Daftar Blog Saya

Minggu, 30 Juli 2017

Laci Kesedihan

Cerpen Mashdar Zainal (Koran Tempo, 29-30 Juli 2017)

Laci Kesedihan ilustrasi Imam Yunni - Koran Tempo
Laci Kesedihan ilustrasi Imam Yunni/Koran Tempo
Mira teringat kata-kata ibunya, suatu saat jika kesedihan mendatangimu, pejamkan matamu lekat-lekat. Lalu ambilah kesedihan itu dari dadamu dan letakkanlah ke dalam laci yang tak kau pakai di rumahmu. Bisa laci di bawah meja, atau laci dalam lemari, atau laci apa saja yang jarang kau sentuh. Biarkan kesedihan itu bersemayam di sana. Jangan kau ganggu gugat. Sampai kesedihan itu lenyap dimakan waktu.
“Bagaimana cara meletakkannya, Bu? Apakah seperti meletakkan pakaian usang yang tak dipakai lagi?” tanya Mira waktu itu.
“Ya, kesedihan memang pakaian yang tak perlu kau pakai berlama-lama. Maka, singkirkan saja ia. Pejamkan saja matamu. Lalu masukkanlah kedua tanganmu ke dalam laci yang terbuka itu. Rasakan saja, setiap kesedihan itu mengalir dari dadamu, melalui tanganmu, dan mengucur ke dalam laci itu. Jika kau harus menangis, menangislah. Ketika kemudian kau rasakan hatimu sedikit ringan, berarti kesedihan itu telah berpindah dari tanganmu ke dalam laci itu.”
Dulu, ibu Mira sering sekali bersedih hingga di rumah banyak sekali laci kosong tak terpakai. Pasti ibu sengaja menggunakan laci-laci itu untuk menyimpan kesedihannya. Jadi laci-laci itu tak benar-benar kosong. Ada kesedihan ibu di dalamnya.
Mira punya seorang ayah, hanya saja, ibu tak pernah memberi tahu ayah soal laci-laci kesedihan itu. Ayah juga jarang sekali menyentuh laci-laci itu. Ayah tak punya banyak alasan untuk menyentuh lemari-lemari, meja-meja, atau bahkan laci. Setiap ayah butuh pakaian atau sesuatu, selalu ibu yang menyiapkannya sehingga ayah tak perlu repot-repot membuka lemari di mana laci kesedihan ibu meringkuk di dalamnya.
Ayah datang ke rumah setiap dua hari, dua hari berikutnya ia tak pulang, dan lalu pulang setelah dua hari ia tak pulang.
Ibu bilang, “Ayah harus bekerja dan mengurus orang lain seperti mengurus kita setiap dua hari.”
Mira juga merasa heran, menurut Mira, bukan ayah yang mengurus Mira dan ibunya, tapi ibu yang mengurus ayah dan Mira. Tapi sudahlah, Mira tak mau memikirkan itu panjang-panjang. Ia takut bingung, meski sebenarnya Mira sudah bingung. Karena ayah-ayah teman Mira tak perlu tak pulang untuk mengurus orang lain selama dua hari.
Setiap dua hari tanpa ayah itulah, Mira sering melihat ibunya termenung di kursi dapur atau meja makan. Atau kadang di bibir ranjang. Sebelum akhirnya mendatangi laci-laci yang tak terpakai untuk menuntaskan tangis di hadapannya. Mengalihkan kesedihan dari tangannya. Agar berpindah ke dalam laci-laci malang itu.
Setelah bertahun-tahun terlewat, dan usia Mira beranjak matang, Mira lekas memahami bahwa ayah memiliki dua perempuan dan dua anak dari dua perempuan. Perempuan pertama adalah ibu Mira yang melahirkan Mira, dan perempuan kedua adalah perempuan lain yang juga melahirkan anak lain yang bukan Mira. Barangkali ayah seperti seekor serangga, kupu-kupu, atau mungkin capung, atau mungkin kumbang, yang harus memiliki sayap sama di kiri-kanan. Sayap pertama dan kedua. Sayap yang harus sama-sama diurus secara adil. Ya, barangkali memang begitu seorang laki-laki. Ia takkan bisa terbang hanya dengan sebilah sayap. Ayah takkan bisa terbang jika hidup hanya dengan ibu Mira. Tapi Mira tetap saja bingung. Bahkan, sampai ibu akhirnya meninggal karena serangan jantung—menurut Mira, ibu meninggal karena kesedihan yang turut bersarang di jantung, bukan serangan jantung, Mira tetap saja bingung memahami ayah.
Setelah ibu meninggal, Mira tinggal serumah dengan ayah dan perempuan itu, perempuan ayah yang selain ibu. Tentu saja perempuan itu berbeda dengan ibu. Meski perempuan itu tak pernah memarahi Mira, Mira tahu perempuan itu dan anak perempuannya tak pernah menyukai Mira. Sebagaimana Mira tak pernah menyukai mereka. Memangnya siapa yang bisa menyukai anak dari perempuan lain yang merebut ayah dari ibu? Memangnya siapa yang bisa menyatukan dua sayap yang ada di kiri dan kanan?
Setiap kali waktu makan tiba, ayah benar-benar seperti kepala seekor serangga. Meja makan itu berbentuk persegi panjang. Ayah duduk di salah satu ujung, menjadi titik pusat, sedangkan Mira di sebelah kanan ayah, dan perempuan itu serta anaknya duduk di sebelah kiri ayah. Seandainya ibu Mira masih hidup dan duduk persis di sebelah kanan ayah, sejajar berhadap-hadapan dengan perempuan itu, barangkali ayah langsung bisa terbang karena sayap-sayapnya telah lengkap. Membayangkan itu, Mira teringat ibunya hingga kesedihan itu mendatanginya seperti angin dingin yang tiba-tiba mengusap kulit, lalu meresap ke pori dan membekukan sesuatu yang ada di dalam, membuat sesuatu itu sesak sampai air mata pecah dan meleleh di pipi Mira.
Pada saat-saat seperti itu, Mira lebih banyak menundukkan kepala, sebelum menyendiri di kamarnya dan berdiri di depan laci yang terbuka lebar di bawah meja belajarnya. Ayah sering datang ke kamar Mira untuk mengusap pundak Mira dan bertanya ada apa? Tapi Mira lebih suka bungkam. Oh, betapa lelaki ini tak pernah bisa memahami sayapnya sendiri, sayapnya sebelah yang tinggal satu, pikir Mira dengan mulut terkatup rapat. Sepertinya Mira juga tak bisa menyukai ayahnya seperti anak-anak lain menyukai ayahnya. Entah mengapa. Terkadang Mira berpikir bahwa ibunya meninggal lantaran ayahnya sendiri.
Ayah menduakan ibu dan ayah menduakan Mira. Itu yang terjadi. Mira tak bisa menahan rasa sesak di dadanya setiap kali melihat ayah memeluk perempuan itu, bersenda-gurau dengan anak itu. Ayah sering mengajak perempuan itu dan anaknya keluar untuk jalan-jalan dan bersenang-senang tanpa Mira. Ayah memang selalu menawari Mira untuk ikut, tapi tatapan kedua perempuan itu selalu mengatakan begini, “Menyingkirlah! Kehadiranmu hanya akan merusak kebahagiaan kami. Merusak kebahagiaan kami.” Dan ayah juga tak pernah memohon Mira dengan sungguh-sungguh, agar Mira benar-benar ikut. Semua hanya basa-basi. Seolah ayah juga senang kalau Mira tidak ikut. Kalau ayah mau tahu, hati Mira sakit sekali. Hancur. Barangkali seperti itulah hati ibu dulu, ketika dua hari ayah rutin menghilang.
Mungkin ayah tampak berusaha berbuat adil, tapi sungguh, di dunia ini tak benar-benar ada perempuan yang sudi diduakan. Sehingga adil itu nyaris tak pernah ada. Bahkan seandainya ibu Mira seorang malaikat, ia akan tetap merasa sedih ketika lelakinya menemui perempuan lain untuk berusaha berbuat adil. Mira tahu, selama hidup bersama ayah, ibu hanya menyembunyikan kesedihan itu dari ayah dan meletakkannya di dalam laci. Hingga ayah tak pernah sadar bahwa ibu mati karena kesedihan itu. Kesedihan yang terlalu banyak hingga laci-laci di dunia ini sekalipun tak akan cukup untuk menyimpan kesedihan itu. Ya, sebab itu ibu mati. Dan yang ayah tahu soal ibu hanya, bahwa ibu adalah seorang perempuan yang baik lagi penurut, tegar dan tak banyak menuntut. Dan Mira, ia benar-benar tak mau mati seperti ibu.
Tinggal serumah dengan ayah dan perempuan itu dan anaknya, bagi Mira sama artinya dengan meramu bunga-bunga kesedihan. Laci di lemari Mira rasanya sudah tak cukup untuk menyimpan kesedihan itu. Laci di bawah meja belajar Mira juga sudah penuh oleh luapan kesedihan. Bahkan kamar Mira terasa sesak oleh kesedihan yang meluber dari waktu ke waktu. Sudah tak cukup lagi.
Malam itu, ketika ayah dan perempuan itu dan anaknya pergi bersenang-senang, Mira memilih untuk memulai hal baru. Ia ingin bangkit. Ia ingin terbang bebas seperti serangga. Ia ingin pergi dan terlepas dari setiap kesedihan yang membelenggunya. Kesedihan itu harus dilenyapkan. Laci-laci itu harus disingkirkan dan diisi dengan sesuatu yang lain. Dan Mira sudah mengisinya.
Sepaket kosmetik lengkap dan sebuah cermin mungil telah mengisi kemurungan laci itu. Beberapa helai baju dan majalah-majalah perempuan juga telah mengisi laci-laci lain. Dan Mira telah siap. Malam itu, Mira memoles wajahnya. Gurit cantik yang tersembunyi itu semakin nyata. Lipstik merah muda itu telah membuat bibir Mira tampak penuh. Dan bayangan mata yang ia oleskan di sekitar mata itu membuat mata Mira tampak tajam seperti dua cahaya yang takkan pernah padam.
Malam itu, Mira ingin menjadi serangga betina yang terbang bebas dengan ribuan sayap di sisinya. Ribuan sayap yang terbuat dari helai-helai kesedihan yang diperam begitu lama dalam laci-laci di kamarnya.

