Mengenang S.P.L. Sorensen di Logo Google
-
[image:
http://www.thehindu.com/sci-tech/science/k938lm/article24020451.ece/alternates/FREE_660/doodle]
Hari ini, Selasa 29 Mei 2018, Google Doodle menamp...
Saya tahu adalah lebih senang untuk solat fardhu sahaja dan bergegas keluar dari masjid.
Namun,
jika kita menyedari ganjaran yang kita terlepas akibat tidak
melaksanakan solat sunat, kita pasti tidak akan meninggalkannya.
Selama
bertahun-tahun ini, saya telah mempelajari bahawa hanya SATU cara untuk
memastikan kita sentiasa solat sunat; Jadikan ia tabiat!
Ia akan menjadi sebahagian daripada solat wajib kita dan terasa solat kita tidak akan lengkap tanpa solat sunat ini.
2. Mengingati Allah Selepas Solat
Sekali lagi, sangatlah senang untuk bergegas keluar selepas solat dek kerana kehidupan kita yang sibuk.
Namun jika kita jujur, tanyakan soalan, berapa lama masa yang diambil untuk membaca zikir selepas solat?
(jawapannya hanya 5 hingga 7 minit sahaja)
Jadikan berzikir sebagai tabiat harian dan kayakan pengalaman solat kita.
3. Zikir Pagi dan Petang
Langkah 2 juga terdapat dalam tabiat ini.
Terdapat
suatu rangkaian doa dalam sunnah Rasulullah SAW dimana baginda selalu
lakukan sebelum terbit dan selepas terbenamnya matahari.
Zikir-zikir
ini menjadi suatu kelegaan daripada tekanan dan menjadi perangsang
tenaga yang tidak pernah gagal melengkapkan hari saya.
Dan menjadikan saya terasa diberkati.
4. Solat Malam
Alhamdulillah, kita ada solat terawikh untuk dihadiri ketika bulan Ramadhan.
Namun, terdapat banyak peluang untuk mendapatkan ganjaran solat malam diluar bulan ini.
Jika
kita baru belajar solat malam atau kita tidak solat malam sepanjang
tahun, cuba kita buat solat pada setiap malam secara berjemaah di masjid
(terutamanya para lelaki), dan jangan berikan diri kita sebarang
alasan.
Seterusnya, bina tabiat solat tahajud dan teruskan solat selama 30 hari.
Ia akan mengukuhkan ‘kaki’ kita untuk terus melakukannya sepanjang tahun, insyaaAllah.
5. Solat Dhuha
Ini satu rahsia terbesar seorang muslim produktif untuk suatu hari yang produktif.
Dua
rakaat yang dikenali sebagai solat dhuha yang boleh kita laksanakan
pada sebarang waktu selepas matahari terbit dan sebelum matahari sampai
ke kemuncaknya (sekitar 30 minit sebelum waktu Zuhur).
Ganjaran
solat ini sama seperti membuat kebajikan kepada setiap tulang dalam
tubuh kita dan tenaga yang akan kita rasakan hari itu adalah sangat
mengagumkan.
Saya biasanya melakukan solat ini pada waktu
spesifik, contohnya 10.00 pagi atau sebelum pergi bermesyuarat pada
pertengahan pagi.
6. Doa Sebelum Tidur
kita telah melalui hari yang panjang dan kita amat letih.
Kita panjat katil.. tapi tunggu!
Sebelum kita berbuat sedemikian, mungkin kita boleh berikan masa 10 minit lagi kepada diri kita untuk membaca doa sebelum melelapkan mata? Itu sahaja
Cubalah dan kita akan mendapat tidur yang baik dan kita akan senang untuk bangun solat Subuh, InsyaaAllah.
7. Baca 30 minit al-Quran Setiap Hari
Perhatikan saya tidak mengatakan satu juzuk atau surah.
Jumlah ayat al-Quran yang kita baca tidak sepenting kualiti pemahaman kita terhadap al-Quran.
Jika
kita meluangkan masa 30 minit membaca satu ayat dan memahami
sepenuhnya, ia lebih bermanfaat daripada membaca banyak ayat al-Quran
dengan laju tetapi tidak memahami satu apa pun.
Membaca Al Quran tidak akan mengurangi waktu Anda. Justru sebaliknya, ia akan menambah waktu Anda
Secara hitungan matematika dunia, membaca Al Quran tampak seakan-akan
mengurangi waktu. Dari total 24 jam dalam sehari, seolah-olah berkurang
sekian detik, sekian menit atau sekian jam jika digunakan untuk membaca
Al Quran.
Tapi, tahukah Anda bahwa waktu yang Anda gunakan untuk membaca Al Quran
itu sebenarnya tidak hilang begitu saja. Ia akan diganti oleh Allah
dengan keberkahan yang berlipat ganda.
Sebagai umat muslim kita bersaudara hendaknya kita saling berbagi
ilmu pengetahuan yang baik untuk mencontoh di zaman Nabi kepada
sahabatnya mereka saling berbagi tukar pikiran, saling membantu tanpa
meminta imbalan apapun.
