kami bertiga karyawan PT Bahagia Asri yang bergerak dengan mobil kanvas. Sebagai sales canvasser,
tugas kami mengantar barang ke toko dan warung-warung pinggir jalan
sampai kampung terujung—sampai mobil boks yang kukemudikan tak bisa lagi
lewat. Tapi selagi jalan bisa dilalui kendaraan roda empat, dan ada
warung tegak merdeka di ujung, kami berjuang mencapainya. Kami cepat
tahu jika ada warung baru yang buka, menawari diri jadi langganan,
sambil menjaga kesetiaan pelanggan lama. Sebab, ketahuilah, sales kanvas
bersileweran dari berbagai penjuru. Kadang menyulut pertengkaran, tapi
selesai berkat database operasional. Bagaimanapun target penjualan sudah
digariskan. Makin banyak pelanggan, makin banyak bonus kami dapatkan,
di luar gaji pokok yang tak seberapa besar. Jika abai, bukan hanya
dompet kempes dibawa pulang, juga terima bersih omelan di kantor.
Kami biasa pergi berhari-hari menyisir daerah pinggiran, kota-kota
kecamatan, masuk kampung ke luar kampung. Menyinggahi toko dan
warung-warung. Bersua wajah-wajah langganan yang semringah. Bertemu
sungai, pantai, sawah hijau, dan bukit-bukit biru, seolah aku sedang
jalan di kampungku sendiri. Kaca mobil kubuka lebar, dan kuhirup udara
segar. Malam hari kami menginap di losmen langganan yang harganya
terjangkau di jalur lintasan. Itulah bedanya canvasser seperti kami dengan sales motor atau motoris maupun sales taking order (TO) yang hanya muter-muter dalam kota atau kampung terdekat.
Hari ini kami tahu ada warung buka di kampung terujung, milik seorang
TKW yang baru pulang dari Saudi. Ketika kami susuri jalan batu ke situ,
kami temukan warung itu berdiri anggun tak jauh dari Sungai Luk Ulo.
Ber kardus-kardus barang ia pesan dan aku merasa lega mendapat satu lagi
tambahan pelanggan. Tak lupa kami tempel poster produk terbaru dan
barang promo. Bahkan sebuah baner bergambar perempuan berambut panjang
–untuk iklan sampo—kami pasang di depan, membuat warung itu jadi tampak
tambah cemerlang. Setelah itulah kami singgah di Luk Ulo, sungai dengan
batuan purba, di pedalaman Kebumen.
***
ZEN cah Bandung, lulusan universitas ternama di Jogja. Ia sales kanvas
yang cekatan mengeluarkan barang, menumpuk kardus dan mengantar ke
pemesan. Ia tahu pasti di mana posisi kardus-kardus berbagai produk. Mi,
gula, kopi, deterjen, sabun, sampo, snack, bubur bayi, hingga permen, dan susu sachet.
Ia juga fasih mempromosikan barang terbaru. Oya, ada lagi satu: ia
terlatih membuat laporan aktivitas perusahaan pesaing! Zen memang tak
asing dengan penyaluran barang. Ibunya punya warung kecil di kampung.
Pamannya, begitu ia cerita padaku, adalah tukang mindring.
Waktu remaja, Zen sering diajak sang paman keliling menyalurkan barang
kreditan. Namun sebagaimana kita lihat nanti, lambat-laun Zen menjadi
orang yang “bermasalah” dengan distribusi barang.
Aku sendiri wong Wonogiri. Aku juga tak asing dengan barang
masuk kampung. Aku punya bibi yang kukagumi karena sejak pakde
meninggal, dia menghidupi enam anak. Ia gesit berjalan kaki menawarkan
barang ke kampung di lereng Gunung Lawu, menempuh jalan setapak, meniti
jembatan gantung. Meskipun wong Wonogiri dianggap pintar
dagang, aku tak berbakat dan kegesitan bibi tak membekas padaku. Jika
pun kini bekerja di perusahaan dagang, aku tak terlibat langsung dengan
barang. Aku hanya seorang sopir. Istilah kantor: driver.
Kasir kami Minareli, gadis Tasik, bertugas mencatat barang
masuk/keluar serta menerima pembayaran. Ia hafal spesifikasi barang
tanpa pikir panjang dan tahu mana item yang bisa bayar belakangan.
Karena itu, ia tak lepas dari pulpen, faktur, kalkulator. Mestinya ia
bertugas sebagai sales TO, menawarkan barang ke pihak grosiran. Tapi
perusahaan kami lebih banyak meng-cover distribusi retail.
Maka Minareli bergabung bersamaku. Jangan khawatir, meski ia
perempuan yang duduk di muka diapit dua lelaki, Minareli pandai menjaga
diri, dan kami tak berbahaya. Di losmen, Minareli juga ambil kamar
sendiri. Suka-duka di jalan, pahit-manis menghadapi pemilik toko dan
orang kantor, menyatukan kami lebih sebagai kawan senasib. Aku merasa
hubungan kakak-adik. Kedua anak muda itu mengingatkanku pada dua adikku
yang jadi buruh di Jakarta.
Yang kusuka, Minareli tak canggung bersama kami maupun menghadapi
konsumen. Maklum, ia pernah jadi sekretaris koperasi di kotanya. Namun
ia keluar setelah ada kejadian unik. Waktu itu, pihak koperasi membuka
usaha baru: “Simpan Pinjam Perempuan”. Minareli merasa agak janggal
dengan sebutan itu. Maka ia beri masukan supaya ada kata “untuk” sebelum
kata perempuan. Tapi ketua koperasi, Pak Jajang, keukeuh menolak. Lhadalah,
setelah pe resmian, plang nama koperasi itu viral di media sosial dalam
bentuk lucu-lucuan. Pak Ja jang menuduh Minareli memberi tahu dan
mengipasi netizen. Ia dibentak dan diancam. Ketimbang ribut, Minareli
memilih cabut. Lagi pula memang sudah saatnya. Ketua koperasi itu suka plirak-plirik padanya dan kadang berolok tak pantas. Minareli lalu pergi ke tempat kakaknya yang buka warung burjo di Jogja. Si Neng bantu-bantu di sana sambil ganti dilirik para mahasiswa.
Zen gemar nongkrong di situ, nonton bola, dan ssttt… bisa
ngutang! Maklum, statusnya nanggung: mantan mahasiswa kepingin jadi
mahasiswa. Ia nunggu beasiswa S-2 yang tak kunjung dapat, sedang orang
tuanya sudah cukup senewen membiayai sampai S-1.
Kudengar ia mahasiswa pintar dan nilainya tinggi, hanya terlalu
pemilih. Konon, ada beasiswa dari lembaga luar negeri yang ia tolak.
Menurutnya lembaga itu pernah jadi tangan menyamar dalam peristiwa
berdarah di tanah air. Pemuda 27 tahun itu boleh juga. Meski ia
luntang-lantung jadinya. Di luar dugaan, atas ajakan Minareli, Zen mau
ikut lamaran sales kanvas. Mungkin saat itu ada malaikat lewat yang
membuatnya menyadari idealisme mesti diuji. Waktu aku iseng bertanya
soal itu, Zen nyengir, “Utangku di burjo udah segunung, Mang. Malu mah sama Teh Eli.”
Mereka ditempatkan di mobil boks PS 100 yang aku bawa—awal kami
bersama. Tapi, ah, tidak. Kami tak selalu bersama jika diartikan
kegundahan milik masing-masing orang.
***
DI antara kami bertiga, Zen termasuk penggelisah
akut (maaf, aku tak punya istilah lain), bahkan jika dibandingkan dengan
semua karyawan di kantor. Ada-ada saja yang ia gelisahkan terkait
barang dan distribusi. Kupikir ia trauma waktu ikut pamannya jadi tukang
mindring. Sebab, katanya, ia pernah menghadapi ibu yang tak
sanggup bayar kredit panci, dan pamannya tega mengambil panci yang
sedang terjerang. Nasinya yang masih mentah ditelungkupkan di atas meja
dapur. Zen mencegah, tapi si paman bilang bahwa yang pertama sudah ia
maafkan dan ini yang kedua.
Pernah pula pamannya ditantang berkelahi oleh seorang bapak yang
menolak melunasi cicilan. Besoknya sang paman mengajak kenalannya
berambut cepak mencari si bapak. Zen melarang, tapi sang paman
mendamprat, “Jangan lunak kerja di lapangan atuh!”
Aku duga Zen trauma atas kejadian masa remajanya itu. Buktinya,
sehabis bercerita padaku, kulihat matanya menerawang. Kosong. Tapi dalam
hari-hari kami kemudian, ia mulai menyebut berbagai istilah dan teori.
Tentang barang-barang produksi. Pabrik. Investasi. Modal. Konglomerasi.
Korporasi. Konsumsi. Dan entah apa lagi. Simpulanku berubah: apakah
sebagai mantan mahasiswa sejarah, Zen terlalu banyak belajar revolusi
industri, buruh, kolonialisme, hingga negara dunia ketiga? Jelek-jelek,
aku pernah duduk empat semester di sebuah akademi.
Memasuki tahun kedua, Zen kerap murung. Minareli tahu perubahan itu.
Aku bertanya dengan suara sengaja dikeraskan, “Kenapa si Akang, ya,
Neng? Suka ngelamun sekarang.”
“Iya, dulu tak begini. Sekarang kok rada alergi sama barang, seolah
semua barang banyak micinnya,” jawab Si Neng tenang. Aku terkekeh.
“Apa anak gadis pemilik toko di Kroya telah menolaknya?” selidikku lagi.
“Tidaklah, Mang. Si Akang mah setia sama teteh nun di sana,” kata Minareli merujuk ke kasih Zen, seorang penari di Bandung. Zen hanya mengembuskan asap rokok ke udara.
Kali lain, sengaja kutekan klakson keras-keras supaya lamunan Zen
buyar. Tapi ia cuma senyum masam. Kata Si Neng, “Ia lagi mikir keras atuh, Mang!”
“Ya, tapi soal dunia tak bakal ambrol dipikirin, Neng. Atau utang burjo-nya belum lunas?”
Minareli tergelak. Dan saat istirahat makan sate ambal yang berkuah tempe, aku tepuk pundak Zen, “Ono opo to, Bung?”