Malang, 2016
Mashdar Zainal, lahir di Madiun, 5 Juni 1984, suka membaca dan menulis puisi serta prosa, kini bermukim di Malang.

Arsitektur Kesunyian

Cerpen Sungging Raga (Tribun Jabar, 29 Januari 2017)

Arsitektur Kesunyian ilustrasi Yudixtag - Tribun Jabar
Arsitektur Kesunyian ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar

JIKA Anda berkunjung ke Stasiun Karawang di Jawa Barat dan Stasiun Rambipuji di Jawa Timur, Anda akan mendapati bangunan keduanya sangat mirip. Dan tidak ada stasiun lain yang mirip dengan dua stasiun tersebut. Seakan-akan bangunan kembar yang dipisahkan sejauh hampir seribu kilometer. Latar belakang kemiripan itulah, yang telah ada sejak seratus tahun lalu, yang akan menjadi inti dari cerita berikut ini.
Alkisah, ketika tentara kolonial Belanda masih menjajah Indonesia, ada seorang gadis bernama Nalea van Mendieejt. Ia adalah anak seorang jenderal Belanda yang ditugaskan membangun jalur kereta sepanjang Jatinegara-Cikampek. Saat itu, selain membangun transportasi jalan raya berupa Jalan Raya Pos yang dipimpin Daendels, tentara kolonial juga membangun jalur kereta.
Dalam proyek tersebut, Stasiun Karawang adalah pos besar. Selain digunakan untuk mengangkut hasil bumi, stasiun tersebut juga dipakai untuk mobilisasi pasukan sehingga bangunannya pun harus lebih megah dibanding stasiun sebelah seperti Klari atau Kedunggedeh.
Awalnya, sang Jenderal ingin membangun stasiun bergaya art deco semacam Semarang Tawang atau Tugu Yogyakarta, tapi Nalea van Mendieejt ingin stasiun yang arsitekturnya mengikuti corak bangunan lokal. Maka dipanggillah beberapa tukang bangunan untuk membuat beberapa denah stasiun.
“Aku suka peron yang lebar dan memanjang, seperti menghamparkan perasaan yang tidak berbatas,” kata Nalea kepada ayahnya.
Setelah meminta pendapat anak gadisnya, maka dipilih denah yang mengutamakan keluasan peron, menyediakan lahan kosong yang cukup, dengan bangunan memanjang yang terbagi menjadi beberapa ruang dan gudang.
Denah itu buatan Salem, seorang lelaki 29 tahun yang sangat jenius dalam hal merancang bangunan.
Tak butuh waktu lama, sebagaimana proyek kolonial yang banyak memanfaatkan tenaga penduduk lokal secara gratis, mulailah orang-orang Karawang membangun stasiun, diawali dari meletakkan fondasi, mengukur peron, dan menyusun bata-bata.
Nalea van Mendieejt kemudian sering berkunjung ke stasiun untuk melihat proses pengerjaannya. Diam-diam, ia tertarik untuk mengetahui siapa Salem.
Maka di sela-sela istirahat, Nalea sering memanggil Salem. Awalnya hanya mengajaknya berkenalan. Kemudian ada hal-hal lain yang tak direncanakan. Bahasa memang bisa menjadi kendala, tapi bukankah bahasa perasaan selalu sama?
Lama-kelamaan, Nalea mulai berani membawakan bekal makan siang untuk Salem, irisan daging sapi yang dibuat steak. “Ini tenderloin, menu ala Eropa.”
Salem pun jatuh hati pada gadis itu. “Kelak Nalea, aku akan membuat stasiun yang menghadap ke arah senja, dan kita akan tinggal di sana….”
Gadis itu tersipu.
Biasanya, Nalea mengunjungi Stasiun Karawang setiap menjelang siang. Ketika ayahnya sibuk berkoordinasi dengan pos lain, Nalea bisa berada di sana selama beberapa jam, terkadang ia juga ikut membantu mengangkat ember semen. Para pekerja pun melihat heran kepadanya.
“Dia pasti jatuh cinta pada Salem,” bisik orang-orang.
Kabar kedekatan itu pun sampai ke telinga ayahnya.
“Benarkah kau dekat dengan pribumi pembuat denah itu?”
“Ya, Ayah. Aku mencintainya. Ia sangat jujur dan sederhana.”
“Tapi Nalea, kau hanya jatuh cinta pada stasiun rancangannya, kau tidak boleh mencintai pribumi.”
“Ayah, jika aku mencintai sebuah karya seni, maka aku juga berhak mendapatkan senimannya.”
“Teori dari mana itu? Apakah jika kau menyukai sebuah cerita pendek, kau juga ingin mendapatkan penulisnya? Jangan sembarangan!”
Bagi sang jenderal, adalah aib yang besar jika sampai anaknya terpikat dengan pribumi. Maka, setelah stasiun itu selesai, Salem dipanggil menghadap Jenderal.
Salem tentu sangat bahagia. Dalam bayangannya, ia mengira hubungannya akan direstui.
Namun ternyata…. Ia ditangkap.
“Kau harus diasingkan,” ucap Jenderal kepada Salem. Kemudian Jenderal memerintah kepada ajudannya. “Antarkan dia ke suatu tempat yang bahkan aku pun tidak berpikir untuk berkunjung ke sana sampai aku mati.”
Maka esok harinya, mereka memasukkan Salem ke sebuah gerbong yang telah siap ditarik sebuah lokomotif uap. Kejadian itu membuat Nalea ditimpa kesedihan mendalam, ia mengunci kamarnya dan berusaha menelan kunci itu ke dalam perutnya.
Tapi tunggu. Apa yang dialami Salem tidaklah seburuk kisah pejuang yang dipaksa masuk berjejal ke dalam gerbong barang dari Stasiun Bondowoso hingga Wonokromo, yang akhirnya banyak melepas nyawa dengan kulit mengelupas karena udara panas berjam-jam lamanya. Tidak, Salem diantar dengan pengawalan terbaik, ia berada di sebuah gerbong berisi penuh makanan dan minuman, ada es jeruk, jus apukat, kue-kue kering, lumpia, seblak, dan banyak hidangan lainnya.
“Kami adalah bangsa yang menghargai jasa mereka yang telah berbakti. Salem telah merancang arsitektur Stasiun Karawang yang megah, jadi kami berutang kepadanya,” kata Meneer Belanda itu. “Kelak, sifat kami ini tidak akan ditiru oleh bangsa kalian sendiri…”
Kalimat kedua itu entah apa maksudnya.
Mereka pun berangkat pada pukul dua dari Stasiun Karawang, menempuh perjalanan melalui Cirebon, Tegal, Semarang, terus hingga kereta mereka terhenti di sebuah stasiun kecil daerah Gemolong, Sragen. Kereta tertahan di sana disebabkan kabar pemberontakan di daerah Yogyakarta dan Solo.
“Kereta tidak bisa lewat, penduduk berjaga di rel untuk melempari setiap kereta yang melintas.”
Di daerah Sragen itu, Salem dikeluarkan dari gerbong, dan menjadi tahanan rumah. Orang-orang setempat kemudian mengenang kisah persinggahannya dengan mengubah nama Stasiun Gemolong menjadi Stasiun Salem hingga hari ini.
Setelah pemberontakan reda, perjalanan pun dilanjutkan. Hingga akhirnya mereka tiba di daerah Jember, mendekati ujung timur pulau Jawa.
Para pengawal membawa Salem ke tengah hutan daerah Rambipuji, dan meninggalkannya begitu saja dalam keadaan terikat tangannya. Saat itu, daerah Rambipuji masih berupa perbukitan terjal yang ditumbuhi banyak jenis pepohonan. Rumah-rumah penduduk juga nyaris tak bisa ditemukan kecuali satu-dua saja, bersisian dengan padang rumput dan semak belukar.
Salem lalu ditemukan oleh seorang lelaki pencari kayu, yang kemudian menolongnya, memberinya makan serta tempat tinggal.
Begitulah Salem kemudian melanjutkan hidup sebagai penebang kayu. Ia tak tahu seberapa jauh tempat itu dari kampung halamannya. Begitu pun orang-orang setempat tak tahu di mana Karawang ketika Salem menyebutkan daerah asalnya.
Namun Salem masih selalu mengingat Nalea, setiap malam, ia terkadang melihat bintang sampai tertidur sambil memimpikan gadis itu.
Kehidupan Salem berjalan begitu wajar, tahun demi tahun berlalu, ia menjadi tua tapi tidak menikah, badannya kurus dan sakit-sakitan karena kesepian. Sampai tiga puluh tahun kemudian, tersiar kabar tentang pembukaan jalur kereta api dari Jember hingga Banyuwangi.
Salem segera menawarkan diri untuk menjadi arsiteknya. Ia berkata, “Aku akan membuat sebuah stasiun yang luas. Kelak, stasiun ini akan menjadi yang paling kokoh di Jawa Timur.”
Maka diambillah batu-batu gunung, para pekerja antusias dengan dibangunnya rel dan stasiun untuk mengirim hasil perkebunan. Tidak ada yang menyadari, bahwa setelah tiga puluh tahun, Salem masih mengingat persis arsitektur stasiun Karawang.
Tepat pada tahun 1931, Stasiun Rambipuji selesai. Dan tak lama setelah itu, Salem pun meninggal, dalam keadaan masih menyimpan cintanya kepada Nalea. Begitulah riwayatnya berakhir di pengasingan. Sejak saat itu, jika Anda berkesempatan untuk berkunjung ke Stasiun Karawang di Jawa Barat dan Rambipuji di Jawa Timur, Anda akan mendapati dua stasiun yang sama persis, seperti sepasang arsitektur kesunyian….
Lantas, bagaimana kabar Nalea van Mendieejt selanjutnya?
Konon, dalam sebuah fragmen cerita yang lain, setelah kemerdekaan didapat Indonesia dan tentara Belanda diusir kembali ke Eropa, Nalea pun ikut rombongan ayahnya untuk pulang ke negerinya. Ia kemudian menikah dengan seorang perwira. Mereka hidup bahagia di sebuah rumah besar yang di halamannya terdapat hamparan bunga Tulip dan sebuah kincir angin besar. Dengan kebahagiaan yang begitu sempurna, Nalea telah melupakan cintanya pada Salem.
“Apa yang kau dapat ketika merantau ke Indonesia?” tanya suaminya suatu kali.
“Hm. Tidak ada…. Hanya cerita-cerita biasa,” jawab perempuan itu.
***

SUNGGING RAGA. Penulis, tinggal di Situbondo, Jawa Timur. Buku kumpulan cerpennya “Reruntuhan Musim Dingin”.

Siapa Suruh Sekolah di Hari Minggu?

