Daftar Blog Saya

Kamis, 28 Desember 2017

Kutipan The Heartbroken Heartbreaker

“Semua orang penulis. Seluruh hidupmu adalah sebuah kisah. Pilihan yang kau buat setiap hari menentukan kisah seperti apa yang kau jalani. Beberapa orang, seperti dirimu, punya kemampuan lebih dalam menggunakan kata-kata dibandingkan yang lain.” (hlm. 157)

Banyak kalimat favorit dalam buku ini:
  1. Katakan apa pun yang kau inginkan tentangku. (hlm. 26)
  2. Tidak ada orang yang begitu saja berubah pikiran tentang sesuatu seperti itu. (hlm. 37)
  3. Kau tidak bisa memberikan situasi apa pun yang akan membuatku berubah pikiran. (hlm. 49)
  4. Menceritakannya mungkin bisa membuatmu merasa lebih baik. (hlm. 57)
  5. Pasti sulit melihat seseorang yang kau cintai meninggal tanpa bisa melakukan apa pun. (hlm. 79)
  6. Jangan ragu untuk memberitahuku kalau dia menyukaimu. (hlm. 185)
  7. Kebanyakan orang hanya bisa melihat sisi buruknya. Kau tidak. Kau mengakui sisi buruk itu, tapi kau masih bisa melihat sisi baiknya. (hlm. 219)
  8. Setiap momen dalam hidup kita memiliki potensi untuk mengubah hidup. Beberapa memiliki potensi yang lebih besar dibandingkan yang lainnya. Dan kita semua terus bertumbuh saat melewati momen-momen tersebut. Bahkan momen buruk sekalipun perlu terjadi supaya momen yang menyenangkan bisa terjadi. (hlm. 345)
  9. Kita bisa mengambil jalan pintas dalam hidup. Kita harus melewati momen-momen seburuk apa pun, karena semua jalan itu sering kali mengarah ke jalan lain yang lebih baik. Tidak ada langit yang hanya memiliki bintang terang. Akan selalu ada beberapa bintang redup di sana-sini, tersebar di antara bintang-bintang yang terang. Dan karena itulah, langit menjadi lebih menakjubkan. (hlm. 345)
  10. Semua akan baik-baik saja. (hlm. 361)
Banyak juga selipan sindiran halusnya:
  1. Mengapa disebut jatuh cinta jika jatuh menyiratkan keruntuhan; jika jatu menyiratkan kehancuran. (hlm. 5)
  2. Orang selalu melihat cinta sebagai sesuatu yang besar, sesuatu yang kita butuhkan. Sejenak kita semua lupa bahwa untuk bisa merasakan cinta, kita harus jatuh –bukan hanya ke dalamnya, tapi kadang juga ke luar. (hlm. 5)
  3. Kalau kau ingin bersikap sopan, maka kau tidak akan mengajak bicara teman di bangku sebelahmu saat guru sedang bicara. (hlm. 9)
  4. Senyuman palsu hanya bisa menutupi sejauh itu. (hlm. 25)
  5. Kau tidak punya hak memberitahuku apa yang harus kulakukan. (hlm. 29)
  6. Kau tidak punya hak memberitahuku bagaimana seharusnya perasaanku. Kau bahkan tidak kenal aku. (hlm. 43)
  7. Kau bilang begitu hanya karena dia ada di pihakmu. (hlm. 45)
  8. Tidak ada orang yang dengan gampangnya meminta menginap di tempat lain kalau tidak ada yang salah. (hlm. 57)
  9. Apa yang akan kau lakukan tanpa diriku? (hlm. 65)
  10. Memangnya kita punya hal lain yang lebih baik untuk dilakukan? (hlm. 65)
  11. Kalau kita sampai terluka, kau harus membayarnya. (hlm. 72)
  12. Jangan terlalu menyanjung dirimu sendiri. (hlm. 109)
  13. Kenapa kau melakukan semua ini? (hlm. 109)
  14. Kau percaya bahwa dialah yang ditakdirkan untukmu dan hanya akan dia seorang. Dan tiba-tiba semua itu hilang. (hlm. 141)
  15. Kita melakukan kesalahan dan kita mengacaukan segalanya, dan tidak ada gunanya kau membenci diri sendiri. (hlm. 176)
  16. Memang seperti itulah film. Mereka selalu berakhir dalam momen bahagia, dalam adegan yang sempurna, di mana semuanya pasti benar dan tidak mungkin ada yang salah. Ya, hidup tidak berjalan seperti itu, karena selalu ada sesuatu yang datang setelah ‘TAMAT’. (hlm. 181)
  17. Kau tidak menyebalkan. Kau hanya bersikap menyebalkan untuk menutupi perasaanmu. Semacam mekanisme pertahanan. (hlm. 211)
  18. Tidak ada orang yang menelepon jam satu pagi kalau tidak ada apa-apa. (hlm. 226)
  19. Ada hal-hal yang sulit dipaksakan. (hlm. 339)
  20. Saat kau patah hati, orang lain hanya bisa membantumu memungut kepingan-kepingan hatimu, tapi hanya kau yang bisa menyatukannya kembali. (hlm. 398)

Rabu, 27 Desember 2017

Lelaki yang Tinggal di Dalam Tanah

erpen Adi Zamzam (Bali Post, 24 Desember 2017)
Lelaki yang Tinggal di Dalam Tanah ilustrasi Citra Sasmito - Bali Post
Lelaki yang Tinggal di Dalam Tanah ilustrasi Citra Sasmito/Bali Post
Kabut mengubah siang seperti senja beranjak malam. Benakku dihinggapi perasaan tak enak. Berisik yang tiba-tiba mengusik membuat dadaku berdenyar. Aku terpaksa keluar mobil demi memastikan rupa suara.
Betapa terkejutnya aku. Di tengah jalan yang membelah perbukitan aku terpana. Ribuan pohon tiba-tiba saja hidup, menganggukkan badan, seraya mengucap terima kasih kepadaku. Seseorang, yang entah dari mana datangnya, sudah berdiri di ujung jalan. Sosok misterius itu sekujur tubuhnya berupa tanah tanah!
“Kemarilah. Aku ingin berterima kasih kepadamu…” sosok itu turut mengangguk kepadaku.
“Terima kasih atas apa?”
Ia mendekat. Semakin dapat kulihat tubuhnya yang tanah. Sialnya, kedua kakiku tak bisa kugerakkan. Tubuhku gemetar, terdera ketakutan.
Entah mengapa kemudian aku berteriak memanggil almarhum kakekku. Namun istrikulah yang kemudian kudapati. Mengguncang bahu dengan wajah penuh tanya.
***
“Kabar dari keluarga Jono bagaimana, Mas?” istriku datang dengan segelas kopi nasgithel.
Aku hanya menyahut dengan dehaman kecil. Coba menghilangkan yang tiba-tiba mengganjal di tenggorokan. Lantas kubasahi dengan kopi hangat. Musibah yang terulang itu selalu saja membuatku kesulitan menelan sesuatu.
“Sesuai perintah Mas, uang santunan sudah kuserahkan lewat Pak Mijan. Aku belum dapat kabar apa pun,” ujarnya lagi.
Aku sebenarnya tak mau diingatkan dengan musibah itu. Apalagi jika kemudian teringat bahwa musibah itu terjadi setelah mimpi buruk yang belakangan sering meneror tidurku. Dua pekerjaku telah tertimpa longsoran tanah yang mereka gali sendiri.
Aku tak mau menampakkan kesedihan meski sebenarnya aku turut bersedih. Aku tak mau terlihat kalah di depan mereka yang pada dasarnya sudah tak menyukai apa yang kulakukan di desa itu. Mengingat segala kegigihan yang telah kulakukan demi melancarkan usaha. Dari berbaik-baik dengan para pemegang tampuk kekuasaan, para wakil rakyat tingkat kecamatan ataupun kabupaten, hingga dengan para warga sekitar yang membutuhkan pekerjaan.
Toh tak hanya aku yang kenyang. Para penadah kris dari penggilingan batu milikku, kebanyakan adalah para wakil rakyat. Dan mereka tahu dari mana aku mengambil bahan baku. Atau beberapa tetangga yang memperlihatkan kesinisan. Seolah pertambangan milikku sedikit banyak tak turut menyumbang napas buat mereka.
***
Di sebelah timur tanah kelahiranku perbukitan itu berada. Di dalam perutnya mengandung banyak batu, sementara tanahnya sangat baik untuk bahan batu bata dan genting. Di masa kecilku siapa pun bisa dengan mudah menemukan pisang, jambu biji, mangga, sawo, srikaya, sirsak, rambutan, atau bahkan durian yang tumbuh liar. Kakeklah yang kerap memarahi siapa pun yang menebas apa pun yang tumbuh di sana.
“Lelaki yang tinggal di dalam tanah?” pertanyaan ini muncul saat hari pertama cerita ajaib Kakek dituturkan.
“Iya. Dia akan marah jika kau merusak apa pun yang tumbuh di atasnya. Dialah yang bertugas menyediakan air bersih untuk akar-akar, menggemburkan tanah, menyimpan persediaan air, hingga menyelamatkan ikan-ikan dari kemarau dan melepaskannya kembali di puncak penghujan.”
Dengan perasaan aneh dan sedikit takut, aku kerap membayangkan seperti apa rupa dan bagaimana cara lelaki itu tinggal dan menjaga tanah. Apalagi ketika kemudian Kakek bilang lelaki itu tak hanya tinggal di bukit Sendang Perawan. Ia menjaga bumi ini dengan segenap kekuatannya.
Tapi…
“Banjir terjadi lantaran sungai penuh sampah, sementara hutan digunduli sehingga tanah tak lagi mampu menahan kadatangan air. Begitu juga dengan kekeringan, tsunami, gempa bumi, atau gunung meletus. Semuanya memiliki penyebab sendiri-sendiri,” bantahan Pak Parji begitu meyakinkan ketika aku bertanya di dalam kelas. Hingga teman-teman menjadikanku bahan ejekan setelahnya.
***
“Kira-kira kapan penggilingannya buka lagi, Pak?” lelaki itu tersenyum dengan ekspresi yang aneh. Dilipatnya uang pemberianku dengan kikuk setelah sempat keliru menyangka kausnya memiliki saku. Dia baru saja berhutang.
“Kalau misal penggilingan aku tutup, Pak Badrun kira-kira mau pindah kerja apa?”
“Jangan bercanda lah, Pak,” ia tersenyum lagi. Tapi lagi-lagi senyum itu menjadi seringai yang aneh. Tanah berjatuhan dari wajahnya.
Ketika lelaki itu membalikkan badan, tubuhnya semakin sempurna berubah tanah. Aku berniat memanggilnya kembali setelah beberapa langkah ia beranjak. Namun mulutku langsung mengunci tatkala tubuh itu tiba-tiba amblas ke tanah dan hanya menyisakan gunungan tanah.
Kukucek mata berkali-kali. Kepalaku pening. Halusinasi itu menguasaiku lagi. Kulihat Pak Badrun sudah jauh meninggalkanku.
“Mas, ziarahnya jam empat sore ya? Aku mau diajak Nani, ambil kue-kue pesanan dulu,” istriku menjawil. Kujawab dengan anggukan.
Sepanjang hari itu aku benar-benar memikirkan usaha apa kiranya yang manis untuk kujadikan pengganti usaha penggilingan batu. Ketika sampai di depan makam Kakek, istriku tercekat mendengar aneka ide yang berlompatan dari mulutku.
“Mas serius? Mas ini kenapa sih?”
Entah mengapa tangan kananku gemetar ketika menyentuh nisan Kakek. Meski cerita beliau terkesan tak masuk akal. Sudah dua kali mimpi buruk itu membawa kabar kematian. Mimpi itu seperti ingin mengabarkan sesuatu, dengan caranya sendiri. Kakek mungkin bisa menjelaskan arti mimpi itu. Karena itulah aku sering memanggilnya dalam mimpi. Sayangnya beliau tak pernah lagi muncul setelah mimpi-mimpi aneh itu bertamu.
***
Hari itu perasaan tak nyaman sudah sedemikian hebatnya membelitku. Bukan lantaran hari itu adalah pesta pernikahan Danar yang kemarin-kemarin juga turut memusuhi usahaku. Toh sekarang ia sudah diam dan acuh dengan segala pekerjaanku, setelah jatuhnya dua korban jiwa.
Apa yang menguasai kedua mataku sudah sedemikian hebatnya. Tak hanya satu dua sosok yang tiba-tiba menjadi manusia tanah, tapi semua. Tak terkecuali istri dan anak-anakku. Hanya bayanganku dalam cermin saja yang selamat dari halusinasi ini.
Aku berdiam di salah satu kursi di teras rumah, kehilangan gairah menggerakkan tubuh. Hilir-mudik orang-orang berubah menjadi iring-iringan mengerikan di mataku.
“Kapan penggilingannya buka lagi, Pak?” seorang lelaki tanah mendekatiku, dengan seringai yang aneh.
“Bukannya sawah Pak Ipin sekarang sedang butuh banyak tenaga?” kubalik pertanyaan yang seolah ingin meledek. Puncak penghujan adalah masa tidur semua penggilingan batu milikku—seiring dengan masa liburnya proyek-proyek Pemerintah. Meskipun ada beberapa orang yang kadang masih nekat menggali tanah, menabung pekerjaan kepadaku.
“Tahun depan aku akan mengeruk sawah yang sebelah timur, Pak. Airnya susah.”
“Para tetangganya enggak akan marah tho?”
Dia malah tertawa, “Suka atau enggak suka itu kan hal biasa tho, Pak?”
Dia terus saja berbicara. Sementara aku semakin tak menginginkan percakapan itu. Kupangkas kalimat menjadi pendek-pendek agar dia tahu aku benar-benar sedang tak menginginkan percakapan ini. Tapi rupanya dia sedang menunggui istrinya yang baru saja keluar dari ruang tamu setelah setengah jam berlalu. Dan sepasang manusia tanah itu kemudian meninggalkan pesta setelah mengucap pamit kepadaku.
Aku menghitung detik demi detiknya. Menunggu adegan ganjil yang sudah aku hafal lantaran sudah berkali terjadi. Namun belum sempat dua sosok itu amblas ke dalam tanah, tiba-tiba telingaku mendengar teriakan bernada panik.
Aku buru-buru menyusul beberapa orang yang lari berhamburan. Mataku kemudian menemukan itu, dari arah pertambangan milikku. Aku bisa melihat sebagian bukit Sendang Perawan yang telah hilang. Dan longsoran itu—dengan membawa segala yang ada padanya, sedang meluncur deras ke arah kami!
Aku berteriak memanggil ketiga anakku. Istriku tergopoh keluar dengan raut penuh tanya. Suasana semakin kacau. Pesta berubah jadi arena mengerikan. Aku sempat berpikir bahwa ini adalah bagian dari halusinasi itu, betapa pun istriku kalap menarik-narik lenganku dan akhirnya lari entah ke mana.
Aku sempat melihat si bungsu dalam gendongan Danar. Aku coba mengejar mereka setelah sadar bahwa ini memang kenyataan. Hanya dalam sekejap semuanya berubah jadi lautan lumpur.
Aku coba membebaskan diri. Tapi tanah telanjur menelanku. Mula-mula sebatas pinggang, dada, leher, menghimpit dan melilit seolah ingin menjadikanku manusia tanah.
“Tolooong…!” teriakku berkali-kali, dengan segala harap, entah kepada siapa. Hingga akhirnya kupejamkan kedua mata, menyambut rupa ajal.
Aku sudah tak lagi berharap ketika ada sesuatu yang menyentuhku. Entah apa atau siapa itu yang melakukannya. Seperti ada tangan yang mendorong kedua kakiku ke atas hingga kedua mataku bisa kembali menemukan cahaya. Aku terengah di antara himpitan tanah. Di batas kesadaran, kulihat seseorang muncul dari balik kelopak mataku. Sekujur tubuhnya tanah!
“Jika dia sudah marah, tak ada siapa pun yang dapat menolaknya,” ujar sosok misterius itu, mencuri kalimat Kakek.
Aku curiga bahwa dia memang Kakek. Tapi saat perih di sekujur tubuh mengembalikan sebagian kesadaran, aku mulai sangsi dengan dugaan sendiri. Tentu saja dia bukan Kakek!
Apakah dia yang menyelamatkanku tadi? Benarkah itu sosoknya? Mengapa dia menyelamatkanku?
Aku berteriak-teriak memanggil Kakek. Air mataku leleh. Penyesalanku terlambat. Semuanya telanjur terkubur tanah. Hanya tersisa janji-janji dalam hatiku sendiri. Janji-janji yang terlambat pula. Bahwa aku mesti memperbaiki semua. Terutama diriku sendiri.*

