Daftar Blog Saya

Rabu, 21 Juni 2017

Keabadian Sirin


Cerpen Kiki Sulistyo (Tribun Jabar, 04 Juni 2017)
Keabadian Sirin ilustrasi Yuditax - Tribun Jabar
Keabadian Sirin ilustrasi Yuditax/Tribun Jabar
MIMPI pertama Sirin setelah bertahun-tahun tak melihat apa pun dalam tidurnya adalah bertemu dengan seorang pemimpin di sebentang padang pasir. Pemimpin itu—Sirin ragu, perempuan atau lelakikah ia—bertubuh sangat besar, berkulit hitam legam. Kepalanya ditutup oleh semacam topi tinggi dengan hiasan bulu burung. Pakaiannya tampak seperti percampuran antara lembar seng dan kanvas dengan lukisan abstrak yang dominan oleh warna-warna terang.
Pemimpin itu duduk di singgasananya. Sebuah kursi yang sama jangkungnya dengan Sirin dan terbuat dari perak murni. Ia sendirian di padang pasir itu, siulan angin berputaran di sekelilingnya. Cahaya redup kemerahan memancar entah dari mana, melaburkan aroma penderitaan. Seakan-akan seluruh padang pasir itu dihuni roh-roh yang tak diterima bumi dan langit. Ketika pemimpin itu berbicara, suaranya lembut namun terasa tajam. Seperti sebilah pisau baru yang siap dipakai menyayat leher ternak.
Sirin mendengar orang itu berkata, “Siapa yang telah mengutusmu?”
Malam akhir tahun memanggil gulungan angin untuk mengusir uap air yang menggumpal di awan-awan. Mars, si bintang merah, berkilau di kejauhan. Di dekatnya ada bintang lain berwarna putih, seperti sedang menjaga majikannya, planet yang nanti akan didatangi manusia dalam suatu ekspedisi besar-besaran setelah kiamat menimpa bumi. Sirin percaya bahwa pada hari kiamat ia akan dibawa oleh sejenis kapsul peluncur ke suatu tempat yang baru. Di mana pohon-pohon memiliki kekuasaan dan matahari bersinar dari bawah. Kepercayaan itu berdasar pada kepercayaan yang lain, bahwa Sirin hidup abadi.
Ada banyak manusia abadi di bumi, dari yang kelihatan sampai yang hanya ada dalam mimpi- mimpi. Sebagian dari mereka berumah di tanah-tanah tinggi, berkelana sebagai pendekar, dan sebenarnya tidak sungguh-sungguh abadi. Sebab, mereka bisa terbunuh oleh kaum sendiri, manusia abadi yang lain, dengan cara dipenggal kepalanya. Sebagian yang lain hidup di antara kita, tampak normal seperti manusia lainnya. Hanya saja, mereka tidak pernah menjadi tua, dan kalau diperhatikan, pada saat-saat tertentu mata mereka berkedip secara horizontal. Mereka yang berasal dari jenis ini adalah manusia-manusia yang tidak dilahirkan, melainkan diturunkan dari suatu tempat yang tingginya tak bisa dikira-kira.
Sirin bukan dari golongan keduanya. Dia mendapat nubuat bahwa dirinya abadi ketika berusia 7 tahun. Waktu itu ia sedang bermain-main di taman dekat rumah, ketika dilihatnya seekor ular melilit sebatang pohon tanpa cabang dan ranting. Pohon itu hanya memiliki satu batang, satu daun, dan satu buah, bagaikan sebuah tonggak yang ditancapkan secara gaib. Sirin mendengar ular itu berderik, ekornya bergerak-gerak, dan lidahnya yang biru terjulur. Perlahan ular itu melepaskan lilitannya pada batang pohon dan bergerak naik menuju sebutir buah yang bentuknya tak pernah dilihat Sirin sebelumnya. Kelak di kemudian hari, saat Sirin belajar biologi, ia melihat bentuk jantung manusia dan teringat pada buah itu.
Ketika sampai di dekat buah, ular itu menatap ke arah Sirin. Takjub dengan apa yang dilihatnya Sirin mendekati pohon, dan tepat pada saat itu buah itu jatuh dan dengan sigap Sirin menangkapnya. Buah itu berdenyut di tangannya, warnanya berubah-ubah; hijau, ungu, hitam, merah. Suatu suara yang seperti berasal dari jarak yang sangat jauh sampai di telinga Sirin, “Siapa yang telah mengutusmu?” Sirin melihat sekitarnya untuk memastikan siapa yang berbicara. Tetapi tak ada siapa-siapa. Dirasakannya cahaya pelan-pelan meredup, seperti terisap oleh lubang yang sangat besar. Udara bergerak menekan, dingin, semakin dingin membuat tubuh Sirin menggigil, giginya gemelutuk dan rasa takut mencekamnya sampai ke sumsum tulang. “Cepat, makanlah buah itu. Makan, atau kau akan tersesat di sini selama-lamanya.” Sirin menatap ke arah pohon, dari mana suara itu berasal. Dalam temaram ia lihat ular itu sudah tidak ada, yang ada adalah seseorang, bergelayut di batang pohon dengan kedua tangannya. Sirin tidak bisa memastikan apakah orang itu laki-laki atau perempuan, meskipun ia tahu orang itu telanjang bulat, cahaya yang semakin redup membuat Sirin tanpa berpikir lagi segera melahap buah di tangannya.
Seketika itu juga pandangannya menjadi benderang. Jernih dan tajam. Taman di mana ia berada terlihat dengan jelas, suatu pemandangan yang tidak akan bisa dijelaskan dengan kata-kata meskipun semua bahasa yang pernah ada digabung menjadi satu. Pemandangan yang belum pernah tertangkap mata, terdengar telinga, bahkan tebersit di hati manusia.
Mungkin peristiwa itu hanya mimpi semata, sebab kemudian ayahnya menemukannya tertidur di bangku taman. Tapi semenjak itu Sirin tidak pernah lagi bermimpi. Tidurnya kosong tanpa gambar atau suara apa-apa. Seakan-akan apa yang semestinya dilihat dan dialaminya dalam tidur telah meloncat ke alam nyata. Ruang dan waktu tak memiliki ketetapan bagi Sirin. Bergerak tanpa aturan, menyeret sejarah, dongeng, angan-angan, dan mitos dalam satu tarikan bagaikan gelombang laut mengempas di bibir pantai dan menebarkan remah-remah cerita melalui benda-benda mati yang dibawanya.
Eksistensinya pun mengikuti gerak kacau itu. Suatu kali Sirin adalah seorang bayi laki-laki yang lahir di kandang ternak ketika pada suatu malam yang dingin dan kudus, sebutir bintang bersinar lebih terang dari biasanya. Kali lain Sirin adalah remaja yang melihat bagaimana ayahnya, yang wajahnya memancarkan iman sekaligus keraguan, dengan pisau bergetar di tangan, bersiap menyembelihnya di sebentang padang penggembalaan. Dan di waktu lainnya, ia seorang laki-laki tua yang dikejar-kejar suatu pasukan besar, lalu karena seberkas bisikan, tongkat di tangannya ia ayunkan dan tiba-tiba laut di hadapannya terbelah. Pun bisikan yang sama telah mendorongnya, di lain waktu, membuat bahtera besar, yang dapat menampung semua makhluk hidup yang ada, beberapa waktu sebelum banjir besar menerjang seluruh permukaan bumi.
Dalam pergerakan waktu yang kacau itu, Sirin mendengar atau membaca kembali semua kisah yang dialaminya, dari orang-orang, atau dari buku-buku yang dibacanya. Tetapi tidak satu pun dari cerita-cerita itu menyebut namanya.
Seluruh indranya semakin hari semakin tajam sehingga ia bahkan bisa melihat miliaran bakteri di udara. Ia bisa melihat sel yang melakukan pertarungan dengan alam, berevolusi menjadi aneka makhluk hidup. Ia ingin mengatakan pada orang-orang bahwa ada yang telah diturunkan dari suatu tempat yang tingginya tak bisa dikira-kira. Mereka melakukan invasi ke bumi dengan maksud menaklukkan penghuni sebelumnya dan menguasai planet kehidupan ini. Ia juga bisa menyaksikan dengan jelas bagaimana proton, elektron, dan neutron membentuk atom. Memulai pertarungan yang membuat kecacatan dan melahirkan unsur kimia yang berbeda-beda.
Ia ingin mengatakan pada orang-orang, perihal semua yang dialaminya. Tapi Sirin tahu tidak akan ada yang percaya padanya.
Sampai ia nanti bertemu denganku.
Aku, makhluk lata tak berkelamin yang telah diutus menjadi pemimpin bagi mereka yang ingkar. Sebagian besar manusia telah mendengar dan meyakini keberadaanku. Mereka tahu bahwa kelak keturunan mereka akan melihatku, bila saatnya tiba, ketika kekacauan sudah tak bisa dikendalikan lagi dan manusia hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang saling membunuh. Sebagian lain tidak percaya bahwa aku benar-benar ada, meskipun mereka juga telah mendengar namaku disebut berkali-kali oleh orang-orang suci dan juru khotbah di mimbar-mimbar. Bagi mereka, keberadaanku sama omong kosongnya dengan kisah anak durhaka yang dikutuk menjadi batu, putri kerajaan tepi pantai yang berubah menjadi cacing laut untuk menghindari perang, atau kisah pemuda yang menikahi bidadari setelah mencuri selendangnya ketika bidadari itu sedang mandi.
Tapi takdirku sudah ditetapkan. Kaumku lahir satu per satu, jumlah mereka semakin banyak. Mereka menempuh suatu rangkaian pengalaman di muka bumi, sampai jiwa mereka menyatakan sumpah untuk masuk sebagai bagian dari kaumku. Mereka akan abadi setelah itu, terikat oleh seluruh kenistaan yang pernah ada. Mereka akan membuat semua manusia bersatu dalam ordo baru yang, kelak, dalam suatu upacara suci bakal dilebur kembali menjadi aku. Aku yang esa.
Aku telah menunggu sekian lama di padang pasir ini. Di atas singgasanaku, sebuah kursi jangkung dari perak murni. Aku mengenakan topi tinggi berhiaskan bulu burung. Ketahuilah, itu bulu burung Simurgh, sang raja yang telah kumusnahkan di masa lampau, dan membuat semua unggas di bumi tak bisa menemuinya lagi. Cahaya kejahatan menjadi pakaianku, cahaya yang berwarna terang. Tiap saat tubuhku kian membesar, kulitku kian legam terbakar dosa-dosa manusia. Aku menunggu saat ketika terompet ditiup di barat cakrawala. Kaumku akan keluar dari dalam tanah, memercik dari udara penuh racun kimia, melompat dari laut yang hanya bisa diduga kedalamannya.
Untuk sampai ke masa gemilang itu, aku hanya perlu mengulang satu peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya: pertemuan dengan Sirin. Makhluk yang diciptakan dari tragedi. Aku pernah bertemu dengannya di sebuah taman ketika waktu belum dibentuk. Aku tahu, di padang pasir ini, aku akan bertemu kembali dengannya. Ia akan menceritakan rahasia yang sudah lama ingin kuketahui. Perihal sebuah kapsul-luncur yang akan membawa kami kembali ke taman itu, mengembalikan ia ke dalam diriku. Hingga aku sempurna sebagai yang satu-satunya.
Tapi sebelum semuanya terjadi, aku harus bertanya padanya,
“Siapa yang telah mengutusmu?”