Apakah kalian bimbang atau bingung mana
yang lebih utama dulu “melunasi hutang orang tua atau menikah”, pasti
orang bingung melihat ini artikel dilihat dari segi judulnya saja orang
sudah penasaran dan ingin membaca artikel ini, Nah ini dia isi artikel yang menyangkut dari tema diatas :
Hukum menikah tergantung Kondisi seseorang, inilah yang masyhur di kalangan para ulama mahzab malikiyah, syafi’iyah dan hambali.
(lihat al Bada’i 2/228,al Qowanin Fiqhiyyah 193,Mughni al Muhtaj 3/135 dan Fathul Bari 9/110)
Mereka mengatakan hukum menikah, bisa terjadi pada 4 hukum (kondisi) :
1. Hukumnya menikah itu adalah Wajib
yaitu
seseorang yang memiliki hasrat untuk berjima’, yang mana ia khawatir
terjatuh pada perbuatan fahisyah (zina), karena demi menjaga kehormatan
dirinya dan menjaga dari perbuatan yang haram, maka solusinya adalah
menikah. 2. Hukumnya menikah itu adalah Sunnah
yaitu
seseorang yang memiliki hasrat untuk berjima’, namun ia tidak khawatir
terjatuh pada perbuatan fahisyah(zina), maka jika ia menikah itu lebih
utama baginya. 3. Hukumnya menikah itu adalah Haram
yaitu
seseorang yang tidak mampu (menikah) memberikan nafkah lahir dan batin,
dan tidak adanya kemampuan dan keinginan malaksanakan pernikahan
tersebut. 4. Hukumnya menikah itu adalah Makruh
yaitu
seseorang yang tidak dapat menafkahi istrinya dan ia tidak memiliki
hasrat untuk menikah, maka disibukkan dengan ketaatan, beribadah atau
disibukkan dengan ilmu, Hal itu lebih utama baginya. (Shahih Fiqhus Sunnah 3/46-47)
Kalau
anda merasa belum darurat (hukumnya wajib) untuk menikah, maka
hendaknya anda dahulukan melunasi hutang orang tua anda terlebih dahulu,
karena perbuatan tersebut merupakan bentuk berbakti kepada orang tua.
Allah ta’la berfirman :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (Qs.al-Maida: 2)
Dan berbakti kepada kedua orang tua, termasuk amalan yang di cintai Allah,
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu– ia berkata,
أَيُّ
الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ
ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ
الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Aku pernah bertanya kepada Nabi ﷺ ,
“Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab: “Shalat
pada waktunya.” ‘Abdullah bertanya lagi, “Kemudian apa kagi?” Beliau
menjawab: “Kemudian berbakti kepada kedua orangtua.” ‘Abdullah bertanya
lagi, “Kemudian apa kagi?” Beliau menjawab: “Jihad fi sabilillah.”
(HR.Bukhari 527)
Dan memberikan nafkah kepada orang tua kita, lebih utama, Allah ta’la berfirman :
يَسْأَلُونَكَ
مَاذَا يُنْفِقُونَ ۖ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ
فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ
وَابْنِ السَّبِيلِ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ
عَلِيمٌ
Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan.
Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada
ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Dan apa saja kebaikan yang
kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.
(Qs. al – Baqarah: 215)
Saat ini banyak sekali kita jumpai di lingkungan sekitar kita para
wanita keluar rumah dengan tidak mengenakan jilbab atau bahkan,
berpakaian tidak sewajarnya dengan memperlihatkan aurat atau bentuk
tubuh mereka.
Akan tetapi keadaan yang seperti itu sangat
diremehkan oleh mereka, seolah-olah memperlihatkan aurat didepan umum
itu dianggap bukan suatu kemaksiatan bagi mereka.
Menurut
pandangan Islam pengertian aurat adalah segala sesuatu yang dapat
menjadikan seseorang malu atau mendapatkan aib, entah itu perkataan,
sikap, ataupun tindakan.
Aurat sebagai bentuk dari suatu kekurangan maka sudah seharusnya ditutupi bukan untuk dibuka atau diperlihatkan didepan umum.
Islam juga mengajarkan bahwa pakaian adalah sebagai penutup aurat, bukan sekedar sebagai perhiasan.
Islam juga mewajibkan setiap wanita dan pria untuk menutupi anggota tubuhnya yang menarik perhatian lawan jenisnya.
Bertelanjang adalah suatu perbuatan yang tidak beradab dan tidak sewajarnya.
Langkah
pertama yang diambil Islam dalam usaha mengokohkan bangunan masyarakat
adalah melarang membuka aurat dan menentukan aurat laki-laki dan
perempuan.
Inilah mengapa fiqh mengartikan bahwa aurat adalah
bagian tubuh seseorang yang wajib ditutupi atau dilindungi dari
pandangan umum.
Lalu, apa Batasan aurat wanita?
Aurat wanita dihadapan laki-laki yang bukan mahramnya
Diantara sebab mulianya seorang wanita adalah dengan menjaga auratnya dari pandangan lelaki yang bukan mahramnya.
Oleh kerena itu agama Islam memberikan rambu-rambu batasan aurat wanita yang harus di tutup dan tidak boleh ditampakkan.