Cerpen Faisal Oddang (Kompas, 30 Jui 2017)
Siapa Suruh Sekolah di Hari Minggu ilustrasi Bambang Herras - Kompas
Siapa Suruh Sekolah di Hari Minggu? ilustrasi Bambang Herras/Kompas
Nama saya Rahing, usia delapan tahun lebih. Saya baru saja membunuh kakak saya. Lehernya saya potong pakai parang milik gerombolan. Saya ditangkap tentara. Tentara banyak sekali pertanyaannya, saya jadi pusing. Saya bilang mau pulang. Tentara bilang tidak boleh. Saya jadi sedih dan takut. Besok hari Minggu, Guru Semmang akan cubit saya kalau tidak masuk sekolah. Sekolah kami sekarang, pindah ke dalam hutan. Saya bilang, saya mau cerita tetapi sesudah itu, saya pulang. Tentara setuju. Saya bilang lagi, saya mau cerita tetapi jangan bilang sama Guru Semmang. Dan jangan kasih tahu ayah kalau saya di sini, tentara janji. Saya takut Guru Semmang cubit saya. Saya takut Ayah lihat saya, dia mau bunuh saya.
Dia sering dipukul ayahnya menggunakan warangka parang. Bermacam-macam persoalan menjadi penyebabnya. Yang paling sering, karena Rahing dekat dengan Semmang—lelaki yang ayahnya benci secara ideologi bahkan secara personal. Yang Rahing alami sungguh tidak serumit yang di kepala ayahnya. Dia dipukul, memang itu menyakitkan—dia sudah terbiasa—tetapi ada kenyataan lain yang membuat tangisannya seolah tangisan penghabisan pada suatu malam: ayahnya melarang dia pergi ke sekolah saat hari Minggu.
“Itu sekolah gerombolan.”
“Guru Semmang ajar kami mengaji, kami belajar menyanyi bahasa Arab, saya suka. Guru Semmang bilang dia pejuang, tidak boleh bilang gerombolan.”
“Kau nanti ditangkap tentara!”
“Guru Semmang bilang jangan takut.”
“Kau nanti ditembak!”
“Guru Semmang bilang jangan takut.”
“Kau keras kepala sekali, sama kayak Semmang, kalian sama saja.”
***
Ayah pernah bilang saya akan ditembak kalau tentara tangkap saya. Ayah pasti sudah berdosa karena bohong, karena tentara tidak tembak saya. Tentara bilang akan kasih permen, kalau mau cerita kenapa saya memotong leher kakak saya. Saya juga nanti dilepas dan dibiarkan pulang ke hutan. Saya jadi senang karena besok hari Minggu dan saya akan diberi hadiah oleh Guru Semmang karena saya sudah hafal doa sebelum tidur.
Saya suka permen, kata Ayah, tentara punya banyak permen. Jadi harus berteman sama tentara. Saya sama warga dan Guru Semmang dan temannya, pernah rusak jembatan. Waktu itu sudah malam. Kata Guru Semmang, kalau jembatan rusak, tentara tidak bisa ganggu kami sekolah dan mengaji. Saya jadi senang. Besoknya tentara datang ke kampung kami cari laki-laki yang sudah besar. Ayah juga dipanggil, jadi saya ikut. Kami disuruh perbaiki jembatan yang rusak. Tentara itu kasih saya permen karena saya bantu angkat tanah. Kata Ayah, lihat mobil besar milik tentara itu, semua isinya adalah permen. Saya tambah rajin angkat tanah.
***
Di posko tentara, Rahing duduk sambil menjilati permen gula aren di kedua tangannya. Ia mengenakan kemeja putih kecoklatan, peci hitam bulukan, sarung yang kedodoran dan kaki penuh lumpur. Dia bersama seorang tentara yang terus bertanya banyak hal.
Posko sementara telah dibangun Tentara Jawa—istilah warga saat menyebut tentara nasional yang dikirim untuk Operasi Tumpas di Sulawesi. Hal itu disebabkan semakin banyaknya sekolah yang dipaksa libur di hari Jumat dan buka pada hari Minggu oleh gerombolan. Salah satunya, di sebuah kampung kecil di pelosok Kabupaten Wajo, kampung Rahing. Awalnya tentara datang menawarkan rasa aman, kemudian satu per satu warga ditangkap karena dituduh mata-mata gerombolan. Pada mulanya semacam itu, kemudian ternak warga mereka beli dengan harga murah, padi dipanen sebelum waktunya, hasil kebun mereka petik paksa. Semua tentara lakukan ketika gerombolan semakin sering keluar hutan untuk mengambil persediaan makanan dari orang-orang kampung. Warga menjadi telur yang semula berada di ujung tanduk sapi lalu menyelamatkan diri ke ujung tanduk kerbau.
Rahing masih menjilati permennya, sementara pertanyaan demi pertanyaan masih terus ditujukan untuknya. Tentu tidak semua ia jawab.
“Kenapa kau gorok leher kakakmu?”
“Dia jahat.”
“Disuruh siapa?”
“Guru Semmang.”
“Apa katanya?”
“Nanti saya dicubit, kata Guru Semmang tidak boleh cerita.”
“Kalau tidak cerita, nanti kau tidak kami pulangkan, ayahmu kami panggil di sini. Benar, kan, Komandan?” tentara itu memandang, menuntut pengiyaan dari seorang tentara lain yang berdiri sambil melipat lengan di depan dada.
***
Tentara itu bilang saya tidak boleh pulang. Sudah malam, nanti Ayah tahu saya di sini. Saya sebenarnya mau cerita lagi, tetapi saya ingat waktu Guru Semmang larang saya cerita kalau ada yang tanya. Tetapi, saya mau pulang, jadi saya cerita saja karena mungkin tentara tidak akan kasih tahu Guru Semmang.
Jadi, kata Guru Semmang, kakak saya teman tentara. Karena kakak saya, Ibu dibunuh. Saya jadi sangat benci sama kakak saya. Saat Guru Semmang kasih saya parangnya, saya langsung potong lehernya seperti cara Ayah potong leher ayam kalau mau lebaran. Saya jadi rindu Ibu. Kalau lebaran, Ibu bikin ayam goreng. Saya senang karena kakak saya mati. Karena kata Guru Semmang, Ibu pasti senang juga di surga. Karena orang yang bikin dia mati sudah saya bunuh. Saya dapat pahala kalau bikin orangtua senang. Tetapi, Ayah tidak senang, dia mau bunuh saya juga, jadi saya lari ke hutan ikut sama Guru Semmang. Saya benci Ayah, dia tidak senang kalau Ibu senang. Dia juga tidak tahu bikin ayam goreng.
***
Rahing membenci ayahnya seperti benci yang dia miliki ketika melihat leher kakak laki-lakinya memasrahkan diri pada parang yang diberikan Semmang. Saat itu, menjelang perayaan kemerdekaan, hari Minggu pada bulan Agustus 1961—Rahing baru sampai di sekolah ketika tiba-tiba Semmang menyuruh anak-anak lainnya menyalin bacaan yang ada di papan tulis.
