Daftar Blog Saya

Senin, 17 April 2017

KEBUN KELAPA BAPAK ( cerpen koran suara merdeka )

Oleh: Utami Panca Dewi
 (dimuat di SKH Suara Merdeka, Minggu, 21 Agustus 2016)
            Jadi, kebun kelapa itu akan dijual untuk kepentingan pakde Parsidi pergi ‘ngulon’ – menjalankan rukun Islam yang kelima. Kebun itu sebelumnya memang milik bapak. Warisan dari simbah untuk anaknya yang wuragil. Kebun yang berdampingan dengan kebun milik pakde Parsidi, anaknya simbah yang pertama. Kedua kakak bapak yang lain tidak mendapatkan warisan karena meninggal dunia sewaktu masih bujang. Namun semenjak bapak menggadaikan kebun itu kepada pakde - demi kelanjutan studyku di Perguruan Tinggi – surat tanah kebun kelapa itu akhirnya dikuasai pakde.
            “Beruntung Pakdemu masih mengijinkan Bapak mengambil niradari pohon kelapa yang tumbuh di kebun itu,  Le.  Jadi simbokmu masih bisa menitis dan mengolah legen menjadi gula merah untuk sangu kuliahmu. Begitupun dengan kelapanya,” begitu kata bapak saat melepas surat tanah demi mendapatkan pinjaman uang sepuluh juta rupiah, agar aku bisa merasakan bangku kuliah.
            Bapak memang lelaki Jawa tulen, yang selalu memandang setiap anugerah atau musibah dari sisi baiknya. Saat kecil aku pernah terserempet sepeda motor hingga kakiku patah. Bapak malah berkata bahwa masih untung cuma kakiku yang cidera, bukan nyawaku yang melayang ke alam baka. Pun saat bajing-bajing mulai berkeliaran menyambangi buah kelapa kami, menghabisi daging buahnya - menyebabkan buah kelapa menjadi jomblo tanpa isi. Bapak hanya berkata bahwa mungkin bapak kurang bersedekah, sehingga alam mengambil kembali hasil bumi kami melalui tupai-tupai itu. Untunglah beberapa hari kemudian datang kang Midi Kachir yang memburu kawanan tupai dengan senapan anginnya. Dia bagaikan pahlawan bagi pemilik kebun kelapa seperti kami.
            Pohon kelapa di dalam kebun bapak rata-rata sudah tua, legen/nira yang dihasilkan tak lagi bisa memenuhi bumbungyang dipasang bapak di tangkai manggar. Dan bapak selalu gagal melakukan peremajaan terhadap pohon kelapa di kebunnya. Aku tak pernah tahu penyebabnya, namun tunas kelapa yang ditanam bapak selalu mati, sebelum pupus daunnya sempat melebar menentang cahaya matahari. Berlainan betul dengan kebun milik pakde Parsidi. Tunas kelapa yang ditanam pakde selalu bisa tumbuh dengan subur. Di saat bapak menebangi pohon yang telah tua untuk dijual glugu/batangnya, pakde justru bisa memanen lebih banyak kelapa dari pohon yang tidak diambil niranya.
            Urip iku wang sinawang Le, kehidupan orang lain bisa saja tampak bahagia menurut pandangan kita. Namun bisa jadi pandangan kita salah,” begitulah kalimat yang selalu bapak ucapkan diikuti dengan ajakan untuk mensyukuri setiap nikmat yang diberikan Gusti Allah. 
            Namun saat kebun yang tergadai itu benar-benar dijual sama pakde, aku benar-benar tak bisa menerimanya. Apalagi hanya dengan alasan sepele, yakni karena bapak tidak bisa melunasi hutangnya kepada pakde tepat waktu. Ke mana hilangnya rasa persaudaraan itu? Apakah luntur tergerus zaman yang disesaki dengan keinginan untuk memenuhi kebutuhan materiil ini?