Ternyata ia terlanjur jauh memikirkan rumah-rumah yang berubah jadi warung! Menurut pengakuannya, ia merasa suwung.
Ada yang hilang dan gerowang. Jawaban dingin Zen tak ubahnya lubang
jalan terlindas ban. Membuat tubuhku terlambung. Sialan! Bukankah di
mata awamku warung-warung itu tampak semarak? Persis papan iklan di tepi
jalan.
Tapi tampaknya bukan itu yang dimaksud Zen!
“Ya, ramai. Tapi semua terasa kosong, Mang, kosong belaka,” Zen geleng-geleng kepala.
“Lho?” aku bergidik. “Aku kok tidak ngerasa, ya,” akuku polos.
Zen menarik napas panjang. “Selintas memang tak terasa, Mang. Tapi
coba renungkan. Warung-warung itu hanya menampung barang yang kita bawa
dari kota. Ya, selalu hanya jadi penampung. Tanpa timbal balik,” emosi
Zen tak terbendung.
“Bagaimana persisnya?” aku mulai tertarik.
“Dulu, Mamang cerita padaku pernah jadi sopir truk Wonogiri-Jakarta kan?”
“Ya, lantas?”
“Waktu itu Mamang bilang dari Wonogiri membawa hasil bumi. Dari Jakarta bawa kain dan barang pecah belah.”
“Benar. Truk tak boleh kosong. Prinsipnya cari muatan.”
“Nah, itu ideal. Ada pertukaran produk kota-desa. Tapi dengan mobil
kanvas seperti ini, semua drop-dropan; kita antar barang
sebanyak-banyaknya. Jor-joran, tak kenal ampun nyaris siang-malam karena target penjualan! Dan satu arah, top down; pernahkah perusahaan bertanya kebutuhan apa yang penting bagi orang-orang?”
Aku merasa jalan yang kulalui mengabur. Hablur ditimpa bayang-bayang kegelisahan.
“Kampung-kampung hanya jadi lambung, Mang, bukan lumbung,” nada Zen bergetar.
***
SUDAH lama aku menjadi sopir. Mulai truk pengangkut pasir—tempat aku belajar nyopir—lalu pick up sayur,
sampai truk ekspedisi. Ketika pemilik truk bangkrut, aku ke Jogja,
melamar jadi sopir kanvas. Dan belum pernah aku mengalami suasana batin
seperti sekarang.
Jujur, aku cukup menikmati suasana jalanan di wilayah kerja kami,
dengan warung-warung setia menunggu. Mulai perbatasan Purworejo sampai
Kebumen, Cilacap dan sebagian Banyumas. Dari kantor Bangunjiwo, Bantul,
kami biasa lewat jalur Deandels menyisir pantai selatan yang indah.
Patanahan, Ambal, Ayah, dan keluar di Sumpiyuh, terus ke Buntu, Kroya,
dan Cilacap. Pulangnya kami susuri Kebumen arah pegunungan.
Di sepanjang jalur itu memang masih banyak tempat suwung,
namun tak kalah banyak kampung dengan rumah dan warung-warung yang
hidup. Karena itu, aku kepikiran terus pernyataan Zen tentang
rumah-rumah yang ja di warung dan segalanya berubah suwung!
Ah, aku memang suka mengganggu Zen dengan maksud menggoda, namun
gangguannya padaku lebih kejam daripada godaan! Dan jika kudiamkan,
perasaan ingin tahuku terus melawan. Aku mulai terdera. Tiap perkataan
Zen terdengar rawan. Meski jujur kuakui, bersama Zen, juga Minareli,
hidupku jadi lebih berwarna. Tak melulu urusan penjualan, bonus dan
gaji. Tak hanya bicara produk, juga hakikat barang. Bahkan ruang dan
waktu.
Dengar, saat melewati ruas jalan yang padat, Zen bergumam, “Jalan kecil ini punya hasrat terlalu besar, Mang. Semua bernafsu tumbuh di sisinya, tak kenal ruang, tak peduli waktu.”
Minareli mengangguk. Sedang aku tak bisa sekadar mengangguk. Gumam itu merasuk ke kepala, bikin kemaruk!
Kali lain Zen mengirimi aku pesan Kemerdekaan Aqua dan Coca-Cola. Sebelum “dinas luar kota”, istilah kami sebagai canvasser, ia bertanya, “Gimana, Mang, udah baca puisinya?”
“Puisi yang mana?”
“Yang aku WA.” Oala, itu puisi toh! Mana kutahu. Zen akhirnya
menjelaskan, itu puisi seorang penyair Jogja tempo dulu yang suka
nongkrong berjamaah di Malioboro. Sekarang mustahil bisa begitu jika tak
ingin tertindih ruko dan toko-toko, katanya. Setelah kubaca, kurasa
cocok dengan perasaan dan keadaanku. Sebagian masih kuingat: Marilah
takjub. Aqua dan Coca-Cola/ telah memudahkan pesta. Mengusir gelas/
cangkir dan kendi, kembali/ sebagai barang pecah-belah. Berdebu/ menyatu
dengan sejarah almari.//
Bersama dengan itu, aku mulai amati jalan yang kulalui dengan hati
jembar. Perumahan. Ruko. Travel haji & umrah. Kafe. Pabrik. Rumah
sakit. Semua tumplek blek. Paling banyak warung dan toko, tegak
berdampingan atau berhadapan. Kadang hanya terpisah satu dua rumah
karena memang, seperti dikatakan Zen, rumah-rumahlah yang berubah jadi
warung. Satu-dua warung tutup karena bangkrut atau si penunggu tak kuat
duduk terkantuk-kantuk. Tapi warung lain buka mengganti. Ada pula yang
mencoba terus bertahan. Uniknya, pada sebuah warung, kudapati mata Zen
sebak menahan tangis. Minareli pun tampak sedih.
Hati-hati kutanyakan apa yang mereka lihat, sehati-hati aku menarik perseneling.
“Tahukah kamu, Mang,” jelas Zen, “Pak-pak rokok yang
berjejer di etalase toko Bu Surti tadi, sebetulnya tinggal bungkusnya
saja. Tak sengaja tersenggol tanganku, dan bungkus yang ringan itu
berjatuhan. Ternyata itu kamuflase supaya orang menganggap usahanya
tetap jalan. Bu Surti terperangah. Untung luput dari perhatian orang
yang belanja.”
“Karena itu, kutunda minta tagihan minggu lalu,” tambah Minareli.
Dan Zen kemudian mengusap matanya. “Aku ingat ibuku… Beliau dulu pernah begitu.”
***
APA yang dipikirkan Zen perlahan kupikirkan juga.
Apakah pikiran seperti air atau sejenis penyakit? Ia dapat menular
melalui percakapan, tindak-tanduk bahkan kemurungan. Begitulah, Zen
tambah gelisah. Kini ia membawa buku agenda ke mana-mana. Kukira itu
buku catatan barang. Tapi lantaran kerap ia tulisi saat istirahat,
kuduga itu buku harian. Bahkan ia menulis saat mobil sedang melaju,
katanya, kepalanya lagi penuh. Maka kaburlah dugaanku.
Pernah aku jengkel sekali padanya. Bayangkan, saat mobil mogok, ia
malah menulis di antara kardus-kardus, dalam boks yang sengaja ia buka
sebelah pintunya. Aku mau marah. Tapi melihat keringatnya
menetes—melebihi keringatku menyetel mesin—kupikir beban anak muda itu
lebih berat dari yang kurasakan. Mungkinkah kepala yang penuh lebih
berat ketimbang otot yang bergerak membuka sekrup?
“Ia mau bikin buku untuk mahar pernikahannya, Mang,” tanpa
kuminta, Minareli menjelaskan. Mungkin dia khwatir bakal salah
pengertian di antara kami, atau ia sendiri minta pengertian supaya kerja
tetap nyaman. Aku tahu kekasih Zen seorang penari dan mereka akan ke
pelaminan. Tapi buku apakah yang dibutuhkan seorang penari sehingga Zen
harus menulisnya sendiri lebih liar dan senewen daripada gerak penari
beneran? Perasaanku mulai kacau menghadapi Zen. Kesal, marah, kadang
takjub, campur-aduk jadi satu.
Malam, sepulang kami mengantar barang, aku pacu mobil agak kencang
menuju losmen langganan. Jalanan terasa lebih lapang, dan papan iklan
kian gemilang oleh cahaya neon, berbarengan semarak iklan di radio yang
kuputar. Di luar, kulihat makin banyak warung buka hingga larut, bahkan
24 jam. Sementara dalam mobil yang melaju, kulirik dua anak muda di
sampingku. Mereka tidur kelelahan. Ah, anak muda, kau menghadapi masamu
sendiri, dengan gejolak dan gelora.
Aku merasa dulu juga seperti itu, sebelum punya anak tiga. Aku
menolak melanjutkan kuliah karena merasa tambah bego. Kemudian Pak Madi,
tetanggaku, menawari aku jadi tenaga honorer di kantor pos. Tapi jika
mau diangkat cepat, kata Pak Madi, si mbok bisa dikenalkan dengan orang
yang ngatur. Ngatur mbahmu! Bentakku dalam hati. Mbokku sampai terbungkuk-bungkuk meyakinkanku. Aku bergeming dan memutuskan ikut truk pasir Pak Kali.
Sekarang aku merasa gagal jadi pemberang. Aku harus tenang memikirkan sembako, biaya sekolah anak, iuran ngaji, cicilan rumah, kondangan, pitulasan, dan
tetek bengek ini-itu. Karenanya, melihat sikap Zen uring-uringan, aku
mulai berpikir untuk menegur. Maklum, sekarang banyak warung dan toko
yang ia minta dilewatkan. Alasannya macam-macam. Pemilik warung
nunggaklah, suka komplainlah, galaklah, atau malas saja. Padahal aku dan
Minareli berpendapat sebaliknya. Tapi sebagai sales utama, kami mesti
ikut apa kata Zen.
Untuk menutupi target penjualan, kami terpaksa “buang barang”. Ah,
orang lapangan pasti tahu yang kumaksud! Apalagi kalau bukan jual barang
secara grosir ke toko-toko besar di kota kabupaten atau kecamatan.