“Saya ada tugas dulu sama Rahing,” kata Semmang sambil menggamit Rahing untuk mengikuti langkahnya yang buru-buru.
Rahing belum selesai dengan rasa penasaran di kepalanya ketika ia tiba di hutan kecil di belakang sekolahnya. Sekolah yang hanya punya satu ruangan dengan dinding anyaman batang nipah serta atap rumbia. Beberapa anggota gerombolan memberi hormat menyambut kedatangan Semmang. Seorang pemuda awal dua puluh tahunan terduduk dengan kaki terikat memanjang ke depan serta tangan yang diikatkan pada batang cokelat di belakangnya. Mata pemuda itu ditutup dengan kain berwarna hitam dan mulutnya tampak dijejali dedaunan kering. Rahing mengenal pemuda itu, dia Walinono, kakaknya.
Yang terjadi selanjutnya kurang lebih seperti yang Rahing sampaikan kepada tentara: Semmang mulai bercerita mengenai Walinono yang pengkhianat dan harus terima balasan.
“Kau siap bikin ibumu senang, Rahing?”
Semmang bertanya dengan pertanyaan yang membuat Rahing bergeming—ia terus memandangi kakaknya seperti memandang sebuah titik kecil di ufuk. Ia masih diam dan tidak menolak ketika gagang parang dijejalkan oleh Semmang ke tangannya.
“Kau bisa bikin ibumu senang, dapat pahala bikin orangtua senang.”
Rahing maju beberapa langkah dan beberapa saat setelahnya terdengar suara orokan yang begitu keras disusul darah yang mengalir.
“Kau bantu, cepat!”
Seorang anggota gerombolan mengambil parang dari Rahing—dan memutuskan leher Walinono yang tidak bergerak lagi.
“Bagaimana perasaanmu, Nak Rahing, senang?” Semmang menepuk-nepuk pundak Rahing yang masih diam dengan tatapan kosong.
Rahing baru tersenyum ketika Semmang mengatakan: “Ah, pasti ibumu senang sekali, Rahing!”
Malam baru saja tiba ketika Rahing berjalan pulang menyusuri jalan kecil yang sudah sepi. Jalan penghubung hutan dan perkampungan; menghubungkan rumah dan sekolahnya. Ia tampak girang dan sesekali berlari kecil sambil menggigit sepotong tebu di tangan kirinya, yang diberikan Semmang sebagai hadiah. Di tangan kanannya ia menenteng sebuah karung goni yang berisi kepala Walinono.
“Kau bawa kepala kakakmu, kasih lihat ke ayahmu. Kalau dia senang, berarti dia sayang ibumu. Kalau marah, berarti dia tidak suka ibumu senang, jadi kau ikut saja ke hutan, saya lebih cocok jadi ayahmu.”
Di kepala Rahing, masih melekat jelas apa yang Semmang ucapkan ketika menyerahkan karung goni itu. Jalan semakin sepi juga sunyi—ia masih butuh berjalan sekitar setengah jam untuk tiba di rumah. Tebu yang sisa sepah ia lemparkan ke semak-semak di sisi jalan. Rahing lantas meletakkan karung goninya di tanah. Sambil berlari kecil ia mulai menyepak karung itu seperti sedang menggiring bola—dan baru berhenti ketika cahaya pelita di perkampungan mulai tampak.
***
“Saya suka main bola. Kepala kakak seperti bola, jadi saya tendang saja.”
Saya sudah ngantuk. Tentara masih suruh saya cerita. Dia bilang saya tidak boleh tendang kepala kakak, tetapi Guru Semmang bilang boleh. Saya percaya Guru Semmang.
Saya memang sudah benci Ayah, tetapi dia tidak bohong, tentara memang banyak permennya. Saya dikasih lagi, saya disuruh cerita lagi. Saya ditanya lagi, katanya di mana kepala kakak saya. Saya bilang tidak tahu. Ditanya lagi, bilang di hutan bagian mana Guru Semmang sembunyi, saya juga bilang tidak tahu. Sebenarnya saya tahu.
“Tahu kau, kapan mereka akan keluar hutan atau merusak jalan sama jembatan?”
Saya menggeleng ditanya begitu. Saya jadi sedih karena lupa, saya sudah janji sama Ibu tidak akan menggeleng atau mengangguk, kata Ibu tidak sopan.
“Kau tahu siapa yang kasih gerombolan senjata?”
Saya bilang, saya tidak tahu. Seandainya tahu, saya juga mau minta. Saya mau sekali punya senapan, saya dulu suka main senapan tetapi dari pelepah pisang.
“Kenal sama gerombolan yang kena tembak bulan lalu?”
Saya menggeleng, saya lupa lagi, ingat Ibu lagi.
***
Memang Rahing tidak tahu siapa yang tertembak oleh tentara waktu itu. Semmang yang tahu—dan karena itu, dia memburu Walinono yang baginya telah memasok informasi untuk tentara. Informasi mengenai rencana-rencana merusak jalan dan jembatan oleh gerombolan memang semuanya tiba di tentara dengan campur tangan Walinono. Ketika tiga orang gerombolan tertembak setelah keluar hutan, itu juga berkat Walinono. Untuk informasi yang diberikan dia mendapat imbalan berbungkus-bungkus rokok dan seragam bekas tentara. Dari tiga gerombolan yang tertembak, salah satunya adalah adik kandung Semmang.
“Kau kenapa melakukan ini?”
Jawaban Walinono ketika tentara meragukan kesetiaannya sungguh tidak meragukan. Dia akan bercerita mengenai ibunya yang meninggal diperkosa.
“Tidak ada cara lain membalaskan dendam Ayah selain begini, Komandan.”
Ia mengingat, malam itu ibunya pamit untuk menjual tenunannya ke Sengkang—ibu kota kabupaten. Ibunya berangkat, berjalan kaki tengah malam dengan harapan tiba pagi hari ketika pasar mulai dibuka, seperti biasa. Ibunya berangkat setelah melumuri tubuh dan wajahnya dengan arang; sudah menjadi kebiasaan bagi perempuan yang ingin keluar dari kampung itu. Diri mereka dibuat sejelek mungkin agar terhindar dari tangan tentara atau gerombolan yang ingin melecehkan.
Ibunya tidak pernah tiba di Sengkang. Mayatnya ditemukan membusuk, telanjang dan mengambang di sungai, beberapa hari kemudian. Tidak ada yang tahu siapa pelakunya, tetapi Walinono tidak mencurigai nama lain selain Semmang—dia adalah mantan kekasih ibunya—yang sangat sakit hati ketika ibu Walinono memilih lelaki pilihan orangtuanya. Semmang waktu itu berjanji tidak akan pernah menikah—dan dia membuktikannya. Dia berjanji akan pembalas pengkhianatan itu, dia telah membuktikannya.