Traveling ke Kota Perang

Cerpen Risda Nur Widia (Bali Post, 03 Desember 2017)
Traveling ke Kota Perang ilustrasi Citra Sasmito - Bali Post
Traveling ke Kota Perang ilustrasi Citra Sasmito/Bali Post
Berada di puncak kejayaan bagi Tarno benar-benar membosankan. Tarno merasa tidak ada lagi hal yang menarik untuk dilakukan. Segala yang ia inginkan—sekarang—akan segara terkabulkan. Tidak harus menunggu lama. Hanya beberapa jenak saja. Tarno sudah mendapatkannya. Namun meraih segala tanpa adanya proses sama seperti melakukan mastrubasi. Tak ada arti. Selain rasa keterasingan dan kesepian yang mendalam. Kini hal itu terjadi pada kehidupan Tarno; pada tarikan napas, geliat rutinitasnya, serta segala yang dilakukannya.
Semuanya kini telah dimiliki Tarno: mobil yang jumlahnya puluhan dan keluaran paling baru, uang di setiap bank dengan nominal enol yang sulit untuk dieja, kapal pesir, wanita, dan segala perlengkapan lainnya. Semua telah berada dalam satu genggaman tangannya. Bahkan terkadang apabila bosan dengan harta yang melimpah dan kecukupan, Tarno diam-diam mengambil uangnya di bank beberapa koper; membawanya ke dekat perapian; membakarnya sebagai bahan nyala api. Terkadang juga Tarno dengan sengaja menabrakkan mobilnya sendiri dengan mobilnya yang lain; sampai mobil-mobil itu peyot dan bopeng. Namun semua itu akan kembali lagi. Segala kekayaannya seperti tak pernah habis. Malah bertambah banyak. Karena hal inilah, Tarno merasa bosan.
Padahal dahulu—ketika masih kecil—ia harus mendapatkan segala sesuatu dengan susah payah. Tarno masih ingat betul ketika masih umur sepuluh dan harus bertengkar dengan kakaknya karena sepotong telur rebus. Ketika itu ayah Tarno—yang seorang petani kecil di desa—pulang membawa sekotak kecil makanan dari berkah desa. Di dalam kotak itu terdapat sepotong telur. Tarno dan kakaknya harus bertengkar untuk menentukan siapa yang layak mendapatkan bagian lebih.
“Seharusnya orang lebih tua yang mendapatkan bagian banyak,” kata kakaknya.
Bantah Tarno. “Tidak bisa! Seharusnya orang kecillah yang mendapatkan bagian lebih!”
Sejak peristiwa itu akhirnya Tarno berjanji dalam hidupnya untuk tidak selamanya merana. Tarno bertekad ingin hidup lebih baik dari ayah, ibu, serta kakaknya. Tarno ingin mendapatkan segalanya yang lebih dari mencukupi. Hal itu mulai terwujud ketika Tarno terus mendapatkan peringkat pertama di sekolah; dari sekolah dasar hingga menengah atas. Prestasi Tarno sangat mengagumkan. Sampai kemudian Haji Ramli—ketika Tarno lulus—menawarinya untuk kuliah. Haji Ramli menjanjikan kepada Tarno segala biaya kuliah akan didukungnya penuh.
Begitulah. Tarno hanya butuh waktu tiga tahun setengah dalam menyelesaikan kuliah dengan otak encernya di jurusan pertambangan. Lalu setelah lulus, ia bekerja di perusahan minyak besar di Amerika. Lantas melanjutkan studi S2 dan S3-nya di luar negeri. Karir Tarno terus menanjak. Tarno mendapatkan apa yang diingkannya: makanan enak, mobil, uang, wanita, dan masih banyak lainnya. Tarno merasa hidupnya begitu menyenangkan. Di umur ke-50, Tarno kembali lagi ke Indoensia dan dicalonkan sebagai wakil rakyat. Karena dianggap terpandang dan penting, Tarno memenangkan pemilihan umum. Tarno pun menjadi pejabat baru dan mendapatkan segalanya.
Harta yang dimiliki Tarno semakin banyak. Kini saat umurnya menginjak ke-65, harta yang dimilikinya tak susut dari berbagai usahnya. Namun Tarno mulai merasakan ada kejenuhan dalam dirinya. Tarno merasa bosan dengan apa yang dimilikinya hari ini. Tiba-tiba, Tarno teringat masa kecilnya yang serba kekurangan. Walau ketika itu sangat kekurangan, Tarno dapat hidup dengan bahagia. Tarno menikmati ketika dirinya berbagi dengan kakaknya atau dengan ayah-ibunya yang acap mengalah. Tarno merrindukan segala peristiwa itu. Bahkan kalau bisa mengulang masa-masa sederhana itu, Tarno rela membelinya dengan segala harta yang dimilikinya kini. Sayangnya semua itu tak mungkin terjadi.
Tarno termenung menatap halamannya yang luas. Hati Tarno semakin kacau. Tarno tak tahu harus berbuat apa. Lalu ketika ia melirik ke arah koran pagi di meja, Tarno melihat sebuah iklan yang tercetak dengan huruf kapital: “LIBURAN MENCEGAH BUNUH DIRI”. Tarno mengamati secara seksama iklan tersebut. Pada iklan itu tertera sebuah liburan yang berbeda daripada biasanya. Namun Tarno ragu dengan iklan tersebut. Karena bagi Tarno tak ada tempat yang benar-benar belum didatanginya. Semua liburan dan tempat paling mewah serta mahal, pernah dikunjunginya. Tarno berpikir: Apa yang membuat iklan liburan ini berbeda? Karena tidak memiliki kesibukan selain meratapi kebosananya, Tarno menelepon nomer layanan iklan tersebut.
“Selamat pagi!” Sahut seorang wanita lembut. “Kami melayani liburan yang berbeda!”
“Liburan macam apa?” Timpal Tarno tanpa basa-basi.
“Kami memiliki perjalanan ke daerah-daerah perang dan konflik!”
Tarno tergeregap mendengar itu. Belum pernah dirinya mendengar liburan yang begitu sinting semacam itu. Namun karena memiliki banyak waktu luang dan harta yang melimpah, Tarno mengambilnya juga.
***
Seperti yang sudah dijanjikan, pesawat Tarno datang ke sebuah kota perang. Saat pesawat itu terbang, sempat ia melihat pesawat-pesawat jet melemparkan rudal-rudal ke tengah kota. Lantas dari atas pesawat, Tarno melihat kepul asap hitam pekat yang menyaput kota dari tembakan serta api yang menghajar bangun. Tarno melihat itu semua dengan tubuh bergidik. Ia tidak bisa membayangkan apabila nanti saat berlibur dirinya kena salah satu rudal dari pesawat-pesawat jet yang ditembakan ke arah kota. Hal yang sama sebenarnya terjadi pada rombongan pelancong yang kebanyakan orang kaya tersebut. Mereka terlihat pucat dan ketakutan. Namun cepat pemandu wisata menenangkan.
“Tidak perlu ada yang ditakutkan,” kata seorang wanita dengan wajah santai. “Rudal-rudal itu tidak akan mengenai atau menembak kita. Karena kita tidak terlibat dengan huru-hara mereka. Kita hanya seorang pelancong saja.”
Pesawat itu mendarat dengan aman sampai di bandara. Sebuah bis mengilap warna putih sudah menunggu Tarno dan para pelancong lainnya di lobi hotel. Mereka dipandu untuk naik ke atas bis tersebut. Dan bis itu melaju dari bandara yang cukup rapi, menuju kota yang terlihat sangat berantakan. Mula-mula, Tarno melihat gedung-gedung yang menjulang rongsok; ringsek karena ledakan bom yang dilemparkan ke arahnya. Tarno juga melihat mobil-mobil berserak peyot; penuh lubang peluru; gosong akibat terbakar. Di tepi jalan Tarno melihat anak-anak kurus berlari-lari mengejar bis wisata yang digunakannya. Para pelancong itu seperti sedang melakukan perjalan ke kebun binatang, dan melihat nasib penduduk kota yang terkerangkeng kesedihan seperti hewan-hewan melata.
Tarno hanya duduk termangu memandang semua panorama mengerikan itu. Namun para pelancong lainnya tidak peduli dengan semua diorama tersebut. Para pelancong memotret dan tertawatawa melihat kejadian itu. Ditambah lagi ketika seorang pemadu menyeret mereka ke barak pengungsian kumuh.
“Di tenda-tenda itu terdapat anak-anak, ibu-ibu, atau para pria yang menjadi korban perang,” kata pemandu. “Anda bisa melihatnya sendiri.”
Tarno pun melihat dengan jelas pemandangan mengerikan tersebut. Di hadapannya tampil orang-orang dengan wajah murung yang lelah. Darah yang meleleh dari tubuh yang dikoyak peluruh. Ratap tangisan setelah ditinggal mati keluarga. Lalu anak-anak yang menatap putus asa ke arahnya. Semua pemandangan itu seakan berbanding terbalik dengan segala kesenangannya yang didapatkan dari harta-kekayannya yang melimpah. Kesedihan dan kehilangan itu seakan tidak bisa ditebus oleh uang Tarno yang melimpah. Bahkan ketika Tarno melihat keluarga yang sedang makan bersama dengan nasi tanpa lauk, Tarno teringat keluarganya dahulu.
***
Bis terus melaju. Setelah melewati padang pengungsian, Tarno beserta rombongan lainnya memasuki gurun luas dan gersang. Di tengah gurun itu tidak ada pemandangan selain tanah tandus. Sempat para pelancong itu bingung mengapa bis memasuki daerah itu. Pemandu wanita berwajah baik itu cepat menjelaskan kepada para pelancong mengenai tempat kunjungan itu.
“Kalian bisa menengok ke arah kanan bis ini!” Kata pemandu cantik itu. “Di sana terlihat orangorang yang berjajar rapi!”
Tarno melihat orang-orang yang dibariskan rapi. Jumlahnya ada 20 orang. Tangan serta mata mereka diikat dengan kain. Dan ada 5 orang menodongkan senjata ke arah orang-orang yang wajah dan tangannya diikat tersebut.
“Hari ini orang-orang itu akan dieksekusi!” Kata si pemandu. “Kita beruntung karena bisa melihat eksekusi ini! Mereka adalah para pemberontak.”
Tarno melihat dengan jelas ketika orang-orang itu dibunuh dengan keji dan brutal. Mereka ditembaki dengan membabi-buta; tidak memberikan kesempatan apapun. Bahkan untuk menanyakan kesalahannya, tak bisa. Tarno bergidik dan mual. Tarno merasa apa yang dimilikinya selama ini sama sekali tak berarti setelah melihat segala kemalangan itu. Harta yang dimiliki Tarno tidak lebih hanya sampah; bisa kapan saja raib dan lenyap entah ke mana.
***
Usai melihat segala kekacaun dari paket liburannya itu, hati Tarno semakin hampa. Ia merasa kalau segala yang dimilikinya—harta melimpah itu—sama sekali tidak berguna di tengah keributan peluru dan bom. Ingin bertindak melakukan suatu hal, rasanya Tarno tak mampu. Ia tidak bisa mengubah apapun dengan uangnya. Pun sepualang tamsya, ia hanya memberikan sebagaian jumlah kekayaannya pada pengungsi dan relawan. Itu juga dengan cara sembunyi-sembuyi. Begitulah. Pesawat membawa kembali Tarno ke negaranya. Dan nyaris sepanjang waktu ketika pesawat melintasi kota itu, ia melihat kekacauan masih terus terjadi.