Menunggu Izrail


Cerpen Zainul Muttaqin (Kedaulatan Rakyat, 04 Juni 2017)
Menunggu Izrail ilustrasi Joko Santoso - Kedaulatan Rakyat
Menunggu Izrail ilustrasi Joko Santoso/Kedaulatan Rakyat
TIDAK diketahui mengapa laki-laki tua itu menangis terisak-isak sampai badannya yang tampak seperti batang lidi berguncang-guncang di atas sajadah. Seorang takmir masjid, Kasdu mengajaknya bicara dan ia tetap pada posisinya, bersila di atas sajadah dengan pejam mata yang terus berair.
‘Saya sedang menunggu…’ laki-laki itu baru membuka mulutnya ketika Kasdu selesai mengumandangkan azan Subuh. Tidak berlanjut kalimat yang terlontar dari mulut laki-laki tua itu.
‘Apa yang kau tunggu?’ Kasdu mendesak jawaban. Laki-laki tua itu kembali menangis. Gemuruh di dadanya perlu ditenangkan. Sejenak ia mengatur alur napasnya.
‘Menunggu Izrail.’ jawabnya diantara tarikan napasnya yang terdengar goyah. Mendadak jantung Kasdu seperti akan copot dari tangkainya. Kasdu belum paham, apa maksud ucapan laki-laki tua itu? Apa ia berharap mati di dalam masjid? Lagi pula, apa untungnya mati dalam masjid, terlebih masjid yang ia tempati kini jarang didatangi warga, bahkan akhir-akhir ini tak seorang pun ada orang mau salat di masjid itu.
Satu-satunya orang yang tetap merawat masjid itu adalah Kasdu. Ia datang hanya untuk mengumandangkan azan setiap masuk waktu salat, itupun jika tidak berhalangan dengan pekerjaan lain di rumahnya. Terkadang Kasdu salat sendiri di masjid, terkadang pula lebih memilih salat jemaah di rumah bersama anak istri.
‘Kenapa kau memilih masjid ini? Saya khawatir…’ Kasdu mengambil napas dalam-dalam. Memandang wajah laki-laki itu sekilas, sebelum akhirnya berujar, ‘Saya hanya khawatir tak ada yang mengetahui kematianmu bila itu terjadi, sebab tak ada orang yang mau ke masjid ini kecuali saya.’
‘Saya lihat banyak rumah disini. Kenapa mereka menjauh dari rumah Tuhan?’ Pertanyaan laki-laki tua itu membuat Kasdu mengelus dada, coba menelusuri sebab musabab mengapa orangorang kampung tak lagi berbondong-bondong ke masjid, salat berjemaah sebagaimana dulu.
‘Semua orang di kampung ini sudah tidak ada, mereka pergi ke kota, diangkut truk. Mereka belum pulang.’ Tanpa bisa mengurangi debar-debar ketakutan di dalam dadanya, Kasdu melihat ke luar masjid dengan perasaan was-was.
‘Untuk apa mereka pergi ke kota?’ Laki-laki tua itu mengejar jawaban dari mulut Kasdu. Dengan mendekatkan mulutnya ke telinga si laki-laki tua, Kasdu berbisik ‘Membela Tuhan.’
Mendengar jawaban Kasdu, laki-laki tua itu tertawa terpingkal-pingkal. Kening Kasdu berkerut seperti garis yang terombang-ambing. Belum sempat Kasdu bertanya, mengapa ia tertawa? Laki-laki tua itu sudah mengajak Kasdu untuk salat berjemaah. Detak jam terseok-seok berbunyi di atas dinding. Tak lupa begitu mereka selesai salat, Kasdu langsung menyergap laki-laki tua itu dengan pertanyaan yang sejak semula ia simpan.
‘Kenapa kau tertawa?’ Kasdu menekan suaranya, bertanya.
‘Tuhan siapa yang dibela? Jika mereka yang kita caci, kita serang, kita bunuh masih satu Tuhan yang sama.’
‘Apa itu alasanmu tertawa?’
‘Tidak!’
‘Lalu?’
‘Izrail.’
‘Izrail?’
‘Tak sadarkah kau? Jika dari waktu ke waktu, dari menit ke menit, dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, apa yang kita tunggu?’ Pertanyaan laki-laki tua itu dijawab gelengan kepala oleh Kasdu. Tasbih di tangan laki-laki keriput itu tetap berputar berseiring dengan suara jarum jam.
‘Kita hanya menunggu Izrail. Kematianlah yang kita tunggu.’ Laki-laki tua itu menjawab pertanyaannya sendiri.
‘Kenapa kau ingin menjemput ajalmu di masjid ini? ‘
‘Entahlah!’ Laki-laki itu mendesah. Kemudian berlinang air matanya, lirih ia berujar pada Kasdu, ‘Saya hanya berharap ada orang yang mau mensalatkan jenazah saya di masjid ini. Mungkin hanya ini satu-satunya masjid yang bisa mensalatkan jenazah saya nanti.’ q – g

Pulau Garam, Mei 2017
*) Zainul Muttaqin, Lahir di Garincang, Batang-batang Laok. Batang-Batang, Sumenep Madura 18 November 1991. Salah satu penulis dalam antologi cerpen; Dari Jendela yang Terbuka (2013) Cinta dan Sungai-sungai Kecil Sepanjang Usia (2013) Perempuan dan Bunga-bunga (2014).Gisaeng (2015). Tinggal di Madura.

Senin, 19 Juni 2017

Air Mata

Air Mata pelembut jiwa
"Stetes air matamu dapat melembutkan jiwamu"

Mencahayai hatimu yang gelap
Melunakkan hatimu yang keras
Bahkan menghidupkan kembali hatimu yang mati

Setetes air matamu
Dapat menjadi senjata yang ampuh menundukan nafsumu
Bahkan untuk memadamkan kobaran api neraka
Setetes air matamu adalah lebih baik dari pada seluruh dunia dan seisinya.


Jika air mata itu,,
Air mata yang terjatuh dari pelupuk mata seorang hamba karena rasa takut kepada RaabNya.

Air mata seorang hamba yang memohon ampun dan bermunajat pada Dzat Yang Maha Agung atas dosa-dosanya.

Air mata yang menetes karena mengingat betapa luas AmpunanNya

Air mata yang mengalir karena mengingat nikmat-nikmat yang tak henti diberikanNya

Ketentraman Hati

Mungkin ada beban di hati
Terasa begitu cepat datangnya pagi
Sadarkah, umur berkurang lagi
Kesempatan, berlalu lagi

Masihkah jelas diingatan
Bermacam kejadian dan keadaan
Bisa dibilang berat
Tapi nyatanya hari ini kau masih sehat

Yang kau kira akan menghancurkan bahagiamu
Nyatanya tak terjadi
Yang kau kira kau tak mampu
Nyatanya kau lalui

Kekhawatiran memang hanya buah negatifnya pikiran
Kenyataannya tak ada yang terjadi

Beberapa orang merasa dihantui masa lalu
Tapi, bila masa lalu tak ada hari ini pun tak ada
Ya kan?
Beberapa orang berharap bisa mengganti masa lalu
Agar hari ini yang dirasa berbeda
Apa kau juga?

Sudahkah pasti hari ini lebih baik
Bila masa lalu diperbaiki
Apa tak mengerti faktanya
Bahwa manusia tak bisa memperkirakan yang terjadi

Menyesali?
Berat lho rasanya
Kenapa tak memilih mensyukuri?
Lebih ringan dan lega
Cobalah

Tak usah minta ganti
Minta saja pada Allah agar diberi ketetapan yang menentramkan hati
Yang membuatmu lebih tenang
Yang membuat Allah senang
Yang kau rasa bahagia
Yang membawamu ke surga

Dunia ini banyak manusianya
Tak semua mulus kehidupannya
Lebih banyak beratnya
Lebih banyak sulitnya
Tapi ternyata banyak yang berhasil
Artinya, semua usaha ada hasil
Malas dan rasa pesimis diri yang menjadikannya mustahil

Cantik

Aku bukan wanita secantik artis.
Aku bukan pula wanita secantik model.
Aku juga bukan wanita yang kecantikan nya di nobatkan dunia.
Maka dari itu aku takbisa menjanjikan kecantikan fisik untukmu.

Jangan mengharapkan kecantikan fisik dariku karena aku tidak bisa memberi itu.
Tapi jika kamu mengharapkan kecantikan dari hati. Aku akan berusaha memberi itu untukmu.

Sempurna

Jika kau mencari yg sempurna, bukan aku orangnya, tapi jika kau mencari seseorang yg dapat mengisi kekurangan mu untuk menjadi ssuatu yg sempurna ,insyaAllah bukan aku juga karna kesempurnaan hanya milik Allah semata

Menjadi Lebih Baik

Menjadi seorang perempuan seharusnya membuatmu mampu lebih sabar dari sabarnya laki-laki
Belajar lebih kuat dari kuatnya seorang laki-laki

Menjadi seorang perempuan seharusnya membuatmu juga lebih pintar
Pintar menjaga emosi mu
Dan pintar menjaga martabat mu

Karena seorang laki-laki butuh bahu yang kuat dan hati yang hangat tempat ia pulang setelah mengemban

Dan dia juga butuh wanita yang kelak akan anaknya berkata "Aku mempunyai ibu yang kuat dan hebat"

Jadi, jika kita menuntut jodoh yang baik kepada Allah
Kita harus berkaca terlebih dahulu, sudah baik kah diri kita sebelum meminta kepada Allah

Sebab Allah telah membocorkan rahasia tentang jodoh, sebagaimana yang tertulis dalam firman-Nya. "Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)."
(QS. An-Nur 24: Ayat 26)

Dari ayat ini sudah tertulis dengan jelas bahwa sejatinya laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik begitu juga sebaliknya
Karena sejatinya bahwa jodoh adalah cerminan dari diri kita sendiri.

Jika kita shaleh, taat akan perintah-Nya, rajin membaca Al-Quran, baik akhlaq dan perilakunya.
Insya Allah, Allah akan pertemukan kita juga dengan orang yang seperti itu

Sehingga diharapkan setelah mengetahui hal ini
Akan mengubah pandangan kita dalam memahami jodoh

Yang dulunya lebih memikirkan "siapa nanti jodoh saya" menjadi "bagaimana menjadikan diri ini" agar memperoleh jodoh yang sesuai dengan harapan

Jadi, teruslah memperbaiki diri
Hingga sang pujaan hati datang menghampiri
Membangun cinta yang suci
Yang dilandasi akan cinta sang illahi
Agar kelak cinta yang terjalin ini
Mendapatkan surga yang kekal nan abadi

Qabiltu

QABILTU ( Tanda SAH nya Aku dan Kamu )

Ini bukan tentang aku yang merasa paling suci dengan menghindari bertatap dan bersentuhan dengan mu.

Ini juga bukan tentang aku yang sombong karena memilih diam kala berhadapan dengan mu.Atau memilih tak ingin menanggapi mu meski hanya lewat sapaan hangat yang kau kirim lewat chat pribadi mu.

Dan sekali lagi,ini bukan tentang aku yang menghindarimu karena kebencianku atau menganggap mu berpengaruh buruk terhadap kehidupan ku.

Bukan....
bukan itu yang menjadi maksud dan tujuan ku.

Tapi....
ini adalah tentang aku,perempuan yang tertatih tatih melawan godaan cinta masa muda.

Memang mempunyai perasaan cinta adalah fitrah semua manusia.Namun aku hanya ingin membawa fitrah itu ke jalan yang mulia,yaitu dengan tidak terlalu terjebak perasaan yang belum tentu benar adanya.

Katakan lah kalimat syair cinta ribuan kali,tak akan aku terkesima akan indah nya syair mu.
Namun katakan lah akan keseriusan niat mu di depan waliku maka segenap hati aku menaruh hormat akan keberanian mu.

Ucapkanlah kata 'I Love You' di depan jutaan orang,tak akan secuil pun hati ini ku serah kan padamu.

Namun ucapkan lah kalimat 'Qabiltu' di depan penghulu dan waliku,maka seumur hidup hati ini adalah milik mu.

Kata Hati

Kita terus berjalan dengan kaki
Tak pernah berjalan dengan hati
Langkah kaki akan terus membawa kesuatu hal yang baru
Hanya lelah yang akan menunda langkah kaki
Hanya menunda, bukan berhenti
Dan kata hati akan terus menuntut kaki untuk melangkah kearah mana yang kita mau
Terkadang kita terus berjalan
Entah kemana, tanpa kata hati
Sering ada kata 'jalani saja'
Sekalipun kita diposisi yang sama sekali tidak kita harapkan
Mungkin banyak orang yang berada disituasi ini
Tapi tidak banyak orang yang berani lari dari situasi ini
Karena apa? .
Kita hidup punya tujuan
Dan kita yakini tujuan itu untuk kita capai
Tapi kadang kita tau kita berada dijalan yang salah
Lantas apa?
Apa itu takdir kita?
Dan apa kita harus terus berjalan di jalan yang salah itu?
Kalau terus mengikuti langkah kaki
Mau sampai kemana?
Sampai tidak ada lagi jalan yang bisa ditapaki?
Untuk beberapa saat perluh meluangkan sedikit waktu
Untuk mendengarkan kata hati
Dan mulai melangkahkan kaki beriringan dengan kata hati
Karena sejatinya kata hati akan membawa menuju mimpi, angan dan kadang asa yang tak terbatas
Langkah kaki memang penuh kejutan
Banyak hal yang tak terduga dibalik setiap langkah yang kita jalani
Mungkin kaki lelah
Tapi hati tak pernah menyerah.

Berbahagia

Berjanjilah,Untuk Selalu Bahagia

Jika saja menahan pedih aku mampu melaluinya
Apa kau pikir akupun sanggup melihatmu bersedih?

Tidakkah kepedulianku tak cukup bagimu?
Aku seperti keledai berlumpur
Tatkala soraya kian meredup
Ya.
Aku tak sanggup melihat,
Melihat sebuah senyuman ,yang banyak mereka sebut bahwa itu adalah bahagia

Bahagia?
Bagaimana bisa?
Sedang kebahagiaanku terlihat murung dan bersedih

Kumohon untukmu
Sungguh,
Bagiku,cinta tak berbalas tidaklah seberapa
Sebab aku yakin atas janjiNya
Akan tetapi,
Melihatmu bersedih hatiku terasa menangis lirih
Dadaku terasa sesak bak alkohol berjatuh teramat pedih

Jikalau filosofi dunia mengatakan bahwa kau baik baik saja
Kau pikir aku percaya begitu saja?

Sungguh,
Jelaskan padaku,ada apa denganmu?

Percayalah,
Ketika cahaya disekitarmu mulai meredup,
Ingatlah,
bahwa aku adalah lilin kecil dengan cahayanya yang remang,masih disini menjadi pelita setia,
tatkala takdir kegelapanmu mulai datang perlahan

Dan benar
Berjanjilah,Untuk Selalu Bahagia

Wanita Sholehah

Kalian akan mendapatkan gelar "Wanita Sholeha" itu jika kalian berjalan di jalan yang lurus, tetap istiqomah, taat dan patuh pada apa yang di perintahkanNya serta menjahui segala apa laranganNya.
 