Wajo, 2017
Faisal Oddang, mahasiswa sastra Indonesia di Universitas Hasanuddin. Menulis novel Puya ke Puya yang menjadi salah satu pemenang sayembara novel DKJ 2014 serta menjadi novel terbaik versi majalah Tempo 2015. Terpilih sebagai penulis cerpen terbaik Kompas 2014 dan menerima anugerah ASEAN Young Writers Award 2014 dari Pemerintah Thailand. Sedang menyiapkan kumpulan puisi Perkabungan untuk Cinta dan novel Tiba Sebelum Berangkat.

Sabtu, 29 Juli 2017

Belati di Dada Alya


Cerpen Ayi Jufridar (Tribun Jabar, 22 Januari 2017)
Belati di Dada Alya ilustrasi Yudixtag - Tribun Jabar
Belati di Dada Alya ilustrasi Yudixtag/Tribun Jabar
TERIAKAN histeris terdengar tatkala Alya memasuki antrean tamu yang bergerak lambat untuk menyalami mempelai di panggung. Beberapa perempuan di depan dan belakang Alya memekik, tersuruk beberapa langkah hingga menubruk tamu lain di dekat mereka. Tas tangan salah seorang di antaranya terjatuh oleh sentakan rasa kaget. Bulu mata palsu bagian atas seorang perempuan bertubuh tambun juga nyaris copot saat tatapannya tertuju pada belati di dada Alya.
Belati bergagang hitam itu menancap kuat di dada Alya, menembus gaun warna senada. Alya bingung dengan reaksi orang-orang; mengapa mereka terlambat kaget? Padahal, belati itu sudah ada di sana, di dadanya, sejak ia berangkat dari rumah. Apakah karena gagangnya berwarna hitam sehingga tak terlalu mencolok? Atau perhatian pengunjung sedang tercurah sepenuhnya kepada mempelai, atau juga tengah sibuk berbincang sesama tamu sehingga tak mengindahkannya?
Alya tidak tahu pasti, dan tak berniat ingin tahu. Reaksinya sama saat merespons kritikan Mama sebelum mereka berangkat agar tidak mengenakan gaun serbahitam. “Kita ke pesta, bukan ke pemakaman.”
Hanya senyum tipis tersungging di bibir Alya. Sebegitu tipis hingga nyaris menyerupai ringisan di mata sang mama.
Suara pembawa acara dan musik yang mengalun lembut memenuhi ruangan membuat suara histeris itu hanya menggema di sekitar Alya. Sesaat keriuhan itu menyusut karena antrean harus terus bergerak. “Maju terus. Jangan membuat orang lain menunggu lebih lama….” Mama Alya mendorong lembut tubuh putrinya dengan ujung jari.
“Itu pisau beneran?” Perempuan yang tadi histeris menjulurkan kepalanya ke depan dada Alya.
“Ini bukan trik sulap, kan?” Lelaki di sebelah perempuan itu ikut-ikutan mendekat.
Alya hanya tersenyum lebar. Ia berusaha untuk memberikan kesan seramah mungkin. Tetap saja beberapa perempuan di hadapannya belum mampu sepenuhnya mengendalikan kekagetan mereka. Meski tidak ada pertanyaan lagi setelah itu—mereka harus terus melangkah—para tamu yang telanjur melihat belati di dada Alya tidak mampu meredakan rasa penasarannya, bahkan setelah kekagetan mereka mereda.
Belati itu terlihat nyata. Meski gagangnya senada dengan warna gaun yang dikenakan Alya, ujung gagangnya terlihat mencolok karena berwarna merah darah dan ternyata—setelah diamati dari dekat—berbentuk hati.
Seorang lelaki semula bertanya, melihat lebih dekat dan teliti ke dada Alya untuk memastikan adakah aliran darah yang mengucur.
“Kamu melihat apa, Pah?”
“Tak ada darah yang mengalir.”
“Kamu melihat darah atau dada perempuan itu?”
Lelaki itu menggumamkan sesuatu sembari menarik pandangannya dan mengingatkan pasangannya untuk terus berjalan. Alya tersenyum melihatnya. Senyuman yang tersungging begitu saja tanpa ia sadari, yang mengembang bukan untuk memanipulasi nyeri di dadanya.
“Teruslah berjalan,” Mama Alya kembali mendorong dengan jemarinya. Alya mengayunkan kaki beberapa langkah dan berhenti lagi.
Mengantre memang harus banyak bersabar, khususnya dalam resepsi pernikahan. Para tamu umumnya tak sekadar ingin mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Banyak di antara mereka berfoto dengan mempelai yang membuat antrean tak ubahnya bagai deretan mobil yang terjebak dalam kemacetan.
Dari tempatnya berdiri, Alya bisa mendengar suara pengarah gaya yang mengatur posisi orang-orang agar membentuk lengkungan sempurna di kiri dan kanan mempelai. Posisi klise yang selalu terlihat dalam pesta pernikahan.
Sudah semakin dekat….
Alya menarik napas dalam-dalam, lalu menggeraikan rambut panjangnya ke belakang, sebuah gerakan yang sering ia lakukan untuk mengusir kegugupan. Matanya menatap punggung perempuan di depannya dengan jantung berdegup tak beraturan. Sesaat ia seperti membangun sebuah dunia kecil yang terlindungi di balik punggung perempuan itu. Suara-suara kian riuh terdengar, dan kegugupan Alya kian bertambah.
Alya meraba dadanya yang seketika basah. Ia tak melihat ke dadanya tapi bisa membayangkan darah yang mengalir di sana, menodai gaunnya. Hidungnya tidak mencium anyir darah yang menguar, tetapi kepalanya terasa pusing tiba-tiba.
Alya mengempaskan embusan napasnya, seolah melepaskan beban berat yang mengimpit.
“Kamu tidak apa-apa, Sayang?”