Tentu saja mereka bersedia karena harga sengaja dibuat miring. Demi
target, tak apa, supaya bibir orang kantor tak ikut miring. Fakturnya
dipecah supaya tak kentara, dan satu lagi: kami mesti nombok! Satu dua
kali tak masalah. Kami masih dapat dari warung lain yang harganya
digerek sedikit. Juga sisa uang solar karena tak banyak mutar.
Semua itu sungguh tak nyaman. Harus ada tindakan. Maka sehabis dua
batang rokok, aku bangkit mendekati Minareli. Aku ajak ia menasehati
Zen. Gadis itu segera menyimpan kalkulator dan membereskan semua berkas.
Tapi belum sempat kami mulai, laki-laki kencur itu mulai lebih dulu!
Begitu selesai mandi, dia langsung bilang, “Kuharap sekali ini saja kita
ke sini, Mang.”
Aku yang girang dapat pelanggan baru, hari itu langsung ia patahkan. “Lho, kenapa?”
“Kita kurangi pelan-pelan jadi ujung tombak peredaran barang-barang konsumsi, Mang.
Alangkah baik mereka menjual lemper dan onde-onde buatan sendiri,
berbungkus daun pisang, ketimbang kita kirimi terus kue-kue kemasan
dalam kaleng dan sampah plastik dari pabrik.”
Aku pikir ini konyol. Tanpa kami pun barang-barang itu akan datang
menyerbu, bahkan tanpa saingan. Zen sendiri sepakat, tapi dengan
tambahan, “Itu keniscayaan, Mang. Hanya saja bukan kita lagi pelakunya. Mengurangi lebih baik daripada tidak sama sekali.”
Wah, ini tambah tak masuk akal. Ciloko! Runyam. Tak
terhindarkan, kami bertengkar di tepi Luk Ulo yang mulai bergemuruh
karena hujan tampaknya sudah turun di hulu. Cukup banyak kata
kuhamburkan, tapi ini paling kuingat, “….dengan begini kamu sama saja
korupsi, mark up dan mengkhianati perusahaan!”
Zen membalas bersama kilat petir di langit, “…Teruslah kamu, Mang, selamanya jadi kaki tangan perusahaan, banjiri semua kampung dengan barang-barang berhalamu!”
Minareli terceguk. Ia bingung mau berbuat apa. Ia terjepit antara
idealisme Zen dan keinginanku yang realistis—membuat kami sedikit
berbahaya! Mata Zen nanar. Ia hempaskan pintu sebelum aku injak gas.
Kepalanya berkali-kali ia tekan ke dash board. Melampiaskan apa
yang tak terlampiaskan. Dadaku sendiri sesak, kemudiku zig-zag. Hujan
turun sepanjang jalan, licin dan tergenang. Kurasakan kaca mengabur.
Untunglah kami selamat sampai Jogja. Namun saat baru masuk ring road barat,
persis di depan kampus UMY, Zen minta berhenti. Tanpa masuk jalur
lambat, aku menepi. Begitu saja pemuda itu melompat, “Cukup sampai di
sini!” katanya, lalu lari menembus hujan. Minareli tak bisa mencegah.
Sedang aku memang tak ingin mencegah.
Dua hari setelah itu Zen Ahmad Suhendar resmi mengundurkan diri,
setelah hampir dua tahun kebersamaan kami. Sedangkan Minareli dipindah
ke bagian administrasi.
Jujur, itulah saat aku merasa benar-benar suwung, lebih dari sekadar kata sepi! Aku kehilangan sosok yang memberiku warna berbeda dalam kerutinan hari-hari. Tapi bagaimanapun toh bersama
sales lain aku harus tetap keliling, mengantar barang sampai kampung
terujung, dan seturut stiker yang nempel di kaca mobilku, “Kami setia
sampai nanti, sampai mati.” ***
/Rumahlebah Jogjakarta, Agustus 2017
Catatan:
Mengenai sales kanvas dan distribusi barang, diolah dari artikel/info dalam http://www.lowonganmadiun.comdan http://www.motorisweb.com. Kutipan puisi bersumber dari Iman Budhi Santosa, Dunia Semata Wayang (YUI, 1996: 78)
RAUDAL TANJUNG BANUA, lahir di Lansano, Pesisir Selatan, 19 Januari 1975. Tinggal di Jogjakarta. Bukunya Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai serta Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan dalam persiapan terbit.
Cerpen Jeli Manalu (Media Indonesia, 27 Agustus 2017) Aku Melihat Ranggas Terbakar di Mata Butet ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
BUTET, sepupuku memanggil dengan suara agak ditekan melalui jendela
rumahnya. Ia berkata ada rahasia yang sedang gempar di desa. Diam-diam
kami pergi dari pintu belakang saat Bapak dan Ibu tertidur selepas makan
siang. Kami berhenti di ladang bekas panen padi. Semak mulai tumbuh.
Sejenis rumput menjalar mengelilingi batang-batang jerami. Kupetik
tangkai padi yang sengaja dibiarkan karena waktu itu bulirnya masih
muda. Aku gemetaran melihat selembar daun merayap di punggung tanganku.
“Itu belalang,” kata Butet.
“Apa ini bukan daun?” tanyaku, merasa aneh sendiri. Ragu-ragu aku
menangkapnya lalu mengarahkan bagian yang berdiri ke wajahku. Ia rupanya
ada mata. Kecil. Seperti titik dua, namun pancarannya mengingatkanku
pada ibu jari yang tertusuk peniti saat mengambil duri. Aku bergidik
takut seakan darahku semua menuju kepala.
“Belalang,” kata Butet lagi—ia memang senang baca buku yang isinya memuat flora dan fauna.
“Belalang setan?”
Butet menatap lekat mataku. Dalam matanya kulihat yang berwarna
hitam. Lebar. Di dalam warna hitam lebar itu ada dua sosok
memanggil-manggil. Api bernyala-nyala mengelilingi mereka, membuat tubuh
mereka bergoyang seperti terpal dihantam badai.
“Kau bisa meramal sesuatu?” aku bertanya pertama kalinya meski sebenarnya tak terlalu yakin.
“Tentu saja tidak. Kau mengenalku sejak kecil.”
Mengenai mataku yang melihat keanehan di dalam matanya, menurutnya,
itu karena aku terlalu lama melihat ke arah matahari. Matahari putih
yang terlampau terik, jika dipandangi tanpa pengaman bisa membuat mata
memunculkan bayang-bayang. Bisa berupa balon-balon udara yang dimasuki
seekor belalang. Bisa seperti ada yang berkejaran, katanya. Kupikir yang
ia katakan ada benarnya. Setelah menutup mata sebentar penglihatanku
kembali normal.
Belalang yang membuatku merinding tadi, kini sudah tak ada. Entah
kapan ia pergi. Dengan cara apa? Merangkak? Terbang atau menghilang
begitu saja? Sudah sering bermain di bekas panen padi, baru kali ini
kutemukan belalang semacam itu.
Kadang ia juga bisa datang ke dinding rumahmu. Diam-diam ia memanjat
bajumu, masuk ke rambutmu dan membuat rumah di sana, kata Butet. Tapi
kubilang jangan menceritakan hal horor lagi. Nanti aku ngompol. Lagi
pula tak ada hubungan belalang dengan rahasia.
Kami hanya ke ladang bekas panen padi lalu kebetulan saja ada
belalang merayap di tanganku. Dasar penakut, ejek Butet. Meski aku anak
laki-laki sehat dan berotot, tapi untuk cerita begituan aku lebih lemah
dari bayi. Bila malam tiba kubangunkan Bapak menemani kencing. Sedang
Ibu, aku lebih sering terkejut mendapati mulutnya yang sewarna darah.
Gusinya selalu penuh. Ibu suka menyirih. Sehabis itu ia
menggosok-gosokkan tembakau ke seluruh gigi. Kata Ibu, giginya yang
sudah goyang itu suka gatal. Jika digosokkan tembakau gatalnya hilang.
Selain itu bisa juga mengobati bentol-bentol karena ulat bulu, atau
bekas gigitan serangga.
Pernah ada yang datang minta tolong. Kami semua sudah tidur.
Seseorang itu mengeluhkan kakinya baru saja dipagut ular. Ibu memeriksa
bekas gigitannya. Hanya luka sedikit, kata Ibu. Namun bila tak diobati
nyawa bisa terancam. Segera Ibu ke kamar—bukan kamar tidur bersama
Bapak, tapi kamar khusus Ibu menyimpan ramuan.
Dioleskannya krim ke kaki orang itu. Disembur sirih ke badannya. Ibu
membisikkan sesuatu ke ubun-ubunnya. Tak lama setelahnya seseorang itu
pergi dengan mengucapkan terima kasih saja. Kudengar ia belum punya
uang. Ibu jawab tak apa-apa yang penting sembuh dulu.
Hampir selalu begitu. Belum pernah kulihat Ibu menikmati jerih
payahnya. Paling dibawakan rokok, buah, beras, kelapa, sayur, dan
ternak. Jika pasien Ibu sudah pergi, aku segera tengkurap dan pura-pura
ngorok. Ibu tak membolehkanku penasaran bila sedang mengobati. Urusan
orangtua tak perlu dicampuri anak-anak, begitu Ibu berpesan.
“Lalu, apa rahasia yang kau mau katakan itu, Butet?”
“Tapi kau harus berjanji menjaganya. Pokoknya tak ada yang boleh tahu. Bisa?”
“Bisa. Aku bisa,” jawabku, dan langsung menautkan jari kelingkingku ke jari kelingkingnya.
Berhari-hari belakangan—mungkin semingguan lebih, kata Butet ada
pertemuan sembunyi-sembunyi di rumah seorang laki-laki di ujung desa.
Orang-orang lewat yang tak terlibat dalam perbincangan mengira itu
sebagai ajang kumpul-kumpul (tempat singgah untuk beristirahat) sewaktu
kembali dari kebun masing-masing.
Di sana orang-orang itu bisa ngopi, minum tuak (arak), memesan teh
manis, merokok. Yang perempuan ada juga yang ngemil kacang tanah. Rumah
itu dari kejauhan terdengar riuh. Namun saat Butet akan sampai tiba-tiba
hening. Seakan semua tak saling kenal. Seakan semua larut dalam pikiran
masing-masing. Butet akhirnya singgah karena Bibi Hana, ibunya Butet
kehausan. Persediaan air minumnya habis. Bibi Hana memesan segelas teh,
diminum segera lalu pergi.