            Seharusnya tidak semudah itu pakde memutuskan untuk menjual satu-satunya aset yang dimiliki bapak. Mengingat rumah limasan yang kami tinggali pun terletak di bagian kebun sebelah depan. Kalau tanah itu benar-benar dijual, lantas kami mau tinggal di mana? Bapak terlalu naif dengan mengatakan bahwa kelak aku pasti akan menjadi orang sukses, yang bisa membeli apapun yang kumau. Maka saat pakde mengetuk pintu rumah untuk mengatakan maksudnya, akulah satu-satunya anak yang menentang. Kedua adikku meringkuk di kamar tengah dalam dekapan simbok. Sementara bapak sendiri hanya mampu bersedekap sambil tertunduk gamang.
            “Kalau memang kebun bapakmu tidak boleh dijual, ya kamu harus melunasi hutang bapakmu, Le!”
                Seperti diguyur kuah  jangan ndesoyang biasa dibuat simbok untuk menemani nasi liwet, saat mendengar ultimatum dari pakde. Pedasnya tidak hanya memerahkan telinga, tetapi tembus sampai ke hatiku, menimbulkan nelangsa berkepanjangan. Terbayang kuliahku yang pasti akan berhenti di tengah jalan, karena tidak ada lagi sumber kehidupan yang bisa dipakai bapak untuk membiayainya. Masih terngiang jelas pesan almarhum simbah putri(nenek) saat aku masih kecil.
Le, kamu jangan mau hanya menjadi wong nderes (tukang mengambil nira pohon kelapa). Kamu harus sekolah yang tinggi supaya jadi orang yo Le...
Kalau tidak ingat bahwa aku ini adalah anak lelaki bapak satu-satunya, aku pasti sudah menangis. Tapi untuk apa? Hanya memberi contoh yang buruk kepada adik-adikku. Sependek ingatanku, pakde memang tidak pernah bersikap manis kepada bapak. Demikian juga terhadap simbah putri. Mulanya aku tak tahu mengapa bisa demikian. Setelah aku besar, simbok memberi tahuku bahwa pakde Parsidi dan bapak memiliki satu ayah tetapi lain ibu. Pakde Parsidi merasa tak adil jika simbah kakung (kakek) mewariskan kebun kelapanya kepada bapak,  dengan luas yang sama pula.
Sejak simbah putri tiada, sikap permusuhan yang ditunjukkan pakde semakin menjadi-jadi. Saat simbok membuat geplak (makanan kecil dari kelapa muda) dan srundeng (lauk berbahan dasar kelapa) untuk dijual, pakde Parsidi ikut-ikutan menyuruh mbokde Parsidi mengolah dan menjual makanan yang sama. Simbok tak mempermasalahkannya. Simbok yakin, rejeki ada yang mengatur. Justu mbokde Parsidi yang merasa malu hati dan tidak enak dengan kelakuan suaminya.
“Bagaimana? Kamu sanggup melunasi hutang bapakmu sekarang?” Pertanyaan pakde mengagetkanku dan memaksa kepalaku untuk menggeleng lesu.
Maka, akhirnya kebun kelapa bapak pun terjual untuk sangu pakde Parsidi pergi naik haji. Para tetua kampung dan sebagian besar penduduk kampung berduyun-duyun ke rumahpakde untuk memberikan ucapan selamat dan doa. Sementara hanya segelintir orang yang mengantarkan keluargaku, pindah ke sebuah rumah kontrakan kecil.   
“Ikhlas Le, ikhlas. Semuanya milik Gusti, dan akan kembali kepada Gusti...”