Tirulah beliau-beliau walau kalian tak akan sanggup menyamainya,
Semoga Allah mengangkat derajat kalian dan mengumpulkan kalian di JannahNya yang dihatinya tertanam rasa cinta padaNya..

Berhijab

Jangan pernah menganggap aku lebih baik dari kalian, karena sebenarnya yang kalian lihat tidak seperti yang kalian anggap.

Aku sama seperti kalian, remaja yang masih ingin kebebasan. Namun bedanya aku lebih memilih kebebasan dalam syariat islam bukan dalam hal kekinian.

Aku sama seperti kalian, remaja yang sedang mengenal Cinta. Namun bedanya aku lebih memilih menyimpan sebuah rasa Cinta dibandingkan mengatakan nya.

Aku sama seperti kalian, remaja yang masih mencari jati diri, namun bedanya aku lebih memilih mencari jati diriku dengan cara yang diridhoi Illahi Robbi.


Jika memang hijabku membuat kalian beropini bahwa aku baik, maka kuberitahu.

Kalian salah, karena sebenarnya aku tak jauh berbeda dari kalian. Namun bedanya aku lebih memilih berubah menuju kearah yang lebih baik dan meninggalkan masa yang sekarang kalian masih jalani.

Jika karena postingan ku, kalian berfikir aku sangat pandai ilmu agama.

Maka ketahuilah, aku tak ubahnya seperti seorang anak yang baru mengenal agama. Atau bahkan mungkin saja, aku lebih bodoh dari kalian.

Aku sama seperti kalian yang masih belajar, namun bedanya aku lebih memilih membagikan ilmuku agar bermanfaat bagi semua orang.

Aku tidak pernah merasa lebih baik dari kalian, karena aku pun pernah seperti kalian.

Aku hanya merasa lebih baik dari masa laluku, karena jika dibayangkan masa laluku sangatlah buruk. Mungkin lebih buruk dari apa yang kalian jalani saat ini.

Mencari Ridha Allah Swt

Ibarat seorang penyelam yang mencari mutiara di laut ...
Ya, kita adalah penyelamnya, laut adalah Dunya ini.
Tugas kita hanya mengambil mutiara dilautan, jangan terpana dengan warna-warninya ikan... Jangan juga terpesona terumbu karang
Jika banyak lalainya, maka cadangan udara yang kita bawa menyelam akan segera habis ... Hingga pada akhirnya kita tak mendapatkan mutiara itu...
Begitu pun dunya, tugas kita beribadah dan mencari bekal untuk akhirat kelak....
Jangan terlalu banyak lalai oleh indahnya dunia, megahnya harta dan segala perhiasan nya...
Usia kita terbatas.. Jangan sampai bekal belum dapat, pas sadar, maut sudah mendekat ..
Naudzubillah.

Kutipan Bad Romance

Kepercayaan itu kayak kertas. Kalau udah lo remek, enggak bakal bisa mulus lagi. Dan kalaupun bisa dibikin rada mulusan dikit, it takes time. (hlm. 347)

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Kalau kamu merasa perempuan itu berharga, jaga dia. Jangan pernah kamu main-main sama dia. Jangan pernah bikin dan biarin dia nangis. Karena sekali kamu biarin dia nangis, orang lain yang bakalan menghapus air matanya. (hlm. 130)
  2. Asal lo mau usaha dikit lagi, bisa lo dapetin. (hlm. 155)
  3. Dunia ini jahat. Ia tidak akan pernah berhenti memberikan cobaan selama kita hidup karena hidup adalah cobaan itu sendiri. (hlm. 196)
  4. Setiap kalimat bakal beda kalau itu keluar dari mulut orang yang lo sayang. (hlm. 203)
  5. Terkadang, seseorang yang paling hati-hati sekali pun bisa melakukan kesalahan yang menghancurkan dirinya sendiri. Bahkan, orang-orang disekitarnya. (hlm. 265)
  6. Semua orang pernah bikin kesalahan. (hlm. 268)
  7. Itu udah hukum alam. Lo akan menjauh dari apa yang bikin lo sakit. (hlm. 339)
  8. Mulut sih bilangnya move on. Hati bilangnya hold on. (hlm. 342)
Banyak selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Nggak usah banyak bacot, deh. Langsung aja! (hlm. 10)
  2. Ganteng itu relative. Selera cewek itu beda-beda. (hlm. 17)
  3. Bukan tipe cowok idaman banget. Di mana-mana juga, kalau ceweknya enggak mau diantar pulang, ya ditungguin, lah. Masa ceweknya ditinggal sendirian? (hlm. 19)
  4. Kayak jelangkung aja, datang tak diundang pulang tak diantar. (hlm. 21)
  5. Gila ya, zaman anak sekarang, masa tawuran bawa kayu. Kalau kena kepala anak orang, bisa mati. (hlm. 57)
  6. Perempuan baik-baik enggak merebut miliki perempuan lain. (hlm. 71)
  7. Tapi inilah cinta, tidak masuk akal. (hlm. 83)
  8. Jangan dilawan. Makin lo ngelawan, makin kuat perasaan lo. (hlm. 99)
  9. Hati orang mana ada yang tahu sih. (hlm. 154)
  10. Lo ngerasa enggak dihargai enggak sih, saat lo tahu pacar lo tuh

Kutipan Friendzone

Sebanyak-banyaknya oksigen yang berhamburan di dunia ini, tapi kalau nggak ada diri lo dikehidupan gue, tetap aja rasanya hampa. Karena hanya lo oksigen yang bisa membuat gue bernapas dengan bahagia di dunia ini.” (hlm. 73)

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Kalau lo jatuh, ya gue tangkeplah nanti. Jadi, lo nggak perlu takut. (hlm. 32)
  2. Mimpi hanya akan mimpi kalaulo nggak berusaha. Makanya lo harus berusaha. (hlm. 171)
  3. Nyaman adalah awal dari tumbuhnya perasaan suka. (hlm. 179)
  4. Mungkin berjalan di samping orang yang disukai itu mengakibatkan lupa waktu. (hlm. 179)
  5. Kadang, yang selalu ada akan kalah sama yang kita mau. (hlm. 189)
Beberapa selipan sindiran halus dalam buku ini:
  1. Jangan terlalu dipikirin, let it flow Yang penting, lo harus peka sama lingkungan lo sendiri, terutama temen deket sama sahabat lo. (hlm. 26)
  2. Walaupun sifat lo yang nyebelin, itu nggak bakal bisa ngubah rasa suka gue ke lo. (hlm. 29)
  3. Jangan bercanda. Gue cuma ngomong asal. (hlm. 33)
  4. Kalau menunggu adalah hal yang terbaik buat gue, gue bakal menunggu sampai lo menyadarinya, sampai kapan pun itu. (hlm. 36)
  5. Kalau belajar jangan melamun, nanti kesambet. (hlm. 58)
  6. Cewek cantik kayak loh tuh jangan ditutup-tutupin kecantikannya. (hlm. 70)
  7. Terkadang, lo harus sensitif sedikit dengan sekitar lo. Lihat cara pandangnya yang berbeda ke elo. Jangan sia-siain dian. (hlm. 112)
  8. Nyadar juga lo kalau dosa lo banyak. (hlm. 123)
  9. Mungkin sepertinya harus bertingkah seperti orang gila dahulu untuk melupakan masalah. (hlm. 127)
  10. Putri malu aja peka, kenapa lo nggak? (hlm. 150)
  11. Lo nggak lihat mukanya aja udah mewek gitu. (hlm. 164)