Tapi menurut Butet lagi, waktu ia ke belakang menompang pipis, dari
balik tirai yang dibuat seadanya sebagai penutup kamar mandi ia dengar
orang-orang menyebut sebuah nama. Ranggas. Siapa Ranggas? Belum pernah
ia dengar nama itu sebelumnya. Lagi pula nama itu terkesan sembarangan.
Ranggas, menurutnya hanya ranting-ranting kayu kering. Ranting kering
seharusnya dipotong dari dahan kemudian dibakar. Maka ia buka tas, ia
catat. Butet memang senang membawa buku kosong dan pena setiap ia keluar
rumah.
Seperti yang kukatakan sebelumnya ia suka flora dan fauna. Ia akan
mencatat mengenai tumbuhan yang kali pertama ia jumpai. Begitu pula
dengan hewan, dan apa saja yang terasa asing ataupun sekadar
berkelabatan di kepalanya. Pernah kucuri sirih dan rempah obat yang
belum ibuku racik. Ia terkekeh memandangi mulutku yang merah. Kau
seperti drakula, ejeknya, lalu mencatat itu.
Aku tidak tahu persis apa yang ia tulis, tapi kukatakan padanya:
kelak jika sudah tua kau akan jadi ilmuwan. Ia menarik daun telingaku
sampai jauh. Sampai merah dan panas. Agar berhenti kubilang ia akan
tetap gadis cantik berumur belasan tahun meski lama hidupnya sudah
seratus. Ia terbahak. Liurnya menetes ke tanganku. Aromanya wangi
seperti daun-daun padi yang baru muncul. Seketika aku terkesima. Bila
sudah begitu, aku pasti menggelitiki telapak kakinya sampai nangis.
“Jadi sudah kautemukan teka-teki nama itu?”
“Belum.”
Tapi aku curiga ia telah mengetahui sangat banyak dan akan
menceritakannya perlahan sampai aku benar-benar masuk
perangkapnya—maksudku sampai ia benar-benar melihat sorot mataku yang
paling serius. Tak ada begu (setan) di sini ataupun di rumahmu, katanya,
suatu malam sewaktu belajar kelompok di rumahnya dan aku minta
diantarkan pulang sebab listrik padam total.
***
Aku melakukan pengintaian berikutnya. Kubuat alasan kepada Mama agar
diizinkan keluar rumah. Ada tugas mengenai hewan dan tumbuhan dari
sekolah, ujarku. Aku harus juara di semester ini. Juara umum. Mama pun
membolehkanku. Mama selalu mendukung apa pun yang kulakukan.
Hari kedua, aku baru tahu kalau Ranggas itu perempuan. Suka menyirih,
suka menggosokkan tembakau ke gigi. Tapi hampir semua perempuan menikah
di desaku melakukan hal semacam itu, termasuk mamaku. Hanya, perempuan
penyirih yang mereka maksudkan ini, hebat. Punya ilmu.
Pamanku, Bapaknya Timur, sepupuku yang penakut itu tiga minggu lalu
terlibat pertengkaran dengan tetangga ladangnya. Si tetangga ngotot
menuduh Paman menggeser tapal batas sekitar satu meter. Harusnya pohon
kemirinya berjumlah seratus. Kok tinggal sembilan puluh sembilan?
Kenyataan tak sebatang pohon kemiri pun di ladang Paman.
Untuk tanaman tua Paman hanya menanam kemenyan. Saat Paman bilang
barangkali dulu sewaktu masih kecil batang-batang kemiri yang dipinggir
sakit lalu mati, si tetangga itu langsung menuduh: jangan-jangan
kauguna-gunai. Istrimu yang melakukannya. Dasar parbegu ganjang!
cecarnya, tanpa membiarkan Paman membela diri. Seminggu kemudian lelaki
tua itu kejang-kejang lalu mati.
Cerita itu aku tahu saat menguping ketika Mama bertandang ke rumah
Paman, di mana waktu itu lengan kanan paman berdarah. Kena tebas parang,
kata Paman. Mama membantu Tante meracik obat Paman. Saat aku duduk
lebih dekat, Mama menyuruhku pulang. Sana, pergi belajar. Bilangnya mau
juara? Aku pun pergi. Namun bukan benar-benar pergi. Aku berdiri di
balik dinding, kemudian berlari sekencang-kencangnya saat sudah yakin
siapa sebenarnya Ranggas yang dibicarakan banyak orang di rumah
laki-laki di ujung desa.
***
Aku ketiduran saat Butet bercerita. Tahu-tahu matahari sudah ke
barat. Ketika kukatakan ayo pulang, Butet menahan badanku. Kugertak mata
Butet. Bagian hitam matanya berubah menjadi layar. Aku bisa melihat
dengan jelas sesuatu yang berkibar-kibar. Sebuah kobaran api. Tinggi.
Besar. Menjulang. Di sekelilingnya orang-orang berteriak: begu, begu,
bakar rumah ini, bakar orang itu, laki-laki itu, perempuan itu!
Aku patah hati dan menjerit. Butet membekap mulutku. Jangan berbunyi,
katanya. Jangan cengeng bila kau tak mau terbakar. Kau tidak akan
tahan. Kau akan gosong. Hangus, kata Butet, menggenggam debu tanah di
kiri-kanan tangannya.
Layar di bagian hitam mata Butet mengalirkan cairan berwarna merah.
Ada tangisan memanggil-manggilku, menggapai-gapaiku. Ibuku. Bapakku.
Tapi aku tak percaya kalau Ranggas itu nama ibuku. ***
Riau, Maret 2017
Cat: Begu ganjang = Semacam ilmu santet
Jeli Manalu merupakan penikmat sastra. Sejumlah karyanya telah diterbitkan di sejumlah media massa nasional dan daring.
Cerpen Ken Hanggara (Suara Merdeka, 27 Agustus 2017) Bus Menuju Peradaban ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka
Seandainya semua bus di dunia hilang, apakah mungkin Mariana masih
pergi dari sini? Aku tidak dapat membayangkan sepelik apa urusan mereka
yang senang mencari masalah, tetapi enggan menghadapi dan lebih memilih
lari, jika semua bus di dunia ini hilang?
Seandainya itu terjadi, aku tentu senang. Ketika bus-bus mendadak
lenyap, mereka yang akan lari dari tanggung jawab akan berpikir ulang,
“Kiranya aku dapat mencuri mobil!”
Barangkali kesialan macam itu tidak terjadi di tempat lain, tapi aku
tahu, di dusun ini, kekayaan adalah hal mustahil, kecuali seseorang
membawa ilmu sihir di tubuhnya. Sayang, orang-orang terlalu beriman
untuk tidak tahan terhadap godaan yang tidak terlalu berpengaruh dalam
hidup mereka. Sebuah mobil, misalnya, tidak akan memiliki arti di sini,
di suatu dusun yang bahkan untuk mengayuh sepeda pun tidak semulus yang
kita bayangkan.
Orang-orang tidak bermobil. Orang-orang berjalan kaki. Begitu pun
para pengecut yang telah merampas sebagian besar hal baik dalam
kehidupanku. Mereka tentu juga harus berjalan. Berkilo-kilo jauhnya
jarak mereka tempuh. Sekalipun jalan aspal dengan lubang-lubang di
sana-sini, dan bukan sepenuhnya hutan rimba, akan amat sulit ditempuh.
Dari rumahku, jika ingin mencapai jalan aspal, yang kadang-kadang
dapat disebut jalan raya, meski sangat sepi, seseorang harus lebih dulu
menempuh medan berlumpur, dan baru setelah itu dapat mencegat bus yang
lewat dua puluh empat jam sekali. Mariana, tentu saja, telah menumpang
bus itu. Khayalan betapa semua bus di dunia ini mendadak menghilang
mungkin tidak terlalu berguna, sebab toh dia juga sudah tidak ada. Namun
aku malah senang mengkhayalkan itu detik ini, ketika kusadari
kemungkinan segala yang telah dicuri dariku mustahil kembali.
“Kita tertinggal sehari di belakang. Kalau nanti bus berikut datang,
Mariana sampai di pinggir kota. Pada saat itu, kemungkinan kalian bisa
ketemu jadi sangat kecil, bahkan hilang sama sekali,” prediksi Mudakir,
sahabatku yang sejak awal sering mengingatkan, tetapi selalu kubantah.
Mudakir memang tidak suka caraku mengenal Mariana. Aku dan si wanita
itu dekat dengan cara kurang wajar, dan meski tidak ada
kejadian-kejadian mesum di antara kami, Mudakir mengira wanita itu tidak
tepat untukku. Aku tahu ada banyak wanita tertarik menjadi istriku
sejak kudapatkan warisan besar berupa beberapa hektare lahan.
Dusun-dusun di sekitaran hutan diisi orang-orang yang masih berkaitan
erat; sebagian bahkan masih sangat kental hubungan darah mereka.
Beberapa lain kenal sejak brojol dari rahim ibu masing-masing.
Jadi, siapa tidak tahu betapa pemuda pengangguran ini, yang tidak pernah
berhasil dalam perkara asmara, mendadak diincar banyak wanita?
Aku sangat mengerti cara memilih perempuan, sekalipun selalu gagal
jika sedang jatuh cinta. Aku tahu beberapa perempuan lebih menyukai apa
yang seorang laki-laki miliki ketimbang si laki-laki itu sendiri. Dan
aku tidak ingin calon istriku tertarik padaku justru karena harta
warisan yang kudapat.
Karena terlalu lama membujang dan tidak sabar membangun kehidupan
percintaan, aku pergi ke kota menumpang bus suatu hari. Di pinggiran
kota, terminal penuh orang-orang dari berbagai arah membawa banyak
tujuan. Dari terminal itu, aku kembali pergi, menjauh dari kampung
halamanku hingga tiba ke kota berikutnya. Demikianlah, aku terus
berpindah bus selama beberapa hari, hingga sampai ke suatu tempat yang
menurutku lumayan bagus.
Kukatakan pada kondektur bus, “Sebaiknya saya turun di sini.”