Tentu saja apa-apa, sahut Alya dalam hati. Namun ia memilih tak menjawab pertanyaan mamanya. Dadanya kian terasa nyeri. Tapi Alya tidak berani mengangkat wajahnya. Dia bersyukur perempuan di depannya bertubuh tambun dan lebar sehingga bukan saja wajahnya yang yang tersembunyi, tetapi tubuhnya pun seakan tertelan di baliknya.
Hanya beberapa langkah lagi barangkali, pikir Alya. Ia mengumpulkan segenap kekuatan yang tersisa agar tetap tenang dan kakinya menginjak lantai dengan benar. Banyak kejadian konyol di lantai pesta, kaki yang tersandung anak tangga, hak sepatu yang patah, kaki menginjak ujung gaun sendiri atau gaun orang lain. Tanpa mengalami semua kesialan itu pun Alya merasa tubuhnya sudah hampir rubuh. Dia ingin masuk ke dunia yang membuat lukanya berdarah dengan ketenangan yang ia sendiri tak pernah membayangkannya. Entah dari mana datangnya ketenangan itu, Alya hanya membayangkan keajaiban turun di depan pelaminan.
Sesungguhnya, Alya tidak menginginkan gempa dahsyat tiba-tiba terjadi, hanya untuk menyelamatkan atau menguburkannya. Sebab ia sudah pernah mengalami dan itu cukup membuat trauma sepanjang hidupnya. Ingatan kepada gempa dahsyat membuatnya sedih sekaligus tegar. Kalau bencana yang menelan ratusan ribu nyawa manusia sudah ia lalui, apalah artinya menghadiri sebuah pesta dengan belati terpacak di dada. Dia yakin bisa melewatinya dengan penuh ketenangan.
Tiba-tiba saja, mempelai pria sudah berdiri di hadapan Alya. Ah, tidak. Alya yang berdiri di depan mempelai pria. Alya nyaris tidak menyadarinya ketika tangannya sontak terulur. Entah apa yang meluncur dari bibirnya, ia tidak mendengar dengan jelas. Tapi telinganya mampu mendengar ketika mempelai pria mengucapkan terima kasih.
“Tidak menyangka kamu datang.”
Kali ini Alya mendengar suaranya dengan lebih jelas. Justru mempelai wanita yang tidak mendengar karena masih berbasa-basi dengan para tamu lainnya.
“Kamu ingin aku tidak datang?”
Mempelai pria tersenyum masam. Butir-butir keringat memenuhi dahinya, mengotori riasan tipis di wajahnya yang pucat. Seharusnya dia tidak perlu berkeringat di ruangan yang sejuk dan nyaman. Di hari penuh kebahagiaan pula.
Alya lalu mengucapkan selamat kepada mempelai wanita ketika mamanya mulai berbasa-basi dengan mempelai pria. Dia mempercepat langkahnya saat mendengar suara mamanya memuji kecantikan sang mempelai wanita. Kalimat itu ditutup dengan harapan agar mereka berdua bahagia dalam membangun keluarga sakinah. Entah apa yang dikatakan mamanya kemudian, yang jelas Alya hanya mampu menangkap samar suara tawanya. Alya berharap Mama tidak memanggilnya untuk berfoto bersama mempelai. Beruntung doa Alya terkabulkan, meski bagian itu tidak masuk dalam kesepakatan mereka sebelum berangkat tadi.
Alya dan mamanya membuat beberapa permufakatan sebelum berangkat ke pesta, termasuk ia bebas mengenakan pakaian apa pun sejauh itu tidak melanggar kesopanan. Mengenakan gaun hitam tentu bukan pelanggaran meski semua orang tahu itu simbol perkabungan.
Seminggu sebelumnya Mama sudah mendesaknya agar berbesar hati untuk datang ke pesta meski dengan dada terluka. Itu bukan tawaran mudah untuk Alya mengiyakannya. Lelaki itu adalah alasan tentang keberadaan belati yang kini menancap di dadanya.
Alya merasa tidak terlalu berhasil tadi. Tapi mengingat ia masih bisa tetap tegak melangkah dengan bibir tersenyum, itu patut disyukuri. Padahal, cerita penuh romansa di masa lalu bersama sang mempelai lelaki, janji-janji yang teringkari, dan penantiannya yang bermuara di ruang kosong, bagai film yang diputar ulang dalam ingatannya, saat berada di panggung pelaminan tadi. Sang Mama memuji-muji ketegarannya.
Udara panas menyergap seketika begitu Alya menjejakkan kaki di luar. Namun, Alya merasa lebih sejuk berada di luar gedung dibandingkan di dalam ruangan pesta meskipun dilengkapi pendingin udara.
“Kita langsung pulang?” Mama meraih tangannya, seolah ingin mengalirkan kekuatan.
“Alya ingin minum dulu, Ma,” sahutnya. Banyak jenis makanan dan minuman di dalam sana. Tapi ia hanya mampu menelan beberapa suap nasi dan minum setengah gelas air putih dingin. Tak lebih.
Ketika sedang menunggu taksi, Alya merasa tubuhnya sangat ringan. Belati bergagang hati serasa sudah terlepas dari dadanya. Hilang tak berbekas. Tak ada luka menganga, tak terlihat darah mengalir.
Suara ribut-ribut di dalam gedung mengusik perhatiannya. Para tamu terlihat panik. Yang sudah telanjur keluar, masuk kembali penuh rasa ingin tahu. Lalu keluar lagi bersama arus orang-orang yang tak sejalan, ada yang mendesak masuk dan banyak yang bersesakan ingin keluar. Suasana semakin riuh.
“Ada apa?” Seseorang bertanya, mencari tahu pada beberapa tamu yang melewatinya.
“Ada pisau tertancap di dada mempelai pria!”
“Alya…?” Wajah Mama memucat. Ia menarik pergelangan tangan putrinya dan menyeretnya masuk ke dalam gedung. Raut kecemasan kentara membayang di wajahnya. Tapi Alya bersikukuh. Ia menarik tangan mamanya ke arah berlawanan.
“Taksi kita datang, Ma,” sahut Alya tanpa menoleh lagi ke belakang. Sedikit pun tidak.
***