Tetapi sungguh, kata-kata ikhlas itu gampang diucapkan tetapi sangat sulit untuk dijalankan. Kuliahku terpaksa berhenti di tengah jalan. Sebagai sulung, aku harus ikut memikirkan kelanjutan pendidikan adik-adikku. Dan penyebab kandasnya cita-citaku adalah pakde. Larangan dari swargi (almarhum) mbah putri, agar aku tidak menjadi wong nderes, justru seperti menjadi sebuah doa. Aku benar-benar menjadi seorang pengambil nira, di kebun milik pakdeku sendiri. Aku harus menelan pahitnya kenyataan, bahkan saat sedang menelan air nira yang sangat manis.
“Berikan doa yang terbaik untuk pakdemu Le,” pinta bapak.
Simbok memberikan bekal serantang srundeng untuk lauk, seandainya selama menjalankan  ibadah, pakde merasa tidak cocok dengan lauk yang disajikan catering hotel. Namun bekal itu ditolak olehnya. Pakde sudah membawa bekal srundeng dari kelapa yang dipetik dari kebunnya sendiri, dan dimasak oleh istrinya sendiri.
“Tidak usah membekali macam-macam. Kalau kalian cuma mau minta didoakan saat aku di depan Hajar Aswad, nanti  aku doakan. Tapi ingat, doa saja tidak cukup. Pintu rejeki akan terbuka kalau kita mau berusaha. Kau kira kekayaanku jatuh sendiri dari langit?”
Begitulah pakde Parsidi. Aku harus menutup telinga kanan dan  kiri, kalau tidak mau sakit hati. Sebentar lagi akan ada gelaran Haji di depan namanya. Mungkin nantinya akan lebih banyak lagi nasehat- nasehat berbumbu kata-kata pedas, yang keluar dari bibir pakde. Sebagai keponakannya, aku hanya butuh gumpalan kapas yang lebih tebal, agar bisa mengangguk-angguk dengan hati yang tetap dingin.
Sore itu, sepulang dari nderes, lamat-lamat aku menangkap suara tangisan mbokde Parsidi di ruang tamu sempit dalam rumah yang dikontrak bapak.
“Aku harus memintakan maaf atas segala kesalahan suamiku kepada keluarga kalian,” ucap mbokde tersendat-sendat.
“Iyo, iyo De, tak seorang pun di dunia ini yang luput dari berbuat salah. Justru karena itulah Gusti Allah telah membuka pintu ampunan bagi hamba-hamba-Nya yang memohon ampun. Tentu saja aku sebagai manusia biasa telah memaafkan segala kesalahan Kang Parsidi itu....”
Masih banyak lagi kata-kata yang terucap dari bibir bapak, ditingkah sedu sedan dari bibir mbokde Parsidi. Setelah tangisnya agak reda, kalimat-kalimat yang keluar dari mulut perempuan tua itu yang justru mengagetkanku. Bahwa sebenarnya sejak dulu, pakde Parsidi-lah yang sengaja mengguyurkan satu jerigen besar minyak tanah ke pupus kelapa yang ditanam bapak, hingga pohon kelapa itu layu dan mati. Pakde juga yang memengaruhi para tengkulak agar membeli dengan harga rendah, kepada kelapa-kelapa dari kebun milik bapak. Sehingga simbok memutuskan untuk mengolah kelapa yang muda menjadi geplak dan kelapa yang tua menjadi srundeng.Intinya mbokde Parsidi sangat takut kalau-kalau Pakde belum sempat bertobat, karena sekarang sudah tidak ada kesempatan lagi...
“Memangnya apa yang terjadi dengan Pakde?” tanyaku masih belum mengerti akan makna pengakuan mbokde di antara sedu sedan tangisnya.
“Pakdemu telah berpulang Le. Saat sedang makan, Pakde tersedak oleh parutan kelapa dalam srundeng yang kumasak sendiri.” Mbokde kembali menangis. Sementara aku hanya mampu tertegun sambil menatap kedua bumbung di tanganku yang penuh berisi air nira @end@