Para
Ulama sepakat bahwa seluruh anggota tubuh wanita adalah aurat yang
harus di tutup, kecuali wajah dan telapak tangan yang masih
diperselisihkan oleh para Ulama tentang kewajiban menutupnya.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur’an Surah Al Ahzab : 59
Wahai
Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mukmin “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang “
Dalam ayat ini
Rasulullah diperintahkan untuk menyampaikan kepada seluruh wanita muslim
agar wanita muslim tersebut menutup auratnya dan memanjangkan
jilbabnya.
Hal ini dilakukan agar menjadi pengenal atau pembeda wanita mukmin dengan wanita non mukmin.
Hikmah
lain yang dapat diambil wanita yang menutup auratnya tidak akan
diganggu begitupun sebaliknya wanita yang memperlihatkan auratnya akan
mudah diganggu.
Aurat Wanita dihadapan mahramnya
Mahram
adalah seseorang yang haram di nikahi kerena adanya hubungan nasab,
kekerabatan dan persusuan. Seorang mahram di perbolehkan melihat anggota
tubuh wanita yang biasa nampak ketika dia berada di dalam rumahnya
seperti kepala, wajah, leher, lengan, kaki, betis.
Aurat Wanita dihadapan sesama wanita
Ada perbedaan pendapat dalam hal ini
Ada yang berpendapat bahwa Batasan aurat wanita dengan sesama wanita itu mulai dari bawah pusar hingga lutut.
Ada
juga yang berpendapat bahwa Batasan aurat wanita dengan wanita lain
bisa disebut sama dengan Batasan aurat wanita dengan mahramnya yaitu
diperbolehkan menampakkan kepala, bagian tubuh yang menjadi tempat
perhiasan, leher, lengan tangan, betis dan kaki. (QS. An Nur : 31)
“
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah
suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung “
Diantara
2 pendapat tersebut pendapat yang paling kuat ialah “ Batasan aurat
wanita dengan wanita lain itu sama dengan Batasan aurat wanita dihadapan
mahramnya karna ada dalil yg memperkuat hal tersebut.
Wallahu a’lam.
Cerpen Miranda Seftiana (Kompas, 08 April 2018) Tungku Perkawinan ilustrasi Indra Gunadharma/KompasFaisal kawin lagi!
Macua sampai menurunkan bulang hingga menutup separuh daun telinga.
Ia sedang berupaya tuli dari gunjingan yang tak kunjung sunyi. Sejak
ketupat masih penuh dalam keranjang sampai ikan gabus hanya menyisakan
tulang, kabar anaknya yang poligami masih membahana seantero kampung
Sungai Paring. Orang-orang berkicau bagai sekawanan burung pipit di
pematang pada musim padi kuning keemasan.
“Jadi benar Faisal kawin lagi dengan janda beranak satu, Macua?” usut
Angah Samsuri usai menyambut sepiring ketupat berkuah santan dengan
lauk jeroan ikan.
Kali ini bukan hanya Angah Samsuri yang menanti jawaban, melainkan
pelanggan lain yang sejak tadi belum jua beranjak pergi. Macua
mengembuskan napas. Kabut tipis meluncur dari ujung bibir merah darah
hasil disepuh gambir bertahun-tahun. Diludahkannya sisa sirih ke tanah.
Ditatapnya wajah orang-orang penasaran.
“Kau dengar kabar dari siapa, Samsuri?”
“Tuan Kadi. Katanya beliau sendiri yang menikahkan malam Jumat lalu.”
Perempuan renta itu membisu. Serapah bergemuruh di dada ringkihnya.
Istri kepala kantor urusan agama itu lagi. Tidak jera kali Faisal
mengkelindankan hati pada wanita yang pemah membuatnya nelangsa?
Seketika angan Macua langlang ke masa silam. Segalanya bagai masih di
depan pelupuk mata. Lara anaknya, duka dirinya. Perasaan terhina.
Perasaan tiada berdaya.
***
Sabut kelapa baru menyala kala ketukan pintu terdengar mendesak
beranjak. Macua melirik jam dinding, pukul tiga pagi. Siapa gerangan
yang bertamu sebuta hari begini?
Setibanya di ambang pintu Macua nyaris memekik sebab mendapati Faisal
datang sempoyongan. Urat di matanya merah bertonjolan. Rambutnya
kusut-masai. Dari mulut Faisal mengudara aroma malaga. Tanpa bertanya
dipapah Macua anaknya ke kursi dekat jendela.
“Anak Tuan Kadi, Macua, pinanganku ditolaknya dengan undangan
perkawinan. Dua tahun kami berkelindan diputusnya dengan menerima Guru
Agama.” racau Faisal nelangsa.
“Alahai, Macua, jangankan bersepakat mahar, belum mengetuk pintu saja telah ditatak batang—diputusnya pertalian—kita. Nasib orang tak berpunya.”