Ayi Jufridar bekerja sebagai jurnalis dan penulis fiksi di Lhok Seumawe, Aceh. Cerpen-cerpennya dimuat di berbagai media cetak daerah dan nasional. Empat novel yang sudah terbit, Alon Buluek (2005), Kabut Perang (2010), Putroe Neng(2011) dan 693 KM Jejak Gerilya Sudirman (2015).

Kamis, 27 Juli 2017

Kutipan Hujan

Karena kenangan sama seperti hujan. Ketika dia datang, kita tidak bisa menghentikannya. Bagaimana kita akan menghentikan tetes air yang turun dari langit? Hanya bisa ditunggu, hingga selesai dengan sendirinya. (hlm. 201)

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Ciri-ciri orang yang sedang jatuh cinta adalah merasa bahagia dan sakit pada waktu bersamaan. Merasa yakin dan ragu dalam satu hela napas. Merasa senang sekaligus cemas menunggu hari esok. (hlm. 205)
  2. Ada orang-orang yang kemungkinan sebaiknya cukup menetap dalam hati kita saja, tapi tidak bisa tinggal dalam hidup kita. Maka, biarlah begitu adanya, biar menetap di hati, diterima dengan lapang. Toh dunia ini selalu ada misteri yang tidak bisa dijelaskan. Menerimanya dengan baik justru membawa kedamaian. (hlm. 255)
  3. Bagian terbaik dari jatuh cinta adalah perasaan itu sendiri. Kamu pernah merasakan rasa sukanya, sesuatu yang sulit dilukiskan kuas sang pelukis, sulit disulam menjadi puisi oleh pujangga, tidak bisa dijelaskan oleh mesin paling canggih sekalipun. (hlm. 256)
  4. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi besok lusa. (hlm. 281)
  5. Hanya orang-orang kuatlah yang bisa melepaskan sesuatu, orang-orang yang berhasil menaklukkan diri sendiri. (hlm. 298)
  6. Meski terasa sakit, menangis, marah-marah, tapi pada akhirnya bisa tulus melepaskan, maka dia telah berhasil menaklukkan diri sendiri. (hlm. 299)
  7. Jika tidak bisa menerima, tidak pernah bisa melupakan. (hlm. 308)
  8. Bukan seberapa lama umat manusia bisa bertahan hidup sebagai ukuran kebahagiaan, tapi seberapa besar kemampuan mereka memeluk erat-erat semua hal menyakitkan yang mereka alami. (hlm. 317)
Banyak selipan kalimat sindiran halus dalam buku ini:
  1. Semaju apa pun teknologi di muka bumi, tidak ada yang bisa mencegah kejadian itu. Bencana alam yang sangat mematikan. (hlm. 18)
  2. Kebaikan adalah cara terbaik melupakan banyak hal, membuat waktu melesat tanpa terasa. (hlm. 63)
  3. Mulutmu membantah, tapi wajahmu bilang sebaliknya. (hlm. 247)
  4. Kita tidak bisa menyelamatkan semua orang. (hlm. 289)