Jumat, 12 Agustus 2016

Cerpen: MAMA BUKAN BUNDA (Dimuat di majalah Gadis edisi no. 14, 1 Juli 2016-15 Juli 2016)



MAMA BUKAN BUNDA
Oleh: Utami Panca Dewi
            Bunda adalah kenangan yang tak pernah surut. Seperti lautan saat purnama. Cintanya selalu memenuhi pantai hatimu. Kebersamaan dengan Bunda masih bisa kamu rasakan setiap kali kamu memasuki ruang tamu, ruang makan, ruang keluarga, bahkan dapur dan kamar tidurmu. Seandainya kursi rotan di teras bisa bercerita, ia akan bercakap tentang kamu yang sering menggelendot manja di bahu Bunda. Sambil menunggu Ayah mengambil buah mangga gedong yang pohonnya tepat tumbuh di depan teras.
            Setelah Bunda tiada, kamu ingin segala yang ada dalam rumahmu tak berubah. Cangkir-cangkir porselen dalam kitcen set di dapur. Foto-foto keluarga yang berderet di sepanjang dinding dekat tangga menuju lantai dua. Piano Stuttgart tua di sudut ruang keluarga. Pun sebatang pohon mangga gedong di depan teras, yang rimbun daunnya menaungi kursi rotan tua dari sengatan matahari sore.
 Kata Bunda, piano dan kursi rotan itu adalah peninggalan Eyang Kakung. Usianya lebih tua dari usia Bunda. Kamu sering tersenyum sendiri saat membayangkan Eyang Kakung sedang duduk-duduk di kursi rotan sambil berbincang dengan Bunda. Atau jemari Eyang yang sedang memainkan tuts­-tuts piano, mengiringi suara merdu bundamu yang menyenandungkan lagu Edelweiss. Dari Eyang, kamu mulai belajar main piano.
Namun segalanya berubah ketika tante Mona datang. Gerhana bulan seperti sedang menyelimuti hatimu. Sebetulnya kamu sudah menolak mentah-mentah, keinginan Ayah untuk menikah lagi. Punya ibu tiri? Bermimpi pun kamu tidak.
“Tante Mona itu baik loh Dis,” ucap Ayah sesaat setelah kamu diperkenalkan dengan perempuan yang penampilannya fashionable itu.
Kamu hanya mengangkat bahu sambil mengangkat alis. Baik untuk Ayah, memang iya. Komentar yang hanya berani kamu ucapkan dalam hati.
”Menurut Ayah, gadis seusiamu itu butuh sosok seorang ibu, Dis,” kembali Ayah berusaha mengemukakan alasan yang rasional, agar kamu menyetujui rencananya untuk menikah dengan tante Mona.
“Sepertinya Ayah, yang butuh seorang isteri!” jawabmu ketus.
“Gladis!”
Kamu tidak memedulikan panggilan ayahmu. Kamu justru lari ke pohon mangga di depan teras. Pohon yang ditanam oleh Ayah atas permintaan Bunda, untuk menandai kelahiranmu. Bunda sangat menyukai mangga gedong. Bahkan menurut cerita Ayah, bundamu hanya mau makan mangga gedong, pada awal-awal kehamilannya. Tak heran, jika saat kamu bersandar di batangnya, kamu seolah sedang bersandar di bahu bundamu. Pohon mangga gedong bisa menawarkan rindumu pada Bunda. Pohon mangga adalah pengganti Bunda. Lantas kenapa harus ada tante Mona?
Rupanya, dengan atau tanpa persetujuan darimu, Ayah tetap menikahi tante Mona. Hari yang membahagiakan – tentu saja tidak berlaku untukmu. Ayah tersenyum lebar. Tubuhnya sangat gagah dibalut dengan jas hitam dan hiasan dasi kupu-kupu. Tante Mona bak puteri dalam dongeng, dengan gaun pengantin putihnya. Kamu merasa seperti Alice yang sedang tersesat di negeri asing, di tengah pesta pernikahan ayahmu.
Tante Mona meminta sesuatu yang tak bisa kau kabulkan di hari pertama ia masuk dalam keluargamu.
“Aku sekarang Mamamu, Dis.  Please, panggil aku Mama, Okey?” Bibir yang dipoles lipstik merah itu berusaha merayumu.
“Maafkan saya Tante,” ucapmu kering. Bagimu hanya ada seorang ibu. Ada maupun tidak ada di sisimu, hanya ada seorang ibu di hatimu.
“Gladis, ayolah! Mama Mona sekarang mamamu!” Ayah ikut-ikutan mengingatkan kenyataan yang sekarang sedang kau alami.