Rumah Sukun


Cerpen Gerson Poyk (Kompas, 28 Mei 2017)
Rumah Sukun ilustrasi Diyanto - Kompas
Rumah Sukun ilustrasi Diyanto/Kompas
Pagi itu ketika Adam dan istrinya Adama bangun, air di halaman rumah mereka sudah setinggi tiga meter. Hujan yang turun semalam suntuk menyebabkan banjir besar yang merendam seluruh perkampungan kumuh. Manusia bagaikan tikus yang lari pontang-panting, mengungsi ke mana-mana.
Adama yang bangun lebih dulu tidak bisa berbuat banyak untuk menolong tetangganya yang kena musibah karena tangga rumahnya yang terletak di atas meja beton raksasa setinggi tujuh meter itu, sudah diangkat. Para perempuan dan anak-anak berada di atas rakit batang pisang, dibawa ke tanah yang lebih tinggi. Ia berpikir, kalau tangganya diturunkan maka pengungsi akan naik ke atas atap rumah, di atas meja beton raksasa itu. Di atas meja beton raksasa seluas sepuluh kali lima belas meter, terletak rumah yang terbuat dari bambu kuning berukuran sembilan kali enam meter. Rumah itu tak dapat menampung banyak orang. Akan tetapi, ketika ia melihat lima orang ibu duduk menggendong lima bayi yang semuanya basah kuyup, ia menurunkan tangga lalu beberapa lelaki menolong mereka menaiki tangga dan masuk ke dalam rumah bambu kuning itu.
Adam, sang suami terbangun oleh tangis lima bayi. Ia segera meminta pertolongan istrinya menyediakan pakaian kering untuk kelima bayi itu. Setelah tubuh bayi-bayi dan ibu mereka kering, Adama menghidupkan api dengan kayu bakar di atas tungku, menggoreng sukun, memasak bubur dan membuat susu untuk bayi-bayi itu.
Tidak lama kemudian Mpok Uni, pembantu rumah-tangga datang dengan kendaraan rakit batang pisang yang didorong memakai galah bambu yang panjang. Setelah membersihkan rumah, Adama memberinya uang belanja lalu ia menuruni tangga, naik rakit batang pisang lagi untuk berbelanja ke pasar. Kembali membawa belanjaan, Mpok Uni memasak makanan yang cukup untuk dimakan oleh lima orang ibu pengungsi termasuk tuan rumah dan Mpok Uni, pembantu mereka.
Sehabis makan siang, tiba-tiba terdengar bunyi motor air. Adam dan Adama melihat keluar. Ada perahu karet yang dipenuhi oleh orang berpakaian seragam pemerintahan.
“Siapa mereka itu?” tanya Adam kepada istrinya.
“Rombongan Gubernur,” jawab istrinya.
“Masa Gubernur berbanjir-banjir,” kata Adam.
“Itu Gubernur sungguhan,” kata Adama.
“Bukan, ah,” bantah suaminya.
Sementara itu perahu karet bermotor itu sudah bersandar ke tangga. Gubernur dan rombongan menaiki tangga, menjabat tangan Adam dan Adama, lalu mereka dipersilakan masuk oleh tuan rumah.
Setelah rombongan itu duduk, Gubernur berkata. “Rumah ini indah sekali. Ada pohon sukun keliling rumah. Ada totem-totem ekspresif. Ada lukisan besar-besar primitif artistik. Dari mana benda-benda seni ini?” tanya gubernur.
“Dibuat sendiri, Pak.”
“Dan lukisan-lukisan lebar ini?”
“Hasil karya istri saya, Pak. Istri saya pelukis,” kata Adam.
“Pantas. Istri pelukis dapat membuat rumah dan halaman menjadi taman, mungkin sang suami seorang arsitek pertamanan. Lihat saja pohon-pohon sukun yang buahnya lebat dan daunnya yang rimbun bergantungan, lihat saja rumpun-rumpun pohon bambu kuning, rumpun pisang yang buahnya bergelantungan. Taman ini dilukis oleh nyonya rumah. Lihat lukisan daun sukun dan buahnya dengan wanita cantik yang gemuk. Tidak kalah dengan lukisan Gaguin yang pernah saya lihat di museum luar negeri.”
“Saya bukan arsitek pertamanan, Pak. Saya mantan guru di sebuah dusun hutan Papua,” kata Adam.
“Pantas. Rumah ini mirip rumah pohon, seperti rumah orang Papua. Tapi ini rumah Papua modern. Sekarang masih mengajar?”
“Tidak lagi. Di Papua saya dipecat,” kata Adam.
“Sedih sekali, saya dipecat karena harus meninggalkan rumah sukun saya di sana. Rumah sukun saya di Papua, semuanya terbuat dari kayu kelas satu anti rayap anti lapuk. Buah-buah sukun bahkan masuk bergelantungan sampai ke depan jendela dan pintu rumah seperti rumah ini. Tiap hari saya makan buah roti, makan breadfruit, Pak. Saya juga makan hamburger karena daging datang sendiri ke kolong rumah sukun saya. Puluhan celeng, rusa, ular, biawak, buaya, tokek, tikus, kodok datang bermain di kolong rumah. Tinggal dipanah lalu daging binatang itu diasap menjadi smoked beef. Hutan Papua adalah firdaus gizi,” kata Adam menggeleng-gelengkan wajahnya, “Kini dusun hutan saya sudah menjadi pusat ekowisata. Orang asing yang datang, ramai-ramai bersama penduduk membangun banyak rumah sukun. Mereka memakai koteka supaya kulit dan telapak kaki mereka tebal, memanjat pohon, bergelantung, berayun di akar-akar seperti Tarzan, berteriak-teriak meniru suara binatang hutan, bersiul meniru suara burung, mendesis meniru suara ular, mendengung-dengung meniru suara kodok. Pesawat-pesawat terbang kecil mendarat di sungai dan terbang kembali. Saya ingin kembali ke sana….”
“Mengapa sampai dipecat lalu meninggalkan Papua?” tanya Gubernur lagi.
“Saya diusir,” jawab Adam.
“Siapa yang mengusir?” tanya Gubernur.
“Pemerintah.”
“Ah, tidak mungkin. Pemerintah tidak mungkin mengusir seorang guru. Papua sangat memerlukan guru.”
“Atas hasutan pengembang proyek transmigrasi, kaki tangan kapitalisme myopic. Mereka datang ke Papua membawa mesin-mesin raksasa menghancurkan hutan, mengubahnya menjadi sawah monokultur sehingga top soil tak dilindungi akar hutan. Saya tidak setuju lalu saya mengerahkan massa Papua berdemonstrasi. Sayangnya massa jadi anarkistis, membakar alat-alat berat dan gudang-gudang. Saya ditahan, dipenjarakan, dipecat dan begitu keluar dari penjara, diusir lalu terdampar di sini. Di sini saya membeli tanah satu acre yakni sekitar empat ribu meter, lalu saya tanami sukun, bambu, pisang, nangka, pepaya, duren, jambu, sirsak, delima dan lain-lain. Saya hidup dari hasil kebun saya dan kebun saya hidup dari tanah. Saya seorang Adam yang hidup dari Adama yang berarti tanah. Adam dan Adama adalah bahasa Ibrani, Pak. Saya mendapat istri bernama Adama. Mula-mula ia bernama Maria Tzu tetapi kemudian diubah menjadi Adama.”
“Dari mana modal untuk membeli tanah dan membangun rumah sukun ini?” tanya Gubernur.
“Waktu saya diusir saya menghilang, bergabung dengan penduduk pendulang emas di sungai pembuangan sampah tambang emas. Tiga tahun mendulang, hasilnya satu setengah kilogram emas. Siang malam saya mendulang di terik matahari dan angin dingin, pakai koteka saja sehingga kulit saya tebal. Waktu saya kena malaria atau apa, seorang misionaris dokter menyuntik saya. Jarumnya patah. Sang misionaris membakar tang dan pisau, lalu kulit saya dikerok dan jarumnya dicabut. Dia kagum dan berkata bahwa saya harus menjadi instruktur pasukan khusus Tentara Nasional Indonesia,” Adam berkisah.
Gubernur tertawa, “Insinyur siapa yang membangun rumah ini?”
“Saya dan istri saya dibantu tukang kampung, bukan insinyur. Awalnya istri saya gemuk sekali tetapi setelah bekerja setiap hari mencampur semen untuk membuat tiang beton tulang besi kaki ayam, ia jadi kurus, langsing seperti sekarang,” kata Adam.
Sang istri yang duduk di samping suaminya mendorong bahu suaminya.
“Mengapa Saudara tak setuju dengan program transmigrasi di Papua?” tanya Gubernur lagi.
“Saya setuju dengan transmigrasi tapi transmigran yang datang ke Papua harus seperti saya. Membangun rumah sukun di tengah hutan. Soalnya kalau di hutan, kita banyak makan daging perburuan sehingga sedikit memperoleh anak. Orang Jawa dan Sunda hidup dari sawah. Setiap hari makan nasi sehingga jadi banyak anak. Lihat saja tikus sawah yang mewabah karena makan padi. Perempuan Jawa dan Sunda yang banyak makan nasi potensial banyak anak sehingga bisa menjadi wabah di tanah Papua, wabah yang memusnahkan orang Papua. Percaya atau tidak, orang Papua akan punah kalau transmigrasi sawah merebak. Padahal perempuan Jawa dan Sunda itu arif dalam perkara makanan,” kata Adam. “Perempuan Jawa suka makan gado-gado, perempuan Sunda punya kearifan budaya lokal di bidang kuliner bernama lalap. Kata orang, kawin dengan perempuan Sunda sangat enak dan gampang. Lepas dia ke hutan hanya dengan modal sambal, tiap hari ia akan bersenandung kecapi Sunda sambil makan lalap!”
Gubernur tertawa, “Bisa aje Kang Adam ini. Kata siapa makan nasi jadi wabah tikus?”
“Kata literatur, kata para ahli. Lihat orang Eropa. Mereka makan daging setiap hari sehingga anaknya sedikit,” kata Adam.
“Dari mana orang Indonesia memperoleh daging setiap hari? Daging manusia banyak karena makan nasi,” kata Gubernur terbahak-bahak.
“Indonesia tidak kekurangan protein sebenarnya. Ikan tak akan habis di laut. Di sawah banyak tikus, kodok, belut, ular, biawak dan sebagainya. Semua itu protein. Banjir ini membawa protein setiap hari setiap jam. Saya dan istri membuat jaring yang ditaruh di banjir. Waktu diangkat, ada ikan, ada biawak, ada ular. Banyak sekali. Karena banyaknya kami awetkan,” kata Adam.
“Diawetkan dengan apa?” tanya Gubernur.
“Dengan asap. Asap berfungsi selain membuat daging asap, juga mengusir petir. Kalau hujan petir dan halilintar kami mengasapi ikan, ular, biawak. Maaf, saya undang Bapak melihat ke dapur. Ada tergantung banyak ular, tokek dan biawak dibawa banjir yang sudah diasap,” Adam mengundang Gubernur.
Ketika gubernur dan stafnya melihat binatang-binatang yang sudah awet itu mereka berseru, “Astaganaga!”
“Daging yang paling enak melebihi daging binatang ternak adalah daging ular, Pak. Juga ekor buaya, rasanya gurih, kenyal. Bapak-Bapak mau coba daging ular dan biawak?”
Serentak pejabat-pejabat itu ngeong, “No. No, no….”
Kembali ke kamar tamu Adam berkata, “Sebentar lagi kita angkat jaring yang terpasang kemarin. Pasti akan terjaring banyak protein yang dibawa banjir tadi malam. Itu di sana, di selokan yang banjirnya deras kami pasang jaring besar di sana,” kata Adam.
Gubernur, sambil bersandar, berkata, “Saya salah, mengapa saya membangun tidak rumah sukun. Mengapa baru sekarang kita bertemu dan melihat rumah ini. Kalau dulu saya melihat rumah dan taman sukun ini, saya akan bangun banyak rumah dan taman sukun.”
“Begini, Pak,” kata Adam. “Baik rumah susun, baik rumah sukun di kota besar ini, semuanya menyenangkan setan.”
“Maksudnya?” tanya Gubernur.
“Manusia akan berbondong ke kota. Urbanisasi makin membengkak. Seperti kata literatur, urbanisasi dan pengangguran adalah setan yang paling buas. Sebaiknya transmigrasi gaya rumah sukun disebarkan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Akan tetapi semua ini, mestinya jadi urusan Departemen Transmigrasi dan Tenaga-Kerja. Sayangnya departemen ini hanya mengurus babu-babu dan budak upah. Di hutan, manusia adalah manusia, adalah bos atas dirinya sendiri. Saya pikir dalam tempo sepuluh tahun, kalau ada program transmigrasi rumah sukun, negeri ini akan maju, orang miskin dan penganggur akan lenyap dan kalau ada industri berat kita akan menjadi bangsa adidaya,” kata Adam.
“Akan tetapi kita perlu banyak kapal untuk mengangkut berjuta transmigran,” kata Gubernur.
“Soal kapal tirulah Jepang. Ketika Jepang diusir dari Port Arthur, dalam tempo sembilan tahun saja Jepang bangun industri besar, kapal besar, mesin besar, meriam besar dan sebagainya lalu menenggelamkan armada kapal perang Rusia. Kita ini punya batubara, minyak, besi, timah, nikel, tembaga dan sebagainya. Tinggal memasak logam dan mengecornya menjadi kapal, mobil, pesawat terbang dan sebagainya. Dalam tempo sembilan tahun, Pak Gubernur, sembilan tahun Jepang jadi raksasa. Kita ini seperti India. Ketika Jepang sibuk dengan teknologi, dengan mesin-mesin besar, India sibuk memperbanyak sarjana hukum. Indonesia pun demikian tetapi hanya mencetak sarjana hukum yang tidak mampu menegakkan hukum, kecuali mafia hukum. Ekonomi Amerika dikemudikan oleh pemikir bernama Keynes dan filsafat pragmatisme. Intelektual dunia melawan fundamentalisme agama yang mengandalkan eros dan thanatos, yakni naluri kehidupan syahwat dan naluri kematian, dengan karya para filsuf antara lain John Locke, Descartes, Kant dan lain-lain. Begitu yang saya baca dari literatur yang saya bawa ke hutan Papua, hutan yang memberikan waktu senggang untuk belajar karena tidak mempergunakan waktu menggarap sawah. Di Amerika ada kampus di tengah hutan buatan tetapi tidak ada sagu, sukun dan binatang perburuan. Kalau ada kampus di tengah hutan Papua, maka mahasiswa akan tertolong,” celoteh Adam. “Menurut perhitungan China sebelum perang, biaya untuk seorang mahasiswa dalam setahun setara dengan 30 tahun kerja petani. Kalau ia kuliah 5 tahun sampai tamat maka seorang sarjana menghabiskan 150 tahun kerja petani. Bayangkan, di negeri ini ada jutaan sarjana nganggur,” Adam merenung. “Soal mengatasi banjir, panggil insinyur kanal Belanda. Orang Belanda bisa mengalahkan Atlantik dengan membuat bantaran raksasa sehingga memperoleh tanah pertanian yang lebih rendah dari permukaan samudra. Indonesia tak mampu melawan segumpal awan yang menurunkan hujan cuma satu atau dua jam,” tambah Adam.
Gubernur melihat jam di tangan, “Oke, nanti saya sediakan ruangan dan waktu untuk acara diskusi macam ini secara berkala, tapi mari kita lihat jaring yang ditaruh tadi malam. Saya ingin lihat ikan yang dibawa banjir.”
Ketika jaring diangkat, tampak ikan menggelepar. Ada beberapa ular dan biawak tetapi jaringnya agak berat. Tiba-tiba tampak dua tengkorak manusia, yang satu besar, yang satu kecil.
“O, Tuhan, di atas sana ada kuburan yang dikuras banjir dan membawa tengkorak ke jaring ini,” kata Adam dengan suara keras.
Gubernur mengambil kedua tengkorak itu dan berkata, “Blessing in disguise, banjir membawa ikan untuk pengungsi tapi juga tengkorak buat saya. Saya bawa dua tengkorak ini ke kantor, ya!”
“Jangan dilihat wartawan. Nanti Bapak dicap dunia sebagai Gubernur Tengkorak!”
“Bungkus!” titah Gubernur.
Waktu Gubernur pergi, terdengar ciap-ciap kelima perempuan pengungsi dan bayi-bayi mereka….***

Catatan:
Cerpen ini ditulis beberapa bulan sebelum Gerson Poyk meninggal karena sakit. Pengarang kelahiran Namodele, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, ini wafat, 24 Februari 2017. Ia lahir pada 16 Juni 1931. Gerson menghabiskan lebih dari separuh hidupnya dengan menulis. Ia mulai dikenal dalam dunia penulisan kreatif di Tanah Air sejak tahun 1950. Kritikus HB Jassin menempatkan dia sebagai salah satu eksponen sastrawan Angkatan 66.