Risda Nur Widia. Belajar di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Pernah juara dua sayembara menulis sastra mahasiswa se-Indoensia UGM (2013), Nominator Sastra Profetik Kuntowijoyo UHAMKA (2013). Penerima Anugerah Taruna Sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2015). Nominator tiga besar buku sastra terbaik Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Yogyakarta 2016. Buku kumpulan cerpen tunggalnya: Bunga-Bunga Kesunyian (2015) dan Tokoh Anda Yang Ingin Mati Bahagia Seperti Mersault (2016). Cerpennya telah tersiar di berbagai media.

Pintu Belakang

Cerpen Mohammad Ilyas (Banjarmasin Post, 24 Desember 2017)
Pintu Belakang ilustrasi Rizali Rahman - Banjarmasin Post Group.jpg
Pintu Belakang ilustrasi Rizali Rahman/Banjarmasin Post Group
Pintu belakang rumah Monarie ada yang mengetuknya tiga kali. Ia bergegas mendekati pintu itu, dan membukanya. Ia melihat seorang laki-laki berbadan tegap berdiri memunggungi pintu. Sebentar kemudian Monarie menarik tangan laki-laki itu, dan mengajaknya masuk. Tangannya gemetar. Ia bergegas menutup kembali pintu rumahnya rapat-rapat dan menguncinya dari dalam.
Sementara di luar hujan masih belum reda. Sesekali petir menyambar sehabis keredep kilat memecah kegelapan. Monarie memanggil laki-laki itu dengan sebutan Maddasin. Begitu pula dengan tetangga-tetangganya, menyebut dengan panggilan yang sama. Dan, Maddasin dikenal sebagai pedagang sapi.
Monarie beranjak menuju jendela, lantas menarik gorden yang semula hanya ditutupnya separuh. Selanjutnya ia mematikan lampunya yang remang-remang itu. Ia pun mendekati Maddasin yang sejak tadi duduk di atas lincaknya yang tanpa kasur.
“Bagaimana kabar suamimu?” tanya Maddasin dengan suara berbisik.
“Entahlah,” jawabnya Monarie.
“Kamu pasti banyak tahu tentang Jakarta, kalau suamimu menceritakannya?”
“Dia tidak sempat bercerita padaku, sebab di sana katanya sangat sibuk. Tokonya dibuka selama dua puluh empat jam. Tidak ada waktu untuk ngobrol panjang. Dia hanya menelponku, kalau kebetulan mengirim uang, menanyakan masuk tidaknya.”
Maddasin dapat melihat wajah Monarie acuh di remang-remang. Juga didengarnya suara desah napasnya tidak sabar. Monarie segera merebahkan tubuhnya dan menarik pundak Maddasin, sampai mereka sama-sama terlentang di atas lincak yang dingin.
“Kamu tentu capek sehabis kerja seharian mencari sapi yang mau dijual,” bujuknya Monarie. “Tidurlah meski aku tak punya kasur, dan aku harap kamu betah rebahan di sini.”
Maddasin tiba-tiba mengurungkan niatnya saat mau menuruti ajakan Monarie. Dan, Maddasin seketika meloncat dari ranjang saat pintu rumah Monarie ada yang mengetuknya. Ia meringkuk di gelap pojok bawah ranjang.
Monarie  bangkit dari rebahannya. Sebelum beranjak menuju pintu, terlebih dahulu merapikan rambutnya yang acak-acakan. Kemudian dibukanya perlahan pintu itu. Di depan pintu anaknya berdiri dan meminta uang untuk membeli jajan.
“Malam-malam kamu mau jajan?” ucapnya Monarie. “Iya sudah, tunggu di sini sebentar, biar aku ambilkan dulu ke dalam.”
Tanpa banyak basa-basi, Monarie kembali masuk ke dalam dan menuju lemari yang terletak di pojok kamarnya. Dalam remang-remang tangannya meraba-raba lipatan baju yang sudah tersusun rapi, sesekali mengangkatnya susunan baju itu perlahan, dan kembali tangannya meraba-raba.
“Klak,” tiba-tiba lampu di kamar itu serentak menyala, dan Monarie tersentak kekagetan. Rupanya anaknya yang menghidupkan lampu. Buru-buru Monarie  menghampiri sakelar dekat anaknya berdiri, dan mematikan kembali lampunya. Anaknya yang semula berniat untuk membantunya, kini kebingungan dengan apa yang dilakukan Monarie.
“Sini kamu,” Monarie menjewer telinga anaknya, dan ditariknya keluar.
“Sejak kapan aku mengajarimu kacang?”
Anaknya tidak berani menjawab, ia hanya menunduk sambil memelinting-lintang ujung bajunya. Monarie terus mendesaknya dan terus menanyakannya dengan kata-kata yang sama.
“I… i… in… ini,” ucapnya anaknya gugup. “Ini kan rumah, Ibu!” lanjutnya setelah ia menelan ludahnya.
Sebagai hukuman bagi anaknya, Monarie tidak jadi memberinya uang. Ia menganggap anaknya telah melakukan kesalahan besar. Dengan mata berlinang, anaknya beranjak pergi, dan Monarie menyuruhnya untuk tidur di surau tempat ngajinya.
Kembali Monarie masuk ke dalam rumahnya dan memberi isyarat kepada Maddasin untuk keluar dari bawah ranjang itu.
Maddasin segera duduk di dekat Monarie. Ia mengatakan kalau malam sudah benar-benar larut. Ia pun pamit pulang pada Monarie.
Lepas dari pintu belakang rumah Monarie, Maddasin dengan mengendap-ngendap terus berjalan melewati pagar dan semak-semak yang rimbun.
***
Sesampainya Maddasin di depan rumahnya, tiba-tiba hatinya berdebar, ia mulai berpikiran lain ketika melihat pintu rumahnya sedikit terbuka. Sebab, istrinya mempunyai kebiasaan menutup rapat pintu saat malam.
Maddasin begegas menuju kandang sapinya sebelum masuk ke dalam rumahnya. Segera, arit yang terselip di celah anyaman bambu diambilnya dan digenggamnya erat-erat.
Perlahan-lahan Maddasin melangkah menuju kamar istrinya. Diam-diam ia menangkap suara istrinya yang tengah mengobrol lirih dengan laki-laki. Kini Maddasin dadanya terasa sesak, tangannya gemetar dan keringatan. Ia pandangi arit yang digenggamnya dengan pandangan terbelalak, giginya geretak-geretak menahan geram.
Tanpa ada rasa ragu sedikitpun, Maddasin menendang dan mendorong pintu kamar istrinya keras-keras sehingga pintu itu seketika terbuka. Kemarahan Maddasin semakin membuncah ketika dilihatnya ada laki-laki yang berlindung di balik punggung istrinya. Laki- laki itu ketakutan saat Maddasin menghampirinya.
“Tunggu, mau apa kamu?” tanya istrinya
“Dasar perempuan gadungan! Pelacur!” cacinya Maddasin pada istrinya. Ia terus mendekati laki- laki itu dengan desah napas yang berangsur-angsur. Sementara istrinya terus berhadap-hadapan dengan Maddasin sehingga laki-laki itu terus terlindungi.
Pada saat laki-laki itu hendak melarikan diri, saat itu pula Maddasin menyebatkan aritnya dan mengenai pundak laki-laki itu. Darah segar memuncrat kuyup membasahi bajunya dan setelah sesaat mengerang, laki-laki itu terkulai tak bernyawa.
“Kamu selingkuh dengan anak kecil, Perempuan sundal!” ucapnya Maddasin geram.
“Bajingan!” tanggapnya istrinya dengan isak tangis iba sambil menatap laki-laki yang sudah tak bernyawa itu. “Kamu tahu? Ini anak Monarie, perempuan selingkuhanmu itu! Dia ke sini memberitahuku, kalau kamu ada di sana. Owh, kasihan anak ini! Setelah dia dimarahi ibunya, harus mengakhiri hidupnya pula, itu pun di tangan orang yang sama; sama-sama berhati iblis.”
“Cukuuup!” bentak Maddasin dengan napas tambah berangsur-angsur. “Kalau kamu kasihan sama dia, aku pun kasihan sama kamu! Maka sekarang biar kuantar kamu untuk menyusul anak kecil itu.”
“Bajingan kamu!” ujar istri Maddasin. Ia berjalan mundur mendekati pintu. Istri Maddasin meronta-ronta membuka pintunya yang sudah dikunci itu, sementara Maddasin terus mendekat dengan senyum dingin.
“Tolong! Tolong! Tolong!” teriaknya
Mbah Saliman yang hendak memutar qiroah di Masjid, terpemnjat saat mendengar suara minta tolong. Ia pun membangunkan warga yang lain, yang biasa salat subuh berjamaah di masjid itu. Kemudain berbondong-bondong menuju suara yang meminta tolong itu.
Akhirnya Mbah Saliman dan para jamaah masjid berhenti di depan halaman Maddasin. “Dengar!” ucapnya Mbah Saliman, tangannya sambil menunjuk rumah Maddasin. “Rupanya suara yang minta tolong itu dari sini sumbernya. Mari kita mendekat,” ajaknya Mbah Saliman.
Segera didengarnya pertengkaran Maddasin dengan istrinya. Beberapa orang jamaah masjid mengatakan, kenapa pintunya tidak didobrak saja. Tapi, sebagian orang berpendapat sebaiknya jangan, sebab pertengkaran di dalam berumah tangga itu sudah biasa.
Di masjid, beduk sudah ditabuh dan adzan segera dikumandangkan. Sementara dari dalam rumah Maddasin, sudah tidak didengarnya lagi pertengkaran. Para jamaah masjid pun bubar bersama-sama. Mbah Saliman ke masjid untuk melaksanakan salat subuh berjamaah.
Selesai salat, Mbah Saliman mematikan lampu kemudain menutup semua pintu masjid. Saat menuruni tangga masjid, tiba-tiba salah satu jamaah menghampirinya dengan napas terengah-engah.
“Ada apa?” tanya Mbah Saliman.
“Anu, Mbah! Saya disuruh memberi pengumuman oleh Pak RT.”
“La, iya pengumuman apa?”
“Ini, istri Maddasin meninggal, Mbah. Saya disuruh memberi pengumuman agar warga di kampung ini tahu.”
“Innalillahi,” ujarnya Mbah Saliman sambil geleng-geleng. (*)

Mohammad Ilyas, lahir di Sumenep, Madura. Saat ini tercatat sebagai Mahasiswa UIN Sunan Kali Yogyakarta, dan menimba ilmu di PP. Ibnu Sina Godean Yogyakarta.