“Sebaiknya Anda turun di sini?” tanyanya keheranan.
“Ya, memang saya tidak pernah tahu tempat macam apa ini. Namun saya kira akan mendapat sesuatu yang bagus di sini.”
Begitulah, hari-hari yang aneh pun berakhir dengan pertemuanku
bersama seorang wanita bernama Mariana di rumah makan dekat pom bensin.
Mariana tidak ada teman makan. Kami berkenalan dan duduk berdua sampai
hampir dua jam. Sampai tak terasa betapa makanan dan minuman kami telah
lama tandas.
Perkenalan itu pun kubawa ke dusunku yang terpencil, dan segera
menjaring ragam reaksi. Orang-orang terdekat sebagian besar setuju aku
menikahi Mariana, meski wanita itu tidak lagi punya keluarga, karena
suatu tragedi besar menimpa mereka.
Beginilah cerita yang kami dengar dari Mariana tentang bagaimana dia kehilangan keluarga.
“Suatu malam saya tidur dan ketika masih dalam keadaan lelah, ada
laki-laki masuk kamar dan meminta saya pergi dengannya. Saya tahu itu
paman saya, yang tidak dianggap waras, sehingga saya kira itulah
sebabnya kenapa mereka membiarkan kami berdua pergi. Di ruang tengah,
masih saya ingat, ketika itu sangat berisik. Orang-orang datang dan
membawa celurit, serta menuduh-nuduh bapak saya anjing busuk yang layak
disembelih.”
Ketika akhirnya orang-orang memang menyembelih bapaknya, Mariana tahu
tidak ada lagi yang tersisa baginya di situ. Ibunya juga tidak berdaya
dan mati dengan cara sama. Bersama pamannya, Mariana hijrah ke dusun
lain, dan mendapat perlakuan kasar, hingga dia diangkat anak oleh sosok
asing yang pada hari-hari belakangan kerap kali disebutnya sebagai
“papaku”. Tentu saja, kini papa Mariana telah tiada, dan lelaki itu
meninggalkan sejumlah warisan. Sayang, kehidupan baik yang Mariana
dapatkan setelah tragedi besar menghabisi seluruh keluarga kandungnya
tidak lantas membuatnya segera mendapat jodoh.
Karena sikap baik Mariana, orang-orang terdekatku menyukainya, dan
tidak peduli pada sejarah kelam wanita itu. Beberapa orang menolak
Mariana. Di sekelilingku, orang-orang itu seakan bekerja kepada pihak
tertentu yang lahir ke muka bumi untuk membenci anjing-anjing busuk
serupa bapak kandung wanita itu.
Yang paling membuatku sedih, salah satu sahabat dekatku, Mudakir,
juga ikut barisan kedua. Ia menolak Mariana dengan tegas, karena
menurutnya, di sini tak harus dilahirkan penerus anjing-anjing busuk
yang dahulu memang patut ditumpas oleh seorang jenderal.
Namun, tentu saja, aku tetap teguh menyanding Mariana di sisinya. Toh
keluarga besarku hanya sedikit yang tidak setuju. Itu pun mereka tidak
terlalu berani mengungkap ketidaksukaan. Jadi aku sekadar tahu siapa
anggota keluarga besarku yang membenci wanitaku, sementara mereka tidak
dapat berbuat apa-apa.
Kukatakan pada mereka, “Jikapun memang sejarah seorang perempuan
seburuk itu di mata kalian, bukankah dia punya masa depan yang panjang,
yang tentu sangat mungkin lain dari apa yang orang tuanya lalui?”
Sejak itu orang-orang sepenuhnya mendukungku. Mariana pun tampak
bahagia dan tidak sabar untuk segera kunikahi. Maka, setelah sebelumnya
ditampung seorang bibiku yang baik, wanita itu segera pindah ke kamarku,
setelah resmi menjadi istriku. Kami nikmati beberapa malam bersama,
sampai akhirnya suatu malam, wanita yang menjadi belahan jiwaku itu,
hilang entah ke mana.
Tidak ada yang dapat kami pikirkan tentang Mariana, kecuali tentang
watak palsu yang selama ini dia perankan. Nyatanya, uang hasil penjualan
warisan, yang telah kumaksudkan untuk membangun bisnis baru di
pinggiran kota demi menjauhi orang-orang yang tidak suka pada istri
baruku ini, hilang. Mau tak mau orang berpikir wanita itu yang mencuri.
Aku masih tidak percaya sampai kutemukan sebuah surat, tepat sehari
setelah dia pergi. Surat itu diletakkan persis di bawah bantal.
Seandainya aku tidak meraih bantal itu untuk memeluknya karena kepalaku
penuh isi, mungkin pengetahuan tentang dia yang mengkhianati dan
memperalatku sejak awal terlambat kusadari. Mariana dengan terang
mengakui dia rela datang jauh-jauh ke sini, lantas bersedia menikah
denganku, adalah karena harta warisan yang kudapat.
“Tentu cerita tentang anjing yang disembelih antek jenderal itu, semua bull shit!” tutupnya dalam surat bernada sinis dan penuh kepuasan total itu.
Aku hanya berbaring kaku selama dua jam. Setelah itu baru aku dapat menuturkan kebenaran tentang Mariana kepada semua orang.
Saat itu, tentu, Mariana sudah berada jauh di depan. Belasan jam lagi
bus akan melintasi kawasan ini. Karena tak mungkin menunggu terlalu
lama, selagi menanti bus berikutnya lewat, orang-orang menemaniku
berjalan, menjemput Mariana yang tak pernah benar-benar mencintaiku.
Sepanjang perjalanan itu, aku terus saja memikirkan Mariana yang
dengan tega melukai hatiku demi uang. Aku juga tidak henti membayangkan
seandainya semua bus di dunia ini hilang. Tentu, jika keadaan itu
benar-benar terjadi, Mariana akan sukar meninggalkan dusun ini tanpa
segera tertangkap.
Lagipula, jika benar bus-bus hilang, aku pun tidak mungkin pergi dari
sini demi menghindari wanita-wanita kampungan yang mendadak
tergila-gila oleh harta warisan. Apakah semua wanita begitu? Aku tidak
tahu pasti. Yang kutahu pasti saat ini: aku kembali miskin, Mariana
meninggalkanku jauh di depan, dan wanita-wanita dusun berubah pikiran
tentang apakah sebaiknya mereka menjadi istriku atau tidak. Oh, betapa
aku ingin tidur selamanya, sebab keinginan itu jauh lebih masuk akal
ketimbang berharap semua bus di muka bumi ini lenyap! (44)
Gempol, 20 Agustus 2017
– Ken Hanggara lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017).
Fabel Sulistiyo Suparno (Suara Merdeka, 27 Agustus 2017) Lalat Pengantar Tidur ilustrasi Farid S Madjid/Suara MerdekaSuatu pagi seekor rusa mendapat musibah. Ia
terperosok ke lubang yang tertutup dedaunan kering. Tak lama kemudian
muncul pemuda yang tersenyum gembira, karena lubang jebakan yang ia buat
telah mendapatkan mangsa. Pemuda itu membawa rusa pulang ke rumah.
Pemuda itu mengikat leher rusa dengan tali anyaman bambu dan menambatkannya pada pagar halaman.
“Aku akan memanggil teman-teman. Kami akan pesta sate rusa yang lezat,” kata pemuda itu lalu pergi.
Rusa gelisah dan berusaha untuk kabur. Tetapi tali anyaman bambu itu begitu kuat. Leher rusa berdarah karena tergores tali.
“Aku harus cari cara lain,” kata rusa bergumam.
Tak lama kemudian muncul seekor lalat.
“Apa kabar, Rusa? Kamu sedang apa?” tanya Lalat.
“Kabar baik, Lalat. Aku sedang istirahat. Aku mengantuk sekali. Aku mau tidur,” jawab Rusa.
“Mengapa lehermu diikat?” tanya Lalat.
“Oh, tali anyaman bambu ini, maksudmu? Aku suka berjalan sendiri saat
tidur. Karena itulah aku mengikatkan tali ke leherku, agar aku tak
berjalan saat tidur,” kata Rusa.
“Oh, begitu rupanya? Tetapi, ini masih pagi. Mengapa kamu mau tidur?” tanya Lalat.
“Semalam aku tidak bisa tidur,” jawab Rusa.
“Mengapa begitu?” tanya Lalat.
“Kamu tahu, biasanya ada jangkrik yang bernyanyi, sehingga aku bisa tidur. Tetapi, tadi malam tak ada jangkrik,” jawab Rusa.
“Oh, begitu? Jadi, kamu bisa tidur kalau ada yang bernyanyi di dekatmu?” tanya Lalat.
“Benar. Maukah kamu membantuku?” tanya Rusa.
“Apa yang bisa aku lakukan untukmu?” sahut Lalat.
“Aku lihat sayapmu sangat indah. Dari kepakan sayapmu terdengar
nyanyian yang merdu. Apalagi kalau kamu bersama teman-temanmu, tentu
nyanyian kalian akan semakin merdu. Maukah kamu memanggil teman-temanmu
ke sini?” tanya Rusa.
“Untuk apa aku harus memanggil teman-temanku?” sahut Lalat.
“Kalian terbanglah mengelilingi tubuhku. Aku ingin mendengar nyanyian
yang merdu dari kepakan sayap kalian, agar aku bisa tidur nyenyak,”
jawab Rusa.
“Oh, begitu? Baiklah, aku akan memanggil teman-temanku,” kata Lalat lalu pergi.
Tak lama kemudian Lalat kembali bersama teman-temannya.
“Kami datang, Kawan,” kata Lalat.
“Kami terbang di atas tubuhmu. Kami akan menyanyikan lagu yang merdu untukmu, agar kamu bisa tidur nyenyak.”
“Terima kasih, Kawan,” jawab Rusa, lalu merebahkan tubuh dan memejamkan mata.
Tak lama kemudian datanglah si pemuda bersama teman-temannya. Pemuda
itu tekejut melihat rusa tergeletak tak bergerak dan banyak lalat
mengerubungi tubuh rusa.
“Oh, tidak. Rusa ini mati,” kata si pemuda terkejut.