Masjid Wali


Cerpen Kartika Catur Pelita (Republika, 28 Mei 2017)
Masjid Wali ilustrasi Rendra Purnama- Republika
Masjid Wali ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Pertunjukkan orkes dangdut sangat meriah.Pentas digelar di halaman depan rumah Haji Wahdi, pesta khitanan putra bungsunya. Penyanyi semok berkostum seksi mendendangkan tembang dangdut koplo goyang rancak. “….Gak mau pulang, maunya digoyang. Gak mau pulang…, eh, eh, Bang Jono, lama abang gak pulang- pulang…”
Penonton beragam usia menonton dengan antusias. Barisan teruna ngibing, berjoget dangdut beragam gaya khas. Ada yang angguk-angguk kepala, geleng- geleng, geol bokong, sampai cukup goyang ibu jari.
Sam, Rino, dan Helmi, tiga sekawan asal Dukuh Pungruk, turut merayakan tontonan gratis. Tiga jantan lulusan MTs itu sengaja datang dari kampung ke tempat hajatan yang berjarak 25 km. Naik motor berboncengan tiga, alias cenglu. Semua dilakukan demi bisa nonton dangdut. Menikmati suara biduan yang mendayu, juga goyang yang bikin serser darah muda. “…langit hang dadi saksi, bumi milu nyakseni,…sun linglung koyo wong edan turun.”
Sambil berjoget, mereka menenggak minuman beralkohol yang dijual di sekitar area pentas. Serasa melayang, nggeleyang, asoi asyiknya.
Pertunjukkan orkes berakhir pukul dua belas tengah malam. Sam, Rino, dan Helmi mampir ke warung kucing, menyantap beberapa bungkus nasi, sate besusul, mendoan, dan minuman penyegar. Sebelum lima belas menit kemudian motor mereka menerabas jalanan.
Gara-gara pengaruh minuman keras, ngebut, motor meleng, dan menabrak pohon di pinggir jalan. Ketiganya tersuruk di sawah yang berlumpur kerontang.
Helmi sempoyongan. Rino mendorong motor. “Motornya soak,” kutuknya.
Sam membersihkan lumpur di celana jeans-nya. “Kita mesti nuntun. Siapa tahu di depan ada bengkel.”
Sepanjang jalan yang ditemui hanya lahan empang dan pesawahan. Langkah mereka berhenti ketika bersua sebuah masjid yang terletak di atas tanah berbukit.
“Kita istirahat di masjid aja,” usul Sam.
“Mau ngapain?” gumam Rino.
“Sembahyanglah. Gini-gini, aku masih suka sembahyang meski kadang mabuk dan nonton orkes,” Sam menjawab dengan gerakkan menirukan orang mabuk yang melakukan sembahyang.
“Iyalah. Setuju. Kita mampir di masjid. Capek juga nih nuntun motor.”
“Akur!”
Rino menghentikan menuntun motor. Helmi celingukan. Sam menemukan engsel pintu gerbang masjid kuno. Sepasang pohon balsia memayungi masjid yang luas. Pekarangan rimbun, daun-daun berjatuhan, tak ada yang membersihkan.
Sam merebahkan pantat di ubin masjid. Ubin kuno dan dingin. Pada serambi masjid terdapat beduk berukuran besar. Rino tanpa melepas sandal melangkah ke masjid. Jejak lumpur tergores di lantai. Rino hanya nyengir saat Sam mengingatkan. Sementara Helmi memilih melepas sandal, tapi hasilnya sama saja, kakinya berlumpur, hingga ceceran peceren sawah tertoreh di lantai.
“Kalian jorok,” gumam Sam.
Enggak apalah, Bro. Kan enggak ada yang lihat,” elak Rino. “Besok ada marbut yang bersihin.”
Rino dan Helmi berlarian lomba melangkah cepat. Ternyata mereka sama-sama kebelet buang air kecil. Sesampai di tempat wudhu, Rino pun membuang hajatnya. Helmi berbuat sama. Hmm… rasanya lega melepas ketegangan kandung air kemih. Saat mereka sedang pipis, Sam ternyata menyusul. Sontak Sam kaget melihat ulah dua karibnya.
“Heh, mengapa kalian buang air kecil di sini?! Ini kan tempat whudu. Kalian enggak lihat tuh ada tulisan dilarang kencing di sini.”
“Kita tadi enggak baca, Bro. Lagian tulisannya kecil,” kilah Helmi merasa tiada bersalah.
“Saya tadi kebelet, Bro. Ya, udah, salurkan saja, si Helmi ikut-ikutan.”
“ Hehehe, bukankah kau yang memberi contoh buruk? Ya, udah, aku meniru.”
“Kalian sama-sama jorok,” Sam buru-buru mengambil air wudhu. Sesaat melangkah ke serambi masjid. Berniat sembahyang jamaah. Tapi di sana yang dilihatnya si Roni sudah mengorok, sementara Helmi malas-malasan tiduran.
“Hel, ayo shalat,” ajak Sam
“Enggaklah, lagi ‘m’…”
“M… apaan?”
“Malas.”
“Si Rino tadi udah shalat?”
“Shalat apaan. Habis buang air kecil, bersuci pun tak. Hahaha.”
“Sudah. Saya mau shalat. Kalau mau ikut kita bisa jamaah.”
Enggak deh. Aku titip salam aja sama Allah.”
“Sam tak menggubris omongan temannya yang ngawur. Ia sembahyang Isya, kemudian berdoa. Sesaat ia menghampiri Helmi yang belum tidur. Tiduran di lantai serambi masjid.
“Belum tidur, Hel?” Sam merebahkan diri di dekat Rino. Menumpukan tangan untuk bantal.
“Belum nih. Nyamuk banyak banget,” gumam Helmi. Plak-plak-plak! Sibuk menepoki nyamuk. Beberapa gepeng di tangannya. Helmi tersenyum puas. Tapi tak lama ia mengaduh, mengumpat sial, saat nyamuk mengigitnya.
“Sialan, banyak banget nyamuk. Kayak di kebun aja.”
“Iyalah, namanya juga tidur di masjid,” Sam memiringkan tubuh. Sekilas ia melihat Rino yang sudah tidur mengorok, tak peduli nyamuk menggigit. Sam perlahan bangkit dan menepuk nyamuk yang tengah menggigit lengan Rino. Nyamuk gepeng, memuncratkan darah di tangan. Rino sekilas bangun, menguap, terjaga, menggaruk lengannya yang gatal, ia kemudian tidur lagi.
“Belum tidur, Bro?” tanya Helmi, yang mulai menguap, menutupi tubuh dengan jaket. Namun apa daya, jaketnya kekecilan. Hanya sebagian tubuh tertutupi. Ini alamat ia bakal diserbu nyamuk.
“Aku belum ngantuk,” cetus Sam. Ia kembali tidur telentang. Kali ini memandang langit kamar masjid. Bangunan terbuat dari kayu kuno. Beberapa kelelawar bersarang di atap-atap masjid. Mengapa dibiarkan.
“Kayaknya…,” Sam ingin mengatakan sesuatu pada Helmi.
“Aku mau tidur, udah mengantuk,” tukas Helmi.
“Ya, udah tidurlah. Biar saya yang jagain.”
“Bangunin sebelum subuh, ya. Sebelum subuh kita cabut dari masjid ini,” pesan Helmi mulai memejamkan mata. Tak peduli nyamuk yang menggigit. Toh kalau ia tidur nanti tak terasa digigit nyamuk, pikirnya.
“Tentu setelah sembahyang Subuh,” Sam berkata. Ia memang tak merasa mengantuk.
Entah. Ia tak terbiasa bisa tidur lena di tempat asing.
“Terserah deh. Udah mengantuk nih,” kata Helmi benar-benar memejamkan mata.
Sesaat suara napasnya mengalun lembut. Sekilas Sam melirik. Ia memilih bangkit, wudhu, dan hendak menjalankan shalat Tahajud. Ia berencana begadang malam ini. Kalaupun mengantuk mungkin hanya ‘tidur-tidur ayam.’
***
Dingin air memercik tubuh. Dingin. Sungguh menggigit. Ah, siapa sih yang iseng-iseng memercikkan air ke tubuhnya. Sam membuka mata. Ranting pohon menyeruak dan embun menetes. Sam mengucek mata. Ia berada di mana? Bukankah tadi ia tiduran di serambi masjid, mengapa kini ia berada di atas pohon, telanjang pula?
Sam terlongong mencari di mana Rino dan Helmi. Demi masa, Sam serasa tak percaya saat melihat Helmi dan Rino telanjang dan tiduran di bibir sumur besar di serambi kiri masjid. Ya, Allah siapa yang memindahkan mereka?
Sam berteriak, hendak memanggil Helmi dan Rino, bersamaan Rino dan Helmi yang membuka mata. Mereka tertegun. Tertidur pada bibir sumur kuno. Helmi menggeliat. Ia menggelinding dari bibir dan meluncur ke dalam sumur. Rino turut menggeliat, dan plung, ia pun jatuh ke dalam sumur!
Pagi jelang Subuh itu di sebuah masjid kuno—yang di plang depan tertulis ‘Masjid Wali’—terdengar teriakan minta tolong seorang lelaki belia telanjang yang kebingungan berlari bolak-balik mengeliling masjid, seraya berteriak- teriak histeris, Tolong. Tolong.
Temanku kecebur sumur. Tolong-tolong-tolong!

Kota Ukir, 09-13 Februari 2017
Kartika Catur Pelita, lahir 11 Januari 1970. Cerpen, puisi, esai dimuat di media cetak dan daring. Buku fiksi Perjaka, Balada Orang-orang Tercinta, dan Bintang Panjer Sore. Bermukim di Jepara, bergiat di komunitas Akademi Menulis Jepara (AMJ).

Derai-Derai Cemara [1]


Cerpen Wawan Setiawan (Jawa Pos, 28 Mei 2017)
Derai-Derai Cemara ilustrasi Bagus Hariadi - Jawa Pos
Derai-Derai Cemara ilustrasi Bagus Hariadi/Jawa Pos
“Untuk menghindarinya, aku pergi ke tempat-tempat sepi. Tapi ternyata, di tempat-tempat sepi itu pula aku bertemu dengannya lagi. Malah lebih sering. Ternyata dia tidak hanya suka tempat-tempat ramai.”
Itulah gumamku suatu malam. Akhir-akhir ini tak banyak yang kulakukan selain bergumam, menggumamkan sesuatu yang tak jelas, atau agak jelas. Dan aku bergumam sepanjang jalan itu, jalan cemara berjajar yang lampunya sering padam, mengingatkanku pada suatu masa kecil agraris.
Di masa kecil itu, hati tenteram. Seolah hidup tanpa persoalan. Yang ada hanyalah kenikmatan demi kenikmatan. Kedua orang tua selalu mengayomi. Udara bersih. Air sungai jernih. Di sana-sini sawah menghijau lalu menguning. Oh, nasibku kini.
Tapi, baik lampunya gelap atau terang, aku tetap suka keduanya dengan selisih yang sedikit. Karena kalau melihat langit malam, manusia dikepung kegelapan, bintang-bintang seakan kalah oleh kegelapan. Karena itu, jangan benci atau terlalu benci pada kegelapan.
Saat enaknya berjalan sendirian itu, ada lemparan kerikil ke pundakku. Orang usil rupanya. Jangan-jangan aku di kira waria. Kukejar orangnya yang segera menghilang ke arah selatan, ke kompleks makam Kembang Kuning yang lebih gelap. Orang sinting dia atau hantu penasaran. Malam-malam sepi begini, mestinya orang tidur atau nonton TV, atau main kartu, atau kegiatan yang lain, untuk bisa menikmati hidup sesuai kondisinya masing-masing. Memang, sebenarnya tak boleh ada orang mengganggu. Tapi untung aku tadi masih dilempar kerikil, bukan batu; kena pundak, bukan kepala.
“Jangan mimpi terus. Kalau kamu ingin sehat, kamu diberi penyakit. Kalau kamu ingin uang, kamu diberi pekerjaan. Kalau kamu ingin tempat sepi, kamu dilempar kerikil. Dan kalau ingin Tuhan, kamu dikasih setan.” Gumamku tetap tak jelas. Tapi apa salahnya orang bergumam. Hanya bergumam saja kok. Bergumamlah apa adanya atau seadanya. Dunia tak akan hancur oleh orang yang bergumam, atau berbisik, apalagi setelah lama diam dalam bahasa pohon.
“Citra… engkaulah bayangan,” ada suara sayup. Suara itu muncul dari arah cemara paling tua. Biasanya di bawah cemara tua itu ada warung rokok. Penjual rokok suka nyetel lagu-lagu nostalgia kalau malam dari pemancar radio terdekat. Rombongnya ditutup dan ia lelap dalam rombong itu. Ia lupa mematikan radio. Dari dalam rombong itu lalu keluar lagu sendu itu.
“Citra…. suratan yang duka,” lirik lagunya menyayat. Tapi ketika cemara tua itu kuhampiri, tak ada orang di dalam rombong. Hanya cemara saja dan ditemani rombong kosong. Jangan-jangan orang melempar kerikil tadi yang menyanyi. Tapi, tidak, yang menyanyi tadi wanita dari sebuah radio.
“Lho, yang lempar kerikil tadi kamu kira pasti pria? Bisa juga perempuan yang lempar. Sekarang kesetaraan gender.”
Aku kembali jalan sesuai arahku. Malam-malam begini agak gerimis. Aku harus berteduh di mana? Rumah-rumah sepanjang jalan ini selalu lelap, tak mungkin salah satunya mau membuka pintu atau jendela. Maklumlah mereka orang rumahan, sedang aku orang jalanan.
Aku suka keluar malam sampai menjelang subuh untuk berburu udara segar. Malam-malam hening begini terjadi peralihan udara. Setelah siangnya diaduk seperti kopi, malam serbuknya mengendap ke bawah. Udara kotor menjadi udara bersih. Maklum, jejak karbon selalu sepanjang hari.
Memang sudah cukup lama di dalam diriku terjadi perubahan, dari bukan pemuja pohon menjadi pemuja pohon. Biarlah perilakuku dianggap aneh. Daun-daun gugur kukumpulkan, kumasukkan tas ransel. Aku yakin di dalam daun-daun gugur yang setengah kering itu masih ada zat hidup, yaitu oksigen, lumayan untuk persediaan.
Aku terus berjalan. Aku terus menembus malam. Jalan besar, yaitu Jalan Diponegoro, masih cukup jauh. Jalan kecil bercemara ini, yaitu Jalan Amir Hamzah, cukup panjang. Di ujung timurnya ketemu Jalan Prapanca, belok kiri ketemu Jalan Chairil Anwar. Barulah, dari Jalan Chairil Anwar ke timur aku ketemu Jalan Diponegoro.
Kutinggalkan tangan usil dan lagu “Citra”. Keduanya konkret sekaligus abstrak. Lemparan kerikilnya konkret, pelemparnya abstrak. Suara lagu “Citra” itu? Wa duh, aku bingung dibuatnya. Kasus lagu itu konkret atau abstrak, ya? Dan sebelumnya, karena masalah konkret dan abstrak ini, makanku sering tak enak, tidur tak nyaman.
“Kalau aku disuruh memilih, aku lebih suka memilih jadi Ontorejo, dewa bumi, dewa tanah. Tahu-tahu muncul di suatu tempat, tanpa disangka-sangka. Tentu karena ada panggilan tugas. Ia muncul dari permukaan tanah. Bagaimana cara ber napasnya, ya?”
Gumaman-gumaman itu terus menampari kepala. Kucari kenikmatannya, belum ketemu. Tubuhku mulai kembali segar setelah kakiku melangkah beberapa ratus meter. Gara-gara lemparan kerikil tadi langkah kakiku di Jalan Amir Hamzah terganggu. Aku minta maaf kepada arwah Amir Hamzah, kudoakan dia tinggal di surga termulia. Juga doaku untuk pacarnya ketika Amir Hamzah kuliah di Solo, Ilik Soendari. Kasih tak sampai. Oh, aku tak mampu membayangkan revolusi sosial di Kesultanan Langkat. Terlalu keji. “Mangsa aku dalam cakarmu,” [2] kata Amir dalam puisinya.
***
SEKARANG aku mulai masuk Jalan Chairil Anwar. Aku mengawalinya dari arah Jalan Kembang Kuning, belok kanan ketemu Jalan Chairil Anwar. Di jalan ini, hampir semua cemaranya tua-tua. Batang-batangnya besar-besar. Daun-daunnya lebat bersatu menjulang ke langit, seperti orang yang menagih janji.

Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam [3]

Masih kuingat suara guru bahasa Indonesia ketika membacakan salah satu bait dari puisi Chairil Anwar yang paling indah itu. Ketika itu aku masih kelas dua SMA, guru bahasa Indonesiaku yang tampan ternyata fanatik dengan puisi yang ada cemaranya itu, sampai aku hafal aksen suaranya. Karena seringnya sang guru membacakannya di kelas, akhirnya aku ikut-ikutan menyukai puisi itu.
Dan, ternyata, ikut-ikutanku tidak sepenuhnya gagal. Malah sebaliknya, menjadikan puisi sebagai kebutuhan. Dan, ternyata kemudian, aku juga gandrung lirik lagu-lagu pop. Bukankah lirik-lirik lagu itu juga puisi? Salah satunya lagu “Citra” Rafika Duri yang terdengar dari radio yang tak kutemui letaknya itu.
Memang, di Jalan Chairil Anwar ini cemaranya tua-tua. Tegar dalam kesunyian. Kadang sedikit bergoyang untuk menghormati angin. Senang bergaul dengan mereka. Terasa sekali kebijakan mereka. Teduh rasanya. Ketenteramannya mendalam. Kudekati salah satu pohonnya. Kucium batangnya dengan gemas. Tak kupikirkan lagi bahwa di tiap pohon ada penunggunya.
“Wahai cemara tua, memang indah dan dalam akhir hidupmu. Karena itu, penyair sekaliber Chairil Anwar kepincut sama kamu. Sampai akhirnya, gara-gara kamu, dia dapat menulis puisi terindah dalam hidupnya. Kamu wajib bersyukur, meski kamu hanya sebatang pohon,” begitu bisikan hatiku.
Rumah-rumah di Jalan Chairil Anwar tetap model kuno seperti rumah-rumah di Jalan Amir Hamzah. Cuma, bedanya, rumah-rumah di Jalan Chairil Anwar ada renovasi di sana-sini, namun tetap menjaga keaslian masing-masing. Tampaknya, meski tanpa komando, ada keseragaman dalam merenovasi. Kebanyakan rumah-rumah itu ada tambahan tiga puluh persenan dari kondisi aslinya.
Yang mencolok adalah tanaman bunga-bunganya di setiap halaman. Secara serempak pula, seolah mereka sama menganggap bahwa sang penyair suka bunga atau suka wanita. O ya, sejarah mengatakan kesukaan Chairil pada wanita ada yang bersifat platonis, ada yang bersifat materialis. Yang platonis, contohnya, pada wanita Sri Ayati. Sang penyair hanya menggaulinya secara emosional dan intelektual. Hal ini disebabkan Sri Ayati sudah ditunangkan oleh orang tuanya. Tunangannya seorang dokter, ganteng. [4]
Salah satu wanita riilnya dapat dilihat pada pergaulan Chairil Anwar dengan pelukis Aff andi. Setelah berhubungan dengan seorang perempuan, Chairil meninggalkan alamat pelukis Affandi di bawah bantal. Tak ayal, sang perempuan langsung ke rumah Affandi, menagih uang lelah.
Kurang jelas, berapakah jumlah perempuan fisikal, termasuk pacar-pacarnya, yang digauli sang maestro ini? [5] Namun para pengagumnya memaklumi. Ada pendapat, kalau tidak demikian, Chairil tak dapat menciptakan puisi-puisi cemerlang.
Isi otakku terlalu penuh sehingga tubuhku mudah lelah dan wajahku tegang. Sudah ada komputer tapi isi otak tetap meluber. Kenapa isi otak itu tidak disimpan di tas lalu ditaruh di almari? Kalau butuh sewaktu-waktu bisa diambil seperlunya.
Aku tadi berpikir Amir Hamzah di Jalan Amir Hamzah, berpikir Chairil Anwar di Jalan Chairil Anwar. Memangnya dua penyair besar itu pernah tinggal di dua jalan itu? Mereka tinggal di otakku dan otak orang-orang lain. Nama kedua jalan itu digoreskan untuk mengenang dan menghargai jasa-jasa mereka dalam menyemarakkan semangat kemanusiaan dan hidup berketuhanan.
Tubuhku bergerak-gerak seperti ondel-ondel meninggalkan Jalan Chairil Anwar. “Ini muka penuh luka, siapa punya?” [6] Chairil Anwar menodongku dengan kalimat-kalimat jitu. Memang aku sering ditodong kalimat-kalimat jitu oleh para penyair.
***
Setelah keluar dari Jalan Chairil Anwar yang inspiratif, aku masuk jalan utama yang penuh kenangan, yaitu Jalan Diponegoro. Jalan utama ini kembar. Sisi yang satu dari Pasar Kembang ke arah arah Terminal Joyoboyo. Sisi satunya dari Joyoboyo ke Pasar Kembang. Di sepanjang jalan kembar ini menyabang sejumlah jalan. Nama-nama jalan ada yang berhubungan dengan nama-nama pahlawan dan sungai-sungai.
Kakiku melangkah menuju Joyoboyo, terminal legendaris milik Surabaya. Ternyata terasa bukan Jalan Diponegoro kalau malam. Pohon-pohonnya besar-besar, pohon cemara dan sono seakan bersaing memamerkan oksigen. Kendaraan sepi, hanya satu dua yang larinya bak setan mabuk.
Ada sirine mobil ambulans, dari arah Pasar Kembang ke Joyoboyo. Larinya luar biasa kencang, diikuti dua motor yang juga kencang dan knalpotnya meradang. Setelah bunyi sirine dan knalpot, kembali sunyi berkuasa. Dari sunyi ke bunyi, lalu kembali ke sunyi. Bunyi apa yang dapat mengalahkan sunyi?
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, ke belakang, tak ada orang sama sekali. Ketakutan menyerbuku, tapi aku melawannya dengan cara membiarkannya. Lalu kudengar derap-derap kaki kuda Sang Pangeran, begitu gagahnya. Sang Pangeran dan kudanya, Kyai Gentayu, dipertemukan di paro pertama abad sembilan belas. Sang Pangeran yang suka berkuda ini memiliki enam puluh perawat kuda. Namun, dari sekian banyak kuda, Kyai Gentayulah yang paling disayang.
Pertempuran hebat selama lima tahun terjadi, sampai akhirnya melalui tipu daya, tentara Belanda berhasil menangkap dan mengasingkannya ke Manado, dan dipindah ke Makassar sampai wafat. Untunglah selama di pembuangan Sang Pangeran ditemani istrinya yang paling muda, RA Retnoningsih. [7]
Terbayang pula tujuh istri Sang Pangeran yang cantik dan jelita. Istri keempat yang paling dikasih, Roro Ayu Maduretno. Aku selalu gagal membayangkan kecantikannya, karena terlalu cantiknya. Apakah wajahnya seperti Ratu Ken Dedes, sang putri dari Singosari itu?
“Apa saja bisa tumbuh subur di tanah Jawa,” ucap Sang Pangeran suatu ketika. Sang Pangeran yang suka berkebun, minum anggur, makan sirih, jalan kaki dan berkuda ini memang luar biasa kharismanya.
Kudengar derap-derap kaki kuda di aspal jalan, di bawah bulan, memecah kesunyian malam. Derapnya kadang mendekat, kadang menjauh, kadang cepat, kadang pelan. Terdengar pula ringkiknya, ringkik kesetiaan. Itulah ringkik Kyai Gentayu yang merana karena berpisah dengan Tuannya.***

Surabaya, Desember 2016

Catatan:
  1. Judul puisi “Derai-Derai Cemara” karya Chairil Anwar, dari buku: Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, oleh H.B. Jassin.
  2. Dari puisi Amir Hamzah, “Padamu Jua”, dalam kumpulan puisinya, Nyanyi Sunyi.
  3. Salah satu bait puisi “Derai-Derai Cemara”, lihat catatan nomor 1.
  4. Adri Darmadji Woko, “Biografi Sri Ajati.”
  5. Arief Budiman, Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, 2007.
  6. Puisi Chairil Anwar, “Selamat Tinggal”.
  7. “Pangeran Diponegoro dan Wanita-Wanita Cantik” oleh Fadjriah Nurdiasih, 27 April 2016, 20.51 WIB, Liputan 6. Hasil wawancara tertulis dengan Peter Carey, penulis biografi Pangeran Diponegoro, Selasa, 26 April 2016, Liputan6.com.