Mencuri Matahari


Cerpen Irepia Refa Dona (Media Indonesia, 23 Juli 2017)
Mencuri Matahari ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia
Mencuri Matahari ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
AKU selalu menatap sayu matahari yang meluncur perlahan ke ufuk barat. Satu hal yang aku yakini bahwa matahari itu tidak terbenam, tapi berendam. Ia sengaja merendamkan dirinya dalam lautan karena kepanasan seharian memancarkan sinarnya.
Pernah suatu ketika aku berenang ke tengah lautan—menyelam jauh ke dasar laut, mencuri matahari yang sedang berendam. Tapi belum sampai beberapa jam, aku merasa kesusahan bernapas. Badanku terasa berat untuk digerakkan. Seolah ada tangan yang menahanku dan berangsur-angsur tangan itu menarikku jauh ke dasar lautan.
Aku tahu makhluk jenis apa yang menarikku. Kata orang, itu adalah hantu air. Aku mendengar cerita itu dulu. Saat berita duka yang membuatku mengubah cita-cita sederhanaku yang semula ingin menjadi guru di sebuah sekolah dasar menjadi pencuri matahari. Mungkin bagi anak-anak seusiaku, cita-cita memang sering kali berubah-ubah.
“Kenapa harus matahari, Ntur?” tanya guruku dengan nada yang aku tidak bisa mengartikannya. Yang jelas, nada bicaranya berbeda dari biasanya.
“Karena Ibu bilang matahari memancarkan cahaya sendiri,” jawabku biasa.
“Bintang juga memancarkan cahaya sendiri. Bintang banyak di langit. Jika kau mencurinya satu atau bahkan lebih, tidak ada yang tahu. Tapi jika matahari, saat kau mencurinya, orang-orang akan tahu.”
“Bintang tidak pernah turun ke bumi, Ibu. Aku juga tidak bisa memanjat langit. Aku tahu, bintang tidak pernah jatuh. Yang jatuh itu meteor.”
“Jadi kapan matahari jatuh ke bumi?”
“Pada saat sore dan pagi harinya. Sore ia akan berendam di lautan dan pagi sebelum ia terbit ia berada di pegunungan,” ujarku masih dengan nada biasa. Semua orang di dalam kelas itu tertawa mendengar jawabanku. Pun guruku. Aku tidak tahu kenapa mereka tertawa. Yang jelas aku dengar ada yang mengatakan kalau aku ada peningkatan dalam hal melucu sejak aku kehilangan ayahku.
***
Setiap sore aku berenang ke tengah lautan. Tidak ada yang melarangku. Mereka hanya menatapku biasa. Seperti biasanya seseorang yang sedang melihat sapi memakan rumput. Tapi aku tidak pernah berhasil menemukan di mana tepatnya matahari itu berendam. Mungkin barangkali aku kurang jauh. Bahkan aku belum sampai pada pertengahan lautan.
Hingga di sore itu aku memaksakan diriku untuk terus berenang. Aku mengabaikan lelah yang menyerang seluruh tubuhku sampai akhirnya aku tidak merasakan apa-apa lagi. Hanya kaku. Aku rasa aku sudah mati saat itu.
Tapi malamnya saat aku terbangun, aku menatap sekeliling. Bukan tanah yang berada di sampingku. Tidak ada cacing atau kalajengking yang bersiap menyantap tubuhku. Aku tidak berbaring di atas tanah dan diimpit oleh tanah. Aku berbaring di atas dipan, tempat di mana aku biasa tidur. Seingatku, aku telah mati tadi sore di lautan. Aku tidak tahu kenapa aku berada di sini sekarang. Aku berjalan menuju kamar ibu. Aku lihat ibu sedang tertidur pulas. Aku urung membangunkan ibu. Setidaknya saat tidurlah ibu terlihat lebih tenang.
Besok paginya aku tanyakan pada ibu perihal kejadian semalam. Ibu hanya menggeleng sambil mengatakan dua kata ‘tidak tahu’. Sejak saat itu aku mengubah ruteku. Aku tidak lagi mencari matahari saat sore. Saat ia membenamkan dirinya dalam lautan. Aku mulai mencarinya saat subuh, saat ia bersiap-siap terbit di ufuk timur.
***
Hari itu sekitar jam tiga pagi aku telah bangun. Aku melihat ibu di kamar. Ibu masih tidur nyenyak. Bukan takut ketahuan oleh ibu dan akhirnya ibu melarangku untuk mencari matahari, tapi aku takut langkah kakiku akan membangunkan ibu dari tidurnya sehingga aku usahakan untuk sepelan mungkin melangkah dan menutup pintu kembali.
Ini adalah pertama kalinya aku keluar saat malam. Di luar masih gelap. Hanya ada hening dan kesunyian. Barangkali jam segini orang-orang sedang nyenyak dalam tidurnya. Atau mungkin ada sebagian orang yang taat, ia sedang beribadah menghadap Tuhan mereka. Malam memang waktu yang tenang untuk beribadah. Tapi aku malah keluar dan mencari matahari.
Aku menjadi anak yang pemberani kecuali perihal bicara. Akhir-akhir ini frekuensiku bicara semakin berkurang. Aku hanya berpikir dan berpikir.
Tidak jauh perjalanan yang aku tempuh. Cahaya matahari berangsur-angsur mulai menyelimuti bumi. Aku rasa aku kurang tepat dalam menghitung waktu. Jika besok aku ingin menemukan matahari, mungkin aku harus berangkat lebih cepat dari hari ini. Aku tidak mungkin mencuri matahari yang sudah tinggi di atas langit. Aku tidak punya tangga untuk ke langit. Seandainya ada, orang-orang pasti akan membunuhku karena mereka juga tidak akan mau kehilangan matahari dalam hidupnya.
Hingga suatu ketika, aku mulai berangkat saat pagi. Aku menghabiskan beberapa hari di perjalanan. Aku telah berjalan jauh. Dan aku sudah tidak pulang ke rumah dalam waktu yang lama. Ibu tidak akan kehilanganku. Saat aku pulang, ibu juga tidak akan pernah bertanya ke mana aku selama ini. Jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan banyak hal.
Aku memasuki hutan demi hutan. Aku memakan apa pun yang bisa dimakan. Aku menghindar dari binatang buas untuk menyelamatkan diriku agar tidak menjadi santapannya. Tapi tubuhku mengenal lelah juga. Hingga akhirnya aku terkulai lelah dan tertidur entah dalam waktu berapa lama. Saat aku terbangun, seekor singa telah menatapku dengan tatapan kelaparan.
Aku berlari sekuat tenaga. Singa mengejarku dengan lari yang tak kalah cepat. Dengan tubuh yang lelah, setidaknya aku hanya tidak boleh membiarkan diriku menyerah begitu saja. Mungkin menunda waktu makan singa, begitulah yang aku lakukan saat ini. Saat aku menoleh ke belakang untuk memastikan seberapa dekat jarak singa itu dariku, sesuatu menghalangi kakiku hingga membuat tubuhku terjatuh. Pandanganku mulai kabur. Aku masih bisa melihat singa yang dengan gagah menghampiri tubuhku yang lemah.
Di saat-saat gentingku, hanya satu hal yang bisa aku ingat. Ya, pesan ibu dulu saat ayah masih berada di antara kami. Ibu menyuruhku untuk rajin belajar supaya kelak bisa mendapatkan pekerjaan selain menjadi nelayan yang hanya mempertarungkan nyawanya. Tapi ibu tidak ingat satu hal, di atas rencana kehidupan yang seolah telah digambar ibu untukku, masih ada Tuhan yang mengatur tentang takdir manusia. Buktinya, aku hanya bisa bersekolah sampai sekolah dasar lantaran ayah mengakhiri ajalnya hanya dengan segulung ombak besar yang menerjang perahunya.
Sejak kepergian ayah yang ibu sendiri tidak menguburkan jasadnya layaknya orang lain, ibu menjadi perempuan tercengeng yang pernah aku temui. Dunia ibu terlihat gelap. Dan aku rasa ibu telah kehilangan matahari di matanya.
Setiap malam ibu menangis. Aku bertanya pada ibu kenapa ibu tidak berhenti saja menangis. Lagian ayah juga tidak akan kembali sekuat apa pun ibu menangis. Walau aku hanya menduduki kelas lima saja, setidaknya aku pernah belajar kalau orang mati itu tidak akan pernah hidup lagi. Tapi ibu tidak pernah menjawab pertanyaanku. Ibu hanya terus menangis. Aku bahkan yakin telah memakan nasi yang dicampur dengan air mata ibu.
Aku seolah menjadi seseorang yang bernyawa tapi tak berjasad. Aku seolah menjadi seseorang yang memiliki mulut untuk bicara, tapi tak pernah didengar. Aku muak. Dan sejak saat itu aku menjadi anak lelaki pemurung yang lebih memilih diam daripada bicara tapi lebih sering meneteskan air mata.
Tapi di sore yang aku sendiri tidak tahu harus aku bilang apa, ibu kembali dengan mata yang tidak lagi memancarkan kesedihan. Ibu tersenyum menatapku dan berjalan menujuku yang saat itu telah berdiri di halaman rumah dengan pakaian yang sangat kotor.
“Kau dari mana saja, Ntur?” ujar ibu dengan nada lembut sambil membelai rambutku yang kotor dan mungkin berbau busuk. Aku hanya diam.
“Kau baik-baik saja?” ibu bertanya lagi padaku.
“Kau lapar?” Semakin banyak pertanyaan yang keluar dari mulut ibu. Dan kau tahu, aku hanya bisa menjawabnya dengan anggukan dan gelengan. Mungkin sesekali mengatakan iya atau tidak.
Aku pikir, ibu tidak akan pernah membaik. Tapi aku lupa, luka seiring berjalannya waktu pasti akan kering. Dan aku yakin luka ibu sudah mulai membaik. Aku bahagia. Setidaknya aku tidak perlu lagi mencuri matahari untuk ibu karena matahari itu telah bersinar kembali di mata ibu. Tapi aku rasa, aku tidak bisa lagi menjadi anak lelaki periang. Aku sudah terbiasa dengan sifat bekuku.
Aku hanya menatap ibu datar. Ibu mengajakku masuk. Saat itu mataku menemukan seorang lelaki yang sedang berdiri di pintu rumahku. Ia menatapku tersenyum. Aku hanya diam. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Aku tidak bicara atau bertanya. Aku hanya mencoba berpikir. Sudah berapa lama aku pergi? Aku bahkan tidak bisa mengingatnya.

Padang, 2017
Irepia Refa Dona merupakan anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Sumatra Barat. Cerpennya dimuat dalam antologi bersama Mimpi Merah Hari ke-40 (Lomba Menulis Cerpen) dan Kasam (20 Cerpen Terbaik Sayembara Cerpen Sumatra Barat).