“Kamu terlalu kencang mengikat tali ke leher rusa ini. Lihat, leher
rusa ini berdarah dan banyak lalat merubungnya. Rusa ini telah mati,”
kata seorang teman pemuda.
“Benar, rusa ini telah mati. Kita batal mengadakan pesta sate. Ah, sayang sekali,” sahut temannya yang lain.
“Maafkan aku. Aku telah mengecewakan kalian. Tapi mau bagaimana lagi?
Rusa ini telah mati. Mari bantu aku membuang mayat rusa ini,” kata si
pemuda, lalu bersama teman-temannya membawa rusa itu pergi ke sungai.
Mereka membuang rusa ke sungai, setelah itu mereka pergi.
Tubuh Rusa mengapung di permukaan air sungai. Tiba-tiba rusa
bergerak, lalu berenang ke tepi sungai. Rusa bersyukur dirinya selamat
dengan berpura-pura mati. Tentu ini juga karena bantuan lalat dan
teman-temannya yang terbang mengelilingi tubuh rusa, sehingga siapa pun
yang melihat akan mengira rusa telah mati.
Rusa merasakan perutnya lapar. Rusa melangkah untuk mencari makan.
Kali ini rusa melangkah hati-hati dan waspada agar tidak terperosok ke
lubang jebakan seperti tadi. (58)
Cerpen Gus tf Sakai (Kompas, 27 Agustus 2017) Lima Kisah Mimpi Kanak-kanak ilustrasi K Nawasanga/KompasSatu, tentang Mukjizat
Engkau tidak melihat mukjizat, tetapi mendengar atau membaca kisah
mukjizat. Tetapi, Darwin, dalam mimpi kanak-kanaknya, melihat Darwin
dewasa mengamati dua ekor burung yang berasal dari dua pulau berbeda.
Darwin kecil tahu kedua burung itu tak sama seperti halnya Darwin dewasa
tahu kedua durung itu tidak berbeda.
“Orang yang tak percaya,” gumam Darwin dewasa, “tentulah akan
berkata: Dua Pencipta telah bekerja.” Dan Darwin kecil, dengan perasaan
kesal luar biasa, memberontak keluar dari mimpinya. Tetapi tak bisa.
Tentu saja, karena kau tak menginginkannya. Karena mimpi kanak-kanak
Darwin ada dalam mimpi kanak-kanakmu dan kau tak ingin Darwin terbangun
untuk suatu hari sampai ke Galapagos.
Bersama Darwin kecil, engkau butuh perhitungan itu: berlari ke
kedalaman laut, laut yang terbelah oleh tongkat Musa, Musa yang sama
seperti yang dikisahkan Kitab; melompat ke kobaran api, api yang tak
mampu membakar Ibrahim, Ibrahim yang sama seperti yang dikisahkan Kitab;
menjelma jadi orang buta, orang buta yang disembuhkan Isa, Isa yang
sama seperti yang dikisahkan Kitab.
Tetapi, belum sempat melakukan apa-apa, belum sempat melihat
menyaksikan semua, di luar kuasamu engkau terbangun. Tak ada Darwin
kecil. Tak ada Darwin dewasa. Yang ada hanya dirimu, diri yang tak lagi
sama dengan dirimu yang tertidur satu jam lalu. Dua, tentang Nyamuk
Orang-orang menyebutnya Aleksander, tetapi kau lebih suka menyebutnya
dengan nama yang kau kenal saat ia masuk ke mimpi kanak-kanakmu:
Al-Iskandar. Apa yang tidak luar biasa dari Al-Iskandar?
Saat orangtuanya menikah, ibunya bermimpi rahimnya disambar petir dan
cahaya lalu memancar menyembur-nyembur menerangi alam raya. Beberapa
malam kemudian, ayahnya juga bermimpi bagai menimpali mimpi si ibu.
Dalam mimpi itu, si ayah melihat dirinya menyegel rahim sang istri
dengan segel berukir singa.
Apa yang tidak luar biasa dari Al-Iskandar? Saat dewasa kelak, ia
menyebut dirinya keturunan dewa. Dari pihak ayah ia mengklaim diri
keturunan Herakles dan dari pihak ibu ia mengklaim diri keturunan
Akhilles. Dalam mimpi kanak-kanak itu, kau melihat bagaimana Al-Iskandar
beranjak: belajar bertarung seraya bermain lira, belajar berburu seraya
membaca.
Kau lihat juga, ia menundukkan Si Kepala Lembu, kuda yang tak siapa
pun bisa menunggangi, pada usia 10 tahun. Pada usia 13, karena tak siapa
pun bisa menghadang deras tanya di kepalanya, si ayah mendatangkan
seorang filsuf sebagai guru. Filsuf, yang kau kenal sebagai penemu 10
jenis kata, itu dibayar ayahnya dengan membangun kembali kampung si
filsuf yang pernah dihancurkan oleh si ayah.
Dari si filsuf, Al-Iskandar menemukan apa yang ia suka: sebuah buku
karya seorang penyair buta. Dari si buku, ia tahu apa yang paling ia
nikmati: geletar perang yang merayap, menjalar, merambat naik dari
telapak kaki ke ubun-ubun. Apa yang tidak luar biasa dari Al-Iskandar?
Dalam mimpi kanak-kanakmu, kau melihat peristiwa itu, saat pertama,
pada usia 16, si ayah berangkat perang dan Al-Iskandar menjaga takhta.
Pemberontak dari Trakia dan Al-Iskandar menumpasnya. Dan mulailah,
dengan mengantongi buku si penyair buta, orang yang kemudian menyebut
dirinya keturunan dewa itu merambah, menghamun, menakluk menundukkan
dunia.
Apa yang tidak luar biasa dari Al-Iskandar? Ia mendaulat dirinya
“Raja Babilonia, Asia, dan Empat Sudut Dunia”. Pada usia 32, di
Babilonia juga, ketika kau kemudian terbangun dari mimpi kanak-kanakmu,
kaudapati keturunan dewa itu mati, digigit nyamuk. Tiga, tentang Ladang Buncis
Suatu pagi, ketika kau menyeduh secangkir kopi duduk di beranda
melayangkan pandang ke seberang jalan, kau melihat pohon jambu yang
sebelumnya tak pernah ada, tak pernah tumbuh di antara dua pohon kelapa
itu.
Berkeras kau membuka, membolak-balik lembar ingatan, tetapi
satu-satunya pohon jambu yang kau temu hanyalah pohon jambu di mimpi
kanak-kanak itu: kau memanjatnya, sampai ke ujung dahan, terpeleset
jatuh, tubuhmu melayang, tetapi tak pernah mencapai tanah.
Dalam melayang yang lama, dalam melayang yang jauh, kau malah
tertidur dan bagai bermimpi lalu terbangun dalam sesosok tubuh renta
pada sebuah “ruang” 15 miliar tahun lalu. Kau segera berpikir itu
mustahil. Bukan karena kau menjelma jadi seorang yang tua, seorang yang
renta, melainkan karena kau tahu 15 miliar itu adalah nonsens: belum ada
semesta belum ada jagat raya belum ada Big Bang si Dentuman Besar.
Tetapi, di “ruang” itulah, dalam mimpi itulah, kau bertemu ia: orang
yang mendirikan sekte di Krotona, orang yang menjadikan matematika
sebagai agama. Katanya, “Waktu bukan angka. Dan ruang tak selalu
bidang.” Lalu, di selembar kertas, ia coretkan garis-garis,
lengkung-lengkung, dengan angka di ujung-ujung, yang satu sama lain tak
terhubung.
Lembaran itu ia gulung sedemikian rupa sehingga garis-garis dan
lengkung-lengkung menjelma jadi sebuah bidang dengan angka-angka yang
jauh melampaui angka semula. Katanya, “Gulungan inilah yang kuperagakan
ke Zarathustra, yang membuat kami berselisih ihwal Sang Terang.”
Kau ingat, pertemuan dengan nabi dari Persia itulah yang membuat
orang ini melahirkan Nisbah Emas, yang menyatakan kebenaran ada pada
angka dan, seperti halnya kebenaran, jiwa tak pernah mati—melainkan
selalu berpindah dari satu tubuh ke lain tubuh.
Kau juga ingat bagaimana orang dalam mimpi kanak-kanakmu ini, orang
yang menjadikan matematika sebagai agama itu, karena tak ingin kelak
jiwanya pindah ke tubuh kambing atau sapi, senantiasa sangat menjaga
makanan.
Kau juga ingat bagaimana ia berpantang, tak mau makan buncis karena
percaya dalam biji buncis bersemayam janin makhluk hidup. Kepercayaan
yang serta-merta dianut oleh para pengikut sekte dan, sampai dewasa
kelak, sampai kau duduk di beranda menyeduh secangkir kopi itu, tak
pernah bisa engkau pahami.
Begitulah sampai suatu hari, suatu pagi, di beranda itu juga ketika
kau menyeduh kopi juga saat tubuhmu telah renta, kau seperti mendengar
ledakan besar, sangat besar—bagai dentum semesta.
Sesudahnya, setelah semua hening, setelah semua sunyi, di seberang
jalan itu, dari titik di mana sebelumnya tegak pohon jambu sampai jauh
ke titik yang nyaris tak terjangkau pandang, kau lihat: hanya ladang
buncis, ladang buncis semata, dengan sosok-sosok kecil bersayap seperti
berebut beterbangan naik dari rerumbul ladang.
Pada satu titik, sosok-sosok itu menyatu, menggumpal, perlahan lalu berpendar, bersinar, menjelma: bulatan cahaya di angkasa. Empat, tentang Sulung
Apa yang sering menjadi ciri mimpi kanak-kanakmu saat kau memikirkan
dan merasa aneh bertahun-tahun kemudian, adalah tempat-tempat yang jauh
dan tak terjangkau oleh perjalanan.
Orang-orang yang kau temu juga bukan orang-orang yang kau kenal di
masa kini, melainkan orang-orang dari masa lalu yang bahkan nama mereka
pun adalah nama-nama kecil yang tak pernah kau dengar atau ketika itu
belum kau tahu.
Begitu pulalah, di bukit asing itu, kau bertemu Zong Ni, yang dalam
bahasa setempat berarti putra kedua dari Bukit Ni. Sebuah pertemuan
singkat. Dalam mimpi yang juga singkat.