WAWAN SETIAWAN, cerpenis yang dosen di Universitas Negeri Surabaya

Bayi


Cerpen Yuditeha (Suara Merdeka, 28 Mei 2017)
Bayi ilustrasi Hery Purnomo - Suara Merdeka
Bayi ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka
Pagi ini aku bangun tergagap oleh suara tangis bayi. Di telingaku tangisan itu terdengar seperti suara rintihan yang menyayat hati. Ketika aku benar-benar sadar, suara tangisan itu sangat jelas terdengar. Rasa-rasanya bayi itu seperti berada di dekatku. Ya, aku merasa dia berada di belakangku. Aku sedang memunggunginya. Pada saat aku membalikkan badan, astaga, bayi itu benar-benar berada di situ. Spontan aku berteriak memanggil suamiku.
Suamiku tak segera muncul, sementara bayi itu makin keras menangis. Rasa ibaku tak kuasa kutahan. Kubopong dia, lalu kuelus-elus punggungnya perlahan. Bayi itu akhirnya terdiam dalam gendonganku. Aku mengamati dengan saksama. Bayi itu memakai kalung berbandul bentuk hati. Sembari menimang-nimang, kuraih bandul itu. Rupanya bandul itu bisa dibuka dan ketika aku membuka, kudapati sebuah potret bergambar dua wajah orang muda, lelaki dan perempuan. Aku mengira itu gambar orang tuanya. Sejenak aku tertegun, lalu pikiranku melayang menuju kisah semalam, mengingat lagi apa yang kupikirkan sebelum terlelap tidur .
Tadi malam hatiku telah mantap memutuskan untuk berpisah dari suamiku. Sebenarnya aku tidak menginginkan hal itu, tetapi aku merasa sudah tidak tahan atas kelakuannya. Banyak sikapnya yang tak pernah bisa kupahami. Sepertinya selama ini dia tidak pernah menganggapku ada.
Aku tak tahu pukul berapa persisnya kemarin dia pulang. Tahu-tahu kudapati dia sudah tidur pulas di kamar, yang sebelumnya menghilang begitu saja, pergi beberapa hari tanpa kabar. Sikap seperti itu sudah berulang kali terjadi dan aku bingung menghadapi. Bagaimana dia bisa seenaknya bersikap begitu, sedangkan jelas-jelas kini dia sudah tidak sendiri lagi, sudah ada aku sebagai istri. Namun tampaknya keberadaanku hanya dia anggap angin lalu. Jika aku bertanya, jawabnya selalu tidak mengenakkan hati dan sering kali justru menyulut emosi. Aku seperti tidak mengenali siapa sesungguhnya dia. Usia pernikahan kami baru dua bulan, tetapi aku merasa sudah tidak tahan.
Semasa pacaran dulu sama sekali aku tak pernah menangkap ada gejala-gejala perilakunya yang aneh. Jika pun aku diminta menyebutkan sesuatu yang sekiranya pantas dicurigai adalah dia mudah sekali terkejut. Dia hampir selalu kaget jika mendadak mendengar suara keras. Pada saat begitu sejenak kemudian dia seperti orang linglung. Dalam beberapa saat setelah terkejut dia bisa tiba-tiba berteriak histeris. Untuk masalah itu aku memang tidak begitu menggubris. Pikirku, itu hanya masalah kondisi fisik dan perasaan sesaat pada waktu itu juga. Lagipula aku meyakini setiap orang pasti punya sisi gelap. Karena itu, aku menganggap hal tersebut wajar sebagai manusia.
Namun begitu kami hidup serumah, kebiasaan mudah terkejut itu ternyata sering terjadi. Sesungguhnya aku ingin dia bisa berbagi cerita denganku tentang apa yang menyebabkan dia bisa mengalami kaget begitu rupa. Atau tentang perilaku-perilaku anehnya yang lain. Namun setiap kali aku mencoba mengajak bicara, dia selalu tak pernah mau menanggapi dan jika sudah begitu lantas dengan seenaknya dia akan pergi begitu saja tanpa pernah mau peduli padaku. Selain itu masih banyak lagi sikap yang menunjukkan dia tidak menghargaiku sebagai istri, antara lain sebuah ketentuan bahwa aku tidak boleh menyentuh barang-barangnya yang sengaja dia simpan, termasuk kotak kuno yang dia simpan di salah satu kamar. Jangankan membuka kotak itu, untuk masuk ke kamar itu pun aku dia larang.
Karena hal-hal itulah aku merasa sudah kewalahan memahami dia. Jadi apa yang akan aku putuskan bukan main-main, aku ingin berpisah dari dia. Ya, kupikir lebih baik aku pergi dari kehidupannya. Mungkin dia lebih senang sendiri. Mungkin selama ini kehadiranku mengganggu kenyamanannya. Dan pagi ini di saat aku akan menyampaikan maksudku, keburu dia pergi dan menciptakan masalah baru. Dia meninggalkan bayi di rumah. Bayi ini milik siapa dan apa maksudnya, aku tidak mengerti. Semua itu membuat keanehan-keanehan pada dirinya makin terasa ganjil.
Andai kemunculan bayi ini kulaporkan polisi, bisa jadi justru aku akan kerepotan untuk menjelaskan. Satu pertanyaan tentang bagaimana dia bisa tiba-tiba berada di rumahku saja sudah membuatku bingung. Jadi kupikir mau tak mau aku harus merawatnya. Untung, rumahku berada di daerah perkotaan, dengan tidak adanya rasa kepedulian antartetangga cukup menguntungkan dalam hal ini. Aku menjadi lebih nyaman, tak akan ada tetangga yang mencurigai. Tentang tangis bayi yang kadang meledak kusiasati dengan cara menghidupkan musik sepanjang waktu.
Kesibukan mengurus bayi rupanya justru melupakan permasalahan dengan suamiku. Untuk sejenak aku seperti tak peduli lagi pada dia. Terlebih sejak ada bayi itu, ada hal-hal lebih aneh telah terjadi tetapi keanehan itu selalu berhubungan dengan bayi itu. Beberapa kali aku bermimpi tentang penganiayaan seorang anak oleh orang tuanya dan pada waktu lain, saat aku sedang memandikan bayi itu aku menemukan beberapa luka di sebagian tubuhnya. Dan luka-luka itu tampak seperti akibat tindak kekerasan. Meski sebenarnya hal itu kuanggap peristiwa ganjil, pada saat itu aku lebih memikirkan tentang nasibnya, aku makin menaruh iba padanya dan muncul keinginan di dalam hatiku untuk sungguh-sungguh merawatnya. Meskipun begitu aku tetap sembari mencari informasi siapa orang tua kandungnya.
Pada waktu aku sibuk mengurus bayi itu, pada saat itu juga suamiku tidak pulang cukup lama. Lebih lama dari biasanya. Tidak adanya suamiku dalam waktu yang lama itu memancingku ingin tahu, sebenarnya apa yang dia sembunyikan dariku di kamar itu, atau yang lebih khusus di kotak itu, hingga pada suatu hari aku memberanikan diri membuka paksa pintu kamarnya dan mencongkel kunci kotak itu. Kotak itu berhasil kubuka. Di sana terdapat beberapa dokumen, antara lain surat-surat dan koran-koran usang. Ada juga beberapa foto lama. Sembari tetap merawat bayi itu, hampir seharian aku mengamati isi kotak itu.
Hasil pengamatanku dari membaca surat-surat dan koran-koran usang di dalam kotak dan melihat foto-fotonya aku menjadi tahu siapa sebenarnya jati diri bayi itu. Aku yakin bayi yang selama ini kurawat itu adalah suamiku. Dokumen-dokumen itu telah memberi tahuku banyak hal, bahkan salah satu foto di kotak itu ada yang persis dengan foto di bandul kalungnya. Ternyata versi penuhnya dari foto itu, sang ibu sedang menggendongnya. Ada satu bendel foto. Itu adalah foto-fotonya berurutan sejak dia bayi hingga dewasa. Hal itu termasuk meyakinkanku bahwa bayi itu adalah benar-benar suamiku. Dokumen-dokumen yang lain adalah sebuah bukti yang semuanya memberi tahuku betapa menderita dia pada masa lalu. Berbagai jenis kekejaman pernah menimpa dia dan pelaku utama penganiayaan itu adalah sang ayah. Dalam perenungan yang kulakukan, aku kini menyadari, mungkin karena penderitaan itulah dia tumbuh menjadi pribadi aneh. Mungkin pada saat dia bersamaku sudah berjuang mati-matian untuk bisa menjadi lebih baik.
Setelah aku tahu semuanya, rasanya aku menyesal pernah punya prasangka buruk kepada dia. Aku juga menyayangkan, mengapa dia tidak mengizinkan aku dulu mengetahui semuanya itu. Andai aku tahu sebelumnya, bisa jadi aku akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa memahami dia. Kini, dia kembali menjadi bayi dan aku tak tahu lagi harus bagaimana. Namun paling tidak aku merasa tenang karena selama ini aku telah merawatnya dengan baik. Sekarang aku ingin melihat dia dan hatiku sangat berharap, semoga ketika aku melihat nanti dia sudah kembali seperti sediakala. Namun ketika aku sampai di kamar, aku tak melihat perubahan itu,  suamiku masih berwujud bayi. Bahkan ketika aku sampai di kamar itu dia sedang menangis. Tangisannya sangat keras .Aku meraihnya, menimang-nimang dia, menepuk-nepuk pantatnya perlahan dan tak lama kemudian dia telah terdiam dan akhirnya terlelap dalam gendonganku.
Saat ini adalah malam pertama setelah aku mengetahui bayi itu adalah suamiku. Pada malam itu juga aku berdoa dan berharap, semoga esok hari, pada saat aku bangun pagi nanti, aku akan mendapati suamiku telah kembali ke wujud semula. Aku akan berusaha menerima dia apa adanya. Aku akan berusaha menjadi istri yang baik bagi dia. Aku akan memercayainya. Karena hal itu rasanya aku sudah tidak sabar menantikan kejadian itu. Sengaja aku segera membaringkan tubuhku. Aku ingin cepat tertidur dan pagi datang.
Aku membuka mata. Sepertinya pagi telah datang, tetapi aku merasa mataku belum sempurna membuka, karena aku merasa mataku belum bisa melihat dengan jelas. Aku juga ingin segera bangkit dan melihat apa yang terjadi, tetapi ketika aku ingin membangunkan badanku rasanya berat sekali. Aku hanya bisa berguling-guling. Pada saat itu entah bagaimana ceritanya aku jatuh ke lantai. Aku ingin mengaduh, tetapi mulutku seperti sulit mengucap itu. Yang bisa kulakukan hanya menangis. Aku ingin memanggil suamiku, tetapi hanya tangisan yang makin keras yang bisa kusuarakan. Tak lama kemudian, suamiku datang. Dia seperti terkejut melihatku. Lalu perlahan meraihku. Menimang-nimang aku. Dia mengelus-elus punggungku perlahan-lahan. Aku nyaman berada dalam gendongannya. (44)

Yuditeha, aktif di Sastra Alit Surakarta. Buku terbarunya kumpulan cerpen Balada Bidadari (Penerbit Buku Kompas, 2016). Kumpulan cerpen Kematian Seekor Anjing pun Tak Ada yang Sebiadab Kematiannya akan diterbitkan Basabasi.

Anne Ahira Newsletter

Think & Succeed!
----------------------------------

Dear Hanihyung yang setia...

Dalam sebuah hubungan agar bisa
berjalan dengan lancar dibutuhkan
sebuah komitmen yang besar. Bukan
sekedar sebuah pernyataan bahwa Anda
menyukai hubungan ini dan ingin
menjalaninya.
Sangat mudah untuk berkomitmen dalam
hubungan ketika hubungan itu berjalan
lancar, menyenangkan, atau
memabukkan.
Namun ketika hubungan itu mulai
menemui masalah, tantangan, ganjalan,
tidak sedikit yang berucap, "aku
serius dengan hubungan kita,
sayangnya hubungan ini tidak berjalan
lancar seperti yang diharapkan."
Komitmen sejati dalam sebuah hubungan
adalah ketika Anda mau berkorban di
dalamnya.
Sangat mudah untuk meminta pasangan
untuk berubah, namun apakah Anda
bisa berubah juga? Cobalah untuk
berubah terlebih dahulu, lalu
lihatlah bagaimana hal tersebut
membawa perbedaan.
Untuk membangun komitmen dalam sebuah
hubungan diperlukan 3 hal yang
sederhana namun tidak mudah
dilakukan, yaitu: kerja keras, waktu,
dan kejujuran.
Hanihyung, sahabatku, maukah Anda
melakukannya dalam hubungan Anda?

Minggu, 18 Juni 2017

Jebakan untuk Pangeran


Dongeng Hana Eka Ferayyana (Suara Merdeka, 28 Mei 2017)
Jebakan untuk Pangeran ilustrasi Farid S Madjid - Suara Merdeka
Jebakan untuk Pangeran ilustrasi Farid S Madjid/Suara Merdeka
Paman Lorenzo terkejut. Lagi-lagi, taman istana yang ia rawat dan dijaga agar tetap indah kini berantakan. Tak terbayang murkanya jika Raja Leonel tahu bahwa taman kesayangannya rusak.
“Ini pasti ulah Pangeran Julian,” gerutu Paman Lorenzo.
Pangeran Julian memang suka usil merusak taman. Tidak hanya taman, di sekolah kerajaan dan di istana juga tak luput dari keusilannya. Sudah sering ia dinasihati, tapi tak pernah digubrisnya. Paman Lorenzo mendesah. Tiba-tiba terlintas ide untuk membuat Pangeran Julian jera.
Pagi-pagi sekali Paman Lorenzo membuat jebakan berupa tanah becek berisi cacing yang di atasnya diberi rumput, tujuannya agar Pangeran Julian tidak curiga. Paman Lorenzo berharap Pangeran Julian jera merusak taman jika ia terperosok masuk ke dalam tanah tersebut dan melihat cacing yang mengerubuti tubuhnya. Ia pasti akan ketakutan dan tak berani lagi masuk ke dalam taman.
“Paman Lorenzo…,” tiba-tiba terdengar suara Pangeran Julian memanggil Paman Lorenzo.
Paman Lorenzo langsung bersembunyi di balik pohon.
“Paman…” Pangeran Julian kembali memanggil. Langkahnya riang memasuki taman.
“Sedikit lagi, sedikit lagi…,” ucap Paman Lorenzo dalam hati sambil melihat gerak langkah Pangeran Julian yang semakin mendekati tanah jebakan.
Dan, satu langkah lagi! Byurr… Pangeran Julian masuk ke dalam tanah jebakan. Tubuhnya belepotan tanah becek dan dikerebuti cacing. Paman Lorenzo menahan napas. Ia sudah bersiap-siap berlari menolong Pangeran Julian jika tiba-tiba menangis kencang karena ketakutan. Ia juga sudah menyiapkan nasihat agar kali ini Pangeran Julian tidak lagi usil merusak taman.
Namun ternyata dugaannya keliru. Belum sempat Paman Lorenzo melangkahkan kaki untuk menghampiri Pangeran Julian. Pangeran Julian tiba-tiba saja berteriak kegirangan.
“Horee… cacing!” teriak Pangeran Julian sambil melempar-lemparkan cacing ke segala arah. Paman Lorenzo melongo. Jebakan pertamanya gagal.
***
Hari berikutnya, Paman Lorenzo memasang jebakan baru. Kali ini ia memasang sarang lebah di pohon apel. Pangeran Julian suka sekali memanah. Tak terhitung lagi banyaknya buah-buahan di taman yang ia bidik dan ia tinggalkan begitu saja. Membuat buah-buahan tersebut cepat membusuk dan terjatuh sia-sia.
“Paman Lorenzo…,” Pangeran Julian menghampiri taman sambil membawa panah.
Ngungunnngggg…
Tiba-tiba terdengar suara lebah dari arah pohon apel. Pangeran Julian melangkahkan kaki ke asal suara dan melihat sarang lebah yang bergelantungan. Tanpa pikir panjang, Pangeran Julian langsung membidik sarang lebah tersebut.
Wush… Anak panah itu tepat menyentuh sasaran. Lebah-lebah pun berhamburan dan tanpa diduga bersatu mengejar Pangeran Julian. Pangeran Julian terkejut, ia lari pontang-panting dan langsung menceburkan diri ke dalam kolam yang ada di taman.
Beberapa detik lamanya Pangeran Julian tidak muncul di permukaan. Paman Lorenzo menghela napas. Ia sudah bersiap-siap masuk ke dalam kolam untuk membantu Pangeran Julian keluar dari kolam sambil menyiapkan nasihat bahwa lebah saja tidak suka jika rumahnya diganggu, begitu juga dengan Paman Lorenzo yang tidak suka jika taman yang susah payah ia rawat dan ia jaga tiba-tiba ada yang merusaknya.
Namun belum sempat Paman Lorenzo melangkah, Pangeran Julian tiba-tiba muncul dari dasar kolam lalu berenang dengan gesitnya. Sesampainya di daratan, Pangeran usil itu terkekeh-kekeh senang sambil mengepalkan tangan.
“Yess!” teriak Pangeran Julian.
Melihat itu, Paman Lorenzo tahu, jebakan keduanya pun gagal.
***
Hari ketiga, Paman Lorenzo memasang kawat berduri di sepanjang taman dan memasang pintu yang ia kunci rapat agar Pangeran Julian tidak bisa menerabas masuk ke dalam taman.
Setengah hari berlalu, Paman Lorenzo senang karena tidak ada gangguan sama sekali. Sampai akhirnya terdengar suara pintu diketuk.
Dok dok dok…
“Paman Lorenzo, ayo bermain,” terdengar suara Pangeran Julian yang mencoba masuk ke dalam taman. Paman Lorenzo diam saja. Pangeran Julian terus saja memanggil.
“Paman Lorenzo, Paman…,” Pangeran Julian lagi-lagi memanggil.
Namun tak ada sahutan dari dalam taman. Pangeran Julian terus saja memanggil. Sampai akhirnya, suara Pangeran Julian semakin lama semakin melemah, kemudian terisak.
Mendengar itu, Paman Lorenzo langsung membuka pintu taman.
“Kenapa Pangeran menangis?” tanya Paman Lorenzo.
“Karena tidak ada yang mau bermain denganku Paman,” jawab Pangeran Julian.
“Jika tidak ada yang bermain dengan Pangeran Julian, itu karena Pangeran Julian usil. Coba kalau tidak usil. Pasti banyak yang mau bermain dengan Pangeran,” ucap Paman Lorenzo.
“Nah, sekarang Pangeran boleh bermain dengan Paman, tapi Pangeran tidak boleh usil merusak taman ya?”
“Benarkah? Baik Paman, aku janji,” ucap Pangeran Julian dengan mata berbinar.
Akhirnya setelah mendengar nasihat tersebut, Pangeran Julian tidak lagi usil seperti dulu. Ia kini disayang guru dan teman-temannya di sekolah kerajaan. Para dayang dan pengawal kerajaan pun tak lagi sebal seperti dulu. Dan Raja Leonel senang melihat perubahan putra kecilnya itu. (58)