“Dis... Dis tidak bisa, Ayah!” kembali kamu berurai air mata saat kamu berlari keluar, menjumpai pohon mangga gedongmu. Di sana kamu akan tersedu dan mengadu.
@@
“Jadi, sekarang kamu nggak mau potong rambut nih?” tanya Noe sahabatmu.
Kamu hanya menggeleng.
“Tapi kenapa? Sudah bosan dengan gaya rambut cepakmu?”
“Kata Tante Mona, gadis sepertiku akan tampak lebih cantik dan feminim dengan rambut panjang,” jawabmu sedih.
Noe tertawa tergelak.
“Itu hanya awal Dis... Pertama-tama, ia akan mengatur penampilanmu. Lalu kamarmu, rumahmu, bahkan mungkin ia akan mengatur apa-apa yang boleh dan tidak boleh kamu makan, dengan siapa kamu boleh bergaul...”
“Noe!” Kamu mulai marah.
“Kamu tidak percaya? Terserah, tapi seperti itulah ibu tiri.”
Ibu tiri... ibu tiri...
Setiap kali kata-kata itu terdengar oleh telingamu, seperti ada duri yang menusuk dalam hatimu. Dan kamu harus menelan ludahmu yang terasa pahit saat mengetahui kebenaran kata-kata Noe. Kamu tercengang saat pulang dari sekolah.
“Tante, kenapa kursi rotannya diganti?”
“Eh, Gladis sudah pulang? Iya Dis, kursi rotan itu sudah terlalu tua. Bagaimana furniture pilihan Mama? Cantik kan?”
“Tapi kursi rotan itu menyimpan banyak kenangan, Tante. Dengan Bunda, dengan Eyang...”
“Gladis, Yesterday is a history, tomorrow is a mystery, to day is a gift. Mama hanya ingin, kamu tidak terbelenggu oleh masa lalu, karena hidup adalah hari ini.”
“Terserah Tante deh...”
Kamu naik tangga, menuju kamarmu. Mengacuhkan ajakan makan siang darinya. Dan... what? Perutmu yang tadinya lapar serasa menjadi penuh ketika melihat dinding sebelah tangga yang semakin penuh. Ada foto-foto pernikahan ayahmu terpasang di sana. Foto yang mengabadikan senyum manis tante Mona.
@@
Matamu tertuju pada jus mangga yang isinya terus kau aduk-aduk dengan sedotan. Kali ini kamu memutuskan untuk mampir ke kantor ayahmu sepulang sekolah.
“Ingat Dis, Mama Mona itu sekarang sudah menjadi bagian dari keluarga kita. Jadi kalau hanya masalah foto-foto pengantin yang dipasang di dinding dekat tangga...”
Okey, fine Ayah. Tapi dia juga mengganti kursi rotan di teras. Cangkir-cangkir porselen milik Bunda...”
“Kursi rotan itu sudah terlalu tua. Dan cangkir-cangkir itu masih ada kok. Semuanya disimpan dengan rapi oleh Mama.”
“Tapi Yah, Tante Mona tidak pernah minta persetujuan dariku!”
“Karena kamu selalu menghindar dan menjauh saat dia mengajakmu bicara. Cukup ya Dis, sekarang pulanglah! Ayah masih banyak pekerjaan. Dan Mama pasti sudah meunggumu di rumah.”
Mama... mama...
Siapa juga yang minta seorang mama? Hidupnya sudah cukup bahagia bersama Ayah dan sejuta kenangan tentang Bunda.
Kamu melangkah dengan gontai. Melewati paving block yang mulai membasah. Tubuhmu juga sedikit membasah, ketika motor Noe mendekatimu. Jarum-jarum langit mulai turun, seiring mendung yang semakin menebal. Mendung juga masih menyelimuti hatimu.
“Bagaimana?”
“Tanggapan Ayah?”
Noe mengangguk.
“Aku yang harus mengerti, Noe. Tante Mona itu sekarang  bagian dari keluarga kita, Tante Mona sekarang mamamu, bla... bla... bla...”
“Sekarang mau pulang atau ngumpul bareng sama teman-temanku. Kamu pasti happy deh di sana.”
“Pulang, Noe. Kata Ayah, Tante Mona pasti sudah menunggu di rumah.”
“Ciyeee.... yang sekarang sudah jadi anak mama....”
“Noe!!” Kamu memukul punggung sahabatmu keras-keras, menyisakan suara mengaduh dari mulut Noe.
Sekejap kemudian motor yang membawamu sudah melaju dengan cepat. Meninggalkan kepulan asap dan suara berisik, menyebabkan beberapa orang yang sedang duduk di halte mendadak terserang batuk.