Melayang Sebutir Cahaya

Cerpen Jeli Manalu (Haluan, 24 Desember 2017)
Melayang Sebutir Cahaya ilustrasi Haluan
Melayang Sebutir Cahaya ilustrasi Haluan
Butuh sepuluh menit bagimu untuk melepas pelukannya yang masih hangat. Kau memandangi matanya, mata itu tertidur dan tampak sangat nyenyak. Kaukecup lekas-lekas seperti pencuri, meski tadi kau tidak benar-benar ingat apakah merasakan denyutan halus di bagian kelopaknya karena pada saat itu ada angin yang menyeberang di antara kalian.
Kau lalu ke dapur menyiapkan makanan yang hanya disukai istrimu saat-saat ia sedang tidak enak badan. Ia memintamu memasaknya tadi malam sehabis kalian bercerita panjang dan ia sempat tertidur dengan kepala bertumpu di dadamu, dan saat terjaga ia berkata, “Kau masih ingat bagaimana warnanya ‘kan?” tanya istrimu, memastikan kau belum lupa tentang warna ikan itu nantinya.
Mengenai ikan arsik—ikan mas bumbu kuning dicampur kacang panjang, kucai, kecombrang yang dimasak hingga mongering—itu, warnanya harus kuning. Cabainya tidak banyak, kunyitnyalah yang perlu diperhatikan. Ia harus kuning pekat bak mekarnya bunga matahari. Bukan mirip lukisan yang warnanya sengaja dipucatkan atau kuning pada kulit yang akan tampak seperti orang mati, katanya. Aku tidak selera walau sekadar menyendoknya. Maka, kau menambahkan kunyit satu batang lagi.
Saat kau memukul-mukulnya di atas batu penggilingan, kau berhenti sejenak melihat istrimu apakah tidurnya terganggu. Nyatanya tidak. Ia masih di posisi ketika tadi kau meninggalkannya di atas kasur. Masih berselimut. Wajahnya mendongak. Kedua tangannya di sisi badan. Kakinya lurus. Tak sedikit pun bengkok. Pulas sekali tidur istriku, pikirmu. Kau kemudian gegas menghidupkan api kompor agar masakan itu matang sekitar dua jam lagi karena apinya dibuat kecil saja. Pelan-pelan saja, supaya tulangtulangnya lunak, dagingnya empuk, serta bumbu-bumbunya meresap.
Sementara itu kau berpikir untuk mengganti sarung bantal dan guling. Kau pergi lagi ke kamar, ke ranjang. Kaulepas sarung bantalmu. Kau tertegun menatap wajah istrimu. Wajah itu tenang, damai. Seulas senyumnya seibarat hamparan bunga yang belum terlalu mekar. Kau memperhatikan gambar bunga di sarung bantalnya. Bunga matahari yang ternyata selama ini berukuran sangat besar. Hanya separuhnya yang tampak. Setengahnya lagi terhalang topi di kepala istrimu, di mana di dalamnya terdapat rambut yang menyedihkan.
Dulu rambut itu sangat lebat, panjang, dan juga berkilau. Istrimu rajin mengolesinya lidah buaya bergantian dengan santan kelapa yang telah diendapkan di dalam botol dan ditaruh di atap rumah pada malam hari, lalu diambil sebelum ufuk menjadi orange. Tapi lebih dari setahun ini rambut indah itu perlahan-lahan rontok. Lantai dipenuhi batang-batang rambut. Kadang ia ada di piring berisi nasi, di dalam gelas berisi air, dan itu membuat istrimu menangis sambil marah.
Ia akan menarik-narik rambutnya dan di tangannya tampak helaian-helaian yang berlepasan begitu mudahnya. Kau minta izin mengguntingnya menjadi pendek. Pendek sekali, sampai kulit kepalanya tampak. Kini, kau melihat kepala itu ditutup topi rajut berwarna hijau. Selain kuning, istrimu sangat suka warna hijau. Menenangkan jiwa ragaku, katanya ketika masih sangat sehat dan ia tak terlalu peduli bila kuku cantiknya menjadi kotor saat memindahkan batang-batang bunga ke pot yang lebih besar.
Sewaktu perasaanmu tercabik kembali mengenang hari-hari itu, istri yang di hadapanmu kini memperlihatkan separuh bunga matahari yang ditutupi topinya tadi. Kepalanya sudah turun dari bantal. Dari bagian tengah gambar bunga matahari itu melayang sebutir cahaya. Kau terkesiap, mengiranya sesosok peri. Sosok itu kemudian mengambang di atas kasur lalu bergerak-gerak mengitari tubuh istrimu.
Aroma ikan mas arsik: perpaduan antara bawang, kunyit, jahet, cabai, kucai, kecombrang, asam jawa, dan kemiri menguar. Namun, kau tidak bisa membedakan aroma apa yang paling dominan, sementara kau berharap aroma kunyit sebagaimana diminta istrimu. Tahu-tahu istrimu sudah mati. Ia telah mati beberapa detik ketika kau mengeluarkan tubuhmu dari pelukannya yang sepanjang malam, di mana saat mengecup matanya kau lupa apa ada merasakan denyutan halus di kelopak matanya.
Sejauh ini kau berusaha meyakinkan dirimu bila istrimu benar-benar masih hidup. Kau tak membolehkan pikiran-pikiran aneh merasuki dirimu. Kau tak terbayang bagaimana mengabari orang-orang apakah dengan cara menjerit atau menghubungi dokter untuk memastikan denyut nadinya atau justru mendatangi rumah-rumah tetangga?—pada jam-jam itu tak ada orang di rumah tetangga, kecuali para pembantu yang sibuk memasak serta mengurus rumah.
Kau kembali menengok masakan dengan perasaan seperti malam tadi saat kau sayangsayangan dengan istrimu.
“Menggambarlah di sini,” pintanya, menunjuk dada sebelah kanan.
Kayak mau ke mana saja,” kilahmu.
“Aku serius,” ujarnya lagi yang langsung membuka kancing bajunya dan menyuruhmu lebih cepat. Seusai kau melakukannya, ia memegangi tanganmu agar kau membantunya berdiri di depan cermin. Ia senyum haru melihat bercak abstrak di pori-pori kulitnya.
Di dapur itu sesekali kau memiringkan leher ke arah ranjang yang seharusnya matamu bisa langsung menatap wajah istrimu. Tadi, kau menurunkan gorden manik-manik yang gemerincing bila kau menyentuhnya. Sebulan lalu kau sudah minta izin menggantinya dengan kain biasa agar tidak mengganggu tidurnya bila kau sedang lewat. Istrimu melarangmu. Ia bilang tak sesenti pun ada yang berubah di rumah itu meskipun ia pada akhirnya pasti pergi.
Penutup kuali kaubuka, aroma masakan menyebar di udara. Kau mengambil sendok, menyiram-nyiramkan airnya ke bagian yang mulai mengering. Kauambil lagi sendok yang lebih kecil untuk mencicipi rasanya. Kau menelannya dengan mimik yang tak menunjukkan apa-apa. Segera kaumatikan api kompor. Kauraih periuk yang lebih besar, mengisinya air dan kembali menghidupkan api kompor. Namun, hingga air mendidih, hingga kau mencampurnya dengan air dingin sehingga siap dijadikan air pemandian, kau tak kunjung menyiapkan badan istrimu. Kau, saat ini duduk menunggu dan mulai memikirkan perasaanmu.
Di matamu basah menjalar. Kaubiarkan gerimis berubah deras tanpa berusaha mengeringkannya dengan ujung atau kerah bajumu yang bau bumbu. Kau justru menatap ke atas, meyakinkan itu merupakan tetes dari genangan air di atap rumah sisa hujan semalam. Atap itu kemarin bocor. Kau menambalnya. Sekarang kau mengatakan kepada dirimu bahwa air yang membuat basah matamu saat ini adalah air yang berasal dari sana karena hasil tambalanmu kurang rapi.
Kini ada yang mengetuk rumahmu. Siapa, tanyamu sambil pura-pura mengambil handuk, piyama warna hijau, pakaian dalam. Namun seseorang benarbenar datang.
“Taruli!”
Kau berdebar saat seseorang itu memanggil nama istrimu. Rasa-rasanya kau mengenali suaranya yang belakangan membuat resah hatimu meski dengan wanita itu istrimu seolah bertambah-tambah saja umurnya. Bila sudah bertemu dengannya, wajah istrimu sedikit kemerahan. Istrimu tertawa, maka bisa kaurasakan betapa semangatnya masih sangat menggelora.
Wanita itu sebetulnya cuma pedagang pakaian keliling. Ia kadang mengreditkannya sehingga harus sering-sering ke perumahan. Namun ada saja orang yang tak mau mengutang. Takut bila tiba-tiba mati, siapa yang nanti membayar utang kita, ujar pelanggannya suatu ketika dan pelanggannya itu: istrimu. Sedang kepada pelanggan lain yang kadang suka mengunci rumah bila tahu jadwal ke datangannya, ia suka jengkel. Maka wanita itu jadi sangat senang berurusan dengan istrimu. Ia mulai pandai mengambil hati istrimu. Ia minta istrimu membuka telapak tangannya. Ia membaca di tangan istrimu, tentu saja yang si pedagang kain katakan adalah yang manis-manis.
Lalu dua minggu silam sewaktu mereka tampak begitu akrab sampai-sampai istrimu mengajaknya makan siang, istrimu terkagum-kagum. Ia, sipe dagang pakaian ini menebak pikiran istrimu dan berjanji membawakan apa yang istrimu pikirkan itu pada kedatangan berikutnya, yakni sekarang.
“Taruli, ada?”
Kau langsung menutup pintu setelah kebenaran tentang siapa yang datang hari ini seolah telah disuratkan. Saat ini bukan dari matamu saja ada basah yang leleh. Lubang hidungmu jadi beringus. Dahi dan telapak tanganmu dipenuhi keringat dingin dan kau mulai menggigil karenanya.
“Tolong buka pintunya, Abang,” ujar si pedagang pakaian sebab memergokimu dalam keadaan berlinang air mata.
Kau mengelap mata dan berpura-pura menyalahkan debu yang terbawa angin dari pekarangan karena di sana kelopak-kelopak bunga matahari sedang berguguran.
“Abang, tolong buka pintunya. Taruli memesan gaun putih padaku. Ia akan memakaikannya hari ini.”
“Tidak. Kau salah,” tepismu, merasa kesal kenapa wanita itu seolah telah meramalkan masa depan untuk istri yang teramat kaucintai.
“Taruli akan mengenakannya hari ini. Aku bisa membantumu memakaikannya dan mendandani istrimu secantik mungkin sebelum orang-orang datang menjenguknya,” katanya.
“Taruli tidur, tak mau diganggu.”
“Semua orang akan mati, Abang. Kebetulan saja Taruli duluan.”
Dengan pasrah kau membuka pintu, membiarkan wanita itu melakukan tugasnya. Satu-satunya hal yang kau ingin tanya: apa istriku menunggumu di surga? Maka dalam sekejap sebutir cahaya melayang dari masing-masing mereka sementara kau masih memikirkan ikan mas arsik apakah akan membungkusnya atau tidak. (*)

Riau, April 2017
JELI MANALU, lahir di Padangsidimpuan, 2 Oktober 1983. Tinggal di Rengat-Riau. Cerpennya ilir mudik di berbagai surat kabar lokal dan nasional.

Sayur Daun Ubi Tumbuk

Cerpen Sri Lima Ratna Ndari (Analisa, 24 Desember 2017)
Sayur Daun Ubi Tumbuk ilustrasi Renjaya Siahaan - Analisa.jpg
Sayur Daun Ubi Tumbuk ilustrasi Renjaya Siahaan/Analisa
MOLO matua sogot au, ho do manarihon au.
Molo matinggang au inang, ho do namanogu-nogu au
Bila aku besok tua, kau yang memperhatikanku
Kalau aku terpeleset nak, kaulah yang menuntun aku.
Bunda Sofia hanya memiliki satu putri, yang berumur 12 tahun dan duduk di kelas 2 SLTP. Lagu Boru Panggoaran tentang orang tua yang hanya memiliki satu harapan di hari tuanya. Lagu sangat menyentuh hati perempuan empat puluh tahunan itu. Tak pelak air mata sering menetes bila mengingat boru-nya. Kini telah beranjak dewasa dan semakin jarang mendapat perhatiannya sebab kesibukan pekerjaan.
Tambah lagi, surat pemutusan kontrak yang diluncurkan Provinsi tanpa alasan. Membuat perempuan sarjana Bahasa Inggris itu semakin sering di kantor, karena menjadi korban kebijakan pimpinan yang dinilai tidak adil.
“Hasil evaluasi kinerja kita selama ini A. Keaktifan di lapangan juga A. Pendidikan tidak ada masalah, TOR juga sudah terpenuhi. Jadi apa lagi penyebabnya?” tanya Bunda Sofia pada sesama rekan yang bernasib sama di ruangan rapat.
Kontrak seharusnya berakhir pada 31 Desember. Akan diperpanjang satu tahun ke depan, justru diubah pihak Provinsi dengan pemutusan hubungan kerja mulai 1 November. Berarti 2 bulan lebih awal dari perjanjian tugas di bulan Januari tahun 2016.
“Kita ke Medan aja. Ke kantor pusat. Langsung kita tanyakkan. Gimana, bunda?” tanya Rossi, seorang gadis dengan usia 25-an. Panggilan ‘Bunda Sofia’ pertama kali terucap darinya dan dengan cepat diikuti oleh yang lain.
“Kawan-kawan dari Kabupaten lain kabarnya langsung bergerak hari ini. Kita merapat aja supaya ramai. Gak berjuang sendiri-sendiri,” usul Kiky.
“Oke. Besok kita bergerak. Enggak ada salahnya kita bawak jugak berkas-berkas pendukung. Seperti CV, rekomendasi pengalaman kerja dan hasil evaluasi kinerja,” jawab Darius berubah serius. Semua setuju pada usulnya. Dinilai lebih paham hukum karena dia memang sarjana hukum.
Bunda Sofia sebagai yang tertua menunjuk beberapa orang menjadi kordinator dalam rangka keberangkatan ke Medan. Sekaligus menyusun agenda yang akan dilakukan.

Ho do borukku, tappuk ni ate atekki
Ho do borukku, Tappuk ni pusu pusukki
(Kau anakku perempuan, yang di hatiku yang paling dalam.
Kau anakku perempuan, yang ada di dalam hidupku.)