Daun-daun Beluntas

Cerpen Tjak S Parlan (Media Indonesia, 28 Mei 2017)
Daun-daun Beluntas ilustrasi Pata Areadi - Media Indonesia
Daun-daun Beluntas ilustrasi Pata Areadi/Media Indonesia
LATIFA sedang memetik daun-daun beluntas, saat Masirah datang merengek-rengek, memamerkan boneka terbarunya, yang tangannya patah sebelah.
“Patah lagi, ya?”
Masirah mengangguk dengan sisa tangis yang tertahan.
“Sudah, tak apa-apa. Nanti Ibu akan menjahitnya lagi. Nah, sekarang bantu Ibu, ya,” ujar Latifa seraya mengusap cairan bening yang keluar dari hidung anaknya.
Bocah perempuan itu segera menirukan apa yang dilakukan ibunya. Jari-jari mungilnya berusaha menggapai-gapai, memetik daun-daun beluntas. Ia tampak riang kembali. Hilang sudah rasa kalah dan marah yang dibawanya dari rumah kawan sepermainan yang kerap menjahilinya. Kini, ia seolah telah mendapatkan mainan kegemarannya.
“Bu, Siya mau main belanja-belanjaan. Uang Siya sudah banyak.”
Seraya menggenggam daun-daun beluntas tua, Masirah berlalu ke teras rumah. Biasanya ia akan berlama-lama di sana, sendirian melanjutkan permainan apa saja yang disukainya.
Saat genggaman tangannya sudah penuh, Latifa memindahkan daun-daun beluntas muda itu ke nampan kecil. Dua genggaman lagi, ia akan membersihkan daun-daun beluntas itu. Saat memasak air tadi pagi, Latifa melihat masih ada sepapan tempe di dapur, sisa belanja di pasar kemarin. Jika dipadukan dengan tiga genggam daun beluntas muda, pastinya akan menjadi menu sederhana yang tak kalah nikmatnya. Untuk ke sekian kalinya Latifa akan memasak botok tempe beluntas—resep turun-temurun yang digemarinya sejak ia kembali ke rumah ini.
Setiap kali memasak botok tempe beluntas, Latifa selalu teringat ayahnya. Ayah Latifa telah mengalami sakit yang panjang, sebelum akhirnya meninggal.  Ketika itu gundukan perut Latifa semakin membesar dan tak ada satu pun hal yang bisa menutupinya. Adik perempuannya diam-diam menuduhnya bahwa salah satu penyebab kematian ayah mereka adalah karena tak sanggup menanggung aib yang menimpa Latifa. Ibunya sendiri lebih banyak diam sejak Latifa kembali.
“Ibumu itu pandai memasak beluntas. Ayah selalu suka. Anehnya, ibumu justru kurang menyukainya,” ujar ayahnya suatu kali.
Ayah Latifa memang menyukainya. Mungkin karena itulah, ayahnya memagari pekarangan rumahnya dengan beluntas. Pada hari-hari tertentu ketika cabang-cabang beluntas itu mulai meninggi dan terlihat liar ke sana kemari, ayahnya akan memangkasnya, membuatnya rapi kembali.
“Fa, tak bosan-bosannya kamu memasak itu,” ujar ibunya yang muncul dengan sebuah rantang.
Latifa menoleh ke arah ibunya sebentar dan berusaha tersenyum. Mungkin ibunya baru saja pulang dari rumah adik perempuannya. Biasanya adik perempuannya itu akan membekali ibunya lauk pauk tertentu. Adik perempuannya yang belum lama menikah itu memang pandai memasak.
“Ikannya untuk Ibu dan Masirah saja,” ujar Latifa seraya memilah-milah kembali daun-daun beluntas muda.
Sebenarnya Masirah tak begitu menyukai ikan, kecuali jika Latifa membujuknya dengan iming-iming sesuatu. Bocah perempuan itu memiliki kecenderungan seperti dirinya. Masirah selalu berselera ketika Latifa menghidangkan menu botok tempe daun beluntas. Dulu sekali, semasa ia beranjak remaja, ayahnya sering mengatakan padanya bahwa daun beluntas bisa menghilangkan bau badan yang kurang sedap. Ia sendiri tak terlalu peduli sebenarnya. Ia merasa tak ada masalah dengan bau badan. Kalau pun ia menyukainya, itu karena memang masakan ibunya lezat. Namun sejak ia kembali ke rumah dengan segala hal yang harus ditanggungnya, daun-daun beluntas itu seolah telah menjadi keluarga terdekat, atau semacam teman setia untuk mengusir segala hal yang berbau busuk dalam dirinya.
“Besok pagi, Bibi Rahma akan kemari, Fa. Melanjutkan pembicaraan soal Masirah. Ibu setuju, demi kebaikannya. Tapi, terserah kamu,” ujar ibunya saat Latifa melintas di teras rumah.
Sesampai di dapur, Latifa segera membereskan daun-daun beluntas itu. Ia mencucinya dalam sebuah ember plastik, sebelum kemudian menyiapkan segala sesuatunya untuk mulai memasak. Latifa melakukan semua itu sembari memikirkan apa yang dikatakan ibunya. Bagaimanapun ia tidak rela jika Masirah harus hidup bersama Bibi Rahma, adik kandung ibunya. Ia teringat apa yang telah dikatakan perempuan itu ketika perutnya semakin membuncit. Dari bibir perempuan itulah ia mendengar bahwa anak yang dikandungnya itu kelak harus dijauhkan dari keluarga untuk menghindari rasa malu yang lebih besar. Sekarang, ketika Masirah mulai tumbuh besar dan menjelma gadis kecil yang cantik, perempuan itu berniat mengadopsinya dengan berbagai macam alasan yang menyudutkan Latifa.
***
Keesokan harinya, ketika bibinya pulang kembali dengan tangan hampa,ibunya mencoba memberikan beberapa penjelasan kepada Latifa.
“Bibimu punya niat baik, Fa. Setidaknya jika tinggal di sana, akan lebih terjamin segala sesuatunya. Sekolahnya, lingkungannya…”
“Saya bisa menyekolahkannya, Bu. Saya akan pergi bekerja kembali.”
“Seluruh kampung ini terlanjur tahu. Anak-anak kecil juga tahu. Ibu juga sakit hati kalau melihat Masirah selalu menangis setiap pulang bermain. Ibu juga sedih.”
“Masirah tak akan tinggal di sini, Bu. Tidak juga bersama Bibi.”
Percekcokan kecil itu menyulut kembali ingatan Latifa tentang masa lalunya. Setiap kali itu terjadi, ia merasa sekujur tubuhnya berbau busuk. Ia merasa bodoh, karena tak berdaya melawan sosok iblis yang mencederai kehormatannya sebagai perempuan. Namun ia terus bertahan, sebab bagaimanapun ia harus tetap hidup.  Ia tak ingin mati sia-sia di negeri orang. Ia merasa bersyukur karena dirinya telah berhasil membatalkan niatnya merusak janin itu. Dengan terus berusaha bersikap wajar, ia akhirnya bisa meninggalkan negara petrodolar itu.
Namun tak ada yang mudah bagi dirinya. Kepulangannya disambut kasak-kusuk seisi kampung. Dalam keluarga besarnya sendiri, Latifa merasa seperti bangkai busuk yang harus dijauhi. Pada saat-saat seperti itulah, ia sebenarnya justru lebih dekat dengan kedua orangtuanya—terutama ayahnya yang menderita sakit menahun. Namun sayang, kedekatan itu tak berlangsung lama. Ayahnya meninggal tepat dua hari sebelum ia melahirkan Masirah.
Latifa menyayangi anak malang itu. Anak yang membuatnya selalu merasa berbau busuk saat dalam pikirannya terlintas seorang laki-laki yang tak diinginkannya. Setiap kali itu terjadi, Latifa selalu ingin muntah. Perutnya kerap mual tak berkesudahan seperti saat hamil. Jika itu terjadi, satu-satunya hal yang lebih mudah dan cepat mengobatinya adalah daun-daun beluntas itu. Ia sering membuatnya sebagai lalapan, juice, botok,  atau jenis masakan yang lainnya.
Sekarang, ketika Masirah semakin tumbuh besar, setiap kali melihat bola matanya yang bulat bening, alisnya yang hitam tebal, hidungnya yang lebih mancung dibanding teman-teman sepermainannya di kampung, Latifa hanya ingin melindunginya dengan caranya sendiri.
***
Setelah mengurus segala sesuatunya, Latifa memanggil seorang perempuan yang telah ditunjuk mendampinginya sejak kedatangannya di tempat itu. Latifa mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari tasnya dan menyerahkannya pada perempuan itu.
“Maaf, Bu. Jangan lupa, tolong ini berikan padanya pada saat makan siang nanti. Dia sangat menyukainya,” ujar Latifa.
“Baik, akan saya usahakan, Bu. Kalau boleh tahu, ini apa?” tanya perempuan itu.
“Oh, itu botok tempe beluntas, kesukaannya,” jawab Latifa.
Perempuan itu segera mengemasi barang-barang Masirah dan membawanya ke sebuah ruangan. Latifa tetap diam di tempatnya berdiri, ia melayangkan pandangan ke seluruh ruangan. Matanya mulai terasa panas, dadanya sesak. Untuk sementara, itu hal terbaik yang bisa dilakukannya untuk Masirah. Latifa berjanji akan bekerja sebaik-baiknya dan lebih berhati-hati di tempatnya yang baru nanti.
Saat perempuan itu kembali menawari Latifa untuk melihat-lihat seisi asrama sekali lagi, Latifa menolaknya dengan sopan. Ia justru bertanya di mana pintu keluar terdekat dari asrama itu. Latifa mengikuti petunjuk yang disampaikan perempuan itu. Saat ia bergegas menuju sebuah pintu, lamat-lamat ia mendengar suara Masirah sedang bercakap-cakap dengan teman-teman barunya.
“Kenapa dengan bonekamu itu?”
“Oh, ini. Tangannya patah.”
“Kasihan, ya?”
“Tak apa-apa. Nanti Ibuku akan menjahitnya.”
Latifa mempercepat langkahnya. Di sepanjang jalan belakang Panti Asuhan yang lengang itu, tubuh Latifa berguncangan oleh sedu sedan.

2017
Tjak S Parlan lahir di Banyuwangi, 10 November 1975. Cerpen dan puisinya tersiar di sejumlah media. Ia bermukim di Mataram, Nusa Tenggara Barat.