Kau diberi dua kata, atau tepatnya sepasang kata yang, karena mimpi
itu begitu singkatnya, kau hanya bisa membaca: jen-li, tanpa sempat
bertanya apa artinya. Dan sayangnya pula, begitu kau terbangun, kau
tidak terbangun ke dunia nyata, melainkan ke dalam mimpi kanak-kanak
lain.
Dan memang, demikian pulalah yang sering terjadi. Mimpi kanak-kanakmu
adalah mimpi dalam mimpi. Bahkan pernah mimpi dalam mimpi dalam mimpi.
Kata jen dan li itu pun lalu hilang. Sampai lama. Sampai bisa dipastikan
kau telah lupa andai saja kata-kata itu, suatu hari, tak kembali muncul
dalam mimpi kanak-kanakmu yang lain.
Tetapi, itu sungguh mimpi yang aneh. Engkau menyebutnya “mimpi salah
tempat”. Tempat asing juga. Tempat jauh juga. Tetapi, itu adalah tempat
dewa-dewi. Tempat yang setiap kelahiran diiringi angsa-angsa bernyanyi
atau, bila tidak, ditandai dengan kilatan petir yang menyambar dari
angkasa ke bumi.
Dan sepasang kata itu, jen-li itu, meluncur keluar dari mulut Isis,
dewi “Ibu atas Segala Sesuatu”, “Dewi Penyembuh” untuk hidup yang kekal;
ibu semua unsur, yang sulung dari segala dunia. Lima, tentang Sang Laknat
Di antara semua mimpi kanak-kanakmu, mimpi kanak-kanak inilah yang
paling membuatmu heran: bagaimana bisa orang yang terlahir dalam jarak
waktu sekitar seribu tahun, dan tak kenal satu sama lain, bertemu dalam
mimpimu tepat ketika mereka memikirkan hal yang sama? Bagaimana bisa dua
orang dengan latar berbeda, dan mengenal dunia dengan jalan hidup yang
bertolak belakang, mengurangi dan menambahi pendapat yang seorang untuk
menambah dan mengurangi pendapat seorang lain?
Dan itulah mimpi kanak-kanakmu paling nyata, paling jelas, yang bahkan bisa kau ingat sampai ke percakapan mereka paling rinci.
Tentang kereta perang yang ditarik oleh dua ekor kuda hitam dan
putih, misalnya, begini kata yang seorang, “Berbeda dari si kuda putih
yang bisa kau perintah hanya dengan kata-kata, Umar, si kuda hitam,
harus selalu kau cambuk.” Orang yang dipanggil Umar, tanpa perlu
bertanya tentang apa yang beda, enteng menimpal, “Bertahun-tahun kereta
itu kubawa, bukan hanya ke Yarmuk atau Qadisya, kuda yang satu tak bisa
dikendalikan tanpa kuda lainnya.”
Tentang demokrasi yang harus diganti dengan aristokrasi sejumlah
orang kelas wali, misalnya, si seseorang tadi berkata, “Kau lihat
guruku, Umar. Ia mati oleh sang laknat, Suara Terbanyak, yang bisa
dibeli dan dikuasai oleh sang khianat, para penjahat.”
Umar, orang yang di luar mimpi kanak-kanakmu kau kenal dengan nama
Al-Faruq, ringan berujar, “Saat kelak kematian datang, aku menunjuk Para
Sahabat, yang memilih seorang di antara mereka sebagai khalifah.”
Tentang dunia indrawi, dunia yang hanyalah bayangan dibanding dunia
ide yang abadi, si seseorang itu (kau tahu kini, ia pembenci demokrasi)
berkata, “Kesederhanaan adalah ciri keindahan. Karya seni yang hanya
menyalin meniru dari alam, ialah sang laknat juga, tak lebih cuma
tipuan.”
Umar, sang Al-Faruq, nama yang berarti orang yang bisa membedakan
antara kebenaran dan kebatilan, pelan mengangguk, “Ya, bayangan.” Dan
sang Al-Faruq itu, dengan pelan juga, menggumamkan sejumlah tanya. Tanya
yang, seluruhnya, sangat kau ingat, berkaitan dengan bayangan.
Tanya yang, tentu saja, tak dimaksudkan untuk mendapat jawaban. Salah
satu tanya itu, misalnya, “Pernahkah kau melihat rakyatku, karena
miskinnya, karena sangat laparnya, mereka lalu merebus batu?”
Gus tf Sakai lahir di Payakumbuh, Sumatera
Barat, 13 Agustus 1965. Menulis cerita pendek sejak tahun 1979 dan
sampai sekarang telah menerbitkan lima kumpulan cerpen: Istana Ketirisan (1996), Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999), Laba-laba (2003), Perantau (2007), dan Kaki yang Terhormat (2012).
Cerpen Kiki Sulistyo (Koran Tempo, 26-27 Agustus 2017) Dua Wanita dalam Lukisan Tua ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
UNTUK seseorang yang sudah memasuki usia sepuh, Nyonya Tineke
tergolong masih kuat. Ia memang sudah tak sanggup berjalan jauh dengan
tubuhnya yang ringkih itu. Langkah kakinya pasti lambat bagai siput
purba. Tapi dari keseluruhan dirinya masih terpancar tenaga kehidupan.
Ingatannya masih sangat baik dan caranya berbicara menunjukkan
ketegasan. Meskipun kecil, suaranya terdengar jelas seperti kicau burung
di tengah kesunyian malam. Ketika Sirin menemuinya, wanita tua itu
mengenakan kebaya dan kain batik. Perpaduan busana tersebut terlihat
ganjil di tubuh wanita tua dengan kulit kemerahan dan rambut pirang
sebagaimana orang Eropa pada umumnya.
Sirin menemui Nyonya Tineke atas permintaan ayahnya. Di ranjang
kematiannya, ayah Sirin meminta Sirin mengabarkan kematiannya kepada
Nyonya Tineke. Itu saja. Tak ada wasiat pemakaman, tak ada pula
permintaan maaf. Tapi dari mata ayahnya yang sekarat itu Sirin seperti
melihat sebuah kotak rahasia yang kuncinya dipegang oleh Nyonya Tineke.
Sirin tidak cocok dengan ayahnya. Meskipun ia anak bungsu, tidak ada
keistimewaan untuknya sebagaimana yang konon dialami setiap anak bungsu.
Bagi Sirin, ayahnya terlalu banyak mengumbar alasan untuk keadaan hidup
mereka. Ibu Sirin meninggal dunia lantaran tak mendapat pertolongan
yang tepat ketika melahirkan Sirin. Cerita itu didengar Sirin dari
orang-orang. Setelah lulus SMA, Sirin memutuskan pergi dari rumah.
Dengan bekal tabungan hasil mengerjakan ini-itu, ia menuju pulau
seberang. Di pulau yang terkenal dengan keajaiban alamnya itu, Sirin
merintis kariernya sebagai pelukis. Di samping itu, seperti sudah
menjadi kebiasaannya untuk mengerjakan apa saja tanpa pilih-pilih, ia
menjadi guide lepas, penjual aksesori, dan bahkan tukang cat. Tapi
pelan-pelan ia mulai bisa hidup dengan hasil lukisannya. Namanya memang
tidak pernah dibicarakan dalam diskusi maupun tulisan seni rupa di
majalah-majalah. Tapi setidaknya ada saja yang meminati lukisannya.
“Jadi ayahmu sudah meninggal?” tanya Nyonya Tineke. “Benar, Nyonya.
Seminggu yang lalu.” Sirin teringat, sehari sebelum ia menemui ayahnya,
suatu perasaan ganjil menerpanya. Dari jendela kamar yang ia sewa
bersama kawan-kawannya Sirin melihat permukaan laut berwarna putih.
Ombak yang bergulung pelan membuat laut terlihat seperti kain yang
ditiup angin. Sirin mengira dirinya sedang bermimpi. Sensasinya memang
seperti itu. Tapi apa yang dilihatnya adalah kenyataan, meski hanya
sesaat. Sebab, setelah seorang kawan memanggilnya dan ia memalingkan
pandangan dari laut, hamparan air itu sudah kembali seperti biasa. Pada
saat itu juga ia teringat akan ayahnya, dan tanpa pikir panjang, Sirin
segera berkemas pulang. Sudah lama memang ia mendapat kabar bahwa
ayahnya jatuh sakit, tapi ia selalu enggan pulang.
Seorang bujang keluar menyuguhkan teh untuk Sirin dan segelas air
putih untuk Nyonya Tineke. “Anak yang malang,” kata Nyonya Tineke.
Matanya menerawang sesaat, lalu ekor mata itu mengikuti gerak bujang
yang kembali masuk rumah. Bujang itu punya bentuk tubuh yang ganjil.
Kepalanya terlalu kecil untuk tubuhnya yang besar. Wajahnya seperti
adonan kue yang gagal. Rambutnya nyaris seperti tumpahan cat di
kepalanya yang kecil itu. Ia senyum-senyum kepada Sirin seperti anak
kecil yang malu-malu. Sirin tidak tahu apakah “anak yang malang” itu
adalah dirinya atau bujang tadi.
“Suamiku mencampakkan ibunya ketika ia tahu aku mengetahui hubungan
gelap mereka. Apakah ayahmu pernah bercerita tentang ibunya? Ehem,
maksudku, nenekmu?” tanya Nyonya Tineke lagi. Sekarang Sirin paham,
“anak yang malang” itu adalah ayahnya. “Tidak, Nyonya. Ayah tidak pernah
bercerita. Saya tidak dekat dengannya,” jawab Sirin.
“Sofia tinggal bersama suamiku di rumah ini sampai menjelang
kedatanganku. Sebagai istri sah, tentu aku marah saat mengetahui
hubungan mereka. Apalagi Sofia sampai mengandung benihnya. Setibaku di
sini, rupanya suamiku sudah mencampakkan Sofia. Tapi karena aku
penasaran seperti apa perempuan yang telah memikat suamiku, diam-diam
aku mencari Sofia.” Nyonya Tineke terbatuk di titik itu, tangannya yang
keriput meraih gelas dan meneguk air putih sedikit. Gerakannya tenang
dan terukur, bahkan dosis air yang diminumnya seakan telah
diperhitungkan benar. “Oh, rupanya nenekku bernama Sofia, mungkin nama
aslinya Sopiah,” batin Sirin.