Sofia menendang-nendang batu kerikil pecah yang berserakan di jalan akibat proyek pelebaran jalan Pemkot Pematangsiantar. Tak dihiraukannya debu memenuhi udara sekitar. Berulang kali klakson kendaraan mengejutkan langkahnya, memaksa ABG berseragam putih biru itu untuk menepi.
“Huh!”
Hanya itu perkataan yang keluar dari bibirnya. Sepertinya dia malas menyapa dan tak ingin cepat sampai ke rumah. Sudah dua hari ini di meja makan tak terhidang makanan kesukaannya. Sayur daun ubi tumbuk dan ikan teri disambal dengan kacang tanah goreng. Padahal dia sudah berulang kali meminta bunda untuk memasakkannya.
“Bunda repot, Nak, sayur bayam aja ya? Besok-besok bunda masakkan kalok udah sempat,” jawab bunda waktu Sofia mengungkapkan keinginannya. Apa bunda gak tau aku gak sukak bayam?! Rutuknya marah.
Sesampainya di rumah, dia melepas sepatu dan meletakkan tas sekolah asal-asalan. Berlalu tanpa menyapa ayah yang terheran-heran.
“Kenapa cemberut terus boru ayah?”
Sofia tidak menjawab.
“Karena gak diajak bunda ke Medan?”
Sofia tak bergeming. Baru menyadari kalau dari pulang sekolah tidak ada masakan bunda di atas meja makan. Hanya nasi goreng sisa sarapan tadi pagi.
“Memangnya Bunda ke Medan ya, Yah?”
“Iya. Tadi pagi sebelum subuh udah berangkat.”
“Kok Sofia gak tau?”
“Orang tidur aja, ya gak tau lah.”
“Berarti tadi pagi waktu berangkat sekolah, bunda udah gak di rumah?” sesal remaja itu menyadari kekeliruannya.
“Bunda lagi repot, nak. Urusannya banyak,” ujar ayah.
“Urusan apa?”
Ayah menceritakan masalah pekerjaan yang sedang dialami bunda.
“Ayah… kenapa baru cerita sekarang? Kenapa gak kasih tau?”
Boru ayah biasanya lebih duluan tau dari pada ayah kalok bunda punya masalah.”
“Biasanya… kenapa sekarang beda?”
“Bunda gak mau membuat borunya kepikiran di saat tengah ujian mid semester.”
Sofia menyeka air mata yang tiba-tiba tumpah. Rasa bersalah menggayutinya. Pantasan bunda terlihat berlipat kali lebih sibuk dan tak banyak bicara. Lebih awal bangun setiap malam untuk sholat tahajjud. Sering Sofia diam-diam mendengar isak bunda di antara doa-doanya.
‘Bunda…maafin Sofia yang tidak mengerti permasalahan yang sedang bunda alami’ bunyi sms yangdikirimnya pada bunda.
Bunda Sofia menyerahkan toa pada Darius. Dia baru saja selesai berorasi mewakili pekerja dari kabupaten Simalungun. Darius mengoper pengeras suara tersebut kepada Daniel, orator dari kabupaten Nias Selatan.
Hari semakin siang. Sebentar lagi matahari akan membakar jiwa. Bunda Sofia menatap pendemo sambil mengusung spanduk bertuliskan tuntutan kejelasan kontrak pada pihak terkait. Peluh dan keluh tumpah jadi satu. Ada secuil pesimis mencuat di hati perempuan itu. Jumlah mereka hanya berkisar 100-an orang. Tidak cukup banyak untuk sebuah aksi demo.
Teriakan mereka tak begitu memekakkan telinga, tak cukup menggetarkan hati. Meskipun menggunakan toa, suara mereka tidak mungkin terdengar, hingga ke puncak gedung dimana ruangan Pimpinan berada. Mungkin dia pergi makan siang ke luar, acuhkan para bawahan dengan segala tuntutannya.
Suara orator terdengar mulai serak. Yel-yel penyemangat semakin samar. Kalah oleh deru dan desing knalpot kendaraan yang lalu lalang di depan kantor. Tak jua satupun para pejabat berwenang yang perduli.
Wajah-wajah lelah dan penuh harap tergambar jelas di sana. Mereka datang dari lokasi tugas yang berjauhan. Tersebar di seluruh pelosok propinsi yang memiliki Danau terindah dan terluas di dunia. Berbeda suku, agama dan latar belakang pendidikan. Mereka memiliki tujuan yang sama. Memperjuangkan nasib sebagai pekerja yang dikontrak dalam sebuah program pemberdayaan.
Suara adzhan dzuhur membuyarkan pandangan perempuan itu. Hanya Allah tempat mengadu dan harapan satu-satunya. Dia yakin Allah akan menolong hamba-Nya yang meminta dan mengharap.
Selesai dzuhur, pintu kantor terbuka. Mereka bersedia mediasi dan dua orang utusan diperbolehkan menemui pimpinan. Bunda Sofia dan Darius dipilih melalui voting kilat.
Doa dan dzikir terus dilafazkannya untuk menenangkan hati yang bergemuruh. Beberapa lelaki yang diperkenalkan sebagai pejabat kepala seksi telah duduk di kursi masing-masing. Setelah basa-basi pembuka pembicaraan, mereka dipersilahkan menyatakan aspirasi.
Bunda Sofia memperhatikan dada kanan pakaian dinas mereka yang tercantum nama lengkap dengan berbagai titel kesarjanaan. Pendidikan tinggi sejatinya menjadikan seseorang pintar secara akademik dan spiritual. Tau mempergunakan ilmunya untuk kemanfaatan diri sendiri dan orang lain.
Pembicaan mereka semakin alot. Darius dengan hukum-hukum ketenagakerjaannya. Bunda dengan teknik bicara yang lembut, namun tegas berusaha membuka nurani para pejabat tersebut. Akhirnya mereka bersedia menginput ulang data para pekerja sesuai dengan rekomendasi pengalaman kerja.
“Apa yang Bunda bilang di dalam tadi? Kok lama kali Bun?” tanya Lina begitu Bunda Sofia dan Darius kembali menemui rekan-rekan pendemo. Rossi dan Kiky antusias mendekat.
“Ada kesalahan dalam menginput data pengalaman kerja kita, makanya kena pemutusan kontrak. Karena dianggap tidak sesuai dengan TOR, Term Of Recruitment.”
“Aku gak pernah memasukkan pengalamanku 0 tahun. Ada filenya di flahdiskku!” berang Lina yang paling banyak punya pengalaman kerja.
“Aku jugak!” Darius menambahi diamini oleh yang lain.
“Evaluasi kinerja kita juga bagus semua. Gak ada yang jelek. Hanya pengalaman yang tertulis 0 tahun. Entah siapa yang menginput data tersebut,” ujar Bunda Sofia lagi.
Wajah mereka memerah menahan emosi. Dugaan adanya manipulasi data, tidak bisa mereka buktikan secara nyata.
“Jadi, sampai kapan kita harus menunggu keputusan diperpanjang atau tidaknya!” tanya Kiky dan Rossi bersamaan.
“Kalau soal itu tidak ada disebutkan tadi. Hanya disuruh menunggu. Sabar, hingga batas waktu yang tidak bisa dipastikan,” jawab Bunda.
“Iya, sampai kapan!” Daniel dan kawan-kawan dari Nias mulai berang.
“Berapa persen pulak kemungkinannya!”
“Kata mereka sih 80% kemungkinan bagi yang telah menyerahkan data pengalaman kerja minimal 3 tahun untuk Diploma. Dua tahun untuk sarjana penuh, serta 5 tahun untuk SMA sederajat,” terang Darius yang dibalas anggukan oleh Bunda Sofia.
Tiba-tiba entah siapa yang memulai, batu-batu terlempar ke arah gedung bercat putuh itu. Suara kaca pecah beruntun memenuhi udara. Situasi berubah kacau dan tak terarah.
***
Sofia memetik daun ubi yang banyak tumbuh di sekeliling rumah. Memetik biji cempokak yang masih muda seperti yang sering dilakukan Bunda. Ayah mengajarinya menumbuk daun ubi dan cempokak dengan alu. Menghaluskan bawang merah, bawang putih, cabai merah dan udang kering. Mengupas kelapa, memarut serta memerasnya, hingga menghasilkan santan untuk kuah sayur daun ubi.
Sofia memasak santan hingga matang. Dimasukkannya bumbu-bumbu. Setelah itu barulah daun ubi yang sudah dihaluskan sambil terus diaduk agar santan tidak pecah.
“Ayah rasain asinnya. Sofia gak tau,” ucap Sofia sambil mengaduk sayur di dalam panci dengan menggunakan sudip kayu. Ayah menyendokkan sedikit kuah ke telapak kanannya.
“Mantab!” ucap Ayah sambil mengacungkan jempol. Sofia tersenyum puas. Memasak daun ubi menjadi sayur yang lezat sangat membutuhkan waktu dan tenaga yang lumayan banyak. Pantas Bunda tidak sempat. Remaja itu tidak cemberut lagi, puas telah bisa memasak sendiri makanan kesukaannya. Bunda pasti senang pada kejutan ini.

Pematangsiantar, November 2016

Boru= anak perempuan
Boru panggoaran= anak perempuan yang menjadi sebutan orangtuanya
Boru sasada= anak perempuan tunggal.
Alu = serupa lesung dari kayu
Cempokak = rimbang (sejenis tanaman).

Selasa, 26 Desember 2017

Pilihan Ganda dari Tuhan

Cerpen Robby Julianda (Koran Tempo, 23-24 Desember 2017)
Pilihan Ganda dari Tuhan ilustrasi Yuyun Nurrachman - Koran Tempo
Pilihan Ganda dari Tuhan ilustrasi Yuyun Nurrachman/Koran Tempo
Pilihan Ganda
Pilihlah salah satu huruf a, b, c, atau d, sesuai dengan jawaban yang Anda anggap paling benar!