Faisal bermonolog tak habis-habis. Sesekali tertawa getir, selebihnya
tersedu bagai bayi kehabisan susu. Ia kecewa setengah mati pada
keputusan Anak Tuan Kadi, guru yang mengajar di sekolah dasar dekat
warung Macua. Pertemuan saban pagi memulakan kisah keduanya. Berawal
jelingan mata, lama-lama Faisal berani juga menunggu di depan gerbang
dengan sepeda. Sesudahnya perempuan itu akan duduk di sadel belakang,
sesekali terpaksa memegang pinggang Faisal jika roda sepeda menghantam
lubang. Sebuah kesengajaan yang Faisal buat agar perjalanan tak terasa
menjemukan. Sekaligus ajang curi-curi pegangan.
“Maaf, Dik, baru tahu ada lubang dekat rumahmu. Mungkin hasil hujan
kemarin lalu,” kilah Faisal usai menurunkan anak Tuan Kadi sepuluh meter
sebelum benar-benar sampai.
Anak Tuan Kadi akan tersipu-sipu, lalu pamit dengan lambaian samar.
Jika sudah begitu, perjalanan delapan kilometer pulang pergi dengan
tanjakan jembatan bukanlah sesuatu yang melelahkan. Kayuhan sepeda
Faisal akan terasa amat ringan sebab hatinya riang bukan kepalang.
Sepanjang jalan ia akan bersenandung. Terik menjadi kawan, mendung bukan
cobaan. Saban hari musim terasa cerah saja bagi orang jatuh cinta.
Namun kini Faisal dirundung nelangsa. Hatinya remuk. Hidup hanyalah
rangkaian gulita bagi orang berduka. Binar harapan padam seketika. Mata
merahnya memandang Macua. Air masih menyisa di sudut-sudutnya.
“Esok aku ke Banjarmasin, Ma. Mencuci klise yang pernah diberikan Anak Tuan Kadi.” beritahu Faisal.
“Jangan macam-macam, Faisal, dia akan jadi bini orang.”
Lelaki berjambang sekitar rahang itu menggeleng kuat. Ia pegangi
lengan Macua erat-erat. Tatapan linglung berusaha ia buang. Macua harus
tahu, ia tak pemah bercanda perkara hati. Tekad Faisal telah bulat,
tidak dapat dicegat.
“Macua, utang harta dibayar harta, utang nyawa dilunas nyawa, utang
hati berbalas hati. Andaikata tak dapat kuperistri Anak Tuan Kadi,
mestilah ia diberitahu arti nelangsa. Tolong buatkan air yang telah
dibacakan yasin 41 kali. Nanti akan kutanak fotonya dengan air itu.”
“Jangan kau tenggelamkan diri ke kubangan dosa, Faisal!” peringat Macua.
Ia paham sekali bahwasanya tanakan tiga lembar foto dengan air yasin
empat puluh satu adalah usaha mengirimkan bala. Macam-macam tujuannya,
dari membuat sakit fisik nyata sampai jiwa. Empat puluh hari empat puluh
malam api tungku tak boleh padam. Sedetik pun jua. Sebab sekali padam,
tulahnya akan menimpa diri sendiri. Rambut halus Macua meremang ngeri.
“Kalau yang kuperbuat adalah dosa, lantas ulahnya yang menyakitiku sedemikian rupa apa?” kejar Faisal tak bersahut.
***
“Kalau Macua sampai hati, bunuhlah Ananda dengan belati. Bulan syawal
hidup sehari. Anak Tuan Kadi akan diperistri. Siapa yang sanggup makan
hati berulam jantung?” desak Faisal frustrasi sebab belum jua berhasil
membujuk Macua.
Lekat-lekat ditatap Macua putranya. Bagai atang—tungku
tanah—telah lama tak disentuh api; wajah rupawan bersalin jelaga
kepedihan penuh debu putus asa. Sebagai ibu tentu saja tak tega.
Terangguk jua kepala Macua akhirnya.
Seminggu setelahnya Faisal berangkat menuju tepi Sungai Paring.
Daun-daun rumbia ia sibak dengan sebilah parang. Di ujung perjalanan,
sebatang pisang yang jantungnya telah menjelma buah matang ia tebang.
Lapis demi lapis dikuliti dengan hati-hati. Hanya bagian berwarna putih
berseri yang boleh ia bawa ke rumah.
“Tungku gadang sudah siap, Ma,” lapor Faisal pada Macua yang
baru saja menyumbat mulut tempayan. Bulir-bulir air berjatuhan dari
wajah yang penuh lipatan.
Selepas Magrib, Macua turun ke kolong rumah panggung. Pematik
dinyalakan untuk memancing bara sabut kelapa. Api membalur buritan teko
berisi air yasin. Sesekali perempuan itu meniup seruas bambu untuk
menjaga perapiannya. Sedari malam ini Macua dan Faisal berbagi jaga. Di
usia menuju senja perempuan itu mesti bertaruh nyawa; nyawa putranya
atau nyawa perempuan yang dicintai putranya. Malang nian nasib Macua
kiranya.
“Faisal, empat puluh hari setelah ini, pinanglah perempuan lain yang
dapat menyenangkan hatimu. Usah kau kenang lagi Anak Tuan Kadi.
Perpisahan ini barangkali pertanda takdir kalian tak saling bertalian.”
Faisal melepas napas. Pandangnya berpindah dari air yang
meletup-letup. “Hari keempat puluh satu akan kusambangi rumah Tuan Kadi.