Kamu rapatkan jaket kulitmu, ketika hujan semakin menderas. Sampai di Jalan Elang Nomer 10, Noe menghentikan motornya. Kamu turun sambil mengucapkan terima kasih.
Kedatanganmu disambut oleh tante Mona yang segera mengambilkan handuk, penuh rasa khawatir. Sok baik. Pikirmu sambil menepiskan tangan mama tirimu.
“Tapi kamu kehujanan, Dis. Dari mana saja kamu sore begini baru pulang? Pasti bareng anak itu lagi. Mama punya firasat kurang baik melihat penampilan temanmu itu Dis, siapa namanya?”
“Noe?”
“Jadi namanya Noe?”
“Sudahlah Tante, Dis lelah. Dis mau istirahat.”
Kamu melirik sekilas ke arah tante Mona. Kamu lihat, ia sedang menghela napas panjang.
@@
Minggu sore yang cerah. Kamu sedang duduk di teras sambil mengunyah kuaci. Tentu saja bukan di kursi rotan tua peninggalan Eyang Kakung-mu, karena tante Mona sudah menggantinya dengan kursi yang cantik dari bahan anyaman enceng gondok kering. Matahari sore menerobos dahan-dahan pohon mangga gedong, menyapamu dengan sinar kuning lembutnya.
“Sedang apa Dis?” tanya ayahmu yang tiba-tiba sudah duduk di sebelahmu.
“Sedang mengamati pohon mangga, Ayah. Lihat deh Yah, mangga mudanya mulai bermunculan. Sebentar lagi kita akan panen mangga gedong.”
“Iya, pohon mangga itu sudah cukup tua. Ayah khawatir dengan cabang yang mengarah ke teras ini.”
Tiba-tiba tante Mona datang sambil membawakan ayahmu segelas kopi. Hatimu langsung mendung.
“Menurut Mama pohon itu harus ditebang, Yah. Kalau ada angin, cabang itu bisa membahayakan genteng teras rumah kita.”
“Dis tidak setuju. Tidak ada seorangpun yang boleh menebang pohon itu,” ucapmu ketus.
“Tapi pohon itu sudah tua Dis. Kita bisa menggantikannya dengan tanaman yang baru. Nanti kamu deh, yang nentuin mau menanam pohon apa, ya kan Yah?” Tante Mona menengok ke arah Ayah, seolah meminta persetujuan.
“Usul Mamamu cukup masuk akal, Dis.” Ayahmu mulai berpihak kepada tante Mona. Dan itu membuatmu merasa semakin sebal.
“Dis cuma mau pohon mangga gedong itu, titik.” Kamu menjawab ketus, melahirkan gelengan kepala dari kedua orang tuamu.
Lalu kamu masuk ke dalam rumah, menuju ruang keluarga. Duduk di depan si Stuttgart tua, membuka penutupnya, lalu mulai memencet tuts-tutsnya. Nada-nada dari lagu Ode to my family mulai mengalun lembut seiring dengan kakimu yang menginjak celeste pedal. Lama-lama gerakan jemarimu mulai menekan tuts kuat-kuat, dengan tempo yang semakin cepat. Permainan pianomu berakhir saat kakimu menginjak una corda pedal dan damper pedal secara bersamaan dengan tekanan penuh. Bersamaan dengan jemarimu yang menekan tuts-tuts dengan sangat kuat. Braaanggg!!! Terdengar gaung yang khas dan tak juga hilang. Mungkin seperti itulah gaung yang sedang bergema di hatimu.
@@
Jadi Ayah dan tante Mona sudah memutuskan bahwa pohon mangga itu harus ditebang. Terlebih ketika tante Mona mengusulkan untuk merenovasi teras. Semakin bulatlah keputusan ayahmu.
Noe ikut prihatin saat kamu menceritakan kesedihanmu. Meskipun Noe tak bisa memahami kebiasaanmu mencurahkan kesedihanmu kepada sebatang pohon mangga.
“Yang bener aja Dis, masa aku harus cemburu kepada sebatang pohon mangga?” tanya Noe sambil tersenyum.
“Kenapa Noe?” tanyamu sambil menatap mata Noe, menyelami kesungguhan kata-kata yang keluar dari bibir cowok yang ada di depanmu.
“Ah, nggak. Maksudku, harusnya sejak dulu kamu curhatnya ke aku saja, jangan kepada sebatang pohon. Minimal aku bisa memberimu solusi.”
“Terus apa solusimu?” tanyamu dengan mata berbinar.
“Ikutlah denganku. Akan kuajari kamu, bagaimana caranya menemukan kebahagiaan.”