Anda sedang berada di atap sebuah gedung 37 lantai, berdiri di salah satu titik yang mempertemukan sisi gedung agar mata Anda leluasa memandang kota di bawahnya, seolah Anda sedang memandangi miniatur kota rancangan seorang arsitek agung: petak-petak rumah dan gedung-gedung yang menjulang; barisan pepohonan; ratusan kendaran yang bergerak lambat menyusuri jalan raya bercabang yang membagi pemukiman menjadi bagian-bagian kecil; lapangan; juntaian kabel yang menghubungkan tiang-tiang, sebuah sungai lebar yang mengalir tenang menuju laut yang begitu jauh dari pandangan Anda, membelah kota menjadi dua bagian, serta sebuah jembatan kukuh yang kembali menghubungkan dua bagian tersebut. Anda memperhatikan semua itu dengan saksama hingga menimbulkan perasaan takjub. Segalanya tampak simetris dan tertata. Lebih-lebih usai menatap kerlip cahaya matahari yang dipantulkan air sungai dan seluruh kota membuat perasaan tenang menghinggapi Anda untuk sejenak.
Anda kemudian merasakan keringat mengalir di dahi Anda dan tengkuk Anda terasa panas. Anda mendongak. Matahari yang sejajar dengan kepala membuat Anda harus mengerinyitkan mata karena silau. Tak ada awan. Hanya hamparan langit biru yang memayungi Anda.
Tiba-tiba angin bertiup kencang. Gelombang rasa takjub dan tenang yang menjalari Anda sebelumnya lenyap, berganti dengan rasa khawatir kalau-kalau angin membuat Anda limbung. Andai jatuh, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke bawah? Anda bergidik memikirkannya kemudian mundur beberapa langkah sembari melihat jam tangan. Pukul 12 tepat. Empat puluh lima menit yang lalu Anda baru saja dipecat dari pekerjaan.
Setelah pemecatan tersebut, hal apa yang akan Anda lakukan selanjutnya?
a. Mengambil ancang-ancang lalu terjun bebas dari gedung.
b. Turun lewat tangga darurat dan kembali menemui atasan Anda di salah satu ruangan lantai 29.
c. Pulang ke rumah dan melanjutkan hidup seolah tidak terjadi apa-apa.
d. Menyerahkan semuanya kepada Tuhan.
Kau tiba-tiba merasa putus asa. Kau sendiri tak yakin apa yang akan kaulakukan andai Tuhan memberikan pilihan semacam itu.
a. Mengambil ancang-ancang lalu terjun bebas dari gedung.
Ini bukan pilihan yang sulit sebenarnya. Kau dicampakkan dan dianggap sudah tak berharga-apa lagi yang pantas untuk dilakukan kecuali melompat? Andai kau melakukannya, nyaris tak ada peluang untuk hidup. Kau mampus dan otakmu berceceran di jalanan atau trotoar-beruntung jika seseorang mau mengumpulkannya dalam kantong plastik. Namun kau masih mencintai kehidupan meski kehidupanmu tak bisa dikatakan bahagia. Kau hidup sendiri dan bekerja sedari usia muda. Dua minggu lagi usiamu 46 tahun. Kau tak pernah bergonta-ganti pekerjaan, bekerja selama 21 tahun terakhir di perusahaan yang sama sebagaimana laku seorang kekasih setia. Semuanya bercampur aduk. Kau marah dan kecewa dan sedih dan putus asa. Bukan karena pesangon yang diberikan tak memuaskan, namun harus terpisah dari pekerjaan yang sudah menjadi identitasmu bukanlah perkara gampang. Secara tidak langsung pemecatanmu sama saja dengan kematian. Aneh memang, seseorang yang sudah mati masih mencintai kehidupan.
Bagaimanapun Tuhan masih memberikanmu pilihan yang lain…
b. Turun lewat tangga darurat dan kembali menemui atasan Anda di salah satu ruangan lantai 29.
Tentu saja, kembali menemui atasanmu bukanlah demi adegan memohon-mohon agar ia urung memecatmu dan, sambil berlinang air mata, mengatakan pemecatan itu adalah sebuah kesalahan. Kau masih punya harga diri. Kau mungkin melakukannya karena perasaan menyesal dan menyalahkan diri sendiri sebab kau tak berkutik sedikit pun di hadapan atasan yang umurnya jauh lebih muda. Kau masih ingat bagaimana ia menyambutmu di ruangannya dengan wajah murung namun ia tak menyadari cara duduknya di tepi meja membuat kau merasa direndahkan. Setelah basa-basi atau apalah namanya, ia mempersilakan kau duduk.
“Bapak M. Azhar Ahmad,” ia berkata dengan suara berat sambil mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jari. “Mungkin Bapak sedang bertanya-tanya-ada apa? Namun saya akan langsung saja. Alasan kita melakukan pembicaraan ini adalah karena posisi Bapak di perusahaan ini sudah tidak tersedia lagi,” ucapnya lancar. “Bapak dipersilakan untuk pergi mencari peluang dan pengalaman baru.”
Saat itu kau serasa disambar petir.
“Saya masih tak mengerti. Dipersilakan untuk pergi maksudnya?” Kau bertanya bukan karena tak mengerti. Kau hanya mengulur-ulur waktu. Percuma saja.
“Ya, Bapak dipersilakan untuk pergi,” ulangnya.
“Apakah saya dipecat?”
“Sebenarnya kami tidak diizinkan menggunakan kata-kata tersebut. Namun dengan menyesal harus saya katakan: Bapak dipersilakan untuk pergi. Semoga Bapak mengerti mengingat situasi sekarang tak memungkinkan kita untuk—”
Ia mulai berceloteh tentang ini dan itu dan kau hanya diam. Kau memandangi gerak mulutnya sesekali menatap foto keluarga yang dibingkai, sengaja ditaruh di atas meja. Selama berceloteh ia menggaruk hidungnya delapan kali. Ketika selesai ia tak lupa mengucapkan terima kasih untuk kerja keras dan jasamu selama ini bagi perusahaan dan selanjutnya kau bisa melapor ke bagian administrasi mengambil uang pesangon. Ia kemudian mengulurkan tangan dan kau menyambutnya dengan perasaan hancur dan hasrat untuk menumbuk batang hidungnya sekaligus.
Jadi sekaranglah saatnya kembali masuk ke ruangannya, mendobrak pintu dengan kasar kemudian melabrak meja dan melihatnya menciut ketakutan di kursi putarnya. Selanjutnya kau bebas menyumpahi omong kosong tentang peluang baru pengalaman baru tahi kucing yang sebelumnya ia muntahkan. Sebelum keluar dari sana, tentu saja kau bisa melepaskan hasrat menumbuk hidungnya lalu meraih foto keluarga bahagia atasanmu kemudian membantingnya ke lantai atau melemparnya lewat jendela.
Namun kembali lagi ke akar masalah: Apakah semua itu akan membuat pemecatanmu dibatalkan? Yang kaudapati mungkin dua orang petugas keamanan sedang memitingmu.
Bagaimanapun Tuhan masih memberikanmu pilihan yang lain…
c. Pulang ke rumah dan melanjutkan hidup seolah tidak terjadi apa-apa.
Pulang ke rumah dan melanjutkan hidup seolah tidak terjadi apa-apa akan membuatmu menjadi seorang pecundang yang paling pecundang. Kau sudah cukup dipermalukan istrimu ketika delapan tahun yang lalu ia lebih memilih laki-laki lain. Awalnya rumah tangga kalian baik-baik saja dan kalian saling mencintai. Namun setahun sebelum ia angkat kaki dari rumah, kalian lebih sering bertengkar daripada bercinta. Permasalahannya: istrimu tak bahagia sebab belum memilki anak. Padahal sebelum-sebelumnya ia tak pernah mempersoalkannya.
“Tolong hentikan tatapan itu.” Kata-kata itu selalu meluncur ketika obrolan mulai memanas dan pertengkaran segera dimulai.
“Tatapan apa?”
“Tatapan itu. Tatapan ini-semua-salahmu itu.”
“Jadi ini semua salahku?” balas istrimu. Ia langsung berada di atas angin. Lidahmu kelu sebab semua memang kesalahanmu. Kau mandul.
Sekarang istrimu hidup bahagia dengan laki-laki yang tak pernah kauketahui bentuk wajah atau potongan rambutnya-kabarnya mereka dikaruniai seorang anak perempuan. Andai saja kau tahu siapa laki-laki itu, pikirmu geram. Geram. Hanya sebatas itu. Kau tak pernah mencari tahu mengapa istrimu berubah setahun sebelum meninggalkanmu lantaran seluruh perhatianmu disedot oleh pekerjaan. Dalam hati kau pun agaknya mengakui, terlepas dari masalah kejantanan, kalau kau sebenarnya seorang lelaki lemah. Jika tidak demikian, kau mungkin sudah mencari tahu tentang laki-laki itu dan menghajarnya hingga babak belur. Setelahnya mungkin kau menghabiskan tiga empat bulan di penjara sembari berdoa sipir penjara tidak menggilirmu setiap malam.
Mungkin memang ada baiknya bagimu pulang ke rumah dan melanjutkan hidup seolah tidak terjadi apa-apa.
Kini kau tak terikat lagi dengan pekerjaan sehingga memiliki banyak waktu untuk anjing peliharaanmu. Manis, begitu kau memanggilnya. Seekor anjing golden retriever warna cokelat pudar dan putih pada bagian leher dan kakinya. Manis kaubeli setelah istrimu pergi. Harga yang mahal untuk mengusir kesepian.
Kau dan Manis bisa jalan-jalan setiap sore. Menyusuri bantaran sungai atau duduk di bangku taman sembari menanti matahari tenggelam. Bisa jadi, di sela-sela jalan sore kalian, kau akan bertemu dengan seorang perempuan. Kau tahu, perempuan selalu tertarik dengan laki-laki yang memelihara anjing. Namun kau kembali mengingat kesalahanmu: urusan kejantanan.
Anggaplah menghabiskan banyak waktu dengan Manis membuat kau lebih bahagia. Namun apa yang akan terjadi setelah uang pesangonmu habis, pikirmu. Di umurmu yang sekarang, kau tak akan mendapatkan pekerjaan seperti sebelumnya. Mustahil untukmu kembali bekerja di kantoran. Kau bahkan akan ditolak mentah-mentah menjadi penjaga toko karena pemilik toko hanya butuh anak-anak muda penuh semangat dengan penampilan menarik dan kuat dan sarjana. Kemiskinan dan kesendirian dan masa tua membuatmu takut setengah mati.
Dan sekarang kau masih berdiri. Menatap nanar ke arah kota di bawahmu yang sebelumnya membuatmu takjub.
Bagaimanapun Tuhan masih memberikanmu pilihan yang lain…
d. Menyerahkan semuanya kepada Tuhan.
Tetapi… bagaimana mungkin kau menyerahkan semuanya kepada Tuhan sedang Tuhan sendiri memberikanmu pilihan?

Sungai Landia, 2017

*) Bentuk dari cerpen ini dikembangkan dari tulisan Eko Triono, “Cerita dalam Ulangan Harian Kita.”

Robby Julianda lahir pada 1991 dan sekarang menetap di Nagari Sungai Landia, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Sebelum Salju dan Laki-laki Menyebut Marie

Puisi-puisi Soni Farid Maulana dan Conie Sema (Koran Tempo, 23-24 Desember 2017)
Salju ilustrasi Google
Salju ilustrasi Google

Sebelum Salju

– mengenang Rendra

Malam ini kau hadir kembali
dalam ingatanku. Dingin angin Leiden,
sebelum salju gugur sore hari. Sore itu
kau bicara soal teratai yang mekar
di bawah bulan; juga soal keheningan;
yang meruang mewaktu dalam hidup manusia.

“Daya hidup tak boleh mati, walau maut
mengancam dari setiap celah. Ia adalah
nyawa kita di bumi,” demikian kau bilang
saat itu, sebelum kau cerita
Selamatan Anak Cucu Sulaiman
yang kau gelar di berbagai tempat.

“Daya hidup itulah yang aku tulis
untuk bangsa ini; yang mudah menyerah
ditindas penguasa dan pemilik modal
yang dzalim. Mereka harus kita lawan,”
katamu, saat itu. Lalu dari balik
jendela kita saksikan guguran salju
yang mengendap di ranting pohonan
gugur daun. Gugur daun

2017

Soni Farid Maulana lahir di Tasikmalaya, 19 Februari 1962. Buku puisi terbarunya adalah Sisa Senja (2017), Kisah Suatu Pagi (2017), dan Sehabis Hujan (2017).

Laki-laki Menyebut Marie


aku berpikir sebagai perempuan. tidak laki-laki. aku berpikir seperti marie di remang sore itu. tidak ada rudolf atau mawar samuel tertempel di tatto tubuhmu. sangat purba. gambar-gambar yang pernah menggodaku. ihwal kecemasan. marie menghapal benda-benda bergerak dalam ruang warna-warni cahaya. kebebasan yang menyakitkan. degung. pura-pura sepanjang jalan. batu-batu memancar kesunyian. senyap sekali ketika ruang menyebut marie. marie hanya berjarak satu meter sepanjang tepi-tepi kau lewati.

aku berpikir sebagai laki-laki. tidak perempuan. di sore terakhir menjemputmu. ketika ritual malam mengantar trance di luar pura. cafe sesak. seseorang entah siapa lagi tiba. kerauhan-kerauhan silam. kenangan suci dalam mie instan. segelas kopi lama mendingin. oh, kau marie setiap pulang nyerupa dewa. menjadi shindu dan sesuatu yang tidak pergi. memangku alam dari pertengkaran identitas. kelamin. sexisme. seperti rudolf dan mawar samuel menjilati lelehan coklat di bibirmu. tuhan. tangan mereka melayang laksana kecak. diksi yang menggerutu. tuhan. itu ruang kembali menyebut marie.

aku berpikir sebagai laki-laki. membangun tubuhku seasal bayi. tumbuh. tumbuh. marie di mana kau pulang.

Ubud-Sanur, 28 Nov. 2017

Conie Sema lahir di Palembang dan tinggal di Lampung. Selain puisi, ia menulis esai, cerpen, novel, dan naskah drama untuk Teater Potlot.

Mari Sayangi Kukang

Oleh Dyah Laksmi Nur Jannah (Kompas, 24 Desember 2017)
Mari Sayangi Kukang ilustrasi Regina Primalita - Kompas.jpg
Mari Sayangi Kukang ilustrasi Regina Primalita/Kompas
ARDI menghabiskan liburan di rumah Paman Purbo, adik ayah. Paman bekerja sebagai perawat satwa di sebuah Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Satwa di daerah Ciapus, Bogor, Jawa Barat.
Siang itu, Ardi diajak paman ke tempat kerjanya. Paman hendak memeriksa satwa yang baru tiba di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Satwa. Ketika memasuki sebuah ruangan, Ardi melihat sebuah kandang berukuran sedang. Di dalam kandang, terdapat dua ekor hewan berbulu cokelat tebal. Kedua matanya bulat sempurna, dengan lingkar mata berwarna cokelat gelap.
“Hewan apa ini, Paman?” tanya Ardi. “Seperti monyet, ya?”
“Itu namanya kukang,” jelas paman. “Baru saja tiba tadi pagi. Kukang ini terlantar sampai di rumah-rumah penduduk, karena habitatnya di alam sudah rusak karena ulah segelintir manusia. Nanti, setelah diperiksa kondisi kesehatannya, kukang-kukang ini akan dipindah ke kandang rehabilitasi.”
“Bolehkah Ardi melihat kukang di kandang rehabilitasi?” Ardi bertanya lagi.
“Tentu boleh, ayo ikut Paman,” Paman Purbo beranjak menuju kandang besar di area pusat rehabilitasi itu. Beberapa rumpun bambu tumbuh dalam kandang.
“Mana kukangnya, Paman?” Ardi mendekati kandang dengan penasaran.
“Saat ini, mereka sedang tidur, nanti malam mereka bangun untuk mencari makan. Biasanya kukang tidur dengan menggulung badannya seperti bola, bersembunyi di balik rumpun bambu, agar tidak ada yang mengganggu.”
“Wah, menarik sekali. Nanti Ardi mau minta Ayah untuk belikan kukang. Ardi ingin memelihara kukang lucu.” Ardi menatap paman.
“Tidak boleh, Ardi,” Paman menggeleng. “Kukang ini bukan hewan peliharaan. Ia adalah hewan liar. Tempat tinggal mereka di pohon-pohon tinggi di hutan. Memakan getah pohon, buah-buahan dan berburu serangga. Kukang-kukang ini hanya sementara di sini. Setiap hari, kondisi kesehatan dan tingkah laku mereka dipantau. Jika sudah sehat, mereka akan dilepaskan ke hutan.”
“Oh, begitu, ya,” Ardi mengangguk-angguk.
Lalu, paman menjelaskan, kukang adalah hewan langka yang dilindungi. Mereka banyak diburu dijadikan hewan peliharaan, karena rupanya yang lucu. Agar tidak menggigit, gigi mereka dipotong hingga terluka. Saat siang hari sering diajak bermain, padahal siang adalah waktu tidur mereka.
“Kasihan sekali,’ tanggap Ardi sedih. “Giginya pasti terasa sakit. Mereka juga pasti mengantuk karena diajak bermain di siang hari.”
“Oleh karena itu, kita harus menyayangi mereka. Bukan dengan memelihara di rumah. Melainkan dengan tidak mengganggu dan membiarkan mereka hidup bebas di hutan habitatnya.”
“Iya, Paman, mereka pasti lebih bahagia tinggal di habitatnya,” Ardi mengangguk setuju. [*]

Catatan:
Khusus untuk edisi Desember, kami akan mengangkat salah satu nilai karakter unggul dengan dongeng bertemakan “Cinta Puspa dan Satwa”.