Bilamana anaknya telah menerima bala akan kupinang perempuan lain
sebagai ganti.”
***
Setahun selepas pemikahan Faisal dengan seorang gadis asal hilir
sungai Barito, pintu reot kediaman Macua kembali diketuk paksa. Begitu
terbuka, nampak Angah Samsuri berdiri doyong sebab kepayahan memapah
Faisal yang lebih besar dan tinggi darinya.
“Badan Faisal panas sekali. Tadi ditemukan orang-orang meringkuk di
warung Macua,” adu Angah Samsuri usai merebahkan Faisal. “Katanya tidak
berani pulang, terlanjur ketahuan bininya menikah lagi,” tambahnya lagi.
Di atas tilam Faisal meringkuk bagai bayi lahir kemarin. Bibirnya
bergetar, matanya terpejam. Sekalipun selimut membalut sekujur badan
hingga peluh bergelantungan, Faisal tetap kedinginan.
“Samsuri,” cegat Macua membuat Samsuri membalikkan diri. Ia angsurkan
pandangan penuh tanya. “Apa esok ada padi orang yang mesti kau giling?”
“Tidak ada, Macua. Kami hanya mengarungkan abu dan sekam untuk dijual ke pasar.”
“Kalau begitu, bawakan beberapa karung abu. Esok pagi buatkanlah sebuah atang lagi,” peri ntah Macua disepakati Angah Samsuri.
Menjelang tengah hari, Faisal terbatuk tanpa henti. Asap mengembara
ke seantero kamarnya yang terletak paling dekat dengan dapur. Susah
payah ia rambati dinding papan. Kepalanya masih terasa berkunang-kunang,
tetapi bertalian dalam kepungan asap jelas bukan pilihan menyenangkan.
Lalu satu demi satu ia turuni anak tangga, kemudian didapatinya punggung
bengkok Macua sedang meniupi bambu di depan tungku. Alis Faisal naik
satu. Sejak kapan Macua punya dua tungku? Barangkali sepanci ketupat tak
lagi cukup memuaskan pelanggan sehingga mesti ditambah lagi porsi yang
tersaji. Demikian pikirnya.
“Ma, apa selama kita menanak foto Anak Tuan Kadi, api pernah mati?” telisiknya usai memeram berhari-hari.
“Rasanya tidak pernah sekalipun. Bahkan sebelum jadi arang, kayu dan sabut sudah kusisipkan lagi.”
“Aneh sekali. Andaikata api tak pernah mati, mengapa sakit ini malah menimpaku bukan Anak Tuan Kadi?”
“Bukankah dahulu kau melihat Anak Tuan Kadi dipapah menaiki becak dengan raut pucat pasi?” sambut Macua atas tanya sang putra.
“Dahulu bukan sakit rupanya, Macua. Malam Jumat lalu, sebelum
kucumbu, ia bercerita jikalau saat hamil muda badannya tidak berdaya.
Itu sebabnya ia belum bersedia menambah cucu dari kami berdua.”
Selepas menandas kata, Faisal terbatuk lagi. Kali ini lebih sesak dari sebelumnya, seakan-akan asap dari atang
Macua telah meremas paru-parunya. Retina Faisal menjelma merah tua.
Rintik air mengairi sudut matanya. Sebelah tangan Faisal memegang dada,
sedang sebelah lagi tergenggam di depan mulut.
“Macua, apa tidak bisa menanak ketupat dengan satu atang saja? Asapnya menyesakkan sekali,” keluh Faisal lirih.
“Bisa saja. Bahkan akan kusuruh Samsuri merubuhkan atang asal kau juga mau merubuhkan atang lain dalam hatimu,” pancing Macua sambil mencipratkan air dari tempayan hingga bara padam.
“Maksud, Macua?”
“Istri itu ibarat atang, Faisal. Kalau asap dari satu
perapian saja sudah membuatmu sesak, lalu darimana kau yakin dadamu
lapang untuk menampung keluh kesah dua perempuan dalam satu hiduk
perkawinan?”
Faisal membisu. Dua perempuan membayang bersamaan. Anak Tuan Kadi
yang baru ia nikahi dan bininya yang kini mengandung buah hatinya
sendiri. Macua benar, salah satu atang mesti dirubuhkan. tetapi yang mana?
“Kupikir, Faisal, dengan mengurangi bilangan bacaan yasin tiada bala
yang akan menghampiri siapa pun jua. Nyatanya aku keliru. Bala bukan
dari api yang padam, namun nafsu yang menyala-nyala. Sambangi Anak Tuan
Kadi, antarkan ia kepada Bapaknya, kembalilah pada atang-mu yang pertama.”
Miranda Seftiana, lahir di
Hulu Sungai Selatan, 16 September 1996. Menempuh pendidikan di Fakultas
Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat. Novelnya bersama Avesina
Soebli berjudul Jendela Seribu Sungai diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, 2018. Cerpennya berjudul “Sebatang Lengkeng yang Bercerita” terhimpun dalam buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2015.