Dengan sigap, kamu naik di boncengan sepeda motor Noe. Lalu motor itu meraung, meninggalkan halaman sekolah yang mulai sepi.
Kamu tak ingin pulang ke rumah. Kamu tak ingin melihat pohon kesayanganmu tumbang. Maka kamu memutuskan untuk mengikuti Noe. Kamu nyaman bersama Noe. Jika memang pohon itu harus tumbang, sekarang kamu telah menemukan tempat curhat yang nyaman. Dialah Noe, sahabat yang siap mengantarkanmu ke mana saja. Bahkan untuk mencari kebahagiaan yang sekarang ini sulit kau temui di rumah.
Noe melajukan motornya sangat kencang. Kamu merentangkan kedua tanganmu lebar-lebar, seperti merpati yang sedang mengepakkan sayapnya. Dan kamu merasa seperti sedang terbang. Kamu meminta Noe, menarik gas lebih dalam lagi. Noe tertawa. Kamu tertawa. Hingga Noe tak menyadari kedatangan sebuah mobil yang melaju kencang dari arah yang berlawanan. Kamu hanya sempat mendengar suara ban mobil berdecit dan suara tumbukan yang sangat keras, lalu segalanya menjadi gelap. Dari kegelapan itu, tiba-tiba muncul sosok bundamu yang sedang tersenyum.
”Bunda...” teriakmu gembira.
Namun Bundamu pergi menjauh sambil melambaikan tangannya. Kamu terduduk sambil menangis tersedu.
@@
Matamu yang terpejam perlahan mulai membuka sekejap, lalu menutup lagi karena merasa silau. Saat kamu membuka mata untuk kedua kalinya, kamu merasakan kedua pipimu membasah. Dan kamu mulai menyadari bahwa kamu tengah berada dalam ruangan yang serba hijau. Jelas, bukan kamarmu. Inikah surga itu? Tanyamu dalam hati. Namun telingamu mendengar suara mesin ECG yang menampilkan grafik turun naik secara teratur. Ada selang kecil di lengan dan juga lubang hidungmu.
”Syukurlah kamu sudah siuman, sayang,” bisik seorang perempuan yang semula kamu kira sebagai bundamu.
”Apa... yang terjadi?” tanyamu gemetar
”Kamu koma selama seminggu. Kamu kehilangan banyak darah setelah kecelakaan itu. Untung Mama memiliki golongan darah yang sama denganmu,” ucap ayahmu.
”Jangan bergerak dulu!” bisik Tante Mona khawatir, ketika melihat gelagatmu yang ingin mengangkat kepala.
”Noe?” tanyamu sedih.
”Noe sudah tiada, Nak. Dari pemeriksaan yang dilakukan dokter, darah Noe mengandung zat adiktif,” ucap ayahmu hati-hati.
Kamu merasa sedih. Bukan saja karena kehilangan seorang sahabat. Tetapi juga menyadari kenyataan bahwa Noe seorang pecandu narkoba.
“Oh iya, Ayah membawa satu berita gembira. Akhirnya kami memutuskan untuk membatalkan menebang pohon manggamu.”
“Kenapa Yah?” tanyamu heran. Tapi Ayahmu justru menengok ke arah tante Mona.
“Karena Mama sekarang suka makan mangga gedong yang masih muda. Mama hamil Dis, sebentar lagi kamu akan punya adik,” ucap tante Mona sambil tersenyum.
“Selamat.... Ma...”
Tante Mona memandangmu seolah tak percaya. Namun hanya sesaat, karena kamu segera merasakan pelukan hangatnya. Sekarang kamu mulai mengerti. Mama memang bukan Bunda dan tak bisa seperti Bunda. Karena tak ada yang bisa menggantikan Bunda di hatimu. Namun setidaknya, Mama Mona bisa menjadi sahabatmu. @selesai@

1 komentar:

  1. http://nalurerenewws.blogspot.com/2018/08/taipanqq-3-keuntungan-jalin-hubungan.html

    Taipanbiru
    TAIPANBIRU . COM | QQTAIPAN .NET | ASIATAIPAN . COM |
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID terbaik nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
    BandarQ
    AduQ
    Capsasusun
    Domino99
    Poker
    BandarPoker
    Sakong
    Bandar66

    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : E314EED5

    Daftar taipanqq

    Taipanqq

    taipanqq.com

    Agen BandarQ

    Kartu Online

    Taipan1945

    Judi Online

    AgenSakong

    BalasHapus