Rumah-rumah Nayla

Cerpen Djenar Maesa Ayu (Kompas, 24 Desember 2017)
Rumah-rumah Nayla ilustrasi Hanafi - Kompas.jpg
Rumah-rumah Nayla ilustrasi Hanafi/Kompas
Entah nama apa yang tepat untuk tempat itu. Bar? Restoran? Warung? Sepertinya pemiliknya tidak terlalu peduli, sebagai apa kontainer berukuran delapan kali dua puluh meter persegi itu dimaknai.
Sudah dua jam setelah Nayla membuka tempat usaha barunya yang dinamai Rumah Nayla. Kedengaran lebih mendekati makna kediaman ketimbang tempat usaha. Dan memang ia tinggal di sana. Sekitar setahun lalu Nayla membeli sebidang tanah yang tidak terlalu besar—jika dibandingkan dengan luas tanah rumah sebelumnya, tapi juga tidak terlalu kecil—jika dibandingkan dengan luas tanah rumah tipe sederhana. Tak sampai seratus lima puluh meter persegi luas tanahnya. Lalu dibelinya dua kontainer, satu dijadikan tempat usaha bernama Rumah Nayla, dan satunya lagi dijadikan sebagai tempat tinggalnya.
Dulu sekali saat Nayla menikah muda, ia tinggal di sebuah rumah mewah bersama suaminya. Terletak di kompleks perumahan elit, dengan pos penjaga di halamannya. Tak banyak kewajiban yang harus dilakukannya sebagai ibu rumah tangga. Mulai dari membersihkan rumah, mencuci, memasak, bahkan kopi untuk suaminya pun tinggal minta pembantu untuk melakukannya. Nayla juga tidak perlu pusing tentang masalah keuangan. Suaminya yang bekerja di perusahaan keluarga, entah benar bekerja atau cuma supaya kelihatan bekerja, hartanya tak akan habis walau dimakan tujuh turunan. Hidup begitu ringan. Hidup yang bagi kebanyakan orang adalah bentuk hidup idaman.
Hanya dalam beberapa bulan menikah, Nayla hamil dan melahirkan bayi perempuan. Dan hanya dalam beberapa bulan setelah melahirkan, Nayla lagi-lagi hamil dan melahirkan lagi-lagi bayi perempuan. Kendati mempunyai dua balita tak membuat Nayla kerepotan karena lagi-lagi pengasuh bagi masing-masing bayinya disediakan. Ia pun memutuskan untuk punya dua anak saja padahal biasanya bagi keluarga peranakan, kehadiran bayi laki-laki amatlah diharapkan. Tapi lagi-lagi Nayla diberkati keberuntungan. Suaminya sama sekali tidak keberatan. Hidup begitu ringan. Hidup yang bagi kebanyakan orang adalah bentuk hidup idaman.
Sering Nayla tak percaya dengan apa yang dialaminya. Di kala media memberitakan tentang peliknya perekonomian, agama diatas-namakan untuk membenarkan kejahatan, perkosaan yang berakhir dengan pembunuhan, pembakaran hidup-hidup terduga maling perabotan, patung dirubuhkan, hewan disiksa tanpa alasan, dan segudang kekacauan yang terkadang sama sekali tak masuk akal bisa dilakukan oleh makhluk yang konon nyaris mendekati kesempurnaan Tuhan, hidup Nayla benar-benar steril tanpa noda. Bisa dibilang tak nyata dalam kehidupan nyata.
Maka, sering Nayla tak percaya dengan apa yang dirasakannya. Bagaimana rumah yang demikian nyamannya, bagaimana suami yang begitu pengertian dan mencintainya, bagaimana kedua anak perempuan cantik, pintar, dan sehat walafiat keadaannya, bagaimana materi bukanlah sesuatu yang harus dirisaukannya, bagaimana segala yang didambakan kebanyakan orang terjadi di dalam hidupnya, semua itu tak cukup membuatnya bahagia?
Nayla selalu bahagia ketika berada di depan laptopnya. Ketika jari jemarinya mengetik kata demi kata. Rasa itu sama seperti apa yang ia rasakan semasa kecil saat menulis di buku catatannya. Di buku itu, Nayla membuat cerita. Jika ia tinggal di sebuah rumah yang selalu dipenuhi aroma cinta. Di pagi hari saat ia membuka mata, selalu tercium aroma kopi dan roti bakar yang sudah dipersiapkan Ibu untuk ayahnya. Renyah tawa mereka selalu membuat Nayla ingin buru-buru bangun dari tidurnya. Bergabung dan bercanda. Begitu pun saat Nayla sedang di sekolah. Yang ada di pikirannya hanyalah buru-buru pulang ke rumah. Di mana aroma kopi dan roti panggang sudah berganti dengan aroma sosis yang digoreng dalam minyak panas hingga melepuh kulit luarnya. Tak seperti ibu-ibu temannya yang memaksa bahkan memukul jika anaknya tak mau makan sayuran, ibunya hanya menghidangkan apa yang Nayla suka. Dan sedemikian enggannya Nayla saat waktu tidur tiba. Rasanya baru sebentar kebersamaan yang dilewatkannya sehabis Ayah pulang dan makan bersama. Mereka akan duduk di sebuah meja makan bundar, tertawa, bercanda. Rumah yang dipenuhi aroma cinta itu dinamai kedua orang tuanya, Rumah Nayla. Dan itulah nama, yang diberikan Nayla bagi buku catatannya,
Tapi ia tidak menamakan laptopnya seperti buku catatannya. Walaupun keduanya membuatnya merasa bahagia. Sebab seperti apa yang Nayla tulis di buku catatannya yang sebetulnya sangat bertolak belakang dengan apa yang dialaminya, demikian pula yang ia tulis di laptopnya. Ketika rumah yang dihuni dengan suami dan kedua putrinya saat itu adalah rumah beraroma cinta yang nyaris seperti apa yang Nayla tulis di buku catatannya, tapi penderitaanlah yang Nayla tulis di laptopnya. Tentang sebuah rumah di masa kecilnya yang tak bernama. Di rumah itu tak ada sedikit pun aroma cinta. Kedua orang tuanya pemakai narkoba. Jika mereka sedang dalam pengaruh narkoba, semuanya baik-baik saja. Tapi jika mereka kehabisan narkoba, mereka menjadi bukan seperti manusia. Nayla sering mendapat cacian bahkan pukulan untuk kesalahan yang tidak diperbuatnya. Di usianya yang sepuluh tahun Nayla sudah melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Mulai dari membersihkan rumah, mencuci pakaian, hingga memasak seadanya. Jika mereka merasa rumah tidak terlalu bersih, maka Nayla menjadi sasaran kekesalan mereka. Padahal Nayla merasa sudah melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Awalnya mereka hanya memakai narkoba berdua saja. Tapi lama kelamaan rumah mereka tak pernah sepi dari tamu. Ada yang datang hanya sebentar lalu segera pergi. Ada yang menginap dan mabuk bersama hingga berhari-hari. Ada pernah juga yang datang menagih uang sehingga mereka harus bersembunyi di dalam rumah yang terkunci. Terjadi seperti itu berulang kali. Hingga suatu hari tiga orang laki-laki berbadan besar mendobrak masuk. Mereka memukuli kedua orang tuanya hingga ambruk. Tak berhenti di sana, mereka bergantian meniduri Nayla. Aroma alkohol menyeruak dari desahan mereka. Nayla menangis dan mengiba. Tapi tak ada iba di mata mereka. Tak ada aroma cinta.
Semua yang Nayla tulis di dalam laptopnya yang tak bernama itu dibaca suaminya.
“Kamu masih enggak bahagia.”
Nayla tak bisa menjawabnya.
“Bisa enggak kamu melupakannya.”
Nayla masih terdiam sejenak sebelum menggelengkan kepala pada akhirnya.
“Bisa enggak saya membuat kamu melupakannya?”
Nayla menggelengkan kepalanya.
“Bisa enggak saya membuat kamu bahagia?”
Nayla tak bisa menjawabnya.
Itu sudah cukup untuk membuat hidup yang didambakan kebanyakan orang berubah seketika. Suaminya tak lagi bicara. Ia juga tak lagi pulang selepas jam kerja. Nayla tak bisa dan tak mau menyalahkannya. Ia hanya mencoba memperbaiki dengan tak lagi menulis di laptopnya. Sepenuhnya waktu ia habiskan dengan kedua putrinya. Tapi semakin lama, suaminya tak hanya tak pulang selepas jam kerja. Kadang ia pergi berhari-hari, berminggu-minggu, lantas berbulan-bulan lamanya. Di bulan ketiga suaminya pulang dan bicara, adalah hari di mana ia menceraikan Nayla. Sudah ada perempuan lain dalam hidupnya. Yang membahagiakan dan bisa dibahagiakan, katanya. Lucunya, Nayla bisa mengerti sepenuhnya. Nayla tahu persis rasanya mencoba mencintai dan dicintai tapi diabaikan. Sama persis seperti apa yang kedua orangtuanya lakukan.
Dengan segala kesadaran Nayla menyetujui untuk meninggalkan rumah dan membawa hanya sedikit uang tabungan yang hanya cukup untuk membayar sewa apartemen kecil dengan dua kamar untuk satu tahun ke depan. Walaupun tak ada hak asuh anak dalam perjanjian cerai, kedua putri Nayla kelihatannya lebih betah tinggal di rumah ayahnya dan Nayla cukup mengerti keadaan. Selain rumah itu adalah rumah yang mereka tinggali semenjak lahir, rumah itu juga jauh lebih nyaman. Tapi mengerti bukan berarti tidak menyakitkan. Terlebih jika harus mengerti karena itulah harga yang harus ia bayar untuk menebus kesalahan. Atau katakanlah, menebus kekalahan.
Saat kedua putrinya bersama ayah dan ibu baru mereka, Nayla sering membayangkan. Sebuah rumah bertingkat dua dengan kolam renang membelah di tengah-tengahnya sehingga bisa dilihat dari segala ruangan. Di lantai dua sisi kiri adalah kamar-kamar kedua putrinya, dan kamar tamu di sisi kanannya. Di lantai bawah sisi kiri adalah kamar tidur dan kamar studi Nayla, sementara dapur dan ruang keluarga berada di sisi kanannya. Nayla membayangkan, jika rumah itu sudah menjadi nyata, ia tak lagi mau menggunakan jasa asisten rumah tangga. Ia akan melakukan segalanya sendiri untuk menunjukkan cintanya. Ia akan membersihkan rumah, mencuci pakaian, memasak segala yang mengeluarkan aroma cinta. Ia pun mulai kembali membuka laptopnya yang tak bernama. Dibacanya ulang catatan-catatan pendek dan dijadikannya menjadi beberapa cerita. Setelah terkumpul beberapa, ia kirimkan ke penerbit buku yang dengan segera mau menerbitkannya. Bukan dari buku itu benar Nayla mendapatkan uang sebesar yang diharapkannya. Tapi, walaupun buku yang diterbitkannya dicetak ulang berkali-kali, ia juga mendapat banyak pekerjaan sampingan yang lebih menghasilkan. Menuliskan buku orang tanpa namanya disebutkan, ternyata jauh lebih menguntungkan. Sedemikian menguntungkannya hingga ia bisa membangun rumah seperti yang ia bayangkan.
Rumah itu beraroma cinta. Dengan kolam renang yang membelah di tengahnya. Kedua putrinya sudah lebih banyak tinggal di rumah itu ketimbang di rumah ayahnya yang sudah memiliki seorang putra. Sebelum mereka pulang dan saat mereka pulang sekolah ada aroma roti panggang, sosis goreng, apa pun yang mereka minta. Nayla pun membersihkan dan merawat rumah itu dengan segenap tenaga dan cinta. Nayla juga hanya membuka laptopnya jika ada tawaran saja. Ia tak tahu mengapa rasanya lebih mudah bahagia bersama kedua putrinya saja. Mengapa bahagia itu tidak Nayla rasakan saat ia bersama kedua putri dan suaminya? Mengapa Nayla merasa bahagia hanya saat berada di depan laptopnya seperti apa yang ia rasakan semasa kecil saat menulis di buku catatannya yang dinamakan Rumah Nayla? Apakah hati Nayla sudah sejak lama bercerai dengan laki-laki jauh sebelum mantan suaminya menceraikannya?
Nayla tetap tidak menemukan jawabannya. Walaupun waktu perlahan menggerogoti usia dan kedua putrinya mulai asyik dengan dunianya yang remaja. Dan aroma cinta perlahan padam sebesar apa pun Nayla berusaha menghidupkannya. Mereka lebih senang berada di luar, atau jika tinggal di rumah mereka lebih memilih diam di kamar. Lalu satu per satu dilamar. Yang tertinggal dari mereka hanyalah sejumput rambut di saringan air ataupun sisir. Sepatu-sepatu kulit usang yang tak pernah lagi mereka semir. Album foto. Kaos polo. Gincu yang hampir habis. Bantal yang busanya sudah menipis. Penjepit bulu mata yang setengah patah. Hati Nayla yang berdarah.
Dan stamina yang melemah.
Rasanya tak ada lagi daya untuk membersihkan dan merawat rumahnya itu. Berbagai penyakit pun mulai diidapnya sejak menginjak umur empat puluh lima tahun awal tahun lalu. Mulai dari kolesterol, hipertensi, hingga paru-paru. Tapi yang terutama adalah tak adanya alasan ataupun motivasi. Tak ada desakan kebutuhan bagi dirinya sendiri.
Lalu Nayla membuka kembali laptopnya yang tak bernama seperti rumah yang ditinggalinya. Di laptop itu ia kembali membuat cerita. Tentang sebuah rumah kontainer berlantai dua. Di bawahnya adalah tempat usaha, dan Nayla tinggal di atasnya. Tempat itu menjual apa yang disukai dan tak akan merepotkannya. Kopi bungkusan, bir kalengan, dan makanan yang hanya pada hari itu ia ingin masak saja. Jika tak ada yang datang, paling tidak ia bisa menikmati dan mengonsumsi apa yang ia sukai sendiri. Jika ada yang datang anggap saja ada yang menemani.
Di bagian itu jari Nayla berhenti mengetik. Menemani? Entah sudah berapa lama Nayla sendiri. Tak berteman, tak juga terlibat asmara dengan laki-laki. Kebutuhan seksual tak pernah terlalu berarti, karena Nayla sudah kehilangan birahi sejak perkosaan yang ia alami.
Nayla menatap laptopnya. Sudah dua jam setelah Nayla membuka tempat usaha barunya yang dinamai Rumah Nayla. Tapi tak ada satu pun yang sepertinya berminat untuk singgah di sana. Entah nama apa yang tepat untuk tempat itu. Bar? Restoran? Warung? Kontainer berukuran delapan kali dua puluh meter persegi itu hanya berisi lima meja. Dua meja cukup besar untuk empat kursi, dan dua meja kecil untuk dua kursi di sisi kiri dan kanannya. Ke empat meja itu terletak di depan dapur terbuka dengan satu penggorengan dan kulkas berisi bir kalengan. Ruangan itu didominasi warna putih dan abu-abu. Demikian pula dengan meja dan kursi di ruangan itu. Tapi ada satu meja di sudut dekat jendela, tepat sebelum pintu masuk yang berwarna coklat tua. Berisi satu kursi seolah menegaskan jika meja itu itu tak untuk berbagi dengan siapa pun juga. Meja itu miliknya.
Pintu terbuka, membuyarkan perhatian Nayla. Yang membuka pintu terlihat ragu karena tak ada siapa-siapa selain Nayla di dalamnya.
“Buka?”
Nayla menutup laptopnya.