Indra Gunadharma, lahir di Bandung, 1963, lulusan Desain Grafis FSRD ITB 1988, salah satu Mahasiswa Teladan FSRD ITB 1987. Pengalaman kerja di creative periklanan selama 21 tahun di 6 multinational advertising agency. Kini menjadi pelukis, desainer grafis, dan desainer artwork
untuk interior di studio Indrartwork. Penghargaan: Desain Tipografi
Terbaik pameran tahunan FSRD ITB 1987, puluhan penghargaan Citra
Pariwara 1996-2005.
Cerpen Benny Arnas (Jawa Pos, 08 April 2018) Lubuk-Lubuk Itu, di Lubuklinggau, Tuan Raudal ilustrasi Budiono/Jawa PosBANYAK sekali aliran sungai yang membelah kotaku ini, Raudal.
Memang, cerita-cerita yang kau tulis—tentang kota, kota di dalam
kota, dan nama-nama kota, atau juga kenangan-kenangan yang rimbun di
kota-kota yang kau singgahi atau sekadar lintasi atau kau tinggali
beberapa waktu—telah membakarku untuk membalasnya, walaupun tentu saja
aku sebenar sadar kalau cerita-ceritamu itu tak kau persembahkan
kepadaku.
Namun, dalam beberapa ceritamu, ada sekali-dua atau bahkan tiga atau
empat kau sebut nama kotaku. Bahkan dalam sebuah ceritamu yang kubaca
beberapa tahun yang lalu, kau menceritakan kotaku dalam ruang khusus
kenanganmu meski hanya dalam beberapa paragraf.
Tapi Raudal, Lubuklinggau bukan sekadar jalan lurus yang bisa
membawamu ke dalam mimpi tanpa kelambu. Ia juga tentang lubuk-lubuk yang
dimulai dari permukaan sungai dan tembus ke ulu hikayat-hikayat lama
yang melingkupinya. Baiklah, Raudal, relakanlah dirimu diisap
lubuk-lubuk itu…
Lubuk Kasie
Embun Semibar dan Dayang Torek adalah dua lakon cerita rakyat yang
sangat terkenal di kampung kami. Meskipun begitu, aku yakin, kau tak
tahu, kalau sekitar 200 meter di seberang Sungai Kasie, aliran air di
sebelah utara Bukit Sulap, makam Embun Semibar ditandai dengan beberapa
menhir. Pun tak banyak yang kau tahu, kalau dulunya, saban fajar dan
senja, Dayang Torek kerap membersihkan diri di dekat lubuk yang terletak
tak jauh dari batu raksasa di tengah-tengah Sungai Kasie.
Daerah sekitar pusaran air itu tak terlalu gelap seperti lubuk
kebanyakan karena tak ada pohon besar yang tumbuh di daratan tempat
lubuk itu bersandar. Hanya ada semak buah pena, sipokak, pakis haji, dan
anggrek hutan yang menumpang hidup di tunggul pohon melinjo,
satu-satunya pohon besar yang pernah tumbuh di sana. Namun begitu, lubuk
itu menyimpan daya tarik yang luar biasa bagi para pendatang (biasanya
peneliti dari kampus di Palembang atau Jambi) yang penasaran dengan
kesahihan cerita Embun Semibar dan Dayang Torek.
Sekitar 500 meter ke hulu lubuk, terdapat benteng-benteng yang tak
lagi berbentuk. Di sekitar reruntuhan tembok pertahanan itu, pecahan
keramik Tiongkok berserakan, seolah tak ada yang tertarik untuk
memuseumkannya, seolah keberadaannya tak ubahnya sampah-sampah yang
terlalu merepotkan untuk dibereskan.
Benteng itu dibangun sebagai pertahanan terakhir Rio Cinde dan Rio
Cili, dua raja yang pernah berkuasa di karasidenan, dari gempuran
senapan dan meriam Belanda ketika Perang Pagarbesi pecah di Musi Rawas.
Syahdan, kedua Rio itu pun sempat beradu kesaktian dengan Embun Semibar
dan terlibat pertarungan hebat satu sama lain demi memperebutkan Dayang
Torek (kata orang-orang tua dulu, kecantikan Dayang Torek menyerupai
bidadari dari Mesir).
Penduduk setempat abai pada cerita-cerita yang penuh tantangan untuk
terus digali itu. Yang mereka tahu, Sungai Kasie adalah sungai dangkal
dengan batu-batu besar yang menyerakinya. Sungai yang masih memanjakan
mata dengan pemandangan para perempuan yang mandi dan mencuci saban pagi
dan petang hari. Sungai dengan jembatan gantung yang sangat panjang,
hampir 100 meter, di atasnya.
Bukan sungai yang menyimpan kepingan sejarah.
Bukan sungai yang mengandung lubuk, Raudal!
Lubuk Nio
Dalam bahasa Lubuklinggau, Nio berarti kelapa. Lubuk Nio adalah lubuk
yang terdapat di salah satu sungai yang mengalir di sebelah selatan
lereng Bukit Sulap. Di sepanjang tepi sungai itu, pohon-pohon kelapa
berpelepah panjang dengan daun-daun lurus dan rimbun di kirikanannya
tumbuh menjulang. Bila angin sedang ribut, bukan daunnya saja yang
melambai, pohonnya pun limbung, seperti para raksasa mabuk yang berusaha
menegapkan diri.