“Aku menemui Sofia di sebuah rumah kecil di kampung pandai besi, ia
tinggal bersama seorang perempuan yang aku tidak tahu namanya. Aku tidak
mengerti kenapa, saat melihatnya, semua kemarahanku langsung luntur.”
Ketika mengatakan itu, tangan Nyonya Tineke disapukan ke sekujur
tubuhnya seakan-akan tangan itu adalah aliran air yang membersihkan
sebuah benda. “Ada keteduhan pada paras Sofia. Caranya menatapku begitu
tenang dan dalam. Matanya menyimpan pancaran yang lembut. Aku merasakan
kasih sayang yang murni di dalamnya.” Nyonya Tineke terdiam sejenak,
seolah menimbang bagian mana dari ingatannya yang mesti diceritakan.
“Sofia tidak tampak ketakutan menemuiku,” dia melanjutkan. “Ia
sepenuhnya sadar apa yang telah dilakukannya dan siap menghadapi apa
saja karenanya. Ia perempuan istimewa.” Sirin merasakan nada kagum pada
kata-kata Nyonya Tineke. “Setelah pertemuan pertama itu, aku selalu
berhasrat untuk menemuinya lagi. Sofia adalah kawan berbincang yang
hangat. Tutur katanya selalu menyenangkan. Untuk memudahkan pertemuan
dengannya, aku putuskan untuk mengajak dia kembali ke rumah ini. Tinggal
bersamaku dan suamiku. Rasanya memang aneh, tapi simpatiku padanya
membuat aku berpikir itu tindakan yang wajar. Lagi pula, aku dan suamiku
tak punya anak. Jadi kami bisa ikut merawat anaknya, toh, ehm, anak itu
juga adalah anak suamiku.” Nyonya Tineke memijit-mijit lututnya,
sementara Sirin membayangkan neneknya tinggal di rumah ini.
Sepertinya rumah ini tidak mengalami perubahan berarti sejak dibangun
pada masa kolonial. Jangankan bentuknya, udara yang mengitari rumah ini
juga terasa tua. Ketika memasukinya, Sirin merasa melewati pintu waktu
dan berhenti di abad ke-19. Pada masa itu, para pengelola perkebunan
datang dari Belanda. Sebagian besar dari mereka mengambil gadis-gadis
pribumi sebagai pengurus rumah sekaligus teman hidup selama bertugas di
sini. Biasanya gadis-gadis itu akan dicampakkan apabila istri-istri sah
para pengelola kebun datang. Bahkan apabila mereka telah melahirkan anak
dari para pengelola kebun itu.
Waktu Sirin masih kecil, keluarganya tinggal tak jauh dari sini.
Karena itu, ketika tadi menyusuri jalan menuju rumah Nyonya Tineke,
Sirin merasakan suasana nostalgia yang sendu. Di ujung jalan itu
terhampar pantai di mana dulu berdiri pelabuhan. Di sepanjang sisi jalan
banyak rumah dan gudang-gudang tua yang sudah tak dipakai. Ketika
pelabuhan tersebut masih beroperasi, jalan ini selalu ramai. Banyak
penginapan, toko, gudang, juga tempat hiburan. Pelabuhan ditutup
beberapa tahun sebelum Sirin lahir. Setelah itu, kawasan tersebut
berangsur-angsur ditinggalkan. Oleh perasaan nostalgis itu, satu per
satu serpihan ingatan muncul dalam kepala Sirin, seperti benda-benda
elektronik yang kembali mendapat aliran listrik. Sirin merasa dirinya
menyusut menjadi bocah perempuan 7 tahun yang berpenampilan tomboi dan
lebih suka bermain dengan teman laki-lakinya. Karena itu, ketika melihat
Nyonya Tineke duduk di beranda rumahnya, Sirin tidak merasa sungkan.
Dulu ia sering melihat wanita tua itu berjalan-jalan di sekitar pantai.
Kadang-kadang wanita tua itu menyapanya sembari memberi gula-gula.
“Tapi Sofia menolak tawaranku, dan keputusan itu dipertahankan
kuat-kuat.” Nyonya Tineke melanjutkan ceritanya. “Awalnya aku sedikit
kecewa. Lama-lama aku tahu bahwa keputusan itu lebih bijaksana daripada
yang bisa kupikirkan. Rumah tanggaku sebenarnya sudah terasa dingin dan
hampa pada saat itu. Sementara Sofia sejak mula telah mengalirkan
kehangatan kasih sayangnya padaku. Ia bisa menerimaku. Terus terang,
hanya di depannya aku merasa benar-benar bebas. Rasa sayangku padanya
kian besar, karenanya aku terus mengunjunginya.”
Sirin memang tidak pernah mendengar cerita tentang nenek atau
kakeknya, tapi cerita yang disampaikan Nyonya Tineke sejauh ini sama
sekali tidak istimewa. Tidak ada kunci rahasia seperti yang
dibayangkannya. Pendek kata, Nyonya Tineke dan neneknya menjalin
persahabatan yang erat. Mungkin seperti Kartini dan Stella. “Tapi tentu
saja nenekku bukan pejuang emansipasi,” pikir Sirin. Setelah ayah Sirin
lahir, Tineke dan Sofia terus menjalin hubungan. Bagi Sirin, wajar saja
dua orang perempuan menjalin persahabatan meskipun berbeda bangsa dan
kelas sosial. Tapi Sirin berpikir juga, memang ada terasa konflik dalam
persahabatan itu. Bagaimanapun juga, keduanya pernah tidur dengan lelaki
yang sama. Seandainya peristiwa itu terjadi sekarang, mungkin takkan
mengurangi bobot konflik itu.
“Sampai Sofia meninggal, tak lama setelah ayahmu lahir,” ucap Nyonya
Tineke, seolah memotong pikiran Sirin. Nyonya Tineke kembali meraih air
dalam gelas dan mereguknya sedikit. Sirin, seakan baru ingat, turut
menyeruput tehnya. Rasa teh itu pun menyusupkan suasana nostalgia.
Sepertinya teh itu merek lama yang masih diproduksi, tapi tak begitu
laku. Tiba-tiba seperti teringat akan sesuatu, Nyonya Tineke
menghentikan tegukannya, “Oh iya, Sofia itu punya bakat melukis.” Paras
Nyonya Tineke terlihat cerah ketika mengucapkan kalimat itu. “Benarkah,
Nyonya?” kata Sirin, seperti baru mendapat jawaban atas pertanyaan yang
lama disimpan. Meskipun tak terlalu peduli, kadang-kadang Sirin
bertanya-tanya, dari mana dirinya mendapat bakat melukis. “Iya, di
hari-hari terakhirnya ia bahkan melukis sosok kami berdua,” kata Nyonya
Tineke. “Apa nenekku meninggal karena sakit?” tanya Sirin. Nyonya Tineke
tak segera menjawab. Dari bibirnya yang keriput seperti keluar bunyi
denging. “Dia terserang penyakit secara tiba-tiba. Tapi aku menduga
seseorang telah meracunnya, dan aku curiga suamiku ada di balik
semuanya. Mungkin suamiku tahu hubungan kami. Namun persoalan itu tidak
pernah aku tanyakan padanya. Aku benar-benar kehilangan Sofia. Rasanya
seperti kehilangan kebebasan. Ayahmu diambil oleh keluarga jauh nenekmu,
lalu dibawa ke Kalimantan. Setelah dewasa, ayahmu kembali ke kota ini,
menikah, dan tinggal di dekat sini.” Cerita selanjutnya bisa direka-reka
Sirin. Ibunya meninggal ketika melahirkannya, beberapa tahun kemudian
keluarga mereka pindah ke timur pulau.
Sirin mencoba menggali hal-hal lain dari cerita Nyonya Tineke, tapi
ia tak bisa menemukannya. Sepertinya cerita memang sampai di situ saja.
“Terima kasih sudah memberi kabar tentang ayahmu,” ucap Nyonya
Tineke. “Aku tak punya apa-apa untuk membantu kalian, mohon maafkan.”
Kalimat itu terdengar lirih dan sedih. Sirin segera menimpali, “Ah,
Nyonya. Jangan berkata seperti itu. Saya cuma datang untuk menyampaikan
pesan terakhir ayah saya. Kalaupun Nyonya memberi bantuan, saya akan
menolaknya.” Nyonya Tineke tersenyum kecil mendengar kata-kata Sirin.
Mungkin ia teringat akan penolakan Sofia di masa lalu. “Tapi ada yang
mau saya berikan,” ucap Nyonya Tineke. “Mungkin tak terlalu berharga
buatmu, tapi buatku, itu senilai separuh hidupku.” Lalu Nyonya Tineke
bangkit dari kursi dan masuk ke rumah. Di pintu ia sedikit terkejut
karena si bujang berdiri di balik pintu itu. Nyonya Tineke menggerutu
dalam bahasa asing, lalu terus masuk. Bujang itu tampak malu, tapi masih
sempat melirik Sirin.
Ketika kembali ke beranda, di tangan Nyonya Tineke tampak gulungan
kanvas kira-kira berukuran seperempat meter. Nyonya Tineke memberi
gulungan itu kepada Sirin. “Ini lukisan Sofia,” katanya. Seperti
memegang benda purba yang rapuh namun berharga, dengan hati-hati Sirin
membuka gulungan itu. Di atas kanvas terdapat lukisan tua yang hampir
pudar warnanya. Lukisan itu sepertinya belum jadi. Figur dua orang
wanita berpelukan erat. Pelukan yang biasa-biasa saja, tapi terasa
sesuatu yang erotis memancar dari sana.
“Aku mencintai Sofia…,” ucap Nyonya Tineke. Suaranya seperti meresap
ke serat-serat kanvas, seolah Nyonya Tineke sedang memberikan seluruh
tenaga kehidupan yang tersisa dari dirinya ke dalam lukisan itu.
Bakarti, 2017
Kiki Sulistyo menulis puisi dan cerpen. Kumpulan puisinya yang terbaru berjudul Di Ampenan, Apalagi yang Kaucari? (2017). Ia mengelola Komunitas Akarpohon di Mataram, Nusa Tenggara Barat.