Djenar Maesa Ayu, ibu dari dua orang putri, Banyu Bening, Bidari Maharani, dan eyang putri dari Embun Kinnara ini, lahir di Jakarta 14 Januari 1973. Ia telah menerbitkan enam kumpulan cerpen berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet!, Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek, 1 Perempuan 14 Laki-laki, T(w)ITIT!, SAIA dan sebuah novel berjudul Nayla. Belakangan lebih dikenal sebagai sutradara film.

Mahar yang Tertinggal


Cerpen Krismarliyanti (Republika, 24 Desember 2017)
Mahar yang Tertinggal ilustrasi Rendra Purnama - Republika.jpg
Mahar yang Tertinggal ilustrasi Rendra Purnama/Republika 
(Bagian I)
“Ya, akan aku ambil nanti ke apartemenmu.”
“Terima kasih ya, Rin. Maafkan aku. “
Dan kututup pembicaraan ini dengan sunyi. Entah apa yang ada di kepalanya hingga rela membuatku seperti hujan di bulan Desember. Deras tanpa henti. Dan maaf yang terlontar tak lebih dari pengulangan kata, terlalu sering dan hilang makna.
Kuhembuskan napasku panjang. Sembab mataku sudah tidak mampu disamarkan lagi. Kulihat wajah ini melalui pantulan jendela, kuyu dan layu. Tidak kulihat sedikit pun cahaya terang dari diriku saat ini. Kelam dan sendu.
Ardi namanya. Kami bersahabat sejak SMP. Saat itu aku adalah anak baru pindahan dari Bandung. Aku pun tidak tahu alasan apa bapak mengirimku ke kota Medan. Kota yang membuatku selalu gemetar setiap kali mendengar orang berbicara. Keras, lantang, dan apa adanya.
“Hei, kamu anak baru?” katanya dari jendela nako sambil tersenyum jahil. Mereka selalu bergerombol, lima anak laki-laki yang cukup terkenal di sekolah. Dari mereka semua hanya Ardi yang sering menyapaku, walaupun dengan sebutan anak baru.
“Kamu namanya siapa?”
“Airin.”
“Oh, kamu pindahan dari Bandung ya?”
“Iya, kamu kata siapa?”
“Kata Bu Guru.”
“Hoi, Ardi, kamu mau ikut ke kantin atau mau nongkrongin anak baru itu terus?”
“Kamu mau ikut ke kantin?” tanyanya kembali.
“Aku di kelas saja.”
Percakapan yang tidak pernah aku lupakan sampai saat ini. Bahkan aku masih ingat binar matanya saat itu. Rambutnya hitam dan lurus. Rona wajahnya terlihat jelas ketika dia digoda teman-temannya.
Lalu aku sendiri merasakan wajahku dijalari rasa hangat. Tidak hanya itu, bahkan jantungku berdegup cepat.
Waktu berlalu sangat indah sejak perkenalan itu. Dan Ardi menjadi teman bermainku di sekolah dan rumah. Kami menghabiskan waktu tidak hanya jam istirahat sekolah, bahkan selepas sekolah dan terkadang di hari Ahad.
Aku menjadi satu-satunya anak perempuan di antara gerombolan mereka. Ardi cenderung melindungiku ketika ada anak yang jahil. Selain itu, dia juga sangat rajin membantu tugas sekolah atau hanya sekedar mengingatkan.
Persahabatan itu pun terus berlangsung hingga kami kuliah. Aku memilih meneruskan di Bandung, kota kelahiranku, sedangkan Ardi memutuskan di Yogyakarta. Ardi memilih berangkat ke Yogyakarta dari Bandung. “Biar aku antarkan kamu pulang. Sekalian aku mau jalan-jalan mengenal kota Bandung,” katanya saat kami sama-sama harus meninggalkan kota Medan.
Dua hari kami lalui bersama di kota kelahiranku. Kebetulan, orang tuaku menawarkan Ardi untuk menginap di rumah. “Kamu simpan saja uangmu untuk bekal nanti di Jogja.” Tentu saja tawaran bapak ini disambut gembira oleh Ardi. Senyum sumringah pun tidak mampu dia sembunyikan ketika mendengar perkataan bapak. Tentu saja orang tuaku sangat senang dengan kehadiran Ardi di rumah kami. Mempunyai anak laki-laki adalah salah satu impian ibu yang sudah tidak mungkin terwujud.
“Menginap gratis dan pemandu wisata cantik,“ katanya dengan senyum yang diiringi kerling jahilnya ketika menerima anjuran bapak dan ibu. Entah dia sadar atau tidak kala itu wajahku merona bahagia. Dan aku berharap dia akan tinggal lebih lama.
Tugasku menjadi pemandu wisata Ardi pun selesai. Tiga hari yang penuh cerita dan warna. Hari-hari yang sangat indah, bahkan lebih indah dibandingkan sebelum nya. Melewati gerimis sore dengan gelak tawanya selalu aku rindukan. Atau keisengan dia yang berhasil membuatku tersipu. Ada kebahagian yang terselip di relung hatiku.
Tidak aku pungkiri, ada harapan ini akan terulang lagi. Dan pagi itu, menjadi perpisahan yang berat buatku. Stasiun Kebon Kawung tiba-tiba lebih dingin dari biasanya. Perjalanan yang tidak terlalu panjang itu pun terasa sepi dan kaku. Sesekali pandanganku tertuju ke parasnya yang terlihat serius mengendarai mobil. Tidak jarang pula tatapan kami beradu tanpa sengaja, yang akhirnya menyisakan rona merah dan senyum canggung kami berdua.
“Rin, terima kasih ya sudah baik sama aku.”
“Halah, basa-basi kamu!”
“Hahaha … tetap berkabar ya, biar kangenku terobati.”
“Paling juga nanti kamu lupa sama aku. Di sana pasti kamu akan sibuk dengan cewek-cewek cantik.”
“Aih, kamu cemburu.” Dan pipiku memerah jambu hingga membuat dia tertawa bahagia. Andai saja kamu tahu, Ardi, aku ingin kamu selalu bersamaku, doa kecilku pada Tuhan saat itu.
Kami pun memasuki parkiran stasiun. Kami pun melewati loket peron. Hati ini semakin berat, air mata pun menitik di pipiku. Kupalingkan wajah untuk menghindari tatapannya. Binar matanya tidak pernah berubah, hidup dan penuh semangat. Sorot mata yang selalu membuatku bersemangat ketika bersedih.
Beberapa saat kami saling terdiam, hingga terdengar pengumuman kereta akan segera diberangkatkan, tanda kami harus berpisah. Ardi tiba-tiba saja memegang tanganku dan tatapannya begitu lekat. Tanpa permisi, dia mengelus pipiku sebelum meloncat menaiki gerbong. Peluit kereta api mengiringi kepergiannya. Lambaian tangan yang entah kapan aku bisa melihatnya lagi.
Kuliah membuat kesibukan kami jarang berkirim surat atau hanya sekedar mengangkat telepon dan menanyakan kabar. Akhirnya kabar pun tidak pernah terdengar. Bertahun-tahun berlalu. Aku pun tidak pernah tahu lagi kabar keberadaannya. Persahabatan kami hilang ditelan jarak, meskipun sering kali hati ini disisipi rasa rindu.
Perpisahan di stasiun beberapa tahun lalu berhasil menyita hatiku. Berulang kali aku didekati teman kampus dan jawabanku selalu, “Maaf, aku ingin belajar dulu.” Sejak pagi itu, aku hanya merindukan Ardi. Tidak sanggup rasanya membayangkan aku harus bersanding dengan orang lain selain Ardi.
Tanpa lelah aku masih terus berharap Ardi menyatakan perasaannya. Awal-awal kuliah kami masih berkirim surat walau itu hanya sebatas cerita kampus. Tetapi asa itu tidak pupus sedikit pun. Ya, aku mencintainya diam-diam. Entah sejak kapan dan sampai kapan.
Lima tahun berlalu sejak surat terakhir yang aku terima, tibalah hari pernikahanku. Perjodohan yang telah diatur orang tua aku terima begitu saja. Tidak ada pertimbangan apa pun, aku hanya percaya dengan pilihan mereka. Lagi pula, aku tidak tahu harus sampai kapan menunggu Ardi. Surat terakhir yang aku kirimkan tidak ada balasan. Dan ketika ku telepon kosnya, dia sudah pindah. Alamat kos baru pun tidak aku dapatkan.
“Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Airin. Biarkan kami menimang cucu sebelum kami berpulang.” Dan aku hanya mengangguk mengiyakan. Sebagai anak satu-satunya, aku tidak pernah kuasa menyakiti perasaan ibu dan bapak. Hanya mereka yang aku punya. Di usianya yang sudah renta, ibu dan bapak sering kali mengeluh rumah sepi ketika aku bekerja. Padahal, aku masih tinggal serumah dengan mereka. Tetapi sang penerus trahlah yang dinanti orang tuaku.
Harapan ibu dan bapak pun terkabul. Di tahun kedua pernikahanku dengan Mas Hemi telah ramai suara tangis bayi. Dan kali ini pun rengekan lain kembali dilontarkan ibu, “kalian tinggal di sini saja. Biar ibu bisa bermain dengan Biyan. Bapakmu pasti senang.” Permintaan yang sulit aku tolak karena ibu dan bapak hanya punya aku untuk mengurusnya di masa tua mereka. Tetapi keinginan menempati rumah sendiri pun diinginkan aku dan Mas Hemi.

KRISMARLIYANTI adalah seorang penulis yang lahir di Rangkasbitung, Banten. Hobi membaca dimulai sejak sekolah dasar dan mulai menulis dari tahun 2000. Dunia seni sudah dikenalnya sejak usia remaja dan menjalani serius dunia teater ketika kuliah di Yogyakarta. Mulai menulis dengan naskah drama lalu kemudian tertarik menulis puisi. Salah satunya puisinya sudah dimuat di buku Medan Puisi, antologi puisi Sempena the 1st International poetry Gathering yang diadakan di Medan pada tahun 2007. Buku kumpulan puisinya yang berjudul Poetry Anthology Lentera telah terbit pada tahun 2016. Selain menulis, Krismarliyanti pun seorang perupa. Hasil karyanya telah dijadikan sebagai cover dan ilustrasi di buku antologi pertamanya. Beberapa karya tulis dan lukisan serta drawing art dapat dinikmati di Fb: htttps://www.facebook.com/krisdonaldson; https://thelantern07.blogspot.co.id atau Instagram @KrisDonaldson.