Ketika kecil, aku dan kawan-kawan sepermainan kerap nyebur dan
memasang tajur di aliran sungai di sekitar lubuk. Ya, kami tak pernah
khawatir terseret oleh pusaran air yang berada tak jauh dari daerah
pemandian kami. Pengalaman memberi tahu kami bahwa lubuk bukan sekadar
pusaran air yang mengisap benda apa pun yang berada di sekitarnya,
melainkan tempat terselubung yang memiliki semacam perasaan dan indera
penciuman yang tak terjelaskan bagi calon mangsanya.
Hingga kelas dua SMP—yang merupakan waktu terakhir aku mandi di
sungai—, aku dan kawan-kawan tak pernah diseret arus lubuk, sebagaimana
ditakutkan oleh sebagian besar penduduk (apalagi orang-orang kota yang
hanya tahu “pusaran adalah lubang kematian di bawah sungai”) itu.
Namun, dua kawan kami, Mursal dan Badri (putranya Wak Samin dan Bi
Juhai), mati dipintal arus lubuk. Mereka memang terkenal sebagai anak
bengal. Mursal yang satu kelas denganku hingga kelas 5 SD, gemar sekali
bertaruh uang ketika main karombol, bor, lari cengkot, atau pantak lele.
Bila tidak ada yang menyambut taruhannya, dia akan berang. Perangainya
yang kasar, membuat banyak kawan sebayanya tak berkutik bila berhadapan
dengannya, termasuk aku.
Sementara Badri adalah anak yang tak bisa mendengarkan larangan atau
nasihat dari siapa pun, termasuk orang tua. Ia kerap nonton video film
dewasa yang diputar di salah satu rumah keluarga China Bangka yang
tinggal di Kampung Kandis.
Hingga… hujan yang turun di siang September yang terik tahun 1996,
menjadi waktu yang mustajab bagi Mursal dan Badri untuk bertemu. Mursal
mengajak Badri taruhan: siapa yang menyelam ke sungai paling lama, maka
dialah yang menang. Kami pikir, mereka sangat nekat. Mandi di dekat
lubuk ketika hujan panas. Aku sampai-sampai melaporkan hal itu kepada
Wak Samin dan Bi Juhai yang sedang mengangkat jemuran di pekarangan.
Tapi ternyata kami telat. Sesampai di sana, mereka sudah nyebur.
Bi Juhai tak henti meneriaki Badri yang menahan napas di dalam sungai
untuk segera ke daratan. Sementara Wak Samin merampas uang taruhan yang
dipegang Tanjung, kawan kami yang paling sering dipalak Mursal. Tak
lama kemudian, kawan-kawan berteriak. Bukan karena kepala Mursal dan
Badri sudah tampak di permukaan air, melainkan karena mereka berdua
terseret hingga ke Lubuk Nio.
Sejak itu, aku tak berani lagi mandi di dekat Lubuk Nio. Sedangkan
beberapa kawan yang lain hanya sempat mencobanya beberapa kali sebelum
beralih tempat mandi ke utara sungai, yang lebih deras, berbatu, dan
asyik untuk beranyotan dengan menunggangi batang pisang.
Kejadian itu bukan saja membuat kami tak ingin menjadi anak yang
nakal dan melawan orang tua, tapi juga membuat kami tahu kalau lubuk
dapat menjadi sebegitu mematikannya, sebagaimana mereka mempermainkan
tubuh kedua kawan kami.
Ya, tubuh Mursal dan Badri yang sudah kembung dan biru, baru
ditemukan keesokan harinya di Sungai Kelingi. Dan cerita kematian Mursal
dan Badri ini masyhur hingga kini. Cerita yang memerudukkan sekaligus
memopulerkan Lubuk Nio.
Ah, mengapa kematian kedua kawan kami itu harus menjadi hulu kemasyhuran lubuk yang sebenar indah, sejuk, dan menenangkan itu?
Lubuk Naga
Sekitar 10 kilometer ke selatan dari Lubuk Nio, jembatan kayu yang
berukuran 60 x 7 meter membelah Sungai Kelingi. Jembatan yang berada di
antara perbatasan Dusun Linggau dan Kampung Kandis ini merupakan
jembatan tua yang dibangun 2 tahun setelah kemerdekaan republik ini
diproklamasikan.
Di samping jembatan ini terdapat jembatan papan gantung yang lebarnya
hanya satu meter dan bolong di sana-sini. Kami tak pernah melintasi
jembatan itu karena kondisinya yang mengenaskan itu. Sampai sebuah
peristiwa mengenaskan, membangkitkan cerita mistik yang lama tersimpan
itu hingga… kami pun terpaksa melewati titian penuh bahaya itu!
Pagi April yang sejuk, tahun 1994. Sekitar pukul 7 pagi ketika aku
baru tiba di SD untuk melaksanakan ujian kenaikan kelas tiga hari kedua,
kabar itu menggemparkan seisi sekolah. Aku yakin, kegemparan juga
terjadi di tempat lain.
Jembatan Sungai Kelingi ambruk!
Empat belas anak-anak dan lebih dari sebelas orang dewasa menjadi
korban. Belakangan tersiar kabar kalau itu belum termasuk korban yang
tewas karena hanyut atau tertimpa kayu jembatan dan korban-korban yang
tak ditemukan alias hilang yang jumlahnya sebelas orang. Perkara yang
terakhir inilah yang membangkitkan cerita mistik itu.
Malam sebelum peristiwa nahas itu, orang-orang Dusun Linggau dan
Kampung Kandis yang tinggal berseberangan di bantaran sungai mengatakan
ada suara riuh yang berasal dari lubuk. Kata mereka lagi, mereka memang
biasa mendengarkan suara itu kalau ada orang yang mati hanyut di sungai
sehari sebelumnya. Tapi hari itu memang tak ada kabar hanyutnya
penduduk. Maka, keriuhan “penghuni” lubuk itu adalah pertanda bahwa
mereka akan “panen” korban keesokan harinya.
Entah, benar-tidaknya cerita itu, namun bagian lain yang lebih seksi
adalah: Lubuk Kelingi dihuni oleh naga yang meminta banyak korban setiap
35 tahun. Bila dirunut lagi, jembatan kayu itu memang pernah ambruk
pada 1959 sejak dibangun 12 tahun sebelumnya. Namun, bisa saja angka 35
itu hanya cocok-cocokan penduduk yang gemar menyelimuti kampung dengan
kabar burung yang penuh dengan bau alam lain.
O, Raudal, kau tentu penasaran perihal naga yang bersemayam di dalam lubuk itu, bukan?
Dua minggu setelah peristiwa nahas itu, para penyelam dari Palembang
dan Jakarta akhirnya “terprovokasi” oleh cerita penduduk perihal
korban-korban yang disedot ke dalam lubuk. Ya, tidak seperti aku yang
sangat penasaran tentang cerita naga itu, mereka seperti mengabaikannya.
Hal itu tampak dari keberanian para penyelam—yang jumlahnya 10 orang
itu—menyusuri kedalaman lubuk.
Lima jam berselang, para penyelam itu muncul di permukaan. Tapi hanya
7 orang, 3 yang lain hilang di dalam lubuk. Dua bulan kemudian, ketiga
penyelam yang hilang itu muncul di Sungai Musi, 2 kilometer dari
Jembatan Ampera. Kabar yang berembus, ketiga mayat yang membusuk dalam
balutan pakaian selam itu digiring naga penunggu Lubuk Kelingi hingga ke
Sungai Musi.
Nah, Raudal, bila benar begitu, alangkah dalam, meliuk, dan
panjangnya Lubuk Kelingi di bawah tanah tu? Bayangkan saja, jarak darat
antara Lubuklinggau-Palembang adalah 314 km, yang biasa ditempuh 7 jam
dengan mobil atau 9 jam dengan kereta api.
Sejak itu, Lubuk Kelingi berganti nama menjadi Lubuk Naga.
Sejak itu, orang-orang menyeberangi Sungai Kelingi dengan dua cara.
Membayar jasa rakit atau berjalan di atas jembatan papan gantung. Aku
dan kawan-kawan kerap memakai cara yang kedua. Kami tak ingin uang jajan
diberikan kepada tukang rakit!
Dan… Lubuk Naga masih diam dan bisu di sana.
Kabar gembiranya, daerah sekitar Lubuk Naga masih sejuk dan rimbun
oleh pohon-pohon sungkai, petai cina, dan semak karimunting. Tak ada
sampah-sampah yang menggenang di sana. Entah karena penduduk masih
percaya pada cerita naga di dalam lubuk atau sadar akan kebersihan,
kenyataan itu membuat aku selalu nyaman untuk memperkenalkan lubuk itu
kepada kawan-kawan yang (kelak) datang.
***
BILA hingga hari ini kau masih belum pula menyambangi Lubuklinggau
dalam hajat yang disengaja, maka lubuk-lubuk yang kuceritakan tadi
rasanya bisa menyaru menjadi alasan yang lebih dari cukup untuk
menggiringmu bertandang ke tanah kelahiranku, Raudal.
Meskipun, ya, meskipun ada beberapa lubuk lain yang belum bisa
kubentangkan di sini hikayatnya. Koran sudah tak sebebas dahulu. Cerita
perihal lubuk tentu kalah bertuah dari gosip artis, video tak berisi
yang viral di internet, atau manuver politik menjelang pilpres.
Datanglah…
Lubuk-lubuk itu siap menyambutmu, membawamu bertualang, menyusuri
pusaran yang panjang, paling tidak kuasa membuatmu melupai hiruk-pikuk
akhir zaman, hingga kau tersesat, meskipun sesaat.
Lubuklinggau, Oktober 2013–Maret 2018 buat Raudal Tanjung Banua
Benny Arnas. Pengarang, tinggal di Lubuklinggau. Dua bukunya yang siap terbit tahun ini, Cinta Menggerakkan Segala (novel, Republika) dan Hujan Turun dari Bawah (buku puisi, Grasindo)